Akhirnya, lega sekali memasuki kamar mandi yang lebih sejuk daripada terik matahari diluar. Apalagi sepi. Tidak ada orang yang bisa mengejekku.
Setelah "urusan" selesai, aku pun menuju ke tempat cuci tangan dan cermin. Tetapi ternyata bukan hanya aku yang disini sekarang, ada sekelompok perempuan yang sedang bercermin di pojok. Aku mendengar mereka sedang berbicara tentang sesuatu, tapi aku mencoba untuk tidak mendengar.
Tapi kata-kata mereka segera menghantamku.
"Lihat dia,"
Jantung ku berdebar cepat.
Aku pun menelan ludah dan berlanjut untuk memperbaiki rambutku didepan cermin, berusaha untuk tidak menariki perhatian mereka. Namun sudah terlambat. Aku tahu mereka tidak akan diam saja.
16Please respect copyright.PENANAReQ3IqivAs
"Halo, putri." salah satu dari mereka berkata mendekatiku. Namun, melihat raut wajahnya yang jahat, aku tahu, dia tidak suka aku menjadi putri klan Cina.
"Mana kerajaanmu, hancur?" dia pun melanjutkan mengejekku. Teman-temannya ketawa kecil.
Aku pun mengambil nafas, aku tahu aku harus berani menghadapi mereka.
"Sebentar, sebenarnya panggilanmu itu putri atau ratu ya?"
"Benar juga," yang lain menimpali.
"Sebenarnya panggilanmu itu naga atau ular yaa?" yang lain ikut mengejek.
Aku ingin pergi habis-habisan, tapi kakiku menolak.
"Kalau naga seharusnya punya sayap,"
"Kalau ular seharusnya tidak punya tanduk,"
"Eh, aku tahu dia apa, monster!"
"Benar!"
"Monster yang cermin pun pecah saat melihatnya!"
Sebenarnya mereka ingin apa dariku!?
"Pergi,"
Pergi? Kata itu menusuk hatiku. Jantungku berdebar lebih cepat. Ayah? Ibu? Pergi? Apa mereka mengalami hal yang sepertiku sampai mereka pergi? Apa cinta mereka yang berbeda membuat orang lain marah?
"Dunia ini tidak ramah pada monster anah yang dijuluki ratu." perempuan itu melanjutkan perkataannya dengan suara dingin.
Saat mataku tidak bisa lagi menahan air mata, ada seseorang mendekatiku. Bukan, bukan perempuan tadi. Tapi dia lebih besar, lebih kuat. Zuri, Zuri Nyota.
"Apa! Siapa kamu? Cewek hitam mengganggu saja!"
Zuri tidak menjawab, dia menatap mereka dengan tajam.
Perempuan-perempuan itu merasa takut. Langsung lari mereka seperti domba terbirit-birit.
"T-terimakasih," aku mengatakan dengan pelan kepada Zuri.
"Kamu harus berhati-hati diluar sini, orang-orang ini tidak ramah. Jika butuh bantuan panggil saja aku." Zuri mengatakan. Sepertinya dia tidak mendengar terimakasihku. Ya jelas, aku mengatakannya dengan suara kecil. Aku masih tidak percaya apa yang terjadi di kamar mandi.
Aku terus berpikir tentang itu sampai aku berbaring diatas tempat tidurku.
Aku harus berterimakasih kepadanya!
Aku pun turun dari kasurku, dan mengambil pensil dan kertas.
"Terimakasih Zuri,"
Aku pun menyelipkan kertas itu dibawah pintu kamarnya berharap dia segera membacanya.
Akhirnya aku bisa tidur dengan lega.
Keesokan harinya saat matahari menyambut ku, aku melihat kertas di kamarku tertulis:
"Itulah yang dilakukan teman :)"
Senyuman kecil, hampir tak terasa, akhirnya muncul di wajahku.
ns3.22.194.224da2