Malam menyelimuti rumah sederhana Salma di pinggiran Jakarta, lampu jalan merangkak masuk melalui celah tirai, menciptakan bayang-bayang samar di dinding ruang tamu. Salma duduk di sofa tua, hijab kremnya terlepas, rambut hitamnya tergerai, tetapi matanya, cokelat tua dan berkaca-kaca, menatap kosong ke meja kayu usang. Kontrak dari Ardi, tersimpan di tasnya, terasa seperti trofi yang dibayar dengan dosa, mengingatkannya pada malam di apartemen itu—sentuhan panas, sofa kulit, dan rasa bersalah yang kini menggerogoti. Azan Isya bergema dari masjid di kejauhan, memanggilnya untuk bertobat, tetapi jantungnya berdetak kencang, bukan karena iman, melainkan campuran penyesalan dan kepuasan terlarang yang masih membakar tubuhnya.
Di kamar, Umar, suaminya, membaca Al-Qur’an di meja kecil, kacamata bulatnya memantulkan cahaya lampu. Salma melangkah masuk, gaun muslimah biru mudanya sedikit kusut, wajahnya memasang senyum tipis untuk menyembunyikan badai batinnya. Dia ingin menebus dosa, menjadi istri yang Umar inginkan, tetapi setiap langkah terasa seperti menyeret rantai. Umar menoleh, jenggot tipisnya dan wajah lembutnya memancarkan ketenangan, tetapi matanya menyimpan tanya.
“Kamu pulang larut lagi, Salma. Kerjaan sibuk, ya?” tanya Umar, suaranya lembut namun ada nada curiga yang menusuk.
“Iya, Mas. Klien besar, dokumen numpuk,” jawab Salma, suaranya bergetar, kebohongan terasa seperti pisau di dadanya.
Salma mendekati Umar, tangannya menyentuh pundak suaminya, jari-jarinya mencoba membangkitkan keintiman yang telah lama memudar. Dia ingin merasakan cinta suci, bukan nafsu kotor yang menguasainya di apartemen Ardi. Aroma sabun mandi dari Umar kontras dengan parfum mahal Ardi yang melekat di ingatannya, membuat hatinya semakin terbelah.
“Mas, aku kangen kita ngobrol kayak dulu. Kayak pas awal nikah,” bisik Salma, duduk di samping Umar, matanya penuh harap.
Umar tersenyum kecil, tetapi tangannya tetap memegang pena di atas kertas catatan. “Aku juga kangen, Sal. Tapi besok kajian penting, banyak yang harus disiapkan. Besok kita ngobrol panjang, ya?” katanya, nada lembutnya terasa seperti penolakan halus.
Salma menelan ludah, kesepian merayap ke hatinya, dan bayangan Ardi kembali mengusik—suara seraknya, tangan kasarnya, dan kenikmatan yang membuatnya lupa doa. Dia mengangguk, mencium pipi Umar dengan bibir gemetar, lalu bangkit, langkahnya berat menuju kamar mandi. Di dalam, pintu dikunci rapat, hanya suara gemericik air dari keran yang mengisi keheningan. Salma menatap cermin, wajahnya pucat, hijabnya kini terasa seperti topeng yang menyembunyikan dosa. Dia ingin membersihkan diri, tetapi tubuhnya menjerit untuk sesuatu yang lain, sesuatu yang kini menguasainya seperti racun.
Salma melepas gaun muslimahnya, kain biru muda itu jatuh ke lantai, memperlihatkan tubuhnya yang mulus—payudara penuh terbungkus bra renda putih, perut rata, dan paha yang gemetar mengingat sentuhan Ardi. Dia menyalakan shower, air hangat membasahi kulitnya, mengalir di lekuk tubuhnya seperti belaian, menyapu putingnya yang mengeras, dan menetes ke kelaminnya yang sudah basah, bukan hanya karena air, tetapi nafsu yang membakar. Cermin di dinding berkabut, tetapi Salma bisa melihat bayangan dirinya—akhwat suci yang kini menjadi budak nafsu.
“Ya Allah, ampuni aku,” bisik Salma, suaranya penuh penyesalan, tetapi tangannya meluncur ke bawah, menyentuh kelaminnya, jari-jarinya mengelus bibir kemaluannya yang merah dan membengkak.
Air shower membasahi rambut Salma, helai-helai hitam menempel di punggungnya, setiap tetes air terasa seperti ciuman panas yang membangkitkan hasrat. Dia membayangkan Ardi, tubuh bidangnya, penisnya yang tebal, berurat, dan mengkilap, suaranya yang serak memanggil namanya seperti mantra dosa. Jari-jarinya masuk ke lubang kemaluannya, merasakan dinding licin yang berkedut, setiap dorongan membuatnya mengerang pelan, suaranya tertahan agar tidak membangunkan Umar.
“Ohh, Pak Ardi… memekku nggak kuat nahan kontolmu,” desah Salma, pinggulnya bergoyang mengikuti ritme jari-jarinya, air hangat menyapu klitorisnya, memperkuat sensasi yang membanjiri.
Dalam fantasinya, Ardi ada di kamar mandi, kemeja linennya basah kuyup, menempel di dadanya yang keras, matanya penuh nafsu menatap Salma. Dia menekan Salma ke dinding ubin, tangannya merobek bra-nya, memperlihatkan payudaranya yang penuh, puting cokelatnya mengeras di udara dingin. Jari-jari Salma bergerak lebih cepat, dua jari masuk dan keluar, cairannya menetes ke lantai, bercampur air shower. Dia membayangkan Ardi mencium lehernya, giginya menggigit kulitnya, tangannya meremas payudaranya dengan kasar, jari-jarinya mencubit putingnya hingga Salma menjerit dalam imajinasinya.
“Aku jalang kotor… nggak pantes buat Mas Umar,” bisik Salma, air matanya mengalir, bercampur air, tetapi jari-jarinya tak berhenti, menghantam titik sensitif di dalam memeknya.
Salma menambah jari, kini tiga jari merentangkan lubang memeknya, rasanya nyeri bercampur nikmat, cairannya membanjiri telapak tangannya, bunyi basah dari gerakannya bergema. Dalam fantasinya, Ardi mengangkat kakinya, menjepitnya ke dinding, kontolnya yang keras menggesek bibir memeknya, menggoda tanpa masuk, membuat Salma memohon. Dia membayangkan Ardi mendorong kontolnya masuk dengan dorongan brutal, mengisi lubang memeknya hingga penuh, setiap gerakan membuat bokongnya bergetar, air shower membasahi mereka seperti hujan dosa.
“Jebol memekku, Pak… aku mau kontolmu sampai aku remuk!” jerit Salma dalam fantasinya, pinggulnya menggoyang liar di bawah shower, jari-jarinya menghantam dalam.
Salma meraih botol deodoran dari rak, permukaannya licin dan bulat, dingin di tangannya. Hatinya menjerit untuk berhenti, tetapi nafsunya seperti iblis yang menertawakan imannya. Dia menggosokkan ujung botol ke memeknya, merasakan plastik keras menyapu klitorisnya, mengirimkan sengatan nikmat ke tulang belakangnya. Perlahan, dia mendorong botol itu masuk, lubang memeknya merentang, rasanya penuh dan asing, membuatnya mengerang keras, tangannya mencengkeram wastafel untuk menahan tubuh yang gemetar.
“Pak Ardi… kontolmu terlalu besar… aku nggak tahan!” desah Salma, membayangkan kontol Ardi menggantikan botol, menghantam dinding rahimnya dengan dorongan brutal.
Dalam imajinasinya, Ardi menampar bokong Salma keras, meninggalkan bekas merah yang panas, lalu memutar tubuhnya, membungkukkannya di bawah shower. Kontolnya masuk dari belakang, dorongannya ganas, setiap gerakan membuat payudaranya bergoyang, putingnya bergesekan dengan ubin dingin. Salma mendorong botol deodoran lebih dalam, rasanya seperti merobek memeknya, tetapi kenikmatan membuatnya lupa doa-doa yang pernah dia ucapkan. Dia membayangkan Ardi menarik rambutnya, memaksanya menatap cermin, wajah sucinya kini penuh dosa, mulutnya terbuka menjerit nama Ardi.
“Lihat dirimu, Salma! Jalang berhijab yang cuma ngidam kontolku!” bisik Ardi dalam fantasinya, kontolnya menghantam lebih dalam, cairannya membanjiri memek Salma, panas dan kental.
Salma menjerit dalam kenyataan, tubuhnya bergetar hebat, orgasme pertama menyapu seperti petir, cairannya menyembur ke lantai, membasahi ubin, botol deodoran terlepas, jatuh dengan bunyi keras. Dia terengah-engah, kakinya lemas, tetapi nafsunya tak reda, seperti monster yang menuntut lebih. Dia meraih showerhead, mengarahkan pancaran air ke memeknya, jet air hangat menyapu klitorisnya seperti lidah ganas, setiap semburan membuatnya mengerang liar, tangannya mencakar dinding ubin.
“Pak Ardi… hisap memekku… aku mau lebih!” jerit Salma, pinggulnya bergoyang, air menyemprot klitorisnya yang membengkak.
Dalam fantasinya, Ardi berlutut di depannya, mulutnya menyedot klitoris Salma, lidahnya menari di setiap lipatan memeknya, jari-jarinya masuk, mengelus dinding dalamnya dengan ritme brutal. Salma mengambil botol deodoran lagi, mendorongnya masuk dengan gerakan cepat, rasanya seperti menghukum memeknya, tetapi kenikmatan membuatnya mengerang lebih keras, payudaranya bergoyang, putingnya mengeras. Dia membayangkan Ardi bangkit, mengangkatnya, kakinya melingkar di pinggang Ardi, kontolnya masuk dalam posisi berdiri, setiap dorongan membuat payudaranya bergesekan dengan dada Ardi yang bidang.
“Pecahin memekku, Pak… aku nggak peduli dosa, aku cuma mau kontolmu!” desah Salma dalam imajinasinya, jari-jarinya menggosok klitorisnya dengan cepat, botol deodoran menghantam dalam.
Salma duduk di tepi wastafel, kakinya terbuka lebar, cermin memperlihatkan memeknya yang merah, basah, dan berdenyut. Dia mengambil sikat rambut dari meja, gagangnya panjang dan tebal, permukaannya bergerigi halus, membuat jantungnya berdegup. Dia mendorong gagang itu ke memeknya, rasanya keras dan asing, merentangkan dinding-dindingnya hingga nyeri, tetapi kenikmatan yang membanjiri membuatnya mengerang liar, bokongnya bergoyang di wastafel, cairannya menetes ke permukaan keramik.
“Kontolmu nggak cukup, Pak… aku mau lebih… hancurkan aku!” jerit Salma, gagang sikat bergerak cepat, bunyi basah bercampur erangannya.
Dalam fantasinya, Ardi menjepitnya di wastafel, kontolnya menghantam memeknya, tangannya meremas payudaranya, mulutnya mengisap putingnya hingga Salma menjerit. Dia membayangkan Ardi mengubah posisi, membawanya ke lantai kamar mandi, air shower membasahi mereka, Salma berbaring telentang, kakinya diangkat ke bahu Ardi, kontolnya masuk dengan sudut yang menghantam titik sensitifnya, setiap dorongan membuat bokongnya bergesek dengan ubin basah.
“Memekmu cuma buat aku, Salma! Bilang, bilang kamu pelacurku!” perintah Ardi, tangannya mencengkeram paha Salma, meninggalkan bekas merah.
“Ya, Pak… aku pelacurmu… memekku cuma buat kontolmu!” jerit Salma, tubuhnya bergetar dalam orgasme kedua, cairannya menyembur, membanjiri lantai, ubin licin oleh dosanya.
Salma tak puas, nafsunya seperti api neraka. Dia bangkit, berdiri di bawah shower, mengambil botol sampo dari rak, ujungnya bulat dan lebar, lebih besar dari deodoran. Dia mendorongnya masuk ke memeknya, rasanya seperti merobek dinding-dindingnya, tetapi kenikmatan membuatnya mengerang liar, kakinya gemetar, tangannya mencengkeram dinding. Dalam fantasinya, Ardi menjepitnya ke dinding, mengangkat satu kakinya, kontolnya masuk dari samping, menghantam klitorisnya setiap dorongan, tangannya mencekik leher Salma, membuatnya merasa seperti boneka nafsu.
“Memekmu ketagihan kontolku, ya? Kamu cuma budak nafsu sekarang!” bisik Ardi, kontolnya menghantam lebih dalam, cairannya membanjiri memek Salma.
“Ya, Pak… aku budakmu… jebol memekku sampai aku nggak bisa berdiri!” jerit Salma, botol sampo bergerak brutal, cairannya menyembur, membasahi dinding ubin.
Salma ambruk ke wastafel lagi, kakinya terbuka, cermin memperlihatkan memeknya yang membengkak, merah, dan basah. Dia mengambil gagang sikat lagi, kali ini mendorongnya lebih dalam, rasanya seperti menghukum dirinya sendiri, tetapi kenikmatan membuatnya mengerang liar, payudaranya bergoyang, putingnya mengeras. Dalam fantasinya, Ardi membawanya ke kamar mandi, meletakkannya di lantai, kakinya terbuka lebar, kontolnya masuk dengan dorongan cepat, tangannya meremas bokong Salma, menamparnya keras hingga meninggalkan bekas.
“Kamu nggak pantes berhijab, Salma! Kamu cuma jalang yang haus kontol!” bisik Ardi, kontolnya menghantam titik sensitif, membuat Salma menjerit.
“Ya, Pak… aku jalangmu… isi memekku sampai penuh!” jerit Salma, gagang sikat menghantam dalam, jari-jarinya menggosok klitorisnya, orgasme ketiga menyapu, cairannya menyembur ke cermin, meninggalkan noda dosa.
Salma tak berhenti, nafsunya seperti iblis yang tak pernah puas. Dia meraih botol deodoran lagi, kali ini menggunakannya bersama gagang sikat, mendorong keduanya bergantian ke memeknya, rasanya seperti merobek tubuhnya, tetapi kenikmatan membuatnya mengerang liar, bokongnya bergoyang, cairannya membanjiri wastafel. Dalam fantasinya, Ardi mengangkatnya, kakinya melingkar di pinggangnya, kontolnya masuk dengan dorongan brutal, tangannya mencengkeram rambut Salma, memaksanya menatap wajahnya yang penuh nafsu.
“Lupain Tuhanmu, Salma! Cuma kontolku yang kamu sembah sekarang!” bisik Ardi, kontolnya menghantam lebih dalam, cairannya membanjiri memek Salma.
“Ya, Pak… aku sembah kontolmu… setubuhi aku sampai aku mati!” jerit Salma, botol dan gagang sikat bergerak cepat, orgasme keempat menyapu, cairannya menyembur, membasahi cermin, kakinya ambruk.
Salma terengah-engah, tubuhnya lemas, botol dan gagang sikat tergeletak di lantai, basah oleh cairannya. Air shower masih mengalir, membasahi tubuhnya yang gemetar, air matanya mengalir, bercampur air dan kenikmatan.
“Ya Allah, aku kotor… aku nggak pantes hidup,” bisik Salma, suaranya penuh penyesalan, tetapi klitorisnya masih berdenyut, menuntut lebih.
Salma bangkit perlahan, mematikan air, membungkus tubuhnya dengan handuk, tetapi setiap langkah terasa berat, seperti membawa beban dosa yang baru dia tambah. Di kamar, Umar masih tertidur, wajahnya damai, tidak tahu istrinya baru menyerahkan pikirannya pada nafsu. Salma duduk di tepi ranjang, tangannya gemetar, mencoba berdoa, tetapi kata-kata itu hampa, seperti berbicara ke dinding. Ponselnya bergetar di meja samping, layarnya menyala, menampilkan nama yang membuat jantungnya berhenti: Ardi. Pesan singkatnya berbunyi, “Acara gala besok malam, Salma. Aku mau kamu datang. Kita bicara kerjasama… lebih lanjut.”
Salma menatap pesan itu, tangannya gemetar, hatinya terpecah antara rasa bersalah dan godaan baru yang memanggilnya. Dia memandang Umar, wajah suaminya yang polos, lalu ke ponsel, dan akhirnya ke cermin di sudut kamar, di mana pantulan dirinya—wanita berhijab yang suci di luar, tetapi penuh dosa di dalam—menatap balik dengan mata penuh rahasia. Salma menutup mata, air matanya mengalir, tetapi di sudut hatinya, ada kepuasan kecil, kontrak itu nyata, dan dia selangkah lebih dekat ke puncak.
Dia menggenggam ponsel, jari-jarinya mengetik balasan dengan satu kata, “Baik,” lalu mematikan layar, meletakkan ponsel dengan tangan gemetar. Salma melangkah ke jendela, membuka tirai, menatap langit malam yang kelam, bintang-bintang seolah mengetahui rahasianya. Di kejauhan, suara azan Subuh mulai bergema, memanggilnya kembali, tetapi Salma tahu, jalannya kini menuju jurang yang lebih dalam, dan dia tidak yakin bisa—atau ingin—berhenti.
ns3.15.34.228da2