Bab 1: Kekosongan
Cahaya pagi menyelinap melalui celah-celah jendela klinik, menerangi ruangan dengan lembut. Di sudut meja kerja yang rapi, Dr. Aisyah duduk dengan tenang, jari-jarinya yang ramping menelusuri catatan pasien di layar laptop. Jilbab putihnya tersemat sempurna, membingkai wajahnya yang lembut namun tegas. Matanya, cokelat tua dan dalam, tersembunyi di balik kacamata tipis berbingkai perak, memancarkan aura kecerdasan yang tajam. Usianya baru 32 tahun, tetapi ia telah menjadi salah satu andrologi terbaik di Jakarta, dikenal karena ketelitiannya menangani kasus-kasus sensitif tentang kesehatan pria.
Pagi ini, ia mengenakan blazer biru tua yang serasi dengan rok panjangnya, menonjolkan lekuk tubuhnya yang tersembunyi di balik pakaian yang sopan. Aisyah selalu berusaha tampil anggun dan profesional, sebuah perisai yang ia bangun untuk menyembunyikan kekosongan yang menggerogoti hatinya. Pernikahannya dengan Reza, seorang pebisnis sukses berusia 36 tahun, sudah lama kehilangan hangatnya nyala api. Sudah enam bulan sejak terakhir kali mereka berbagi ranjang, dan bahkan saat itu, sentuhan Reza terasa dingin, seperti kewajiban yang dipenuhi dengan setengah hati.
Rumah mewah mereka di pinggiran kota, dengan dinding-dinding kaca dan perabotan mahal, terasa lebih seperti museum daripada tempat tinggal. Malam demi malam, Aisyah duduk sendirian di sofa kulit yang dingin, menatap jam dinding yang berdetak lambat, menunggu Reza yang selalu pulang larut—jika ia pulang sama sekali. Teleponnya sering kali hanya membawa pesan singkat: “Meeting sampai malam,” atau “Ada urusan di luar kota.” Aisyah mencoba memahami, mencoba menjadi istri yang sabar, tetapi di dalam dadanya, ada hasrat yang terpenjara, bergetar liar, mencari jalan keluar.
Klinik adalah pelariannya. Di sini, ia bisa melupakan sejenak kehampaan itu. Di sini, ia adalah Dr. Aisyah, dokter yang disegani, bukan wanita yang ditinggalkan suaminya dalam sunyi. Namun, pekerjaannya juga menjadi pedang bermata dua. Setiap hari, ia menyentuh tubuh pria, memeriksa organ paling intim mereka dengan tangan yang terlatih dan mata yang penuh konsentrasi. Awalnya, itu hanyalah rutinitas—klinis, mekanis, tanpa emosi. Tapi belakangan, ada sesuatu yang berubah. Sentuhan yang seharusnya biasa kini meninggalkan jejak panas di ujung jarinya, dan napasnya sering kali tersendat saat ia berusaha menjaga wajahnya tetap tenang.
Pagi itu, klinik terasa lebih sepi dari biasanya. Resepsionis hanya mencatat satu janji temu untuk pukul 10, dan Aisyah memanfaatkan waktu untuk menyesap teh hijau dari cangkir porselen putih. Aroma daun teh yang lembut menguar, mencoba menenangkan sarafnya yang tanpa ia sadari mulai tegang. Ia melirik jam dinding—pukul 09:55. Pasiennya, seorang pria bernama Arga, akan segera tiba. Dari catatan, ia tahu Arga berusia 28 tahun, seorang atlet yang datang untuk konsultasi setelah cedera ringan saat latihan. Tidak ada yang istimewa, pikirnya, hanya pemeriksaan rutin.
Tepat saat jarum jam menyentuh angka 10, pintu ruang konsultasi terbuka perlahan. Aisyah mendongak, dan untuk sesaat, napasnya tertahan. Seorang pria tinggi berdiri di ambang pintu, tubuhnya tegap dengan otot-otot yang terlihat jelas di balik kaos olahraga hitam yang membungkusnya erat. Kulitnya kecokelatan, mengkilap seolah baru saja selesai berlari di bawah matahari. Rambutnya pendek, sedikit berantakan, dan senyumnya—oh, senyum itu—terlihat ramah namun menyimpan kilau nakal yang sulit diabaikan.
“Selamat pagi, Dokter,” sapanya dengan suara yang dalam, sedikit bergetar seperti gemuruh halus di kejauhan.
Aisyah menarik napas dalam-dalam, berusaha menjaga sikapnya tetap tenang. “Selamat pagi, Pak Arga. Silakan duduk,” jawabnya, tangannya menunjuk kursi di depan meja dengan gerakan yang sedikit kaku.
Arga melangkah masuk, gerakannya lentur seperti seekor macan yang sedang mengintai. Ia duduk dengan santai, kaki panjangnya terbuka sedikit lebar, dan matanya tak lepas dari wajah Aisyah. “Terima kasih sudah menerima saya, Dokter. Saya dengar Anda ahli nomor satu soal... masalah pria,” katanya, nada suaranya penuh percaya diri, dengan sedikit sentuhan genit yang membuat Aisyah merasa ada sesuatu yang menggelitik di perutnya.
Ia tersenyum tipis, mencoba mengabaikan nada itu. “Saya akan berusaha membantu Anda sebaik mungkin, Pak Arga. Mari kita mulai dengan riwayat medis Anda. Apa keluhan utamanya?”
Arga mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, siku-sikunya bertumpu pada lutut. “Saya atlet, Dokter. Minggu lalu, saya jatuh saat latihan, dan rasanya agak... tidak nyaman di bagian bawah. Saya cuma mau pastikan semuanya baik-baik saja.”
Aisyah mengangguk, mengetik beberapa catatan di laptopnya. “Cedera seperti apa? Ada nyeri atau pembengkakan?”
“Tidak terlalu nyeri, sih. Cuma ada rasa aneh, kayak... kencang gitu. Mungkin saya paranoid, tapi saya pikir lebih baik diperiksa sama ahlinya,” jawab Arga, matanya menatap lurus ke arah Aisyah, seolah mencoba membaca sesuatu di balik ekspresi tenangnya.
Percakapan berlanjut beberapa menit, dan Aisyah berusaha fokus pada kata-kata Arga. Tapi ada sesuatu dalam caranya bicara—intonasi yang santai namun penuh sugesti, tatapan yang tajam namun hangat—yang membuat konsentrasinya goyah. Ia merasa seperti sedang diuji, dan ia benci mengakui bahwa ada bagian kecil dalam dirinya yang menikmati perhatian itu.
“Baik, Pak Arga. Saya perlu melakukan pemeriksaan fisik untuk memastikan tidak ada masalah serius. Silakan ikut saya ke ruang pemeriksaan,” kata Aisyah, bangkit dari kursinya dengan gerakan yang anggun namun sedikit terburu-buru.
Arga mengangguk dan mengikuti langkahnya. Ruang pemeriksaan berada di samping ruang konsultasi, kecil namun steril, dengan tempat tidur berlapis kain putih dan lampu sorot di atasnya. “Silakan berbaring di sini,” instruksi Aisyah, tangannya menunjuk tempat tidur sambil ia mengambil sarung tangan lateks dari kotak di meja kecil.
Arga mematuhi, merebahkan tubuhnya dengan santai. Kaosnya sedikit tersingkap saat ia berbaring, memperlihatkan garis otot perut yang terpahat rapi di bawah kulitnya yang kecokelatan. Aisyah menarik napas dalam-dalam, berusaha menjaga pikirannya tetap jernih. Ia mengenakan sarung tangan, lateks itu membungkus jari-jarinya dengan erat, dan mendekati Arga.
“Dokter, boleh tanya sesuatu?” suara Arga memecah keheningan saat Aisyah berdiri di sampingnya.
“Tentu, apa itu?” jawabnya, tangannya mulai mengatur posisi untuk memulai pemeriksaan.
“Apa Dokter nggak pernah bosen? Maksud saya, lihat dan pegang... bagian orang lain setiap hari?” tanyanya, nada suaranya polos tapi ada senyum kecil di sudut bibirnya yang membuat Aisyah tahu itu bukan pertanyaan polos.
Ia menelan ludah, berusaha menjaga wajahnya tetap netral. “Ini pekerjaan saya, Pak Arga. Saya dilatih untuk profesional,” jawabnya singkat, tapi ada getar kecil di ujung kalimatnya yang ia harap Arga tak perhatikan.
Arga terkekeh pelan. “Saya cuma bilang, Dokter beruntung punya tangan yang lembut. Pasti banyak pasien yang ngerasa nyaman.”
Aisyah merasa pipinya memanas, tapi ia tak menjawab. Dengan hati-hati, ia mulai memeriksa area genital Arga. Jari-jarinya, terbungkus lateks, menyentuh kulitnya yang hangat, dan saat itulah dunia seolah berhenti berputar. Kulit Arga terasa kenyal di bawah sentuhannya, dan ada aroma samar keringat segar yang tercium, bercampur dengan wangi sabun mandi yang maskulin. Aisyah berusaha fokus, menelusuri setiap inci dengan gerakan yang terukur, tapi jantungnya berdetak lebih cepat, mengirimkan darah yang berdesir ke telinganya.
“Apakah ini sakit?” tanyanya, suaranya sedikit serak tanpa ia sadari.
Arga menggeliat pelan, napasnya terdengar sedikit lebih berat. “Nggak sakit, Dokter. Malah... enak banget,” jawabnya, suaranya rendah dan penuh makna.
Aisyah tersentak dalam hati, tapi tangannya tak berhenti. Jari-jarinya meluncur lembut, menekan dengan hati-hati untuk memeriksa adanya ketegangan atau cedera. Kulit Arga terasa hidup di bawah sentuhannya, hangat dan berdenyut, dan tanpa ia sadari, gerakannya melambat, seolah ingin memperpanjang momen itu. Napas Arga semakin tersengal, dadanya naik-turun dengan ritme yang tak beraturan, dan Aisyah bisa merasakan panas yang menjalar dari ujung jarinya ke seluruh tubuhnya.
“Dokter, tangan Anda bener-bener... luar biasa,” gumam Arga, matanya setengah terpejam, menatap Aisyah dengan pandangan yang penuh lapar.
Aisyah menarik tangannya sejenak, berusaha menenangkan diri. “Saya cuma melakukan pemeriksaan, Pak Arga,” katanya cepat, tapi suaranya gemetar, mengkhianati ketenangan yang ia coba pertahankan.
Arga tersenyum, senyum yang licik dan penuh godaan. “Saya tahu, Dokter. Tapi nggak semua dokter punya sentuhan kayak gini. Saya bisa ngerasa... bedanya.”
Wajah Aisyah terbakar, dan ia bisa merasakan jilbabnya seolah menempel lebih erat di kulitnya yang memanas. Ia kembali melanjutkan pemeriksaan, kali ini dengan tangan yang sedikit bergetar. Jari-jarinya menyelinap di antara lipatan kulit Arga, menekan lembut, dan setiap sentuhan seolah membakar sesuatu dalam dirinya. Ia bisa merasakan tekstur kulitnya, hangat dan sedikit lembap, dan ada denyutan halus yang membuat darahnya berdesir lebih kencang.
Arga menghela napas panjang, suaranya bergetar penuh kenikmatan. “Dokter, apa semua pasien Anda ngerasa gini pas diperiksa?”
Aisyah menutup mata sejenak, mencoba mengusir gambar-gambar liar yang mulai muncul di benaknya. “Pak Arga, saya harap Anda bisa diam supaya saya bisa fokus,” jawabnya, nada suaranya tegas tapi ada kelemahan yang tak bisa ia sembunyikan.
“Maaf, Dokter. Susah konsentrasi kalo yang megang secantik Anda,” balas Arga, suaranya penuh canda tapi ada kejujuran yang membuat Aisyah merasa telanjang di bawah tatapannya.
Pemeriksaan akhirnya selesai, dan Aisyah mundur beberapa langkah, menarik napas dalam-dalam. “Tidak ada masalah serius, Pak Arga. Saya akan resepkan obat untuk pemulihan. Silakan buat janji lagi kalau ada keluhan,” katanya, berusaha kembali ke nada profesionalnya.
Arga bangkit dari tempat tidur, tubuhnya menjulang di depan Aisyah. “Terima kasih, Dokter. Saya pasti balik lagi. Nggak sabar buat diperiksa sama Anda,” katanya, matanya berkilat penuh janji yang tak terucap.
Setelah Arga pergi, Aisyah duduk di kursinya, tangannya masih gemetar saat ia melepas sarung tangan. Ia bisa merasakan sisa panas dari sentuhan itu, seperti bara yang menyala di ujung jarinya. Apa yang baru saja terjadi? Mengapa ia merasa begitu terguncang hanya oleh pemeriksaan biasa?
Malam itu, ia pulang ke rumah yang sepi. Reza belum pulang, seperti biasanya. Aisyah menyiapkan makan malam sederhana—sayuran tumis dan nasi merah—dan duduk sendirian di meja makan. Pikirannya terus kembali ke Arga, ke kulitnya yang hangat, ke napasnya yang tersengal, ke tatapannya yang membakar. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan membaca jurnal medis, tapi kata-kata itu hanya melayang tanpa makna.
Akhirnya, ia memutuskan untuk mandi. Di kamar mandi, air hangat mengalir membasahi tubuhnya, dan tanpa sadar, tangannya mulai bergerak, menelusuri lekuk pinggangnya sendiri. Ia membayangkan tangan Arga di sana, jari-jari kuat yang mencengkeram kulitnya, menariknya lebih dekat. Aisyah menggigit bibirnya, mencoba menahan desahan yang hampir lolos dari tenggorokannya. Air itu membelai tubuhnya seperti sentuhan kekasih, dan ia membayangkan Arga berdiri di belakangnya, bibirnya menyusuri lehernya, giginya menggigit lembut kulitnya yang basah.
Ia tersentak, tangannya berhenti. Apa yang ia lakukan? Ini salah. Ia sudah menikah. Tapi tubuhnya tak mau mendengar, hasrat itu terus berdenyut, menuntut pelepasan. Aisyah keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang masih bergetar, mengenakan piyama sutra yang terasa terlalu lembut di kulitnya yang sensitif.
Di ranjang, ia berbaring sendirian, menatap plafon dengan tatapan kosong. Reza mungkin tak akan pulang malam ini. Dalam kegelapan, Aisyah merasa terjebak antara kesetiaan dan keinginan yang membakar. Ia menutup mata, dan dalam tidurnya, ia bermimpi tentang Arga—tentang tangannya yang kuat, napasnya yang panas, dan tubuhnya yang menekan tubuhnya dengan penuh nafsu.
59Please respect copyright.PENANA8iU1iWjEop
59Please respect copyright.PENANABUnsHCHo5s
59Please respect copyright.PENANAOBCY1QKP8h
Bab 2: Godaan Pertama
Cahaya senja menyelinap melalui celah-celah jendela klinik, menyiram ruangan dengan warna oranye yang hangat dan lembut, seperti selimut yang mencoba meredakan kegelisahan di hati Aisyah. Ia duduk di kursi kerjanya, jari-jari rampingnya menari di atas keyboard laptop, menelusuri catatan pasien dengan gerakan yang mekanis namun penuh konsentrasi. Jilbab biru laut yang membingkai wajahnya tersemat rapi, menonjolkan garis rahangnya yang lembut dan mata cokelatnya yang dalam. Namun, di balik kerapian itu, ada bayang kelelahan yang tak bisa disembunyikan—bukan karena pekerjaan, melainkan karena kekosongan yang menggerogoti jiwanya.
Sejak pemeriksaan Arga beberapa hari lalu, pikiran Aisyah seperti terperangkap dalam pusaran yang tak terkendali. Sentuhan kulitnya yang hangat dan berotot di bawah telapak tangannya, napasnya yang tersengal saat ia memeriksanya, dan tatapan mata yang penuh godaan—semuanya terus menghantui seperti bayangan yang menolak pergi. Ia mencoba mengusir ingatan itu, mengingatkan diri bahwa ia dokter, profesional, istri yang setia. Tapi hasrat yang terbangun itu seperti bara kecil yang diam-diam menyala, menunggu angin untuk membuatnya berkobar.
Hari ini, klinik terasa lebih hidup dari biasanya. Dua pasien baru dijadwalkan untuk konsultasi: Dimas, seorang eksekutif berusia 35 tahun yang katanya punya karisma tersendiri, dan Ryan, mahasiswa kedokteran berusia 25 tahun yang sedang magang di klinik ini. Aisyah berusaha menenggelamkan diri dalam rutinitas, mencatat keluhan pasien, memeriksa tanda vital, dan memberikan saran medis. Tapi ada getaran halus di dadanya, sebuah kegelisahan yang tak bisa ia jelaskan. Ia tahu batasan itu ada, tapi kesepian dalam pernikahannya dengan Reza seperti lubang hitam yang perlahan menariknya ke dalam.
Reza, suaminya, semakin menjauh. Sudah berbulan-bulan ia pulang larut, meninggalkan Aisyah sendirian di rumah yang terasa seperti museum—dingin, sunyi, dan penuh kenangan yang mulai memudar. Pesan-pesan singkatnya selalu sama: "Ada rapat penting," "Urusan mendadak," atau "Tidur duluan, ya." Aisyah mencoba bersabar, mencoba memahami tuntutan pekerjaan suaminya sebagai pebisnis. Tapi di malam-malam yang sepi, ia merindukan lebih dari sekadar kehadiran—ia merindukan sentuhan, kehangatan, dan gairah yang sudah lama terkubur dalam pernikahan mereka.
Pukul sepuluh pagi, pintu ruang konsultasi terbuka dengan derit pelan. Aisyah mendongak dari layar laptopnya, dan pandangannya bertemu dengan seorang pria yang melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Dimas. Ia mengenakan setelan jas abu-abu yang dipotong sempurna, menonjolkan bahunya yang lebar dan pinggangnya yang ramping. Dasi merah marun bergoyang lembut di dadanya, kontras dengan kemeja putih yang bersih. Rambutnya disisir rapi ke belakang, memperlihatkan dahi yang tinggi dan mata cokelat tua yang tajam namun hangat. Senyumnya melengkung sopan, tapi ada kilau di matanya yang membuat jantung Aisyah berdetak lebih cepat—seperti ia bisa melihat jauh ke dalam dirinya, melewati lapisan profesionalisme yang ia kenakan seperti perisai.
"Selamat pagi, Dokter Aisyah," sapanya dengan suara yang dalam dan bergetar lembut, seperti nada cello yang mengalun pelan. "Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk saya."
Aisyah membalas dengan senyum tipis, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil. "Selamat pagi, Pak Dimas. Silakan duduk," katanya, tangannya menunjuk kursi kayu beralas kulit di depan meja dengan gerakan yang terkendali.
Dimas melangkah mendekat dan duduk dengan elegan, kaki panjangnya bersilang di pergelangan, tangannya bertumpu santai di paha. Matanya tak pernah lepas dari wajah Aisyah, menelusuri garis jilbabnya, turun ke lekuk bibirnya yang penuh, lalu kembali ke matanya. "Saya mendengar banyak pujian tentang Anda, Dokter," katanya, suaranya penuh penghargaan. "Katanya Anda sangat teliti, penuh perhatian. Saya merasa beruntung bisa bertemu Anda hari ini."
Pipi Aisyah terasa hangat, tapi ia buru-buru mengalihkan pandangan ke layar laptop, berpura-pura sibuk. "Terima kasih, Pak Dimas. Saya hanya melakukan apa yang menjadi tugas saya. Apa yang bisa saya bantu hari ini?" tanyanya, jari-jarinya mulai mengetik tanpa tujuan, hanya untuk menyembunyikan kegugupan yang mulai merayap.
Dimas mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, siku-sikunya bertumpu pada lutut, membuat jarak di antara mereka terasa menyusut. "Saya mengalami beberapa keluhan kecil, Dokter. Tidak terlalu serius, tapi saya ingin memastikan semuanya baik-baik saja. Pekerjaan saya sebagai eksekutif cukup menekan, dan saya khawatir stres ini mulai memengaruhi tubuh saya."
Aisyah mengangguk, matanya kini fokus pada layar saat ia mencatat. "Stres memang bisa berdampak pada banyak hal, termasuk kesehatan reproduksi. Mari kita mulai dengan riwayat medis Anda. Apa saja yang Anda rasakan akhir-akhir ini?"
Percakapan mengalir dengan lancar, Dimas menjelaskan keluhannya dengan nada yang tenang dan terkendali—sesak napas ringan, ketegangan otot, dan sesekali rasa tidak nyaman di area panggul. Aisyah mendengarkan, mencatat setiap detail, tapi ada sesuatu dalam cara Dimas bicara yang membuatnya sulit fokus sepenuhnya. Intonasinya lembut namun penuh kekuatan, seperti bisikan yang menggoda tanpa terang-terangan. Tatapannya hangat, tapi ada pijar di dalamnya yang membuat Aisyah merasa seperti sedang ditelanjangi perlahan, lapis demi lapis.
Setelah selesai dengan riwayat medis, Aisyah bangkit dari kursinya, jilbabnya bergoyang lembut mengikuti gerakannya. "Saya perlu melakukan pemeriksaan fisik, Pak Dimas. Silakan ikut saya ke ruang pemeriksaan," katanya, suaranya tetap datar meski jantungnya mulai berdegup lebih kencang.
Dimas mengangguk dan mengikuti langkahnya dengan tenang. Di ruang pemeriksaan, ia melepas jasnya dengan gerakan yang terlatih, menggantungkannya di dinding, lalu berbaring di tempat tidur pemeriksaan dengan santai. Tubuhnya terlihat ramping namun tegap di balik kemeja putih yang sedikit ketat, menonjolkan garis otot di dadanya. Aisyah mengambil sarung tangan lateks dari kotak di meja, lateks itu membungkus jari-jarinya seperti kulit kedua, dan mendekati Dimas dengan langkah yang hati-hati.
Saat tangannya mulai menyentuh area panggul Dimas, Aisyah merasakan getaran kecil yang menjalar dari ujung jarinya, seperti arus listrik yang lembut namun mengguncang. Kulit Dimas terasa hangat dan halus di bawah sentuhannya, ada aroma samar parfum kayu yang mahal bercampur dengan wangi alami tubuhnya—maskulin, memabukkan. Jari-jarinya bergerak perlahan, menelusuri garis pinggulnya, menekan lembut untuk memeriksa ketegangan otot. Tapi tanpa ia sadari, gerakannya melambat, seperti terhipnotis oleh tekstur kulit yang hidup di bawah telapaknya.
"Dokter, tangan Anda benar-benar lembut," gumam Dimas, suaranya rendah dan penuh kehangatan, seperti hembusan angin yang membelai telinga. "Saya belum pernah merasa begitu rileks saat diperiksa."
Aisyah tersentak dalam hati, tapi tangannya terus bergerak, meluncur dengan hati-hati di atas kulit yang hangat itu. Jari-jarinya menekan lebih dalam, merasakan denyut halus di bawah permukaan, dan ia bisa mendengar napas Dimas yang sedikit lebih berat, seperti ia menikmati setiap detik dari sentuhan itu. "Apakah ini sakit?" tanyanya, suaranya terdengar serak meski ia berusaha menyembunyikannya.
Dimas menggeliat pelan, tubuhnya bergeser sedikit di atas ranjang, membuat kemejanya sedikit terangkat dan memperlihatkan garis perutnya yang rata. "Tidak sakit, Dokter," jawabnya, suaranya mengalir seperti madu. "Malah... sangat menyenangkan. Anda punya cara sendiri untuk membuat pasien merasa diperhatikan."
Wajah Aisyah memanas, dan ia bisa merasakan darah berdesir ke telinganya. "Saya hanya melakukan pemeriksaan, Pak Dimas," katanya cepat, tapi nada suaranya goyah, seperti daun yang bergoyang di ujung angin. Ia menarik tangannya sejenak, berusaha mengatur napas, tapi Dimas hanya tersenyum—senyum yang lembut, penuh pengertian, namun juga penuh janji yang tak terucap.
Pemeriksaan akhirnya selesai, dan Aisyah mundur beberapa langkah, tangannya masih gemetar saat ia melepas sarung tangan. Lateks itu terlepas dengan suara kecil yang renyah, tapi panas dari sentuhan Dimas masih terasa di ujung jarinya, seperti sisa api yang menolak padam. "Tidak ada masalah serius, Pak Dimas," katanya, berusaha kembali ke nada profesionalnya. "Saya akan resepkan obat untuk mengurangi stres. Silakan buat janji lagi kalau ada keluhan."
Dimas bangkit dari ranjang, tubuhnya menjulang di depan Aisyah, lebih dekat dari yang ia perkirakan. Ia mengambil jasnya dan mengenakannya kembali dengan gerakan yang anggun. "Terima kasih, Dokter," katanya, matanya berkilat seperti permata di bawah cahaya lampu. "Saya pasti akan kembali. Anda membuat saya merasa jauh lebih baik—lebih dari yang saya harapkan."
Setelah Dimas pergi, Aisyah kembali ke kursinya, tubuhnya terasa lelet seperti terbungkus kabut. Ia menatap tangannya yang kini kosong, masih bisa merasakan hangatnya kulit Dimas, denyutnya yang halus, dan aroma samar yang tertinggal di udara. Apa yang baru saja terjadi? Mengapa jantungnya berdegup seperti drum yang tak terkendali hanya karena pemeriksaan biasa?
Malam itu, Aisyah pulang ke rumah yang sepi. Reza belum pulang, seperti biasa. Ia menyiapkan makan malam sederhana—nasi putih, sayur bayam, dan ikan goreng—tapi hanya memandangi piringnya tanpa selera. Pikirannya terus kembali ke Dimas, ke kulitnya yang halus seperti sutra, ke napasnya yang tersengal, ke tatapannya yang seperti menjanjikan sesuatu yang terlarang. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan membaca jurnal medis, tapi kata-kata itu hanya melayang seperti asap, tak meninggalkan jejak.
Akhirnya, ia memutuskan untuk mandi, berharap air bisa mencuci semua pikiran kotor yang berputar di kepalanya. Di kamar mandi, air hangat mengalir dari pancuran, membasahi jilbabnya yang ia lepaskan perlahan, lalu menelusuri kulitnya yang pucat dan lembut. Uap mengepul di udara, mengaburkan cermin, dan Aisyah berdiri di bawah aliran air, membiarkan panas itu membelai tubuhnya. Tanpa sadar, tangannya mulai bergerak, menelusuri lekuk pinggangnya yang ramping, lalu naik ke bukit dadanya yang penuh, jari-jarinya menyentuh kulit yang sensitif dengan gerakan yang ragu namun penuh keinginan.
Ia membayangkan Dimas di sana, berdiri di belakangnya, tangannya yang kuat mencengkeram pinggulnya, menariknya hingga punggungnya menempel pada dada pria itu. Aisyah bisa merasakan imajinasi itu begitu nyata—jari-jari Dimas yang panjang dan terampil meluncur di atas kulitnya yang basah, menekan lembut di bawah pusarnya, lalu turun lebih jauh, menyelinap ke tempat yang paling tersembunyi. Napasnya tersengal, air membasahi bibirnya yang terbuka, dan ia membayangkan bibir Dimas menyusuri lehernya, giginya menggigit kulitnya dengan lembut namun penuh kekuatan, meninggalkan jejak merah yang membakar.
Tangan Aisyah bergerak lebih cepat sekarang, jari-jarinya meluncur di antara paha, menemukan titik yang membuat tubuhnya menegang. Air hangat membelai kulitnya seperti sentuhan kekasih, dan dalam pikirannya, Dimas berbisik di telinganya, suaranya rendah dan penuh gairah, "Kamu begitu indah, Dokter. Biarkan aku menyentuhmu lebih dalam." Ia membayangkan tubuh Dimas menekan tubuhnya, kulit mereka saling bergesekan dalam ritme yang lambat namun penuh kekuatan, keringat bercampur dengan air yang mengalir, dan desahan yang lolos dari tenggorokannya teredam oleh gemericik pancuran.
Tubuhnya mulai bergetar, kakinya melemah, dan ia bersandar pada dinding ubin yang dingin untuk menahan diri. Dalam imajinasinya, Dimas mengangkat salah satu kakinya, meletakkannya di pinggir bak, membukanya lebar agar ia bisa menjelajahi lebih dalam. Jari-jarinya digantikan oleh sesuatu yang lebih besar, lebih hangat, dan Aisyah membayangkan Dimas mendorong dirinya masuk dengan gerakan yang tegas namun penuh perhatian, mengisi setiap ruang dalam dirinya hingga ia merasa penuh, utuh, hidup. Ritmenya semakin cepat, air membasahi rambutnya yang terlepas, dan ia bisa mendengar suara Dimas yang parau, "Rasakan aku, Aisyah. Ini yang kamu inginkan, bukan?"
Klimaks itu datang seperti gelombang yang menghantam, membuat tubuhnya menegang dan melengkung, jari-jarinya mencengkeram ubin hingga sendinya memutih. Desahan kecil lolos dari bibirnya, tenggelam dalam suara air yang terus mengalir, dan ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kenikmatan itu, meski hanya dalam pikiran. Tapi saat gelombang itu reda, ia tersentak, tangannya berhenti, dan kesadaran menyelinap masuk seperti pisau dingin. Apa yang ia lakukan? Ini salah. Ia sudah menikah. Tubuhnya masih bergetar, tapi hatinya dipenuhi rasa bersalah yang pahit.
Aisyah keluar dari kamar mandi dengan langkah yang lelet, mengenakan piyama sutra yang terasa terlalu lembut di kulitnya yang masih sensitif. Rambutnya basah menempel di pundak, dan ia bisa merasakan sisa panas dari fantasinya tadi, seperti bayangan yang menempel di tubuhnya. Di ranjang, ia berbaring sendirian, menatap plafon dengan mata kosong. Reza mungkin tak akan pulang malam ini, seperti biasa. Dalam kegelapan, ia merasa terperangkap antara kesetiaan yang rapuh dan hasrat yang membakar seperti lava di bawah permukaan.
Ia menutup mata, berharap tidur bisa menghapus semua pikiran itu. Tapi dalam mimpinya, Dimas muncul lagi—tangan-tangannya yang kuat mencengkeram pinggangnya, napasnya yang panas membakar lehernya, dan tubuhnya yang menekan tubuhnya dengan penuh nafsu. Dalam tidurnya, Aisyah menyerah, membiarkan dirinya tenggelam dalam godaan yang ia tahu akan terus mengejar, seperti bayangan yang tak pernah benar-benar pergi.
Malam itu berlalu dengan sunyi, tapi di dalam dirinya, ada badai yang mulai terbentuk—badai yang akan mengubah segalanya.
59Please respect copyright.PENANAPjVRjM1tnc
59Please respect copyright.PENANA0tbP9OjgbS
59Please respect copyright.PENANAGS3DRicIQa
Bab 3: Batas yang Goyah
Cahaya matahari siang menyelinap masuk melalui celah-celah jendela klinik, membentuk garis-garis keemasan yang lembut di lantai keramik putih. Ruangan itu terasa hangat, udara bercampur dengan aroma antiseptik dan sedikit wangi bunga melati dari diffuser di sudut meja resepsionis. Dr. Aisyah duduk di balik meja kerjanya, tubuhnya tegak namun ada ketegangan halus yang tersirat di pundaknya yang ramping. Jilbab krem yang ia kenakan hari ini tersemat rapi dengan peniti kecil berhias mutiara, membingkai wajahnya yang oval dengan sempurna. Rambutnya yang tersembunyi di balik kain itu pasti hitam pekat, tapi sorot matanya—cokelat tua dan tajam di balik kacamata tipis—mencuri perhatian siapa saja yang berani menatapnya terlalu lama. Jari-jarinya yang lentik menari di atas keyboard laptop, menelusuri catatan pasien dengan gerakan yang terlatih, namun pikirannya melayang jauh dari deretan kata-kata klinis di layar.
Sudah dua minggu sejak pemeriksaan pertama Arga, dan bayangan pria itu seolah menempel di setiap sudut benaknya. Aisyah mencoba mengubur ingatan itu—sentuhan kulitnya yang hangat, tatapan yang penuh makna, dan suara rendah yang menggetarkan udara. Ia membenci dirinya sendiri karena tak bisa lepas dari bayang-bayang itu, tapi kesepian dalam pernikahannya dengan Reza seperti lubang hitam yang menelan setiap usahanya untuk kembali waras. Reza, suaminya yang selalu sibuk, meninggalkan rumah mereka dalam keheningan yang dingin. Sudah berbulan-bulan ia tak merasakan sentuhan penuh hasrat, dan klinik ini—tempat ia menangani organ intim pasien setiap hari—malah menjadi pengingat konstan akan kekosongan yang menganga di hatinya.
Hari ini, Arga dijadwalkan untuk konsultasi lanjutan. Jam di dinding menunjukkan pukul 10:55, dan Aisyah bisa merasakan jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia menarik napas dalam, mencium aroma kopi yang ia seduh tadi pagi—pahit dan sedikit manis—berusaha menenangkan diri. “Aku dokter. Aku profesional,” gumamnya dalam hati, tapi ada bisikan lain yang lebih gelap, lebih liar, yang berharap sesuatu akan terjadi hari ini. Ia membenci bisikan itu, tapi tak bisa menyangkal keberadaannya.
Pukul sebelas tepat, pintu ruang konsultasi terbuka dengan derit pelan. Arga melangkah masuk, membawa serta aura yang seolah mengubah udara di ruangan menjadi lebih tebal, lebih berat. Tubuhnya yang tinggi dan atletis terlihat mencolok dalam kaos olahraga hitam yang membungkus otot-ototnya dengan ketat, menonjolkan lekuk dada dan lengan yang terpahat sempurna. Celana pendek abu-abu yang ia kenakan memperlihatkan kaki yang kokoh, urat-urat halus terlihat di bawah kulitnya yang kecokelatan. Rambutnya yang sedikit berantakan, basah oleh keringat tipis, menambah kesan liar yang sulit diabaikan. Dan senyumnya—senyum nakal yang penuh janji—mendarat di wajah Aisyah seperti pukulan lembut yang membuat napasnya tersendat.
“Selamat siang, Dokter,” sapanya dengan suara yang dalam, resonansinya menggema di ruangan kecil itu seperti dentuman drum yang pelan namun menggetarkan.
Aisyah menarik napas, berusaha menjaga wajahnya tetap netral. “Selamat siang, Pak Arga. Silakan duduk,” jawabnya, tangannya menunjuk kursi di depan meja dengan gerakan yang sedikit kaku, seperti boneka yang dikendalikan tali. Ia bisa merasakan telapak tangannya mulai berkeringat di bawah meja, dan ia menggenggam pulpen lebih erat untuk menyembunyikan tremor kecil itu.
Arga duduk dengan santai, kaki panjangnya terbuka lebar dalam posisi yang penuh percaya diri, hampir menantang. Matanya tak pernah lepas dari wajah Aisyah, menelusuri setiap inci ekspresinya dengan tatapan yang terlalu intens, terlalu dalam. “Gimana kabarnya, Dokter? Semoga nggak keberatan saya datang lagi,” katanya, nada suaranya penuh kehangatan tapi ada sentuhan genit yang mengambang di ujung kalimatnya, seperti madu yang dicampur racun.
Aisyah tersenyum tipis, bibirnya yang penuh tertarik secuil saja. “Tentu tidak, Pak Arga. Ini tugas saya. Bagaimana kondisi Anda? Ada keluhan lain?” tanyanya, jari-jarinya mulai mengetik di laptop dengan gerakan mekanis, berusaha menciptakan dinding antara dirinya dan pria di depannya. Tapi ia bisa merasakan panas yang mulai naik ke pipinya, tersembunyi di balik jilbab yang tiba-tiba terasa terlalu ketat.
Arga mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, siku-sikunya bertumpu pada lutut, membawa wajahnya lebih dekat ke arah Aisyah. “Sebenarnya, saya merasa jauh lebih baik setelah pemeriksaan terakhir. Tangan Anda ajaib, Dokter,” katanya, matanya berkilat nakal. “Tapi ada sesuatu yang ingin saya tanyakan.”
Aisyah mengangguk, menelan ludah yang terasa kering di tenggorokannya. “Silakan, apa yang ingin Anda tanyakan?” suaranya stabil, tapi ada getar kecil yang tak bisa ia kendalikan.
Arga tersenyum, sudut bibirnya terangkat dalam lengkung yang licik. “Saya penasaran, Dokter. Apa yang bikin Anda pilih jadi andrologi? Maksud saya, pekerjaan ini kan... unik. Pasti sering ketemu momen yang bikin hati bergetar, ya?” Nada suaranya santai, tapi ada tusukan halus di dalamnya, seperti jarum yang menusuk tepat di titik lemah.
Wajah Aisyah memanas, dan ia bisa merasakan darah berdesir di bawah kulitnya. “Saya tertarik membantu pasien yang sering merasa malu untuk berobat. Ini soal komitmen, bukan sensasi,” jawabnya, suaranya tegas tapi ada nada defensif yang tak sengaja lolos. Ia menatap layar laptop, berusaha menghindari mata Arga yang seolah bisa menembus jiwanya.
Arga mengangguk pelan, tapi matanya tak berhenti menari di wajah Aisyah. “Komitmen, ya? Tapi Anda manusia, Dokter. Pasti ada kalanya Anda ngerasa... tergoda. Atau saya salah?” Ia mencondongkan tubuhnya lebih jauh lagi, dan Aisyah bisa mencium aroma samar keringat segar bercampur wangi kayu dari parfumnya.
Jantung Aisyah berdetak kencang, seperti burung yang terperangkap dalam sangkar kecil. “Saya profesional, Pak Arga. Pekerjaan saya tidak dipengaruhi oleh hal-hal seperti itu,” katanya, tapi suaranya terdengar rapuh, seperti kaca yang hampir retak. Ia menggigit bibir dalamnya, berusaha menahan gelombang panas yang mulai menyebar di dadanya.
Arga terkekeh pelan, suaranya rendah dan menggoda. “Saya nggak ragu Anda profesional, Dokter. Tapi saya cuma bilang apa adanya—Anda wanita yang memikat. Jilbab itu malah bikin Anda tambah misterius, tambah... menawan.” Matanya menyipit, menatap Aisyah dengan tatapan yang penuh lapar, seperti serigala yang mengintai mangsa.
Aisyah tersentak dalam hati, napasnya tersengal sejenak. Ia bangkit dari kursinya, berusaha mengalihkan percakapan sebelum keadaan menjadi tak terkendali. “Mari kita lanjutkan dengan pemeriksaan fisik, Pak Arga. Silakan ikut saya ke ruang pemeriksaan,” katanya, suaranya sedikit serak, seperti benang yang hampir putus.
Arga mengangguk dan bangkit, mengikuti langkah Aisyah dengan santai. Di ruang pemeriksaan, ia berbaring di tempat tidur dengan gerakan yang penuh percaya diri, kaosnya sedikit tersingkap hingga memperlihatkan garis otot perutnya yang keras dan terdefinisi. Aisyah mengambil sarung tangan lateks dari kotak di meja, jari-jarinya gemetar tipis saat ia menarik bahan itu ke kulitnya. Lateks itu membungkus tangannya dengan erat, seperti pelindung tipis yang tak cukup kuat untuk menahan apa yang akan datang. Ia mendekati Arga, langkahnya hati-hati, seperti berjalan di atas tali yang goyah.
“Silakan buka celananya sedikit, Pak Arga,” ucap Aisyah, suaranya datar tapi ada ketegangan yang tersirat. Arga mematuhi dengan senyum kecil, jari-jarinya membuka kancing celana pendek itu dan menurunkannya hingga paha, memperlihatkan boxer hitam yang ketat. Bentuk tubuhnya terpampang jelas di bawah kain tipis itu, dan Aisyah merasakan tenggorokannya mengering.
Ia mendekat, tangannya yang bersarung lateks mulai menyentuh area genital Arga dengan gerakan klinis. Kulitnya hangat, kenyal, dan ada denyutan halus yang terasa di bawah jari-jarinya. Aisyah berusaha fokus, menelusuri setiap inci dengan tekanan yang terukur, tapi getaran itu kembali—arus listrik yang lembut namun membakar, menjalar dari ujung jarinya ke tulang punggungnya. Aroma keringat segar Arga bercampur dengan wangi sabun mandi yang maskulin, memenuhi indranya seperti kabut yang memabukkan.
Arga mendekatkan wajahnya sedikit, jarak mereka hanya beberapa inci. “Dokter, Anda tahu nggak, Anda cantik banget pas serius gini,” bisiknya, suaranya lembut tapi penuh godaan, seperti angin yang membelai daun di malam hari. “Jilbabnya bikin saya penasaran... apa yang disembunyiin di bawah sana.”
Aisyah menarik napas tajam, tangannya berhenti sejenak di udara. “Pak Arga, tolong jaga ucapan Anda,” katanya, suaranya bergetar, tapi ada nada rapuh yang tak bisa ia sembunyikan. Jantungnya berdetak liar, dan ia bisa merasakan panas yang mulai menyebar di antara pahanya, sebuah sensasi yang ia coba kubur selama berbulan-bulan.
Arga tersenyum, matanya setengah terpejam, seperti sedang menikmati permainan ini. “Maaf, Dokter. Tapi susah nahan diri kalo yang pegang selembut Anda,” gumamnya, suaranya serak dan penuh kenikmatan. Dadanya naik-turun dengan ritme yang tak beraturan, dan Aisyah bisa melihat otot-ototnya menegang di bawah kaos ketat itu.
Aisyah melanjutkan pemeriksaan, jari-jarinya kembali bergerak, kali ini lebih lambat, lebih penuh perasaan. Ia menekan lembut di pangkal paha Arga, merasakan tekstur kulitnya yang halus bercampur sedikit kasar dari bulu-bulu halus. Setiap sentuhan seolah membakar sesuatu dalam dirinya, dan ia bisa mendengar napasnya sendiri menjadi lebih berat, bercampur dengan napas Arga yang semakin tersengal. Jari-jarinya meluncur ke bawah, menyentuh bagian yang lebih sensitif, dan Arga mengeluarkan desahan pelan yang membuat bulu kuduk Aisyah berdiri.
“Dokter... tangan Anda, ya Tuhan, bikin saya nggak bisa mikir,” gumam Arga, suaranya penuh hasrat. “Lembut banget, hangat... kayak dipeluk dari dalam.”
Aisyah menutup mata sejenak, mencoba menahan gelombang panas yang mengguncang tubuhnya. “Pak Arga, diam saja supaya saya bisa selesai,” katanya, tapi suaranya terdengar lemah, seperti permohonan yang tak yakin. Ia bisa merasakan kelembapan yang mulai terbentuk di balik pakaian dalamnya, dan ia membenci dirinya sendiri karena itu.
Arga terkekeh lagi, suaranya rendah dan menggoda. “Diam? Susah, Dokter. Anda bikin saya pengen lebih dari cuma diperiksa.” Matanya menatap lurus ke arah Aisyah, penuh janji yang tak terucap, dan Aisyah merasa seperti sedang ditarik ke dalam pusaran yang tak bisa ia lawan.
Pemeriksaan akhirnya selesai, dan Aisyah mundur beberapa langkah, tangannya masih gemetar saat ia melepas sarung tangan. Lateks itu terlepas dengan suara kecil yang lengket, dan ia bisa merasakan sisa panas dari kulit Arga di ujung jarinya. “Tidak ada masalah serius, Pak Arga. Saya akan resepkan obat untuk pemulihan. Silakan buat janji lagi kalau ada keluhan,” katanya, suaranya kembali datar, tapi ada getar kecil yang tersisa.
Arga bangkit dari tempat tidur, tubuhnya menjulang di depan Aisyah seperti bayangan yang menutupi cahaya. “Terima kasih, Dokter. Saya pasti balik lagi. Nggak sabar ketemu Anda,” katanya, matanya berkilat dengan sesuatu yang liar, sesuatu yang berbahaya. Ia melangkah keluar, meninggalkan ruangan itu dalam keheningan yang terasa terlalu berat.
Aisyah kembali ke kursinya, tubuhnya terasa lelet seperti terbuat dari timah. Ia duduk, menatap layar laptop yang masih menyala, tapi pikirannya kosong—terkecuali bayangan Arga yang terus berputar seperti film yang tak bisa ia matikan. Jari-jarinya masih terasa hangat, dan ia menggosokkan ibu jarinya ke telapak tangan, berusaha menghapus sensasi itu. Tapi itu sia-sia. Panas itu menetap, seperti bara yang menyala pelan di dalam dirinya.
Malam itu, ia pulang ke rumah yang sepi. Reza belum pulang, seperti biasa, dan rumah itu terasa seperti museum—dingin, kosong, dan penuh bayangan. Aisyah menyiapkan makan malam sederhana: sayuran tumis dengan sedikit cabai dan nasi merah yang masih hangat. Ia duduk di meja makan sendirian, sendoknya bergerak mekanis ke mulutnya, tapi rasanya hambar. Pikirannya terus kembali ke Arga—ke kulitnya yang hangat, ke napasnya yang berat, ke tatapannya yang seperti pisau yang memotong setiap pertahanannya.
Setelah makan, ia memutuskan untuk mandi. Di kamar mandi, air hangat mengalir dari shower, membasahi jilbab yang ia lepaskan dengan tangan yang gemetar. Rambutnya yang hitam pekat tergerai, panjang hingga punggungnya, dan ia berdiri di bawah air, membiarkan tetesan itu membelai kulitnya yang pucat. Tanpa sadar, tangannya mulai bergerak, menelusuri lekuk pinggangnya yang ramping, lalu naik ke dada yang penuh, jari-jarinya menyentuh puting yang mengeras karena dingin dan hasrat yang terpendam. Ia membayangkan tangan Arga di sana—jari-jari kuat yang mencengkeram kulitnya, menariknya lebih dekat hingga tak ada ruang di antara mereka.
Aisyah menggigit bibirnya, mencoba menahan desahan yang menggeliat di tenggorokannya. Air itu mengalir di antara pahanya, membelai lipatan kulit yang sensitif, dan ia membayangkan Arga berlutut di depannya, bibirnya yang penuh menyentuh bagian paling intim dari tubuhnya. Jari-jarinya sendiri meluncur ke bawah, menyentuh dirinya dengan gerakan lembut yang penuh kerinduan. Ia membayangkan lidah Arga—hangat, basah, dan penuh tekanan—menari di sana, menelusuri setiap inci dengan rakus. Tubuhnya menegang, pinggulnya bergoyang pelan mengikuti ritme imajinasinya, dan ia bisa merasakan gelombang kenikmatan yang mulai membangun di perutnya.
“Arga...” gumamnya tanpa sadar, suaranya tenggelam dalam deru air. Jari-jarinya bergerak lebih cepat, lebih dalam, dan ia membayangkan tubuh Arga menekan tubuhnya ke dinding kamar mandi, air membasahi mereka berdua saat ia masuk ke dalam dirinya dengan dorongan yang penuh tenaga. Ia bisa membayangkan otot-ototnya yang keras menegang di bawah kulit basah, napasnya yang panas di lehernya, dan bisikan kasar di telinganya: “Dokter, kamu milikku malam ini.”
Aisyah tersentak, orgasme kecil mengguncang tubuhnya dengan tiba-tiba. Kakinya gemetar, dan ia bersandar ke dinding, air masih mengalir membasahi tubuhnya yang bergetar. Napasnya tersengal, dadanya naik-turun dengan cepat, dan ia membenci dirinya sendiri karena menyerah pada fantasi itu. “Ini salah,” bisiknya, tapi tubuhnya tak peduli—hasrat itu masih berdenyut, menuntut lebih.
Ia keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit tubuhnya, rambutnya basah menempel di punggung. Ia mengenakan piyama sutra biru tua, kain itu terasa terlalu lembut di kulitnya yang masih sensitif, dan ia berbaring di ranjang sendirian. Reza tak ada, mungkin tak akan pulang malam ini. Dalam kegelapan, Aisyah menatap plafon dengan tatapan kosong, terjebak antara rasa bersalah dan keinginan yang membakar. Ia menutup mata, dan dalam tidurnya, ia bermimpi tentang Arga—tentang tangannya yang kuat memeluk pinggangnya, napasnya yang panas di kulitnya, dan tubuhnya yang menekan tubuhnya dengan penuh nafsu di atas ranjang yang berderit pelan.
Malam itu, batas-batas yang ia junjung tinggi mulai goyah, dan Aisyah tahu bahwa ia sedang melangkah ke jurang yang tak bisa ia hindari lagi.
59Please respect copyright.PENANAqiEcxVihci
59Please respect copyright.PENANA1VJEscNdYs
59Please respect copyright.PENANAZhUNKH2WHf
Bab 4: Runtuhnya Benteng
Malam itu, klinik terasa seperti dunia yang terpisah dari kenyataan. Hening menyelimuti koridor panjang yang biasanya dipenuhi langkah kaki pasien dan suara lembut perawat. Lampu-lampu di lorong telah padam, hanya menyisakan pijar kuning pucat yang merembes dari ruang konsultasi, tempat Dr. Aisyah masih bertahan. Cahaya itu menciptakan siluet lembut di dinding putih, memantulkan bayangan meja kerja dan tumpukan berkas yang tersusun rapi. Udara dingin dari AC mengalir pelan, membawa aroma antiseptik yang tajam namun samar, bercampur dengan wangi lavender dari diffuser kecil di sudut ruangan. Di balik ketenangan yang terlihat, ada sesuatu yang bergetar di udara—sebuah ketegangan halus, seperti senar biola yang ditarik hingga nyaris putus.
Aisyah duduk di kursi kerjanya, tubuhnya terbungkus seragam dokter yang rapi: blus putih lengan panjang dan rok panjang abu-abu yang menyapu lantai. Jilbab abu-abunya terlipat sempurna, menutupi rambut hitamnya yang tebal, tapi sehelai rambut nakal meloloskan diri, menempel di pipinya yang hangat. Jari-jarinya yang ramping dan lentur bergerak di atas catatan pasien terakhir, tapi matanya—cokelat tua, dalam, dan tajam di balik kacamata berbingkai tipis—tak benar-benar membaca. Pikirannya melayang, terperangkap dalam kenangan yang seharusnya ia kubur: kulit hangat Arga di bawah sentuhannya, napas pria itu yang berat saat pemeriksaan minggu lalu, dan tatapan mata gelapnya yang seolah menelanjangi setiap lapis pertahanan yang ia bangun. Aisyah menggigit bibir bawahnya pelan, merasakan darah berdesir lebih cepat di nadinya. Ia membenci dirinya karena itu, tapi pernikahannya dengan Reza—dingin, kosong, dan penuh keheningan—telah meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan dengan doa atau kerja keras.
Pintu klinik tiba-tiba berderit terbuka, memecah kesunyian seperti petir di malam tanpa awan. Langkah kaki berat menggema di lantai keramik, dan Aisyah mendongak, jantungnya melonjak ke tenggorokan. Di ambang pintu berdiri Arga, sosoknya tinggi dan tegap, memenuhi ruang dengan kehadiran yang tak bisa diabaikan. Kaos hitam ketat membalut tubuhnya, menonjolkan lekuk otot lengan dan dada yang terpahat sempurna, sementara celana jeans biru tua memeluk pahanya yang kuat. Keringat tipis berkilau di dahinya, menetes perlahan di pelipisnya, seolah ia baru saja berlari bermil-mil untuk sampai ke sini. Rambutnya yang hitam dan sedikit berantakan jatuh di atas kening, tapi matanya—gelap, dalam, dan penuh api—tertancap lurus pada Aisyah, membakar setiap inci ruangan di antara mereka.
“Pak Arga?” Aisyah bangkit dari kursinya, suaranya pecah di ujung, serak oleh campuran kaget dan sesuatu yang lebih dalam. “Klinik sudah tutup. Ada apa?” Ia berusaha menjaga nada profesional, tapi getaran kecil di suaranya mengkhianati kegelisahan yang membuncah di dadanya.
Arga melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dengan gerakan lambat yang penuh makna. Klik kunci pintu terdengar seperti palu yang memaku nasib malam itu. “Maaf, Dokter, saya tahu udah larut,” katanya, suaranya rendah dan berat, seperti gemuruh di kejauhan. “Tapi cedera saya kambuh tiba-tiba. Sakitnya nggak ketulungan. Saya nggak bisa tahan sampai besok.”
Aisyah menelan ludah, tenggorokannya terasa kering seperti pasir. Seharusnya ia menolak, menyuruh Arga ke IGD terdekat, tapi ada sesuatu dalam cara pria itu berdiri—tegak, rentan, dan penuh permohonan—yang membuat kata-kata penolakan tersangkut di lidahnya. “Baiklah,” ucapnya akhirnya, langkahnya menuju ruang pemeriksaan terasa berat, seperti kaki yang terikat rantai. “Mari kita lihat.” Arga mengikuti di belakangnya, napasnya terdengar kasar di keheningan, mengisi ruang dengan ritme yang tak beraturan.
Di ruang pemeriksaan, Arga duduk di tepi ranjang pasien, kakinya menggantung santai tapi tubuhnya tegang. Cahaya lampu neon di atas memantul di kulitnya yang kecokelatan, menyoroti garis rahangnya yang tajam dan urat-urat halus di lengannya. Aisyah mengambil sarung tangan lateks dari kotak steril, tangannya sedikit gemetar saat ia menariknya ke jari-jarinya. Lateks itu menempel erat, membungkus kulitnya seperti lapisan kedua yang terlalu ketat, menambah sensasi asing di ujung-ujung sarafnya. “Di mana yang sakit?” tanyanya, berusaha mempertahankan nada dokter yang dingin, tapi ada ketegangan yang merayap di setiap katanya.
Arga menatapnya, matanya tak berkedip, lalu menunjuk area pangkal pahanya dengan jari yang santai namun penuh maksud. “Di sini, Dokter,” jawabnya, suaranya serak seperti kayu yang digesek. “Rasanya nyeri, kayak ada yang nyut-nyutan.” Ada nada lain di balik kata-katanya, sesuatu yang licin dan berbahaya, tapi Aisyah memilih mengabaikannya.
Ia mendekat, jarak di antara mereka menyusut hingga ia bisa mencium aroma samar keringat pria itu—asin, maskulin, dan sedikit manis. Jari-jarinya, terbungkus lateks, menyentuh kulit Arga dengan hati-hati, menelusuri garis otot di pangkal pahanya. Kulit pria itu hangat, terlalu hangat, dan otot-ototnya mengeras di bawah tekanan lembut tangannya. Aisyah menahan napas, fokus pada gerakan klinis, tapi setiap sentuhan terasa seperti percikan api yang menyelinap di bawah kulitnya sendiri. Napas Arga menjadi lebih dalam, dadanya naik-turun dengan ritme yang semakin cepat, dan Aisyah bisa merasakan panas yang memancar dari tubuh pria itu, membakar udara di antara mereka.
“Pak Arga, saya tidak menemukan tanda cedera fisik yang jelas,” katanya akhirnya, suaranya terdengar jauh di telinganya sendiri, gemetar di ujung. “Mungkin ini ketegangan otot biasa. Saya bisa resepkan—”
“Tunggu, Dokter,” potong Arga, suaranya seperti beludru yang membungkus besi. Tiba-tiba, tangannya yang besar dan kuat mencengkeram pergelangan Aisyah, menahannya di tempat. Jari-jarinya panas, mencengkeram erat tapi tak menyakitkan, hanya penuh tekad. “Saya nggak butuh obat. Saya butuh Anda.”
Aisyah tersentak, jantungnya berhenti sejenak sebelum berpacu liar. Ia mencoba menarik tangannya, tapi cengkeraman Arga seperti jangkar, menahannya dalam pusaran yang ia tahu tak seharusnya ia masuki. “Pak Arga, ini tidak pantas,” ucapnya, suaranya bergetar hebat, campuran ketakutan dan sesuatu yang lebih gelap—hasrat yang ia coba pendam bertahun-tahun. “Saya dokter Anda. Kita nggak boleh—”
Arga bangkit dari ranjang, tubuhnya menjulang di depan Aisyah seperti tembok yang tak bisa ditembus. Cahaya lampu tertutup oleh lebar bahunya, menciptakan bayangan yang menyelimuti wajah wanita itu, membuatnya merasa kecil, terperangkap, namun anehnya hidup. “Saya tahu, Dokter,” katanya, suaranya rendah dan penuh gairah, setiap kata seperti sentuhan di kulitnya. “Tapi sejak pertama kali Anda sentuh saya, saya nggak bisa lupain Anda. Tangan Anda, suara Anda, cara Anda gerakin jari Anda di kulit saya—saya bermimpi tentang itu setiap malam.”
Aisyah mundur, tumitnya tersandung lantai hingga punggungnya membentur dinding dengan suara pelan. “Ini salah,” bisiknya, suaranya rapuh seperti kaca tipis. “Saya sudah menikah.” Tapi kata-kata itu terdengar kosong, seperti mantra yang kehilangan kekuatannya.
Arga melangkah mendekat, jarak di antara mereka lenyap hingga Aisyah bisa merasakan panas tubuh pria itu membakar udara. Tangan kirinya meraih pinggang Aisyah, jari-jarinya mencengkeram lembut namun tegas, menariknya hingga dada mereka nyaris bersentuhan. “Saya tahu Anda menikah,” gumamnya, napasnya panas dan lembap di wajah Aisyah. “Tapi saya lihat di mata Anda—Anda kesepian. Sama seperti saya. Biarkan saya kasih apa yang Anda butuhin, Dokter. Biarkan saya buat Anda hidup lagi.”
Aisyah menutup mata, tubuhnya gemetar hebat. “Tidak... kita nggak boleh,” bisiknya, tapi suaranya lelet, penuh keraguan, seperti ia sedang memohon pada dirinya sendiri. Panas menyebar dari perutnya, merayap ke dada, ke leher, hingga kulitnya terasa terbakar di bawah seragamnya yang rapi.
Arga tak mundur. Tangan kanannya naik, jari-jarinya menyelinap di ujung jilbab Aisyah, menarik kain itu perlahan hingga terlepas dari kepalanya. Rambut hitam panjangnya tergerai bebas, mengalir seperti air terjun gelap yang membingkai wajahnya yang memerah. Arga menarik napas tajam, matanya membelalak penuh kekaguman dan nafsu. “Ya Tuhan, Anda cantik banget,” bisiknya, suaranya serak seperti pria yang kehausan. Tangannya menyisir rambut Aisyah, menariknya lembut hingga wajah wanita itu mendongak, lalu bibirnya menempel pada bibir Aisyah, menciumnya dengan lapar yang tak terkendali.
Aisyah mengerang pelan, tubuhnya menegang sejenak sebelum meleleh ke dalam ciuman itu. Bibir Arga panas dan penuh tuntutan, lidahnya menyelinap masuk, menari dengan lidah Aisyah dalam ritme yang liar dan basah. Rasa kopi dan sedikit garam dari keringatnya memenuhi mulut Aisyah, membuat kepalanya berputar. Ia mencoba mendorong dada Arga, tapi tangannya malah mencengkeram kaos pria itu, menariknya lebih dekat. Arga menggeram pelan di tenggorokannya, giginya menggigit bibir bawah Aisyah, menariknya lembut sebelum melepaskan dengan suara kecil yang menggoda.
“Pak Arga... kita harus berhenti,” desah Aisyah di sela-sela ciuman, napasnya tersengal, tapi tangannya tetap mencengkeram bahu pria itu, kuku-kukunya menekan kulit di bawah kain.
Arga tersenyum di bibirnya, mata gelapnya berkilat nakal. “Anda bilang berhenti, tapi tangan Anda bilang lain,” bisiknya, suaranya seperti madu yang mengalir lambat. Tangannya meluncur ke bawah, meraih pinggul Aisyah, menariknya hingga tubuh mereka menempel erat. Aisyah bisa merasakan kekerasan di balik celana jeans Arga, panas dan tegas, menekan perutnya hingga ia gemetar. “Anda mau ini, Dokter. Saya tahu.”
Aisyah mengerang, kepalanya terjatuh ke belakang, menabrak dinding dengan dentuman pelan. “Arga... ini gila,” bisiknya, tapi suaranya penuh kebutuhan, bukan penolakan. Arga tak menunggu lagi. Dengan gerakan cepat, tangannya merobek kancing blus Aisyah satu per satu, memperlihatkan kulit pucatnya yang halus dan bra biru tua yang membungkus payudaranya yang penuh. Ia menarik napas dalam, matanya gelap penuh hasrat. “Sempurna,” gumamnya, bibirnya turun, mencium lekuk leher Aisyah, lalu menyusuri tulang selangkanya, meninggalkan jejak basah yang berkilau di kulitnya.
Aisyah merintih, tangannya mencengkeram rambut Arga, jari-jarinya kusut di helai-helai hitam itu. “Jangan... orang bisa lihat,” bisiknya, tapi nada suaranya memohon lebih, bukan berhenti. Arga terkekeh pelan, suaranya bergema di dada Aisyah. “Nggak ada yang bakal tahu, Dokter. Hanya kita di sini,” jawabnya, tangannya meluncur ke belakang, membuka kait bra dengan satu tarikan terampil. Bra itu terlepas, jatuh ke lantai, dan payudara Aisyah terbebas, putingnya yang merona mengeras di udara dingin klinik.
Arga menatapnya sejenak, napasnya tersengal, lalu bibirnya menangkap puting kiri Aisyah, menghisapnya dengan lembut namun rakus. Lidahnya berputar di sekitar puncak yang sensitif itu, giginya menggigit kecil hingga Aisyah mengerang keras, punggungnya melengkung menekan dadanya ke wajah pria itu. “Arga... oh,” desahnya, tangannya mencengkeram meja di sampingnya, kuku-kukunya mencakar kayu hingga berderit. Sensasi itu seperti kilat yang menyambar tulang punggungnya, membuat kakinya lemas dan perutnya bergetar.
Arga melepaskan putingnya dengan suara kecil yang basah, lalu naik lagi, mencium bibir Aisyah dengan penuh gairah. “Saya pengen rasa semua dari Anda,” bisiknya di sela-sela ciuman, tangannya turun, meraba rok panjang Aisyah, menarik kain itu ke atas hingga pahanya yang putih dan lembut terbuka lebar. Jari-jarinya meluncur di antara paha Aisyah, menyentuh celana dalam katunnya yang sudah lembap, dan ia tersenyum puas. “Anda basah banget, Dokter. Ini buat saya, ya?”
Aisyah mengerang, pinggulnya bergoyang tanpa sadar mencari lebih banyak tekanan dari jari-jari Arga. “Arga... tolong,” bisiknya, suaranya pecah, penuh kebutuhan yang tak bisa ia sembunyikan lagi. Arga tak membuang waktu. Dengan gerakan cepat, ia menarik celana dalam Aisyah ke bawah, membiarkannya tersangkut di pergelangan kakinya. Lalu, tangannya mencengkeram pinggul wanita itu, mengangkatnya dengan mudah hingga Aisyah duduk di tepi meja pemeriksaan, kertas steril di bawahnya berkerut keras.
Aisyah merintih, kakinya terbuka lebar, memperlihatkan dirinya yang basah dan merona. Arga mundur sejenak, matanya menelusuri tubuh Aisyah dari ujung rambut hingga ujung kaki, penuh kekaguman dan nafsu yang membara. “Anda indah banget,” katanya, suaranya serak dan dalam. Ia membuka kancing celananya dengan tergesa, menurunkannya bersama boxer hitam hingga ke lantai, memperlihatkan dirinya yang tegak, keras, dan berdenyut. Aisyah menelan ludah, matanya membelalak melihat ukurannya, jantungnya berdegup kencang bercampur takut dan ingin.
“Arga... pelan-pelan,” bisiknya, suaranya gemetar, tangannya mencengkeram tepi meja hingga buku-buku jarinya memutih. Arga mendekat, tangannya mencengkeram pinggul Aisyah, menariknya ke tepi meja hingga posisinya tepat di ambang masuk. “Saya janji, Dokter,” bisiknya, matanya terkunci pada mata Aisyah. “Saya bakal bikin Anda ngerasa enak banget.”
Dengan gerakan lembut namun pasti, ia mendorong dirinya masuk, kepalanya membelah Aisyah perlahan, memberikan waktu bagi wanita itu untuk menyesuaikan. Aisyah mengerang keras, kepalanya terjatuh ke belakang, matanya terpejam rapat. Rasanya penuh, hangat, dan nyaris menyakitkan, tapi kenikmatan yang menyelinap di baliknya membuatnya melayang. “Ya Tuhan... Arga,” desahnya, tangannya mencengkeram bahu pria itu, kuku-kukunya menancap di kulit hingga meninggalkan bekas merah.
Arga mulai bergerak, ritmenya lambat namun dalam, setiap dorongan seperti gelombang yang mengguncang tubuh Aisyah dari dalam. “Anda enak banget, Dokter,” gumamnya, napasnya tersengal, keringat menetes dari dagunya ke dada Aisyah. Ia menarik wanita itu lebih dekat, bibirnya mencium lehernya, lidahnya menyapu kulit yang basah oleh keringat, lalu giginya menggigit lembut hingga Aisyah mengerang lagi, tubuhnya bergetar hebat.
Aisyah melingkarkan kakinya di pinggang Arga, tumitnya menekan punggung pria itu, menariknya lebih dalam. “Lebih... Arga, lebih,” bisiknya, suaranya penuh kebutuhan, pinggulnya bergoyang mengikuti ritme pria itu. Arga tersenyum kecil, gerakannya mempercepat, dorongannya lebih keras hingga suara benturan kulit mereka mengisi ruangan, bercampur dengan derit meja yang protes di bawah tekanan.
“Begini, Dokter? Anda suka?” tanyanya, suaranya serak dan penuh godaan, tangannya meraih payudara Aisyah, jempolnya menggosok puting yang keras hingga wanita itu mengerang panjang. “Saya bisa denger suara Anda sepanjang malam—manis banget.”
Aisyah tak bisa menjawab, hanya mengerang dan mendesah, tubuhnya terombang-ambing dalam kenikmatan yang membakar. “Arga... saya nggak tahan,” bisiknya, suaranya terputus-putus, tubuhnya menegang saat ia merasakan puncak yang mendekat. Kakinya mengencang di pinggang Arga, otot-ototnya berkontraksi kuat di sekitar pria itu, menariknya lebih dalam.
Arga mengeram, gerakannya semakin liar, tangannya mencengkeram pinggul Aisyah hingga meninggalkan jejak merah. “Bareng, Dokter. Kita bareng,” bisiknya, dan dengan beberapa dorongan terakhir yang dalam dan keras, mereka mencapai klimaks bersamaan. Aisyah mengerang panjang, tubuhnya bergetar hebat, kepalanya terjatuh ke bahu Arga saat gelombang kenikmatan menghantamnya seperti tsunami. Arga menggeram rendah, tubuhnya menegang, lalu melemas, napasnya tersengal di telinga Aisyah.
Mereka diam sejenak, tubuh mereka masih menyatu, keringat bercampur di kulit mereka yang panas. Arga memeluk Aisyah erat, bibirnya mencium kening wanita itu dengan lembut, kontras dengan kekerasan sebelumnya. “Anda luar biasa,” bisiknya, suaranya penuh kepuasan dan kelembutan.
Tapi saat napas mereka perlahan tenang, realitas merayap masuk seperti angin dingin yang menusuk. Aisyah menarik diri, wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca. “Apa yang kita lakukan, Arga?” bisiknya, suaranya bergetar hebat. “Ini salah. Saya... saya punya suami.”
Arga meraih tangannya, menariknya kembali ke dadanya. “Saya tahu, Dokter,” bisiknya, suaranya lembut tapi penuh tekad. “Tapi saya nggak bisa berhenti. Saya pengen Anda lagi—besok, lusa, setiap hari. Dan saya tahu Anda juga nggak bisa lupain ini.”
Aisyah menutup mata, air mata mengalir pelan di pipinya yang memerah. Ia tahu Arga benar—rasa hidup yang ia temukan dalam pelukan pria ini adalah sesuatu yang tak bisa ia tolak, meski ia tahu itu akan menghancurkan segalanya. Malam itu, benteng yang ia bangun bertahun-tahun runtuh sepenuhnya, dan Aisyah terperangkap dalam candu yang ia takuti sekaligus dambakan.
59Please respect copyright.PENANARcKyvyOE41
59Please respect copyright.PENANA6nN7pyl5h3
59Please respect copyright.PENANAgYJjWQTFS0
Bab 5: Kelu di Ujung Lidah
Senja membungkus kota dalam selimut oranye yang lembut, cahayanya merembes melalui jendela klinik dan memantul di dinding putih yang steril. Udara di dalam ruangan terasa sejuk, dihembuskan oleh AC yang berdengung pelan, membawa aroma antiseptik yang tajam bercampur dengan sedikit wangi teh hijau dari cangkir yang ditinggalkan di meja Dr. Aisyah. Jilbab biru tua yang ia kenakan tersemat rapi, membingkai wajahnya yang pucat dengan sempurna, namun ada bayang-bayam kelelahan di bawah matanya—cokelat tua, dalam, dan terbebani oleh rahasia yang kini ia pikul. Jari-jarinya yang ramping bergerak di atas tumpukan berkas pasien, tapi gerakannya mekanis, pikirannya terperangkap dalam kilas balik malam itu bersama Arga. Sentuhan pria itu, panas dan penuh tuntutan, masih membakar ujung sarafnya, dan desahan mereka yang bergema di ruang konsultasi seolah menempel di dinding-dinding klinik seperti hantu yang tak mau pergi.
Aisyah menarik napas dalam, mencoba menenggelamkan ingatan itu dalam rutinitasnya. Ia dokter, profesional, dan ia harus kembali ke jalur yang benar. Tapi setiap kali ia menutup mata, ia bisa merasakan cengkeraman Arga di pinggulnya, bibirnya yang rakus di lehernya, dan dorongan tubuhnya yang mengguncang meja pemeriksaan. Rasa bersalah menggerogoti hatinya seperti asam, tapi kenikmatan itu—oh, kenikmatan itu—adalah candu yang tak bisa ia tolak. Pernikahannya dengan Reza, yang sudah lama kehilangan nyala, tak lagi cukup untuk mengisi kekosongan yang menganga di dadanya. Reza, dengan pesan-pesan singkatnya yang dingin dan kehadiran yang semakin jarang, seolah mendorong Aisyah ke tepi jurang tanpa ia sadari.
Hari ini, klinik terasa lebih sibuk dari biasanya. Pasien datang silih berganti, dan Aisyah berusaha menjaga fokusnya, menangani keluhan dengan ketelitian yang telah membuatnya disegani. Tapi ada satu nama di daftar janji temu yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang: Dimas. Pria itu, dengan pesonanya yang halus dan tatapan yang seolah bisa membaca setiap rahasia di hatinya, telah meninggalkan jejak di pikiran Aisyah sejak pemeriksaan terakhir. Dan kini, ia tahu sesuatu—ia telah melihat Aisyah dan Arga malam itu, bayangan mereka di ruang konsultasi yang sepi, dan tatapan pria itu pagi ini penuh dengan sesuatu yang berbahaya: pengetahuan dan godaan.
Pukul empat sore, pintu ruang konsultasi terbuka dengan derit pelan. Dimas melangkah masuk, tubuhnya yang ramping namun tegap terbungkus dalam setelan jas navy yang dipotong sempurna, menonjolkan bahunya yang lebar dan pinggang yang sempit. Kemeja putihnya bersih, dasi abu-abunya terikat rapi, tapi ada sesuatu dalam cara ia bergerak—lambat, penuh perhitungan—yang membuat udara di ruangan terasa lebih berat. Rambutnya yang disisir ke belakang memperlihatkan dahi yang tinggi, dan matanya—cokelat tua, hangat, namun penuh maksud—menangkap pandangan Aisyah dengan intensitas yang membuat napasnya tersendat.
“Selamat sore, Dokter Aisyah,” sapanya, suaranya lembut seperti sutra namun ada nada dalam yang menggetarkan. “Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk saya lagi.”
Aisyah tersenyum tipis, berusaha menjaga wajahnya tetap tenang meski jantungnya berdegup seperti drum di dadanya. “Selamat sore, Pak Dimas. Silakan duduk,” katanya, tangannya menunjuk kursi di depan meja dengan gerakan yang terkendali, tapi ada tremor kecil di ujung jarinya yang ia harap tak terlihat.
Dimas duduk dengan elegan, kaki panjangnya bersilang di pergelangan, tangannya bertumpu santai di paha. Matanya tak pernah lepas dari wajah Aisyah, menelusuri garis jilbabnya, turun ke bibirnya yang penuh, lalu kembali ke matanya dengan tatapan yang penuh arti. “Saya merasa jauh lebih baik sejak pemeriksaan terakhir,” katanya, suaranya penuh penghargaan tapi ada senyum kecil di sudut bibirnya yang membuat Aisyah merasa seperti sedang diuji. “Tapi saya pikir kita perlu bicara soal... kasus lain.”
Aisyah menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. “Kasus lain?” tanyanya, suaranya stabil tapi ada ketegangan yang merayap di setiap katanya. Ia tahu apa yang Dimas maksud, tapi ia berharap—berdoa—pria itu tak akan menyebutkan malam itu.
Dimas mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, siku-sikunya bertumpu pada lutut, membawa wajahnya lebih dekat ke arah Aisyah. “Saya kebetulan lewat klinik malam itu,” katanya, suaranya rendah dan penuh sugesti. “Dan saya lihat sesuatu... yang menarik. Anda dan pasien lain, sepertinya sangat akrab.”
Wajah Aisyah memucat, darah terasa membeku di nadinya. “Saya tidak tahu apa yang Anda maksud, Pak Dimas,” katanya cepat, tapi suaranya goyah, seperti daun yang bergoyang di ujung angin. Ia menatap layar laptop, berpura-pura sibuk, tapi jari-jarinya gemetar di atas keyboard.
Dimas tersenyum, senyum yang lembut namun penuh kekuatan, seperti pria yang tahu ia memegang kartu truf. “Tenang, Dokter. Saya bukan tipe yang suka bikin masalah,” katanya, suaranya seperti madu yang mengalir lambat. “Saya cuma pikir... mungkin kita bisa saling membantu. Anda punya kebutuhan, saya punya... ketertarikan.”
Aisyah menutup mata sejenak, mencoba menahan gelombang panik yang mengguncang dadanya. “Pak Dimas, saya dokter Anda. Kita harus tetap profesional,” katanya, tapi kata-kata itu terdengar kosong, seperti mantra yang kehilangan kekuatannya. Di dalam hatinya, ia tahu ia tertarik pada Dimas—pada pesonanya yang halus, pada tatapannya yang penuh janji, pada cara ia bergerak seperti kucing yang mengintai mangsa.
Dimas mengangguk pelan, tapi matanya tak berhenti menari di wajah Aisyah. “Saya tahu, Dokter. Tapi saya juga tahu Anda manusia. Dan manusia punya keinginan.” Ia bangkit dari kursinya, melangkah mendekati meja Aisyah dengan langkah yang penuh percaya diri. “Bagaimana kalau kita bicara lebih lanjut... di tempat yang lebih pribadi? Mobil saya ada di parkiran. Kita bisa diskusikan kasus ini dengan tenang.”
Aisyah tahu ia harus menolak, harus mengusir pria itu dan menutup pintu. Tapi ada sesuatu dalam tatapan Dimas—hangat, menggoda, dan penuh pengertian—yang membuat pertahanannya goyah. “Baiklah,” ucapnya akhirnya, suaranya hampir tak terdengar, seperti bisikan yang penuh keraguan. “Tapi hanya bicara.”
Dimas tersenyum, matanya berkilat seperti permata di bawah cahaya lampu. “Hanya bicara,” ulangnya, tapi nada suaranya penuh janji yang tak terucap.
Malam itu, klinik telah kosong, lampu-lampu di koridor padam, hanya menyisakan gemerlap lampu jalan yang masuk melalui jendela. Aisyah mengikuti Dimas ke parkiran, langkahnya berat seperti menyeret rantai. Mobil Dimas, sebuah sedan hitam mengilap, terparkir di sudut yang gelap, jauh dari sorotan lampu. Dimas membuka pintu belakang untuk Aisyah, gerakannya anggun namun penuh maksud, dan Aisyah melangkah masuk, jantungnya berdegup kencang seperti burung yang terperangkap.
Di dalam mobil, udara terasa hangat dan intim, bercampur dengan aroma kulit jok dan parfum kayu Dimas yang mahal. Cahaya samar dari lampu jalan menyelinap melalui jendela, menciptakan bayangan lembut di wajah Dimas yang kini duduk di samping Aisyah, begitu dekat hingga ia bisa merasakan panas tubuh pria itu. “Jadi, Dokter,” katanya, suaranya rendah dan penuh godaan, “apa yang kita lakukan dengan... rahasia kecil ini?”
Aisyah menarik napas dalam, mencoba menjaga kendali. “Pak Dimas, apa yang Anda lihat malam itu... itu kesalahan. Saya bukan seperti itu,” katanya, tapi suaranya gemetar, penuh kelemahan yang tak bisa ia sembunyikan.
Dimas memandangnya, matanya lembut namun penuh hasrat. “Saya nggak menyalahkan Anda, Dokter,” katanya, tangannya perlahan meraih tangan Aisyah, jari-jarinya yang panjang dan terampil menyentuh kulit wanita itu dengan lembut. “Saya cuma bilang... saya bisa kasih apa yang Anda butuhin. Tanpa komplikasi. Tanpa penilaian.”
Sentuhan itu seperti percikan api di kulit Aisyah, membakar ujung sarafnya hingga ia gemetar. “Dimas... ini salah,” bisiknya, tapi suaranya lelet, penuh keraguan, dan tangannya tak menarik diri dari cengkeraman pria itu.
Dimas tersenyum, tangannya naik, menyentuh pipi Aisyah dengan lembut, ibu jarinya mengusap kulitnya yang hangat di bawah jilbab. “Salah? Mungkin. Tapi rasanya terlalu enak untuk dihentikan,” bisiknya, wajahnya mendekat hingga napasnya yang hangat membelai bibir Aisyah. Lalu, tanpa menunggu jawaban, ia menciumnya—ciuman yang dalam, penuh gairah, namun lembut, berbeda dari kekerasan Arga. Bibirnya lembut namun tegas, lidahnya menari dengan lidah Aisyah dalam ritme yang lambat dan memabukkan, seperti menyesap anggur terbaik.
Aisyah mengerang pelan, tubuhnya meleleh ke dalam ciuman itu, tangannya tanpa sadar mencengkeram jas Dimas, menariknya lebih dekat. “Dimas... kita nggak boleh,” bisiknya di sela-sela ciuman, tapi suaranya penuh kebutuhan, bukan penolakan.
Dimas terkekeh pelan, suaranya bergema di dada Aisyah. “Anda bilang nggak boleh, tapi tubuh Anda bilang lain,” bisiknya, tangannya meluncur ke bawah, meraba rok panjang Aisyah, menarik kain itu ke atas hingga pahanya yang putih dan lembut terbuka. Jari-jarinya menyentuh celana dalamnya, merasakan kelembapan yang sudah terbentuk, dan ia tersenyum puas. “Anda pengen ini, Dokter. Biarkan saya buktikan.”
Aisyah mengerang, pinggulnya bergoyang tanpa sadar mencari lebih banyak tekanan dari jari-jari Dimas. “Dimas... tolong,” bisiknya, suaranya pecah, penuh kebutuhan yang tak bisa ia sembunyikan lagi. Dimas tak membuang waktu. Dengan gerakan lembut, ia menarik celana dalam Aisyah ke bawah, membiarkannya tersangkut di pergelangan kakinya. Lalu, tangannya mencengkeram pinggul wanita itu, menariknya hingga Aisyah setengah berbaring di jok belakang, kakinya terbuka lebar di samping tubuh Dimas.
Dimas menatapnya sejenak, matanya menelusuri tubuh Aisyah dengan kekaguman dan nafsu yang membara. “Anda cantik banget,” katanya, suaranya serak dan dalam. Ia membuka kancing celananya dengan tergesa, menurunkannya bersama boxer hingga ke lantai mobil, memperlihatkan dirinya yang tegak, keras, dan berdenyut. Aisyah menelan ludah, matanya membelalak melihatnya, jantungnya berdegup kencang bercampur takut dan ingin.
“Dimas... pelan-pelan,” bisiknya, suaranya gemetar, tangannya mencengkeram jok hingga buku-buku jarinya memutih. Dimas mendekat, tangannya mencengkeram pinggul Aisyah, menariknya hingga posisinya tepat di ambang masuk. “Saya janji, Dokter,” bisiknya, matanya terkunci pada mata Aisyah. “Saya bakal bikin Anda lupa semua kecuali saya.”
Dengan gerakan lembut namun pasti, ia mendorong dirinya masuk, kepalanya membelah Aisyah perlahan, memberikan waktu bagi wanita itu untuk menyesuaikan. Aisyah mengerang keras, kepalanya terjatuh ke belakang, matanya terpejam rapat. Rasanya penuh, hangat, dan nyaris menyakitkan, tapi kenikmatan yang menyelinap di baliknya membuatnya melayang. “Ya Tuhan... Dimas,” desahnya, tangannya mencengkeram bahu pria itu, kuku-kukunya menancap di kulit hingga meninggalkan bekas merah.
Dimas mulai bergerak, ritmenya lambat namun dalam, setiap dorongan seperti gelombang yang mengguncang tubuh Aisyah dari dalam. “Anda enak banget, Dokter,” gumamnya, napasnya tersengal, keringat menetes dari dagunya ke dada Aisyah. Ia menarik wanita itu lebih dekat, bibirnya mencium lehernya, lidahnya menyapu kulit yang basah oleh keringat, lalu giginya menggigit lembut hingga Aisyah mengerang lagi, tubuhnya bergetar hebat.
Aisyah melingkarkan kakinya di pinggang Dimas, tumitnya menekan punggung pria itu, menariknya lebih dalam. “Lebih... Dimas, lebih,” bisiknya, suaranya penuh kebutuhan, pinggulnya bergoyang mengikuti ritme pria itu. Dimas tersenyum kecil, gerakannya mempercepat, dorongannya lebih keras hingga suara benturan kulit mereka mengisi mobil, bercampur dengan derit jok yang protes di bawah tekanan.
“Begini, Dokter? Anda suka?” tanyanya, suaranya serak dan penuh godaan, tangannya meraih payudara Aisyah, jempolnya menggosok puting yang keras hingga wanita itu mengerang panjang. “Saya bisa denger suara Anda sepanjang malam—manis banget.”
Aisyah tak bisa menjawab, hanya mengerang dan mendesah, tubuhnya terombang-ambing dalam kenikmatan yang membakar. “Dimas... saya nggak tahan,” bisiknya, suaranya terputus-putus, tubuhnya menegang saat ia merasakan puncak yang mendekat. Kakinya mengencang di pinggang Dimas, otot-ototnya berkontraksi kuat di sekitar pria itu, menariknya lebih dalam.
Dimas mengeram, gerakannya semakin liar, tangannya mencengkeram pinggul Aisyah hingga meninggalkan jejak merah. “Bareng, Dokter. Kita bareng,” bisiknya, dan dengan beberapa dorongan terakhir yang dalam dan keras, mereka mencapai klimaks bersamaan. Aisyah mengerang panjang, tubuhnya bergetar hebat, kepalanya terjatuh ke bahu Dimas saat gelombang kenikmatan menghantamnya seperti tsunami. Dimas menggeram rendah, tubuhnya menegang, lalu melemas, napasnya tersengal di telinga Aisyah.
Mereka diam sejenak, tubuh mereka masih menyatu, keringat bercampur di kulit mereka yang panas. Dimas memeluk Aisyah erat, bibirnya mencium kening wanita itu dengan lembut, kontras dengan kekerasan sebelumnya. “Anda luar biasa,” bisiknya, suaranya penuh kepuasan dan kelembutan.
Tapi saat napas mereka perlahan tenang, realitas merayap masuk seperti angin dingin yang menusuk. Aisyah menarik diri, wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca. “Apa yang saya lakukan?” bisiknya, suaranya bergetar hebat. “Ini... ini nggak seharusnya terjadi.”
Dimas meraih tangannya, menariknya kembali ke dadanya. “Jangan menyesal, Dokter,” bisiknya, suaranya lembut tapi penuh tekad. “Anda hidup malam ini. Dan saya tahu Anda pengen merasakan ini lagi.”
Aisyah menutup mata, air mata mengalir pelan di pipinya yang memerah. Ia tahu Dimas benar—rasa hidup yang ia temukan dalam pelukan pria ini adalah sesuatu yang tak bisa ia tolak, meski ia tahu itu akan menghancurkan segalanya. Malam itu, Aisyah terperangkap lebih dalam dalam jaringan hasrat yang ia sendiri tak tahu bagaimana cara keluar darinya.
59Please respect copyright.PENANAmb0TrEbe2a
59Please respect copyright.PENANA2K5F3c2FP4
Bab 6: Darah Muda
59Please respect copyright.PENANA0aGdXTpjDB
Malam itu, klinik andrologi di Kuningan terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah dunia di luar telah berhenti berputar. Lampu neon di koridor menyala redup, menciptakan bayang-bayang panjang yang menari di dinding putih. Aisyah duduk di ruang konsultasinya, jari-jarinya meremas ujung jilbab sutra berwarna abu-abu yang membingkai wajahnya. Napasnya sedikit tersengal, bukan karena lelah fisik, tetapi karena pergolakan batin yang semakin sulit ia kendalikan. Di usianya yang ke-32, ia seharusnya menjadi wanita yang teguh—seorang dokter andrologi yang profesional, istri yang setia, dan figur yang menjaga martabatnya di balik jilbab yang selalu rapi. Namun, malam ini, ia merasa seperti burung yang terperangkap dalam sangkar emas, sayapnya meronta untuk terbang, tapi kakinya terikat oleh rantai hasrat.
Sudah dua minggu sejak malam penuh gairah dengan Arga di sofa ruang konsultasi, dan seminggu sejak ciuman panas dengan Dimas di mobilnya. Kedua pria itu, dengan cara mereka masing-masing, telah menyalakan bara yang lama padam di dalam dirinya. Arga, dengan intensitasnya yang liar, dan Dimas, dengan pesona lembut yang menyelimuti seperti sutra, telah membuat Aisyah melupakan—meski hanya sesaat—kekosongan pernikahannya dengan Reza. Namun, malam ini, pikirannya tidak hanya dipenuhi oleh mereka. Ada Ryan, mahasiswa kedokteran berusia 25 tahun yang magang di klinik, dengan senyum nakal dan energi muda yang seperti angin segar, namun berbahaya. Ryan, yang akhir-akhir ini selalu menemukan alasan untuk berada di dekatnya, dengan candaan genit dan tatapan yang seolah bisa menembus jilbabnya.
Aisyah menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang mulai tak terkendali. Ia bangkit dari kursi, berjalan menuju cermin kecil di sudut ruangan. Wajahnya yang halus memantul di permukaan kaca—kulitnya cerah dengan sedikit rona merah di pipi, matanya cokelat tua berkilau di bawah bulu mata lentik, dan bibirnya yang penuh tampak sedikit kering karena ia terus menggigitnya tanpa sadar. Jilbabnya sedikit bergeser, memperlihatkan sehelai rambut hitam yang meloloskan diri. Ia buru-buru memperbaikinya, tapi tangannya gemetar. “Kamu dokter, Aisyah,” bisiknya pada bayangannya. “Kamu bisa mengendalikan ini.”
Namun, kata-kata itu terasa kosong. Klinik, tempat yang seharusnya menjadi pelarian dari kehampaan rumah tangganya, justru menjadi medan pertempuran baru. Setiap hari, ia memeriksa pasien, menyentuh tubuh mereka dengan tangan yang terlatih, mendengarkan keluhan mereka dengan telinga yang penuh empati. Tapi akhir-akhir ini, setiap sentuhan, setiap tatapan, terasa seperti percikan api yang siap membakar dinding pertahanannya. Dan Ryan, dengan keberanian khas anak muda, seolah tahu persis bagaimana meniup percikan itu hingga menjadi kobaran.
Pintu ruang konsultasi terbuka pelan, menarik Aisyah dari lamunannya. Ryan berdiri di ambang pintu, tubuhnya yang ramping bersandar pada kusen dengan santai. Jaket kuliahnya sedikit kusut, rambutnya yang hitam agak berantakan, tapi matanya—mata yang selalu penuh dengan rasa ingin tahu—mengunci pandangan Aisyah. “Dok, masih di sini? Udah jam sembilan, loh,” katanya, suaranya ringan tapi ada nada genit yang tak bisa disembunyikan.
Aisyah menegakkan tubuh, mencoba memasang ekspresi profesional. “Ryan, kamu belum pulang? Magangmu kan selesai jam lima.” Suaranya stabil, tapi ia bisa merasakan panas mulai merayap di lehernya.
Ryan melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dengan gerakan yang terlalu santai. “Ada beberapa arsip yang perlu disusun. Dokumen pasien, katanya harus rapi sebelum audit bulan depan.” Ia tersenyum, tapi senyuman itu bukan senyuman polos seorang mahasiswa. Ada sesuatu di dalamnya—janji, godaan, atau mungkin tantangan. “Lagian, Dok, kayaknya lebih seru di sini daripada di kosan. Apalagi kalau ada Dokter Aisyah.”
Aisyah merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Ia berjalan kembali ke meja, mencoba menyibukkan diri dengan merapikan pena dan kertas yang sebenarnya sudah rapi. “Jangan main-main, Ryan. Aku serius. Kalau tidak ada urusan penting, sebaiknya kamu pulang.” Nadanya tegas, tapi ada getar kecil yang mengkhianati ketenangannya.
Ryan tidak menjawab segera. Ia berjalan mendekat, langkahnya pelan namun penuh percaya diri, seperti kucing yang mengintai mangsa. Ia berhenti di sisi meja, cukup dekat sehingga Aisyah bisa mencium aroma samar parfumnya—campuran kayu dan citrus yang segar, begitu berbeda dari aroma maskulin Arga atau elegan Dimas. “Dok, kenapa sih selalu buru-buru ngusir aku?” katanya, suaranya rendah, hampir seperti bisikan. “Aku kan cuma pengen bantu. Atau… Dok takut aku kelewat deket?”
Aisyah menoleh, bermaksud menegurnya, tapi tatapan Ryan membuat kata-katanya terhenti di tenggorokan. Matanya seperti menelanjangi, bukan dengan cara kasar, tapi dengan keberanian yang polos namun mematikan. “Ryan, ini tidak pantas,” katanya akhirnya, tapi suaranya terdengar lemah, seperti doa yang tak yakin akan dikabulkan.
Ryan tertawa pelan, suara yang ringan namun penuh makna. “Pantas atau nggak, Dok, itu cuma kata-kata. Yang penting kan apa yang kita rasain.” Ia melangkah lebih dekat, kini hanya beberapa inci dari Aisyah. “Dan aku tahu, Dok juga ngerasain sesuatu. Aku lihat cara Dok ngeliatin aku tadi pagi, pas aku bantu angkat kotak arsip. Jangan bilang itu cuma imajinasiku.”
Aisyah ingin membantah, tapi kenangan pagi itu melintas di benaknya. Ryan, dengan kaus ketat yang memperlihatkan otot lengan yang kencang, mengangkat kotak-kotak berat dengan mudah, keringat membasahi dahinya. Saat itu, tanpa sengaja, pandangan Aisyah terpaku pada garis lehernya yang basah, pada denyut nadi yang terlihat di kulitnya. Ia buru-buru mengalihkan pandang, tapi Ryan, dengan instingnya yang tajam, pasti memperhatikan.
“Ryan, cukup,” kata Aisyah, kali ini lebih keras. Ia mundur selangkah, tapi punggungnya menyentuh dinding. Ruang konsultasi yang biasanya terasa luas kini terasa seperti kotak kecil yang memerangkapnya. “Kamu masih muda. Jangan bermain-main dengan hal yang bisa menyakitimu.”
Ryan tidak mundur. Malah, ia melangkah lebih dekat, tangannya menyentuh ujung meja di samping Aisyah, secara efektif memojokkannya. “Menyakiti? Dok, yang menyakiti itu kalau kita pura-pura nggak ngerasain apa-apa.” Ia menunduk sedikit, wajahnya kini begitu dekat sehingga Aisyah bisa merasakan napasnya yang hangat di pipinya. “Aku tahu Dok punya suami. Aku tahu Dok dokter yang hebat. Tapi aku juga tahu Dok manusia. Dan manusia punya kebutuhan.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk, bukan karena kejam, tapi karena kebenarannya. Aisyah menutup mata sejenak, mencoba mengumpulkan kekuatan. Tapi aroma Ryan, kehangatan tubuhnya, dan suaranya yang rendah membuat dinding pertahanannya retak. “Ryan… ini salah,” bisiknya, tapi kata-kata itu terdengar seperti pengakuan, bukan penolakan.
“Salah itu kalau kita nggak jujur sama diri sendiri,” balas Ryan. Tangannya bergerak, dengan lembut menyentuh lengan Aisyah, jari-jarinya meluncur di atas kain blus putihnya, meninggalkan jejak panas yang tak terlihat. “Dok, aku nggak minta apa-apa yang Dok nggak mau kasih. Tapi aku tahu Dok juga pengen ini.”
Aisyah membuka mata, dan itu adalah kesalahan. Matanya bertemu dengan mata Ryan, dan di dalamnya ia melihat cerminan hasratnya sendiri—hasrat yang telah ia kubur selama berbulan-bulan, yang kini bangkit dengan kekuatan yang menakutkan. Tanpa sadar, tangannya meraih lengan Ryan, bukan untuk mendorongnya, tapi untuk menahan, seolah takut ia akan menghilang.
“Ryan…” bisiknya, dan kali ini namanya terdengar seperti undangan.
Ryan tidak membuang waktu. Dengan gerakan cepat namun lembut, ia menarik Aisyah menjauh dari dinding, membawanya ke sudut ruangan tempat rak arsip berdiri. Ruang itu gelap, hanya diterangi oleh seberkas cahaya neon yang menyelinap dari koridor. Di sudut itu, mereka tersembunyi dari dunia, dari tanggung jawab, dari Reza, dari segala yang menahan Aisyah.
Wajah Ryan kini hanya sejengkal dari wajah Aisyah. “Dok, bilang kalau aku harus berhenti,” katanya, suaranya serak, penuh dengan keinginan yang nyaris tak terkendali. “Bilang sekarang, atau aku nggak akan bisa nahan diri.”
Aisyah tidak bisa berbicara. Napasnya tersengal, dadanya naik-turun dengan cepat di bawah blus yang tiba-tiba terasa terlalu ketat. Jilbabnya masih rapi, tapi ada sesuatu di dalam dirinya yang sudah tercerabut, liar dan tak terkendali. “Ryan…” bisiknya lagi, tapi kali ini suaranya penuh dengan kerinduan.
Itu adalah izin yang Ryan butuhkan. Dengan gerakan yang lincah, ia menangkup wajah Aisyah dengan kedua tangan, jari-jarinya membelai pipinya sebelum bibirnya menempel pada bibir Aisyah. Ciuman itu spontan, penuh energi muda yang mentah, berbeda dari ciuman Arga yang penuh dominasi atau Dimas yang penuh perhitungan. Ryan menciumnya seperti anak muda yang haus, lidahnya menari dengan cekatan, menjelajahi setiap inci mulut Aisyah dengan rasa ingin tahu yang tak pernah puas.
Aisyah merespons tanpa berpikir, tangannya meraih jaket Ryan, menariknya lebih dekat. Tubuh mereka bertabrakan, dada Aisyah menekan dada Ryan yang keras, dan panas tubuhnya membuatnya lupa pada segala yang pernah ia anggap benar. Ciuman mereka semakin dalam, napas mereka bercampur, dan suara desahan kecil Aisyah mengisi ruangan, lembut namun memabukkan.
Ryan memutus ciuman itu sejenak, matanya berkilau dengan campuran kemenangan dan nafsu. “Dok, kamu manis banget,” bisiknya, suaranya serak. Tangannya meluncur ke pinggang Aisyah, menariknya hingga pinggul mereka bersentuhan. Aisyah bisa merasakan kekerasan tubuh Ryan melalui celananya, dan sensasi itu mengirimkan gelombang panas ke seluruh tubuhnya. “Aku udah bayangin ini dari pertama kali lihat Dok.”
“Ryan, kita nggak boleh…” Aisyah mencoba sekali lagi, tapi kata-katanya terputus ketika Ryan mencium lehernya, bibirnya menyapu kulit sensitif di bawah telinga, tepat di tempat jilbabnya bertemu dengan kulitnya. Sentuhan itu seperti listrik, membuat Aisyah menggigit bibir untuk menahan erangan.
“Nggak boleh, tapi enak, kan?” Ryan tertawa pelan, suaranya penuh keberanian. Tangannya kini bergerak lebih berani, menyelinap di bawah blus Aisyah, jari-jarinya menemukan kulit halus di perutnya. Ia mengelusnya dengan lembut, kontras dengan energi liar dalam ciumannya. “Dok, tubuh kamu… kayak mimpi.”
Aisyah menutup mata, menyerah pada sensasi. Tangannya meraih rambut Ryan, menariknya lebih dekat, seolah ingin menenggelamkan diri dalam gelombang yang membanjirinya. Ryan, dengan kecepatan yang mengejutkan, mengangkat Aisyah hingga pinggulnya bertumpu pada rak arsip rendah di sudut ruangan. Kini, posisi mereka sejajar, mata mereka bertemu dalam jarak yang begitu dekat sehingga Aisyah bisa melihat setiap detail di wajah Ryan—flek kecil di pipinya, kilau keringat di dahinya, dan nafsu yang membakar di matanya.
“Ryan, ini gila…” bisik Aisyah, tapi tubuhnya berkata sebaliknya. Kakinya tanpa sadar melingkar di pinggang Ryan, menariknya lebih dekat, hingga kekerasan di antara kaki Ryan menekan bagian paling sensitif dari tubuhnya. Sensasi itu membuatnya tersengal, kepalanya terlempar ke belakang, menabrak rak dengan suara pelan.
“Gila, tapi Dok suka, kan?” Ryan tersenyum nakal, tangannya kini membuka kancing blus Aisyah satu per satu, dengan kecepatan yang menunjukkan pengalaman. Ketika blus itu terbuka, memperlihatkan bra hitam yang kontras dengan kulit cerah Aisyah, Ryan menghela napas. “Ya Tuhan, Dok… kamu bikin aku gila.”
Aisyah tidak punya waktu untuk malu. Ryan menunduk, bibirnya menemukan lekuk di antara payudaranya, mencium dan menjilat dengan penuh semangat. Lidahnya menari di kulitnya, meninggalkan jejak basah yang membuat Aisyah menggigit bibir lebih keras, takut suaranya akan terdengar hingga koridor. “Ryan… pelan-pelan…” desahnya, tapi kata-kata itu lebih seperti permohonan agar ia terus melanjutkan.
Ryan tidak mendengar—orang-orang muda seperti dia jarang mendengar ketika nafsu mengambil alih. Tangannya meraih bra Aisyah, menurunkannya dengan gerakan cepat hingga payudaranya terbebas. Ia menatapnya sejenak, matanya penuh kagum, sebelum mulutnya menyelimuti salah satu puncak, lidahnya berputar dengan cekatan, menggoda hingga Aisyah menggeliat. “Ryan… oh…” erangnya tak tertahan lagi, tangannya mencengkeram rambut Ryan, menariknya lebih dalam.
Sementara mulutnya sibuk, tangan Ryan tidak tinggal diam. Ia menarik rok Aisyah ke atas, jari-jarinya menemukan tepi celana dalamnya. Dengan gerakan yang lincah, ia menyingkirkannya, menyentuh bagian paling intim dari tubuh Aisyah dengan jari-jari yang penuh rasa ingin tahu. Sentuhan pertamanya membuat Aisyah tersentak, pinggulnya bergerak sendiri, mencari lebih banyak tekanan. “Dok, kamu udah basah banget,” bisik Ryan, suaranya penuh kemenangan. “Ini buat aku, ya?”
Aisyah tidak menjawab—ia tidak bisa. Pikirannya telah larut dalam kabut kenikmatan, setiap sentuhan Ryan seperti bensin yang dituangkan ke api. Jari-jarinya bergerak dengan ritme yang sempurna, menjelajahi setiap lipatan, menggoda hingga Aisyah merasa seperti akan meledak. “Ryan… tolong…” desahnya, tak tahu apa yang ia minta—berhenti atau terus.
Ryan tertawa pelan, suara yang rendah dan penuh godaan. “Tolong apa, Dok? Ini?” Ia menambah tekanan, jari-jarinya kini bergerak lebih cepat, lebih dalam, sementara ibu jarinya menggosok titik paling sensitif dengan keahlian yang mengejutkan untuk usianya. Aisyah merasa dunia menyusut menjadi satu titik—titik di mana tubuh mereka bertemu, di mana Ryan membawanya ke tepi jurang.
“Ryan… aku… aku nggak tahan…” Aisyah memejamkan mata, kepalanya terlempar ke belakang, jilbabnya sedikit tergeser, memperlihatkan lehernya yang basah oleh keringat. Ryan menangkap momen itu, bibirnya kembali mencium lehernya, giginya menggigit ringan, meninggalkan tanda kecil yang akan menjadi rahasia mereka.
“Ayo, Dok, lepaskan,” bisik Ryan, suaranya seperti mantra. “Aku pengen denger suara kamu.”
Kata-kata itu menjadi pemicu. Dengan erangan yang tertahan, Aisyah mencapai puncak, tubuhnya menegang, kakinya mencengkeram pinggang Ryan dengan erat. Gelombang kenikmatan menyapunya, begitu kuat hingga ia lupa di mana ia berada, lupa pada klinik, pada Reza, pada dunia. Hanya ada Ryan, tangannya, mulutnya, dan panas yang membakarnya dari dalam.
Ketika gelombang itu mereda, Aisyah terengah, tubuhnya lemas di atas rak arsip. Ryan menarik tangannya, menatapnya dengan senyum nakal yang kini bercampur dengan kelembutan. “Dok, kamu… luar biasa,” katanya, mencium kening Aisyah dengan lembut, kontras dengan intensitas yang baru saja mereka bagi.
Aisyah membuka mata, realitas kembali menyerang seperti air dingin. Ia masih di klinik, jilbabnya sedikit berantakan, blusnya terbuka, dan Ryan berdiri di depannya, napasnya masih cepat. “Ryan… kita… apa yang kita lakukan?” bisiknya, suaranya penuh dengan campuran kenikmatan dan rasa bersalah.
Ryan mengangkat bahu, senyumnya tetap nakal. “Kita cuma jujur sama apa yang kita mau, Dok. Dan aku tahu, ini nggak akan jadi yang terakhir.” Ia membantunya merapikan pakaian, jari-jarinya sengaja menyentuh kulit Aisyah lebih lama dari yang diperlukan, mengirimkan getaran kecil yang membuatnya tersentak.
Aisyah tidak menjawab. Ia memperbaiki jilbabnya, mencoba mengembalikan wajah dokter yang profesional, tapi di dalam dirinya, ia tahu Ryan benar. Ini bukan akhir—ini baru permulaan. Dan ketika ia pulang malam itu, dengan aroma Ryan masih melekat di kulitnya, ia tahu bahwa pernikahannya dengan Reza, yang sudah retak, kini berada di ambang kehancuran.
59Please respect copyright.PENANAX4lywO99Yh
59Please respect copyright.PENANA9U40hKQsYs
Bab 7: Jaring Laba-Laba
Jakarta terbungkus dalam selimut malam yang kelam, hujan gerimis menyapu jalanan, meninggalkan kilau basah di trotoar dan gemerlap lampu neon yang memantul di genangan air. Di dalam apartemen mewah di kawasan Sudirman, Aisyah berdiri di dekat jendela besar, menatap kota yang berkilau di bawahnya. Jilbab biru tua yang membingkai wajahnya sedikit bergeser, memperlihatkan sehelai rambut hitam yang menjuntai di pelipisnya. Ia merasa seperti aktor dalam drama yang tak ia tulis, terperangkap dalam jaring laba-laba yang ia rajut sendiri. Di usia 32 tahun, ia seharusnya menjadi dokter andrologi yang disegani, istri yang setia, dan wanita yang menjaga martabatnya. Tapi malam ini, ia hanya Aisyah—wanita yang tenggelam dalam lautan hasrat, dengan tiga pria yang masing-masing mencabik-cabik hatinya dengan cara berbeda.
Arga, pria atletis berusia 28 tahun, adalah badai yang menghantamnya dengan intensitas liar. Dimas, eksekutif berusia 35 tahun, adalah pelabuhan yang menawarkan kelembutan namun penuh rahasia. Dan Ryan, mahasiswa kedokteran berusia 25 tahun, adalah angin segar yang membawa spontanitas namun juga bahaya. Ketiganya telah menjerat Aisyah dalam hubungan terlarang, masing-masing memenuhi sisi berbeda dari dirinya yang telah lama terpendam. Namun, malam ini, Arga yang memanggilnya, dengan pesan singkat yang penuh perintah: “Aku perlu bicara. Apartemenku, jam 9.” Nada pesannya tidak meminta, melainkan menuntut, dan sifat posesifnya mulai terlihat, seperti duri yang perlahan menusuk.
Aisyah menarik napas dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya yang tak terkendali. Ia tahu seharusnya menolak, seharusnya pulang ke rumah, ke Reza, suaminya yang mulai curiga dengan keterlambatannya. Tapi Reza, dengan dunianya yang penuh kontrak dan perjalanan dinas, terasa seperti bayangan yang semakin memudar. Enam bulan tanpa sentuhan, tanpa percakapan yang bermakna, telah meninggalkan lubang di hati Aisyah—lubang yang kini diisi oleh nafsu yang tak pernah ia duga akan begitu kuat. Ia menoleh ke cermin di sudut ruangan, melihat wajahnya yang halus, pipinya yang merona, dan matanya yang berkilau dengan campuran rasa bersalah dan kerinduan. “Kamu masih bisa berhenti,” bisiknya pada bayangannya, tapi kata-kata itu terdengar hampa, seperti mantra yang telah kehilangan kekuatannya.
Pintu apartemen terbuka sebelum ia sempat mengetuk, dan Arga berdiri di ambang pintu, tubuhnya yang kekar memenuhi kusen. Ia mengenakan kaus hitam ketat yang memperlihatkan otot-otot lengan dan dadanya, celana jins yang sedikit usang, dan rambutnya yang basah seolah baru selesai mandi. Matanya, tajam dan penuh hasrat, mengunci pandangan Aisyah, membuatnya merasa seperti mangsa yang tak bisa lari. “Kamu datang,” katanya, suaranya rendah, hampir seperti geraman. “Aku udah mikir kamu bakal kabur lagi.”
Aisyah menegakkan tubuh, mencoba mempertahankan wibawanya. “Kamu bilang kita perlu bicara,” jawabnya, nadanya datar, tapi ada getar kecil yang mengkhianati ketenangannya. “Jadi, apa yang mau dibicarakan, Arga?”
Arga tersenyum, tapi senyuman itu bukan senyuman ramah. Ada sesuatu di dalamnya—kepemilikan, keinginan, dan sedikit kemarahan. “Masuk dulu,” katanya, melangkah ke samping untuk memberi jalan. “Nggak enak ngobrol di depan pintu.”
Aisyah ragu sejenak, tapi kakinya bergerak sendiri, melangkah masuk ke apartemen yang diterangi lampu temaram. Ruangan itu luas, dengan sofa kulit hitam, meja kaca, dan jendela-jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota. Aroma dalam ruangan itu berbau kayu mahal dan asap rokok, campuran yang entah kenapa cocok dengan aura Arga—maskulin, sedikit liar, dan penuh bahaya. Aisyah merasa seperti lalat yang terbang terlalu dekat ke sarang laba-laba, tapi ia tak bisa menahan diri untuk tidak mendekat.
Arga menutup pintu di belakangnya, suara kunci yang diklik terdengar seperti palu yang memaku nasibnya. Ia berjalan mendekat, langkahnya pelan namun penuh tujuan, seperti predator yang tahu mangsanya tak akan lari. “Kamu udah jauh-jauh datang, Aisyah,” katanya, suaranya lembut tapi ada nada tajam di dalamnya. “Tapi aku tahu kamu nggak cuma datang buat ngobrol, kan?”
Aisyah merasa panas merayap di lehernya, wajahnya memanas di balik jilbabnya. “Arga, kalau kamu cuma mau main-main, aku pulang sekarang,” katanya, mencoba terdengar tegas, tapi suaranya terdengar lebih seperti permohonan.
Arga tertawa, suara yang dalam dan sedikit kasar. “Main-main? Aisyah, aku nggak main-main soal kamu.” Ia melangkah lebih dekat, kini hanya beberapa inci darinya, cukup dekat sehingga Aisyah bisa mencium aroma sabun dan aftershave-nya, campuran yang memabukkan. “Aku tahu kamu ketemu Dimas. Aku tahu kamu juga deket sama anak magang itu, Ryan. Apa, aku nggak cukup buat kamu?”
Aisyah tersentak, jantungnya berdegup kencang. Bagaimana Arga tahu? Apakah Dimas yang bicara, atau Ryan yang ceroboh? Atau apakah Arga hanya menebak, mencoba memancing reaksinya? “Kamu nggak punya hak atas aku, Arga,” katanya, suaranya gemetar tapi penuh tantangan. “Aku bukan milikmu.”
Mata Arga menyipit, dan untuk sesaat, Aisyah merasa seperti melihat kilatan kemarahan. Tapi kemudian ia tersenyum, senyuman yang berbahaya. “Bukan milikku? Kita lihat itu.” Dengan gerakan cepat, ia meraih pergelangan tangan Aisyah, menariknya mendekat hingga tubuh mereka hampir bersentuhan. “Kamu bisa bohong ke diri sendiri, Aisyah, tapi tubuh kamu nggak bohong. Aku tahu apa yang kamu mau.”
Aisyah mencoba menarik tangannya, tapi cengkeraman Arga kuat, bukan menyakitkan tapi penuh kendali. “Arga, lepaskan,” katanya, tapi suaranya lemah, seperti daun yang terbawa angin. Ia tahu ia bisa berteriak, bisa mendorongnya, bisa pergi—tapi ada bagian dirinya yang tidak ingin. Bagian yang haus, yang merindukan sentuhan, yang telah terbangun sejak malam itu di klinik dan kini menolak untuk tidur lagi.
Arga tidak melepaskannya. Malah, ia menariknya lebih dekat, tangannya yang lain meraih pinggang Aisyah, menekannya hingga pinggul mereka bertemu. Aisyah tersengal, merasakan kekerasan tubuh Arga melalui celananya, sensasi yang mengirimkan gelombang panas ke seluruh tubuhnya. “Kamu bisa bilang apa aja, Aisyah,” bisiknya, wajahnya kini begitu dekat sehingga napasnya menyapu bibirnya. “Tapi aku tahu kamu pengen ini. Sama kayak aku pengen kamu.”
Aisyah menutup mata, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menolak, tapi aroma Arga, panas tubuhnya, dan suaranya yang serak membuat dinding pertahanannya runtuh. “Arga… ini salah…” bisiknya, tapi kata-kata itu terdengar seperti pengakuan, bukan penolakan.
“Salah? Mungkin. Tapi enak banget, kan?” Arga tertawa pelan, tangannya kini meluncur ke punggung Aisyah, menariknya hingga dadanya menekan dadanya yang keras. Ia menunduk, bibirnya menyapu leher Aisyah, tepat di tempat jilbabnya bertemu dengan kulitnya, meninggalkan jejak panas yang membuatnya menggigit bibir untuk menahan erangan. “Aku mau kamu lupain mereka, Aisyah. Malam ini, cuma aku yang ada di pikiran kamu.”
Aisyah tidak bisa menjawab. Pikirannya telah larut dalam kabut, setiap sentuhan Arga seperti percikan yang membakar. Ia merasakan tangannya meraih rambut Arga, bukan untuk mendorong, tapi untuk menariknya lebih dekat, seolah ingin menenggelamkan diri dalam gelombang yang membanjirinya. Arga, merasakan kepasrahannya, tidak membuang waktu. Dengan gerakan yang terlatih, ia mengangkat Aisyah, tangannya mencengkeram pinggulnya, dan membawanya ke kamar tidur di ujung apartemen.
Kamar itu luas, dengan ranjang besar yang ditutupi seprai hitam, diterangi hanya oleh lampu meja kecil yang memancarkan cahaya keemasan. Arga meletakkan Aisyah di ranjang dengan lembut, tapi ada kekuatan dalam gerakannya, seperti ia ingin menunjukkan bahwa malam ini, ia yang memegang kendali. Ia berdiri di atasnya sejenak, matanya menelusuri tubuh Aisyah, dari jilbab yang masih rapi hingga lekuk tubuhnya yang tersembunyi di bawah blus dan rok panjang. “Kamu cantik banget,” katanya, suaranya serak, penuh dengan nafsu yang nyaris tak terkendali. “Tapi aku pengen lihat lebih.”
Aisyah merasa jantungnya berdegup kencang, campuran antara rasa takut dan kegembiraan. Ia tahu ia bisa berhenti sekarang, bisa bangkit dan pergi, tapi tubuhnya menolak. Dengan tangan yang gemetar, ia meraih ujung jilbabnya, melepasnya perlahan, memperlihatkan rambut hitamnya yang panjang dan mengalir seperti air terjun. Arga menghela napas, matanya berkilau dengan kagum dan hasrat. “Ya Tuhan, Aisyah…” bisiknya, melangkah mendekat.
Ia berlutut di ranjang, tangannya meraih blus Aisyah, membuka kancingnya satu per satu dengan kecepatan yang menunjukkan pengalaman. Ketika blus itu terbuka, memperlihatkan bra putih yang kontras dengan kulit cerahnya, Arga menggeram pelan, seperti binatang yang akhirnya menemukan mangsanya. “Kamu bikin aku gila,” katanya, tangannya meluncur ke punggung Aisyah, membuka kait bra dengan gerakan cepat. Ketika payudaranya terbebas, Arga menatapnya sejenak, matanya penuh kagum, sebelum mulutnya menyelimuti salah satu puncak, lidahnya berputar dengan cekatan, menggoda hingga Aisyah menggeliat.
“Arga… oh…” erang Aisyah, tangannya mencengkeram seprai, mencoba menahan gelombang kenikmatan yang menyapunya. Lidah Arga seperti senjata, menari di kulitnya, meninggalkan jejak basah yang membuatnya merasa seperti akan meleleh. Ia bergeser ke puncak lainnya, giginya menggigit ringan, cukup untuk mengirimkan sensasi yang bercampur antara sakit dan nikmat. “Arga… pelan-pelan…” desahnya, tapi kata-kata itu lebih seperti permohonan agar ia terus melanjutkan.
Arga tidak mendengar—orang seperti dia jarang mendengar ketika nafsu mengambil alih. Tangannya kini meraih rok Aisyah, menariknya ke bawah dengan gerakan yang kasar namun penuh tujuan, membawa serta celana dalamnya. Aisyah kini telanjang di hadapannya, hanya rambut panjangnya yang menutupi sebagian tubuhnya seperti cadar alami. Arga menatapnya, matanya seperti menelannya utuh, sebelum ia melepaskan kausnya sendiri, memperlihatkan otot-otot yang terpahat sempurna, keringat yang mulai membasahi kulitnya, dan tato kecil di dadanya—sebuah elang dengan sayap terbuka, simbol kebebasan yang liar.
“Kamulah yang aku mau, Aisyah,” katanya, suaranya penuh dengan janji dan ancaman. Ia merangkak di atasnya, tangannya mencengkeram pergelangan tangan Aisyah, menahannya di atas kepala, membuatnya merasa rentan namun anehnya aman. “Malam ini, kamu milikku.”
Aisyah tidak bisa menjawab. Napasnya tersengal, dadanya naik-turun dengan cepat, dan matanya terkunci pada mata Arga, melihat api yang membakar di dalamnya. Ia merasakan tangan Arga yang lain meluncur ke bawah, menyentuh bagian paling intim dari tubuhnya, jari-jarinya menjelajahi dengan kelembutan yang kontras dengan kekasaran gerakannya sebelumnya. Sentuhan pertamanya membuat Aisyah tersentak, pinggulnya bergerak sendiri, mencari lebih banyak tekanan. “Arga… kamu…” desahnya, tak tahu apa yang ingin ia katakan.
“Kamu udah siap buat aku,” bisik Arga, suaranya penuh kemenangan. Jari-jarinya bergerak dengan ritme yang sempurna, menjelajahi setiap lipatan, menggoda hingga Aisyah merasa seperti akan meledak. “Aku pengen denger suara kamu, Aisyah. Jangan tahan.”
Aisyah menggigit bibir, mencoba menahan erangan, tapi ketika Arga menambah tekanan, ibu jarinya menggosok titik paling sensitif dengan keahlian yang mematikan, ia menyerah. “Arga… oh, Tuhan…” erangnya, kepalanya terlempar ke belakang, rambutnya tersebar di seprai seperti halo hitam. Tubuhnya menegang, kakinya mencengkeram pinggang Arga, menariknya lebih dekat, seolah ingin menyatu dengannya.
Arga tertawa, suara yang rendah dan penuh godaan. “Itu baru permulaan,” katanya, melepaskan pergelangan tangan Aisyah untuk membuka celananya. Ketika ia telanjang, Aisyah menahan napas, matanya menelusuri tubuhnya yang seperti dipahat dari batu—otot-otot yang tegang, kulit yang berkilau oleh keringat, dan kekerasan yang menunjukkan betapa ia menginginkannya. Ia kembali ke atasnya, posisinya kini sejajar, matanya mengunci mata Aisyah dalam tatapan yang penuh dominasi.
“Kamu mau ini, kan?” tanyanya, suaranya serak, hampir memohon tapi tetap penuh kendali. “Bilang, Aisyah. Aku pengen denger.”
Aisyah menutup mata, rasa bersalah dan hasrat bertarung di dalam dirinya. Tapi tubuhnya telah memilih. “Ya… aku mau…” bisiknya, suaranya penuh dengan kepasrahan dan kerinduan.
Itu adalah izin yang Arga butuhkan. Dengan gerakan yang kuat namun terkendali, ia memasuki Aisyah, mengisi kekosongan yang telah lama ia rasakan. Sensasi itu begitu kuat, begitu penuh, sehingga Aisyah menjerit pelan, tangannya mencengkeram pundak Arga, kuku-kukunya meninggalkan jejak kecil di kulitnya. Arga menggeram, tubuhnya bergerak dengan ritme yang liar namun teratur, setiap dorongan seperti gelombang yang menghantam pantai, membawa Aisyah lebih dekat ke tepi jurang.
“Arga… lebih cepat…” desah Aisyah, suaranya penuh dengan kebutuhan yang tak pernah ia akui sebelumnya. Ia melingkarkan kakinya di pinggang Arga, menariknya lebih dalam, menyerahkan dirinya sepenuhnya pada sensasi. Tubuh mereka bergerak bersama, keringat mereka bercampur, dan suara desahan mereka mengisi ruangan, seperti simfoni yang penuh gairah dan dosa.
Arga menurunkan kepalanya, bibirnya menemukan bibir Aisyah, menciumnya dengan nafsu yang mentah, lidahnya menari dengan cekatan, menjelajahi setiap inci mulutnya. “Kamu milikku, Aisyah,” bisiknya di sela-sela ciuman, suaranya penuh dengan kepemilikan. “Lupain mereka. Cuma aku yang bisa bikin kamu gini.”
Aisyah tidak menjawab—ia tidak bisa. Pikirannya telah larut, dunia menyusut menjadi ranjang ini, tubuh Arga, dan kenikmatan yang membakarnya dari dalam. Ia merasakan tekanan yang semakin kuat, tubuhnya menegang, dan dengan erangan yang keras, ia mencapai puncak, gelombang kenikmatan menyapunya, begitu kuat hingga ia lupa pada segala yang pernah ia anggap benar. Arga mengikuti tak lama kemudian, tubuhnya menegang, geramannya menggema di telinga Aisyah saat ia mencapai klimaks, mengisi dirinya dengan panas yang terasa seperti pengakuan dan hukuman sekaligus.
Ketika gelombang itu mereda, mereka terengah, tubuh mereka masih saling menempel, keringat mereka bercampur di seprai yang kini berantakan. Arga menarik diri perlahan, berbaring di samping Aisyah, tangannya masih mencengkeram pinggangnya, seolah takut ia akan menghilang. “Kamu… luar biasa,” katanya, suaranya kini lebih lembut, tapi masih penuh dengan kepemilikan.
Aisyah tidak menjawab. Ia menatap langit-langit, napasnya masih tersengal, dan realitas mulai merayap kembali. Ia telah menyerahkan dirinya pada Arga, pada nafsunya, pada dosa yang kini terasa seperti bagian dari dirinya. Tapi di dalam hatinya, ia tahu ini bukan akhir. Dimas dan Ryan masih ada, masing-masing dengan caranya sendiri, menariknya ke arah yang berbeda. Dan Reza, suaminya, semakin dekat untuk menemukan kebenaran.
Malam itu, ketika ia meninggalkan apartemen Arga dengan jilbab yang kembali rapi dan wajah yang disembunyikan oleh kegelapan, Aisyah tahu bahwa ia telah terjebak dalam jaring laba-laba yang tak bisa ia lepaskan. Dan yang lebih menakutkan, ia tidak yakin apakah ia ingin lepas.
59Please respect copyright.PENANAMwi5e8FeDL
59Please respect copyright.PENANA3wYHuyS4Dr
Bab 8: Retakan Rumah Tangga
Hujan turun deras di Jakarta malam itu, menyelimuti kota dengan tirai air yang tak henti-hentinya. Di dalam rumah mewah di kawasan Kebayoran Baru, Aisyah duduk di sofa ruang tamu, jari-jarinya meremas ujung jilbab merah marun yang membingkai wajahnya. Cahaya lampu kristal di atasnya memantul di wajahnya yang pucat, memperlihatkan garis-garis kecemasan di sudut matanya. Di usia 32 tahun, ia adalah dokter andrologi yang disegani, wanita yang anggun di balik jilbabnya, namun malam ini, ia merasa seperti cangkang kosong, dihantui oleh rahasia yang semakin sulit disembunyikan. Reza, suaminya, duduk di kursi di depannya, matanya yang tajam menelusuri wajah Aisyah dengan ekspresi yang sulit dibaca—campuran antara curiga dan kelelahan.
“Aisyah, kenapa kamu selalu pulang larut akhir-akhir ini?” tanya Reza, suaranya datar namun penuh tekanan. “Klinik tutup jam tujuh, tapi kamu baru sampai rumah jam sebelas, kadang tengah malam. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Aisyah menelan ludah, mencoba menjaga napasnya tetap stabil. Jantungnya berdegup kencang, seperti burung yang terperangkap dalam sangkar. “Reza, aku… ada banyak pasien. Kadang aku harus menangani kasus darurat,” jawabnya, suaranya lembut tapi ada getar kecil yang mengkhianati kebohongannya. Ia tahu Reza tidak bodoh. Enam bulan tanpa keintiman telah menciptakan jurang di antara mereka, dan kini, setiap keterlambatan Aisyah seperti batu yang memperlebar retakan itu.
Reza menghela napas, mengusap wajahnya dengan tangan yang lelah. “Aisyah, aku bukan anak kecil. Aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Kamu berubah. Kamu nggak lagi cerita apa-apa ke aku. Dulu, kita selalu ngobrol, meski cuma soal hal kecil. Sekarang… kamu kayak orang asing.”
Kata-kata itu seperti pisau, menusuk tepat di hati Aisyah. Ia ingin menangis, ingin mengakui segalanya—tentang Arga dan intensitasnya yang liar, tentang Ryan dan spontanitasnya yang membakar, tentang Dimas dan kelembutannya yang kini mulai terasa seperti cinta. Tapi ia hanya bisa menunduk, jari-jarinya mencengkeram jilbabnya lebih erat. “Aku cuma capek, Reza. Pekerjaan… banyak tekanan,” bisiknya, suaranya hampir tak terdengar di tengah deru hujan di luar.
Reza tidak menjawab. Ia bangkit, berjalan menuju jendela, memandang hujan yang mengguyur kota. “Aku nggak mau kehilangan kamu, Aisyah,” katanya akhirnya, suaranya rendah, penuh dengan emosi yang tertahan. “Tapi aku juga nggak bisa hidup sama orang yang nggak jujur. Pikirkan itu.”
Aisyah merasa dadanya sesak. Ia ingin berlari ke pelukan Reza, meminta maaf, berjanji untuk berubah. Tapi bayang-bayang Arga, Ryan, dan Dimas seperti rantai yang mengikatnya, menariknya ke dalam jurang yang ia ciptakan sendiri. Ketika Reza meninggalkan ruangan tanpa kata lagi, Aisyah tahu bahwa pernikahannya berada di ujung tanduk, dan ia sendiri yang memegang pisau yang siap memotong talinya.
Pagi harinya, klinik terasa seperti penjara dan pelarian sekaligus. Aisyah menjalani hari dengan gerakan mekanis—memeriksa pasien, menulis laporan, tersenyum pada staf—tapi pikirannya kacau. Reza tidak berbicara dengannya pagi ini, hanya meninggalkan secangkir kopi di meja dapur sebelum pergi ke kantor. Keheningan itu lebih menyakitkan daripada pertengkaran, dan Aisyah merasa seperti berjalan di atas tali yang rapuh, siap putus kapan saja.
Sore itu, Dimas muncul di klinik, bukan sebagai pasien, tapi dengan alasan yang samar tentang “konsultasi tambahan.” Aisyah tahu itu hanya dalih. Dimas, dengan setelan jas abu-abunya yang rapi dan senyum yang selalu penuh pesona, memiliki cara untuk membuat Aisyah merasa dilihat, diinginkan, berbeda dari kekasaran Arga atau keberanian Ryan. Ketika ia masuk ke ruang konsultasi, Aisyah merasa jantungnya berdegup lebih cepat, campuran antara kegembiraan dan rasa bersalah.
“Dokter Aisyah, aku cuma mau pastikan semuanya baik-baik saja,” kata Dimas, suaranya lembut namun penuh makna. Ia duduk di kursi pasien, tapi matanya tidak pernah lepas dari Aisyah, menelusuri wajahnya, jilbabnya, hingga lekuk tubuhnya yang tersembunyi di bawah blus putih dan rok panjang. “Kamu kelihatan… lelah. Apa ada yang bisa aku bantu?”
Aisyah tersenyum tipis, mencoba menjaga jarak profesional. “Terima kasih, Dimas, tapi aku baik-baik saja. Hanya… hari yang panjang.” Ia berjalan ke meja, menyibukkan diri dengan merapikan kertas yang sebenarnya sudah rapi, hanya untuk menghindari tatapan Dimas yang terasa seperti sinar matahari—hangat, tapi bisa membakar.
Dimas bangkit, melangkah mendekat dengan gerakan yang elegan, seperti kucing yang tahu persis kapan harus menerkam. “Aisyah, aku tahu kamu nggak baik-baik saja,” katanya, suaranya rendah, hampir seperti bisikan. “Aku lihat cara kamu bergerak, cara kamu menunduk setiap kali aku tanya soal hidupmu. Kamu nggak perlu bohong ke aku.”
Aisyah menoleh, bermaksud menegurnya, tapi Dimas sudah terlalu dekat, aroma parfumnya—campuran kayu cendana dan musk—mengisi udara di antara mereka. “Dimas, ini nggak pantas,” katanya, tapi suaranya lemah, seperti daun yang terbawa angin. Ia tahu ia seharusnya mundur, seharusnya mengusirnya, tapi ada sesuatu di mata Dimas—kelembutan, pengertian, dan sesuatu yang terasa seperti cinta—yang membuatnya terpaku.
“Pantas atau nggak, Aisyah, aku peduli sama kamu,” kata Dimas, tangannya bergerak, menyentuh lengan Aisyah dengan lembut, jari-jarinya meluncur di atas kain blusnya, meninggalkan jejak panas yang tak terlihat. “Aku tahu kamu lagi tertekan. Biar aku bantu kamu lupain, meski cuma sebentar.”
Aisyah menutup mata, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menolak, tapi sentuhan Dimas seperti air yang meresap ke tanah kering, membangkitkan sesuatu yang telah lama mati di dalam dirinya. “Dimas… aku nggak bisa terus begini,” bisiknya, suaranya penuh dengan kerinduan dan rasa bersalah.
Dimas tidak mundur. Malah, ia melangkah lebih dekat, tangannya kini menangkup pipi Aisyah, jari-jarinya membelai kulitnya dengan kelembutan yang kontras dengan kekasaran Arga atau energi Ryan. “Aisyah, kamu nggak sendirian,” bisiknya, wajahnya kini begitu dekat sehingga napasnya menyapu bibirnya. “Aku di sini. Biar aku jaga kamu malam ini.”
Kata-kata itu seperti kunci yang membuka pintu yang telah lama terkunci. Aisyah merasa air mata menggenang di matanya, tapi sebelum ia bisa menangis, Dimas menariknya ke dalam pelukannya, bibirnya menemukan bibir Aisyah dalam ciuman yang lembut namun penuh gairah. Ciuman itu berbeda dari ciuman Arga yang penuh dominasi atau Ryan yang penuh energi muda—ini adalah ciuman yang penuh perhatian, seperti Dimas ingin menghapus setiap luka di hati Aisyah.
Aisyah merespons tanpa berpikir, tangannya meraih jaket Dimas, menariknya lebih dekat. Tubuh mereka bertabrakan, dan panas tubuh Dimas membuatnya lupa pada hujan di luar, pada Reza, pada dunia yang runtuh di sekitarnya. Ciuman mereka semakin dalam, lidah Dimas menari dengan cekatan, menjelajahi setiap inci mulut Aisyah dengan kelembutan yang membuatnya menggigil.
Dimas memutus ciuman itu sejenak, matanya berkilau dengan campuran hasrat dan kasih sayang. “Aisyah, ayo pergi dari sini,” bisiknya, suaranya serak. “Aku udah pesan kamar di hotel. Kita bisa kabur, meski cuma semalam. Kamu perlu ini, dan aku… aku perlu kamu.”
Aisyah tahu ia seharusnya menolak, tapi kata-kata Dimas, pelukannya, dan janji pelarian itu terlalu menggoda. “Dimas… ini gila,” bisiknya, tapi tubuhnya sudah bergerak, mengangguk, menyerahkan dirinya pada keputusan yang ia tahu akan menambah beban rasa bersalahnya.
Tiga puluh menit kemudian, mereka berada di kamar suite sebuah hotel mewah di pusat kota. Kamar itu luas, dengan ranjang besar yang ditutupi seprai sutra putih, jendela-jendela besar yang memperlihatkan gemerlap Jakarta di bawah hujan, dan lampu-lampu temaram yang menciptakan suasana intim. Aisyah berdiri di dekat jendela, jilbabnya masih rapi, tapi rambutnya yang sedikit terlihat di pelipis menunjukkan kerentanannya. Dimas berdiri di belakangnya, tangannya meraih pinggang Aisyah, menariknya hingga punggungnya menempel pada dadanya.
“Kamu cantik banget, Aisyah,” bisik Dimas, bibirnya menyapu lehernya, tepat di tempat jilbabnya bertemu dengan kulitnya. Sentuhan itu seperti listrik, membuat Aisyah menggigit bibir untuk menahan erangan. “Aku pengen bikin kamu lupa semua yang bikin kamu sedih.”
Aisyah menoleh, matanya bertemu dengan mata Dimas, dan di dalamnya ia melihat sesuatu yang lebih dari sekadar nafsu—ada perhatian, ada keinginan untuk melindungi. “Dimas… aku nggak tahu apa yang aku lakuin lagi,” bisiknya, suaranya penuh dengan kerapuhan.
Dimas tersenyum, tangannya membelai pipi Aisyah. “Kamu nggak perlu tahu malam ini. Cuma nikmati. Biar aku yang urus sisanya.” Ia menarik Aisyah menjauh dari jendela, membawanya ke ranjang dengan gerakan yang lembut namun penuh tujuan. Ia duduk di tepi ranjang, menarik Aisyah hingga ia berdiri di antara kakinya, tangannya meraih ujung jilbabnya.
“Boleh aku lepasin ini?” tanyanya, suaranya rendah, penuh dengan hormat yang membuat hati Aisyah meleleh. Ia mengangguk, tangannya gemetar, dan Dimas melepas jilbabnya dengan hati-hati, memperlihatkan rambut hitamnya yang panjang dan mengalir seperti air terjun. “Ya Tuhan, Aisyah… kamu sempurna,” bisiknya, matanya penuh kagum.
Dimas bangkit, tangannya kini meraih blus Aisyah, membuka kancingnya satu per satu dengan kelembutan yang kontras dengan kekasaran Arga atau kecepatan Ryan. Ketika blus itu terbuka, memperlihatkan bra hitam yang membungkus payudaranya, Dimas menghela napas, jari-jarinya meluncur di kulitnya, meninggalkan jejak panas yang membuat Aisyah menggigil. “Aku pengen nikmati setiap detik sama kamu,” katanya, tangannya membuka kait bra dengan gerakan yang terlatih, memperlihatkan payudaranya yang penuh dan lembut.
Aisyah menutup mata, merasakan tangan Dimas yang membelai kulitnya, jari-jarinya menelusuri lekuk payudaranya dengan kelembutan yang hampir seperti ibadah. “Dimas…” desahnya, suaranya penuh dengan kerinduan. Dimas menunduk, bibirnya menyapu puncak payudaranya, ciumannya lembut namun penuh gairah, lidahnya menari dengan cekatan, menggoda hingga Aisyah menggeliat, tangannya mencengkeram pundaknya.
“Kamu manis banget, Aisyah,” bisik Dimas, suaranya serak, penuh dengan keinginan yang terkendali. Ia menarik Aisyah ke ranjang, membaringkannya dengan lembut, tangannya kini meraih roknya, menariknya ke bawah bersama celana dalamnya. Aisyah kini telanjang di hadapannya, tubuhnya berkilau di bawah cahaya temaram, rambutnya tersebar di seprai seperti mahkota hitam. Dimas menatapnya sejenak, matanya penuh dengan kagum dan hasrat, sebelum ia melepaskan jas dan kemejanya, memperlihatkan tubuhnya yang ramping namun terlatih, kulitnya yang halus berkilau oleh keringat.
“Aku pengen bikin kamu merasa diinginkan,” katanya, merangkak di atas Aisyah, tangannya mencengkeram pinggulnya dengan lembut, posisinya kini sejajar. Ia menciumnya lagi, ciuman yang dalam dan penuh perhatian, lidahnya menjelajahi mulut Aisyah dengan kelembutan yang membuatnya merasa seperti sedang dicintai, bukan hanya diinginkan. “Kamu layak dapat lebih dari yang kamu pikir, Aisyah.”
Aisyah tidak bisa menjawab. Napasnya tersengal, dadanya naik-turun dengan cepat, dan matanya terkunci pada mata Dimas, melihat kelembutan yang membuatnya lupa pada rasa bersalahnya. Ia merasakan tangan Dimas meluncur ke bawah, menyentuh bagian paling intim dari tubuhnya, jari-jarinya menjelajahi dengan kelembutan yang kontras dengan kekasaran Arga atau energi Ryan. Sentuhan pertamanya membuat Aisyah tersentak, pinggulnya bergerak sendiri, mencari lebih banyak tekanan. “Dimas… oh…” desahnya, tangannya mencengkeram seprai, mencoba menahan gelombang kenikmatan yang menyapunya.
“Kamu udah basah, Aisyah,” bisik Dimas, suaranya penuh dengan kagum. Jari-jarinya bergerak dengan ritme yang sempurna, menjelajahi setiap lipatan, menggoda hingga Aisyah merasa seperti akan meleleh. “Aku pengen denger suara kamu. Jangan tahan.”
Aisyah menggigit bibir, mencoba menahan erangan, tapi ketika Dimas menambah tekanan, ibu jarinya menggosok titik paling sensitif dengan keahlian yang mematikan, ia menyerah. “Dimas… aku… aku nggak tahan…” erangnya, kepalanya terlempar ke belakang, rambutnya tersebar di seprai seperti halo hitam. Tubuhnya menegang, kakinya mencengkeram pinggang Dimas, menariknya lebih dekat, seolah ingin menyatu dengannya.
Dimas tersenyum, suara yang rendah dan penuh godaan. “Belum selesai, sayang,” katanya, melepaskan celananya dengan gerakan yang elegan, memperlihatkan kekerasan yang menunjukkan betapa ia menginginkannya. Ia kembali ke atas Aisyah, posisinya kini sejajar, matanya mengunci mata Aisyah dalam tatapan yang penuh kasih sayang. “Kamu mau aku, kan?” tanyanya, suaranya serak, penuh dengan keinginan yang terkendali.
Aisyah menutup mata, rasa bersalah dan hasrat bertarung di dalam dirinya. Tapi tubuhnya telah memilih. “Ya… aku mau kamu, Dimas…” bisiknya, suaranya penuh dengan kepasrahan dan kerinduan.
Itu adalah izin yang Dimas butuhkan. Dengan gerakan yang lembut namun penuh tujuan, ia memasuki Aisyah, mengisi kekosongan yang telah lama ia rasakan. Sensasi itu begitu penuh, begitu lembut, sehingga Aisyah menjerit pelan, tangannya mencengkeram pundak Dimas, kuku-kukunya meninggalkan jejak kecil di kulitnya. Dimas menggeram pelan, tubuhnya bergerak dengan ritme yang lambat namun dalam, setiap dorongan seperti puisi yang ditulis dengan tubuh, membawa Aisyah lebih dekat ke tepi jurang.
“Dimas… lebih dalam…” desah Aisyah, suaranya penuh dengan kebutuhan yang tak pernah ia akui sebelumnya. Ia melingkarkan kakinya di pinggang Dimas, menariknya lebih dekat, menyerahkan dirinya sepenuhnya pada sensasi. Tubuh mereka bergerak bersama, keringat mereka bercampur, dan suara desahan mereka mengisi ruangan, seperti simfoni yang penuh gairah dan cinta.
Dimas menurunkan kepalanya, bibirnya menemukan leher Aisyah, mencium dan menjilat dengan penuh perhatian, meninggalkan jejak basah yang membuatnya menggigil. “Aku suka suara kamu, Aisyah,” bisiknya di sela-sela ciuman, suaranya penuh dengan kasih sayang. “Aku suka segala tentang kamu.”
Aisyah tidak menjawab—ia tidak bisa. Pikirannya telah larut, dunia menyusut menjadi ranjang ini, tubuh Dimas, dan kenikmatan yang membakarnya dari dalam. Ia merasakan tekanan yang semakin kuat, tubuhnya menegang, dan dengan erangan yang keras, ia mencapai puncak, gelombang kenikmatan menyapunya, begitu kuat hingga ia lupa pada segala yang pernah ia anggap benar. Dimas mengikuti tak lama kemudian, tubuhnya menegang, geramannya menggema di telinga Aisyah saat ia mencapai klimaks, mengisi dirinya dengan panas yang terasa seperti janji dan pelarian sekaligus.
Ketika gelombang itu mereda, mereka terengah, tubuh mereka masih saling menempel, keringat mereka bercampur di seprai yang kini berantakan. Dimas menarik diri perlahan, berbaring di samping Aisyah, tangannya membelai rambutnya dengan kelembutan yang membuat air mata Aisyah mengalir. “Aku serius, Aisyah,” bisiknya, suaranya penuh dengan emosi. “Aku nggak cuma mau tubuh kamu. Aku mau kamu, semua tentang kamu.”
Aisyah tidak menjawab. Ia menatap langit-langit, napasnya masih tersengal, dan realitas mulai merayap kembali. Ia telah menyerahkan dirinya pada Dimas, pada nafsunya, pada perasaan yang kini mulai terasa seperti cinta. Tapi di dalam hatinya, ia tahu ini bukan akhir. Arga dan Ryan masih ada, masing-masing dengan caranya sendiri, menariknya ke arah yang berbeda. Dan Reza, suaminya, semakin dekat untuk menemukan kebenaran.
Malam itu, ketika ia meninggalkan hotel dengan jilbab yang kembali rapi dan wajah yang disembunyikan oleh kegelapan, Aisyah tahu bahwa ia telah terjebak dalam jaring laba-laba yang tak bisa ia lepaskan. Dan yang lebih menakutkan, ia tidak yakin apakah ia ingin lepas.
59Please respect copyright.PENANACavJHW8jsX
59Please respect copyright.PENANA1eNnbSzAAb
Bab 9: Ancaman Terbuka
Malam itu, Jakarta terasa seperti kota yang menahan napas, udara lembap dan berat dengan aroma tanah basah setelah hujan singkat. Di dalam klinik andrologi di Kuningan, lampu-lampu neon menyala dingin, menciptakan bayang-bayang tajam di dinding putih. Aisyah duduk di ruang konsultasinya, jari-jarinya meremas ujung jilbab hijau zaitun yang membingkai wajahnya. Wajahnya yang biasanya anggun kini dipenuhi garis-garis kecemasan, matanya cokelat tua berkilau dengan campuran ketakutan dan kerinduan yang tak terkendali. Di usia 32 tahun, ia seharusnya menjadi dokter yang teguh, istri yang setia, dan wanita yang menjaga martabatnya. Tapi kini, ia merasa seperti boneka yang ditarik oleh tali-tali tak terlihat, masing-masing dipegang oleh Arga, Dimas, dan Ryan—tiga pria yang telah menjeratnya dalam jaringan hasrat yang semakin sulit dilepaskan.
Reza, suaminya, telah mulai mencium aroma kebohongan. Pertanyaan-pertanyaannya yang tajam, tatapannya yang penuh curiga, dan keheningan yang kini mengisi rumah mereka adalah tanda bahwa retakan dalam pernikahan mereka semakin lebar. Aisyah tahu ia sedang bermain dengan api, tapi api itu—Arga dengan intensitasnya yang liar, Dimas dengan kelembutannya yang memabukkan, dan Ryan dengan spontanitasnya yang membakar—terasa seperti satu-satunya hal yang membuatnya hidup. Namun, malam ini, ancaman baru muncul, dan itu datang dari Ryan, pria termuda di antara mereka, yang kini menunjukkan sisi gelap dari keberanian mudanya.
Pesan Ryan tiba sore tadi, singkat namun penuh ancaman: “Dok, kita perlu ketemu. Malam ini, klinik, jam 10. Kalau nggak, aku ceritain semuanya ke suami Dok.” Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk, bukan hanya karena ancamannya, tapi karena Aisyah tahu Ryan cukup nekat untuk melakukannya. Ia pernah melihat kilatan cemburu di mata Ryan, cara ia menatapnya dengan kepemilikan setiap kali ia berbicara dengan Arga atau Dimas di klinik. Ryan, dengan energi mudanya, ingin menjadi pusat dunia Aisyah, dan kini ia menggunakan rahasia mereka sebagai senjata.
Aisyah menarik napas dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya yang tak terkendali. Ia bangkit, berjalan ke cermin kecil di sudut ruangan, memeriksa bayangannya. Wajahnya masih halus, pipinya merona karena panas yang merayap di bawah kulitnya, dan bibirnya penuh, sedikit kering karena ia terus menggigitnya tanpa sadar. Jilbabnya rapi, tapi ada sesuatu di matanya—kerentanan, hasrat, dan rasa bersalah yang bercampur menjadi badai yang tak bisa ia kendalikan. “Kamu bisa atasi ini,” bisiknya pada bayangannya, tapi kata-kata itu terdengar seperti doa yang tak yakin akan dikabulkan.
Pintu ruang konsultasi terbuka tanpa ketukan, dan Ryan melangkah masuk, membawa serta aroma hujan dan aspal basah yang melekat pada jaket kuliahnya. Rambutnya yang hitam sedikit basah, menempel di dahi, dan matanya—mata yang selalu penuh dengan rasa ingin tahu—kini berkilau dengan campuran cemburu dan nafsu. “Dok, aku udah nunggu lama,” katanya, suaranya rendah, tapi ada nada tajam yang membuat Aisyah merasa seperti mangsa. “Kamu hampir bikin aku mikir kamu nggak akan datang.”
Aisyah menegakkan tubuh, mencoba memasang ekspresi profesional. “Ryan, apa maksudmu kirim pesan kayak gitu?” tanyanya, nadanya tegas tapi ada getar kecil yang mengkhianati ketenangannya. “Kamu nggak punya hak ngancam aku.”
Ryan tersenyum, tapi senyuman itu bukan senyuman nakal yang biasa ia tunjukkan. Ada sesuatu di dalamnya—kemarahan, kepemilikan, dan keinginan yang nyaris tak terkendali. “Hak? Dok, aku nggak butuh hak buat ngomong apa yang aku tahu.” Ia melangkah mendekat, menutup pintu di belakangnya dengan gerakan yang terlalu santai, suara kunci yang diklik terdengar seperti palu yang memaku nasib Aisyah. “Aku tahu soal Arga. Aku tahu soal Dimas. Dan aku tahu Dok lebih sering ngabisin waktu sama mereka daripada sama aku. Apa, aku nggak cukup buat Dok?”
Aisyah merasa jantungnya berdegup kencang, panas merayap di lehernya. Bagaimana Ryan tahu? Apakah ia mengintip, atau apakah Arga dan Dimas mulai ceroboh? “Ryan, kamu salah paham,” katanya, mencoba terdengar tenang, tapi suaranya terdengar seperti permohonan. “Aku nggak main-main sama siapa pun. Aku cuma… kerja.”
Ryan tertawa, suara yang pendiam namun penuh ejekan. “Kerja? Dok, jangan bohong. Aku lihat cara Dok ngeliatin Dimas kemarin, pas dia keluar dari ruangan ini. Dan Arga… aku tahu dia nggak cuma pasien biasa.” Ia melangkah lebih dekat, kini hanya beberapa inci dari Aisyah, cukup dekat sehingga ia bisa mencium aroma parfumnya—campuran citrus dan kayu yang segar, begitu berbeda dari aroma maskulin Arga atau elegan Dimas. “Aku nggak suka dibohongin, Dok. Dan aku nggak suka cuma jadi pilihan ketiga.”
Aisyah mundur selangkah, tapi punggungnya menyentuh meja pemeriksaan, membuatnya terperangkap. “Ryan, ini nggak adil,” katanya, suaranya gemetar. “Kamu nggak bisa paksa aku kayak gini. Apa yang kamu mau?”
Ryan tidak menjawab segera. Matanya menelusuri wajah Aisyah, dari jilbabnya yang rapi hingga lekuk tubuhnya yang tersembunyi di bawah blus putih dan rok panjang. “Apa yang aku mau?” ulangnya, suaranya rendah, hampir seperti geraman. “Aku mau Dok ngeliatin aku kayak Dok ngeliatin mereka. Aku mau Dok kasih aku waktu, perhatian, segalanya.” Ia melangkah lebih dekat, tangannya meraih meja di sisi Aisyah, secara efektif memojokkannya. “Dan kalau Dok nggak mau kasih, aku bakal pastiin semua orang tahu apa yang Dok lakuin di klinik ini.”
Aisyah merasa napasnya tersengal, dadanya naik-turun dengan cepat di bawah blus yang tiba-tiba terasa terlalu ketat. Ancaman Ryan seperti belati yang siap menikam, tapi ada sesuatu di tatapannya—cemburu, hasrat, dan keberanian muda yang nekat—yang membuat Aisyah merasa tertantang, seolah ia ingin membuktikan sesuatu, meski ia tahu itu salah. “Ryan, jangan gila,” bisiknya, tapi suaranya penuh dengan kerentanan yang tak bisa disembunyikan.
“Gila? Dok, yang gila itu kalau aku biarin kamu lari ke Arga atau Dimas lagi,” kata Ryan, wajahnya kini begitu dekat sehingga napasnya yang hangat menyapu pipi Aisyah. “Aku tahu Dok suka main api. Dan aku nggak keberatan bakar semuanya, asal Dok sama aku malam ini.”
Aisyah menutup mata, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menolak, tapi aroma Ryan, panas tubuhnya, dan suaranya yang serak membuat dinding pertahanannya retak. “Ryan… ini nggak bener,” bisiknya, tapi kata-kata itu terdengar seperti pengakuan, bukan penolakan.
Ryan tidak membuang waktu. Dengan gerakan cepat namun penuh kendali, ia menarik Aisyah dari meja, membawanya ke sudut ruang konsultasi tempat meja pemeriksaan berdiri. Cahaya neon di atas mereka menciptakan kilau dingin di permukaan meja, kontras dengan panas yang mulai membakar udara di antara mereka. Ryan mendorong Aisyah hingga pinggulnya menempel pada tepi meja, tangannya mencengkeram pinggangnya dengan kekuatan yang menunjukkan dominasi, tapi juga keinginan yang mentah.
“Bilang kalau aku harus berhenti,” bisik Ryan, suaranya serak, matanya mengunci mata Aisyah dengan tatapan yang penuh tantangan. “Bilang sekarang, Dok, atau aku nggak akan nahan diri.”
Aisyah tidak bisa berbicara. Napasnya tersengal, jantungnya berdegup kencang, dan ada bagian dirinya yang tahu ia seharusnya lari, tapi bagian lain—bagian yang haus, yang telah terbangun oleh Arga dan Dimas—ingin menyerah pada Ryan, pada energinya yang liar dan nekat. “Ryan…” bisiknya, dan namanya terdengar seperti undangan.
Itu adalah izin yang Ryan butuhkan. Dengan gerakan yang lincah, ia menangkup wajah Aisyah dengan kedua tangan, bibirnya menempel pada bibirnya dalam ciuman yang keras dan penuh nafsu, seperti anak muda yang tak sabar menjelajahi apa yang diinginkannya. Lidahnya menari dengan cekatan, menjelajahi setiap inci mulut Aisyah, dan suara desahan kecil mereka mengisi ruangan, lembut namun memabukkan.
Aisyah merespons tanpa berpikir, tangannya meraih jaket Ryan, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka bertabrakan. Dada Aisyah menekan dada Ryan yang keras, dan panas tubuhnya membuatnya lupa pada ancaman, pada Reza, pada dunia di luar ruangan ini. Ciuman mereka semakin dalam, napas mereka bercampur, dan Ryan memutus ciuman itu sejenak, matanya berkilau dengan kemenangan. “Dok, kamu panas banget,” bisiknya, suaranya serak. “Aku udah bayangin ini tiap malam.”
“Ryan… kita nggak boleh…” Aisyah mencoba sekali lagi, tapi kata-katanya terputus ketika Ryan mencium lehernya, bibirnya menyapu kulit sensitif di bawah telinga, tepat di tempat jilbabnya bertemu dengan kulitnya. Sentuhan itu seperti listrik, membuat Aisyah menggigit bibir untuk menahan erangan. “Ryan… pelan-pelan…”
“Pelan? Dok, aku nggak bisa pelan kalau sama kamu,” kata Ryan, tertawa pelan, suaranya penuh keberanian. Tangannya kini bergerak lebih berani, menyelinap di bawah blus Aisyah, jari-jarinya menemukan kulit halus di perutnya. Ia mengelusnya dengan cepat, kontras dengan ciumannya yang semakin keras. “Tubuh kamu… bikin aku gila.”
Aisyah menutup mata, menyerah pada sensasi. Tangannya meraih rambut Ryan, menariknya lebih dekat, seolah ingin menenggelamkan diri dalam gelombang yang membanjirinya. Ryan, dengan kecepatan yang mengejutkan, mengangkat Aisyah hingga ia duduk di meja pemeriksaan, kakinya menggantung, dan posisi mereka kini sejajar. Matanya menelusuri wajah Aisyah, dari bibirnya yang basah hingga dadanya yang naik-turun dengan cepat. “Dok, aku pengen lihat semua tentang kamu,” katanya, tangannya meraih kancing blus Aisyah, membukanya satu per satu dengan kecepatan yang menunjukkan pengalaman.
Ketika blus itu terbuka, memperlihatkan bra hitam yang kontras dengan kulit cerah Aisyah, Ryan menghela napas. “Ya Tuhan, Dok…” bisiknya, tangannya meluncur ke punggung Aisyah, membuka kait bra dengan gerakan cepat hingga payudaranya terbebas. Ia menatapnya sejenak, matanya penuh kagum, sebelum mulutnya menyelimuti salah satu puncak, lidahnya berputar dengan cekatan, menggoda hingga Aisyah menggeliat. “Ryan… oh…” erangnya tak tertahan lagi, tangannya mencengkeram rambut Ryan, menariknya lebih dalam.
Sementara mulutnya sibuk, tangan Ryan tidak tinggal diam. Ia menarik rok Aisyah ke atas, jari-jarinya menemukan tepi celana dalamnya. Dengan gerakan yang lincah, ia menyingkirkannya, menyentuh bagian paling intim dari tubuh Aisyah dengan jari-jari yang penuh rasa ingin tahu. Sentuhan pertamanya membuat Aisyah tersentak, pinggulnya bergerak sendiri, mencari lebih banyak tekanan. “Dok, kamu udah basah banget,” bisik Ryan, suaranya penuh kemenangan. “Ini buat aku, ya?”
Aisyah tidak menjawab—ia tidak bisa. Pikirannya telah larut dalam kabut kenikmatan, setiap sentuhan Ryan seperti bensin yang dituangkan ke api. Jari-jarinya bergerak dengan ritme yang cepat, menjelajahi setiap lipatan, menggoda hingga Aisyah merasa seperti akan meledak. “Ryan… tolong…” desahnya, tak tahu apa yang ia minta—berhenti atau terus.
Ryan tertawa pelan, suara yang rendah dan penuh godaan. “Tolong apa, Dok? Ini?” Ia menambah tekanan, jari-jarinya kini bergerak lebih cepat, lebih dalam, sementara ibu jarinya menggosok titik paling sensitif dengan keahlian yang mengejutkan untuk usianya. Aisyah merasa dunia menyusut menjadi satu titik—titik di mana tubuh mereka bertemu, di mana Ryan membawanya ke tepi jurang.
“Ryan… aku… aku nggak tahan…” Aisyah memejamkan mata, kepalanya terlempar ke belakang, jilbabnya sedikit tergeser, memperlihatkan lehernya yang basah oleh keringat. Ryan menangkap momen itu, bibirnya kembali mencium lehernya, giginya menggigit ringan, meninggalkan tanda kecil yang akan menjadi rahasia mereka. “Ayo, Dok, lepaskan,” bisiknya, suaranya seperti mantra. “Aku pengen denger suara kamu.”
Kata-kata itu menjadi pemicu. Dengan erangan yang keras, Aisyah mencapai puncak, tubuhnya menegang, kakinya mencengkeram pinggang Ryan dengan erat. Gelombang kenikmatan menyapunya, begitu kuat hingga ia lupa di mana ia berada, lupa pada klinik, pada Reza, pada ancaman Ryan. Hanya ada Ryan, tangannya, mulutnya, dan panas yang membakarnya dari dalam.
Ketika gelombang itu mereda, Aisyah terengah, tubuhnya lemas di atas meja pemeriksaan. Ryan menarik tangannya, menatapnya dengan senyum nakal yang kini bercampur dengan kepuasan. “Dok, kamu… luar biasa,” katanya, mencium kening Aisyah dengan lembut, kontras dengan intensitas yang baru saja mereka bagi. “Ini yang aku mau. Dan aku tahu Dok juga mau.”
Aisyah membuka mata, realitas kembali menyerang seperti air dingin. Ia masih di klinik, jilbabnya sedikit berantakan, blusnya terbuka, dan Ryan berdiri di depannya, napasnya masih cepat. “Ryan… kita… apa yang kita lakuin?” bisiknya, suaranya penuh dengan campuran kenikmatan dan rasa bersalah.
Ryan mengangkat bahu, senyumnya tetap nakal. “Kita cuma jujur sama apa yang kita mau, Dok. Dan aku nggak akan ceritain apa-apa ke siapa pun… asal Dok kasih aku lebih banyak malam kayak gini.” Ia membantunya merapikan pakaian, jari-jarinya sengaja menyentuh kulit Aisyah lebih lama dari yang diperlukan, mengirimkan getaran kecil yang membuatnya tersentak.
Aisyah tidak menjawab. Ia memperbaiki jilbabnya, mencoba mengembalikan wajah dokter yang profesional, tapi di dalam dirinya, ia tahu Ryan telah memenangkan ronde ini. Ancamannya, ciumannya, dan sentuhannya telah menambah simpul baru dalam jaring laba-laba yang menjeratnya. Dan yang lebih buruk, ia merasa tertantang oleh keberanian Ryan, oleh cara ia menuntut perhatiannya dengan cara yang begitu mentah dan nekat.
Ketika ia meninggalkan klinik malam itu, dengan aroma Ryan masih melekat di kulitnya, Aisyah tahu bahwa ketegangan di antara Arga, Dimas, dan Ryan semakin meningkat. Mereka mulai berselisih, berebut perhatiannya seperti serigala yang mengincar mangsa yang sama. Dan Reza, dengan kecurigaannya yang semakin tajam, semakin dekat untuk mengungkap kebenaran. Aisyah merasa seperti berjalan di atas tali yang rapuh, dan setiap langkah membawanya lebih dekat ke jurang—atau mungkin, ke kebebasan yang ia tak pernah berani bayangkan.
59Please respect copyright.PENANAyZ2lxbumbP
59Please respect copyright.PENANA3jF8nszkC5
Bab 10: Rahasia Masa Lalu
Jakarta tenggelam dalam senja yang kelam, langit dihiasi awan tebal yang menjanjikan badai. Di sudut kota yang ramai, di antara deru klakson dan kilau lampu neon, Aisyah berjalan cepat menyusuri trotoar, jilbab biru safirnya berkibar lembut tertiup angin. Napasnya tersengal, bukan karena langkahnya yang terburu, tetapi karena beBAN rahasia yang kini menekan dadanya seperti batu besar. Di usia 32 tahun, ia seharusnya menjadi mercusuar ketenangan—dokter andrologi yang teguh, istri yang setia, dan wanita yang menjaga martabatnya di balik jilbab yang selalu rapi. Namun, kini ia merasa seperti kapal yang karam, dihantam ombak hasrat yang ia biarkan menguasainya. Arga, Dimas, dan Ryan—tiga pria yang telah menjeratnya dalam jaring laba-laba nafsu—kini menjadi bayang-bayang yang mengintai setiap langkahnya.
Pagi itu, sebuah kebenaran pahit menghantamnya seperti petir. Seorang rekan dokter di klinik, tanpa sengaja, menyebut nama Arga dalam percakapan santai, mengungkap rahasia kelam: Arga pernah terlibat skandal serupa dengan dokter lain, seorang ginekolog yang akhirnya kehilangan karier dan reputasinya. Cerita itu seperti cermin yang memantulkan ketakutan terbesar Aisyah—ia bukan yang pertama, dan mungkin bukan yang terakhir. Apakah Arga hanya seorang pemburu, dan ia hanyalah mangsa yang terjebak dalam pesonanya? Pertanyaan itu menggerogoti pikirannya, membuatnya mempertanyakan setiap ciuman, setiap sentuhan, setiap bisikan panas yang Arga berikan.
Namun, kebenaran tentang Arga bukan satu-satunya ancaman. Reza, suaminya, semakin mendekati tepi jurang kebenaran. Malam sebelumnya, Aisyah lupa mengunci ponselnya, dan Reza menemukan pesan dari nomor tak dikenal—pesan singkat dari Dimas yang berbunyi, “Aku kangen malam itu. Kapan lagi?” Reza tidak mengonfrontasinya langsung, tapi tatapannya pagi ini, penuh dengan kekecewaan yang terpendam, lebih menyakitkan daripada kata-kata. Aisyah tahu waktu kebohongannya hampir habis, tapi ia masih terikat pada ketiga pria itu, pada hasrat yang telah menjadi candu, membuatnya tak bisa berhenti meski tahu ia sedang menuju kehancuran.
Di tengah kepanikan yang mencekik, Dimas menjadi pelabuhan yang ia cari. Pesan darinya tiba siang tadi, sederhana namun penuh makna: “Aisyah, aku tahu kamu lagi kacau. Aku di hotel biasa, kamar 1203. Datang kalau kamu perlu aku.” Dimas, dengan kelembutannya yang kontras dengan kekasaran Arga dan energi Ryan, selalu tahu cara menenangkan badai di hati Aisyah. Ia bukan hanya kekasih terlarang; ia adalah cermin yang membuat Aisyah melihat dirinya sebagai wanita yang diinginkan, bukan hanya dokter atau istri yang terlupakan. Dan malam ini, ketika dunia terasa seperti akan runtuh, Aisyah membutuhkan pelarian itu lebih dari sebelumnya.
Hotel di kawasan Thamrin itu megah, dengan lobi marmer yang berkilau dan aroma bunga segar yang memenuhi udara. Aisyah melangkah masuk, jantungnya berdegup kencang, jilbabnya sedikit bergeser karena angin dari pintu otomatis. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri, tapi setiap langkah menuju lift terasa seperti langkah menuju jurang yang ia pilih sendiri. Di dalam lift, ia memeriksa bayangannya di cermin—wajahnya yang halus memantul, pipinya merona karena campuran ketakutan dan antisipasi, matanya berkilau dengan kerentanan yang tak bisa disembunyikan. “Kamu masih bisa pulang,” bisiknya pada bayangannya, tapi kata-kata itu terdengar seperti lagu yang telah kehilangan nadanya.
Pintu kamar 1203 terbuka sebelum ia sempat mengetuk, dan Dimas berdiri di ambang pintu, tubuhnya yang ramping dibingkai oleh cahaya temaram dari dalam. Ia mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung hingga siku, memperlihatkan lengan yang kuat namun elegan, dan celana hitam yang pas di tubuhnya. Rambutnya sedikit berantakan, tapi matanya—mata yang selalu penuh dengan kelembutan—mengunci pandangan Aisyah dengan intensitas yang membuatnya merasa telanjang, meski jilbabnya masih rapi. “Aisyah,” katanya, suaranya lembut seperti belaian. “Aku tahu kamu bakal datang.”
Aisyah melangkah masuk, pintu tertutup di belakangnya dengan suara pelan yang terasa seperti akhir dari satu bab dan awal dari bab lain. Kamar itu luas, dengan ranjang besar yang ditutupi seprai sutra abu-abu, jendela-jendela besar yang memperlihatkan gemerlap kota di bawah langit yang kini mulai meneteskan hujan, dan aroma lilin berbau vanila yang menciptakan suasana intim. “Dimas, aku… aku nggak tahu kenapa aku di sini,” katanya, suaranya gemetar, penuh dengan kejujuran yang jarang ia tunjukkan. “Semuanya kacau.”
Dimas melangkah mendekat, tangannya meraih lengan Aisyah dengan lembut, jari-jarinya meluncur di atas kain blusnya, meninggalkan jejak panas yang tak terlihat. “Aisyah, kamu nggak perlu jelasin apa-apa,” bisiknya, wajahnya kini begitu dekat sehingga ia bisa mencium aroma parfumnya—campuran kayu cendana dan musk yang selalu membuatnya merasa aman. “Aku tahu kamu lagi takut. Biar aku bantu kamu lupa, meski cuma sebentar.”
Aisyah menutup mata, mencoba menahan air mata yang mengancam tumpah. “Dimas, aku takut kehilangan segalanya,” bisiknya, suaranya penuh dengan kerapuhan. “Reza… dia mulai curiga. Dan Arga… aku tahu sesuatu tentang dia yang bikin aku nggak bisa percaya lagi.”
Dimas tidak menjawab segera. Ia menarik Aisyah ke dalam pelukannya, tangannya membelai punggungnya dengan kelembutan yang membuatnya merasa seperti sedang dipeluk oleh dunia itu sendiri. “Aisyah, kamu nggak sendirian,” katanya, suaranya rendah, penuh dengan janji. “Aku di sini. Malam ini, cuma kita. Nggak ada Arga, nggak ada Reza, nggak ada yang lain.”
Kata-kata itu seperti kunci yang membuka pintu yang telah lama terkunci. Aisyah merasa air mata mengalir di pipinya, tapi sebelum ia bisa menangis, Dimas menangkup wajahnya dengan kedua tangan, bibirnya menemukan bibir Aisyah dalam ciuman yang lembut namun penuh gairah. Ciuman itu seperti air yang mengalir ke tanah kering, membangkitkan sesuatu yang telah lama mati di dalam dirinya. Lidahnya menari dengan cekatan, menjelajahi setiap inci mulut Aisyah dengan kelembutan yang membuatnya menggigil, kontras dengan kekasaran Arga atau energi Ryan.
Aisyah merespons tanpa berpikir, tangannya meraih kemeja Dimas, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka bertabrakan. Dada Aisyah menekan dada Dimas yang keras, dan panas tubuhnya membuatnya lupa pada hujan di luar, pada Reza, pada rahasia Arga yang menghantuinya. Ciuman mereka semakin dalam, napas mereka bercampur, dan Dimas memutus ciuman itu sejenak, matanya berkilau dengan campuran hasrat dan kasih sayang. “Aisyah, kamu cantik banget,” bisiknya, suaranya serak. “Aku pengen bikin kamu merasa hidup lagi.”
Aisyah tidak bisa menjawab. Napasnya tersengal, dadanya naik-turun dengan cepat, dan matanya terkunci pada mata Dimas, melihat kelembutan yang membuatnya lupa pada rasa bersalahnya. “Dimas… aku nggak tahu apa yang aku lakuin lagi,” bisiknya, suaranya penuh dengan kerinduan.
Dimas tersenyum, tangannya membelai pipi Aisyah. “Kamu nggak perlu tahu malam ini. Cuma nikmati. Biar aku yang urus sisanya.” Ia menarik Aisyah menuju ranjang dengan gerakan yang lembut namun penuh tujuan, membaringkannya dengan hati-hati di atas seprai sutra yang terasa dingin di kulitnya. Ia berdiri sejenak, menatap Aisyah dengan kagum, dari jilbabnya yang masih rapi hingga lekuk tubuhnya yang tersembunyi di bawah blus dan rok panjang. “Boleh aku lepasin jilbabmu?” tanyanya, suaranya rendah, penuh dengan hormat yang membuat hati Aisyah meleleh.
Aisyah mengangguk, tangannya gemetar, dan Dimas melepas jilbabnya dengan hati-hati, memperlihatkan rambut hitamnya yang panjang dan mengalir seperti air terjun. “Ya Tuhan, Aisyah…” bisiknya, matanya penuh kagum. Ia menunduk, mencium keningnya dengan lembut, lalu pipinya, lalu bibirnya, setiap ciuman seperti janji yang ditulis dengan sentuhan. Tangannya kini meraih blus Aisyah, membuka kancingnya satu per satu dengan kelembutan yang kontras dengan kekasaran Arga atau kecepatan Ryan. Ketika blus itu terbuka, memperlihatkan bra putih yang kontras dengan kulit cerahnya, Dimas menghela napas, jari-jarinya meluncur di kulitnya, meninggalkan jejak panas yang membuat Aisyah menggigil.
“Aku pengen nikmati setiap detik sama kamu,” katanya, tangannya membuka kait braided dengan gerakan yang terlatih, memperlihatkan payudaranya yang penuh dan lembut. Ia menatapnya sejenak, matanya penuh dengan kagum, sebelum mulutnya menyapu puncak payudaranya, ciumannya lembut namun penuh gairah, lidahnya menari dengan cekatan, menggoda hingga Aisyah menggeliat, tangannya mencengkeram seprai. “Dimas… oh…” desahnya, suaranya penuh dengan kerinduan.
Dimas tidak terburu-buru. Ia seperti seniman yang sedang melukis, setiap sentuhan penuh perhatian, setiap ciuman penuh makna. Ia bergeser ke puncak lainnya, giginya menggigit ringan, cukup untuk mengirimkan sensasi yang bercampur antara sakit dan nikmat. “Kamu manis banget, Aisyah,” bisiknya, suaranya serak, penuh dengan keinginan yang terkendali. Tangannya kini meraih rok Aisyah, menariknya ke bawah bersama celana dalamnya, memperlihatkan tubuhnya yang telanjang, berkilau di bawah cahaya temaram. Rambutnya tersebar di seprai seperti mahkota hitam, dan Dimas menatapnya sejenak, seperti sedang menghafal setiap detail.
“Aku pengen bikin kamu merasa diinginkan,” katanya, melepaskan kemejanya dengan gerakan yang elegan, memperlihatkan tubuhnya yang ramping namun terlatih, kulitnya yang halus berkilau oleh keringat. Ia merangkak di atas Aisyah, tangannya mencengkeram pinggulnya dengan lembut, posisinya kini sejajar. Ia menciumnya lagi, ciuman yang dalam dan penuh perhatian, lidahnya menjelajahi mulut Aisyah dengan kelembutan yang membuatnya merasa seperti sedang dicintai, bukan hanya diinginkan. “Kamu layak dapat lebih dari yang kamu pikir, Aisyah,” bisiknya di sela-sela ciuman, suaranya penuh dengan kasih sayang.
Aisyah tidak bisa menjawab. Napasnya tersengal, dadanya naik-turun dengan cepat, dan matanya terkunci pada mata Dimas, melihat kelembutan yang membuatnya lupa pada rasa bersalahnya. Ia merasakan tangan Dimas meluncur ke bawah, menyentuh bagian paling intim dari tubuhnya, jari-jarinya menjelajahi dengan kelembutan yang kontras dengan kekasaran Arga atau energi Ryan. Sentuhan pertamanya membuat Aisyah tersentak, pinggulnya bergerak sendiri, mencari lebih banyak tekanan. “Dimas… oh…” desahnya, tangannya mencengkeram pundaknya, mencoba menahan gelombang kenikmatan yang menyapunya.
“Kamu udah siap buat aku,” bisik Dimas, suaranya penuh dengan kagum. Jari-jarinya bergerak dengan ritme yang sempurna, menjelajahi setiap lipatan, menggoda hingga Aisyah merasa seperti akan meleleh. “Aku pengen denger suara kamu. Jangan tahan.”
Aisyah menggigit bibir, mencoba menahan erangan, tapi ketika Dimas menambah tekanan, ibu jarinya menggosok titik paling sensitif dengan keahlian yang mematikan, ia menyerah. “Dimas… aku… aku nggak tahan…” erangnya, kepalanya terlempar ke belakang, rambutnya tersebar di seprai seperti halo hitam. Tubuhnya menegang, kakinya mencengkeram pinggang Dimas, menariknya lebih dekat, seolah ingin menyatu dengannya.
Dimas tersenyum, suara yang rendah dan penuh godaan. “Belum selesai, sayang,” katanya, melepaskan celananya dengan gerakan yang elegan, memperlihatkan kekerasan yang menunjukkan betapa ia menginginkannya. Ia kembali ke atas Aisyah, posisinya kini sejajar, matanya mengunci mata Aisyah dalam tatapan yang penuh kasih sayang. “Kamu mau aku, kan?” tanyanya, suaranya serak, penuh dengan keinginan yang terkendali.
Aisyah menutup mata, rasa bersalah dan hasrat bertarung di dalam dirinya. Tapi tubuhnya telah memilih. “Ya… aku mau kamu, Dimas…” bisiknya, suaranya penuh dengan kepasrahan dan kerinduan.
Itu adalah izin yang Dimas butuhkan. Dengan gerakan yang lembut namun penuh tujuan, ia memasuki Aisyah, mengisi kekosongan yang telah lama ia rasakan. Sensasi itu begitu penuh, begitu lembut, sehingga Aisyah menjerit pelan, tangannya mencengkeram pundak Dimas, kuku-kukunya meninggalkan jejak kecil di kulitnya. Dimas menggeram pelan, tubuhnya bergerak dengan ritme yang lambat namun dalam, setiap dorongan seperti puisi yang ditulis dengan tubuh, membawa Aisyah lebih dekat ke tepi jurang.
“Dimas… lebih dalam…” desah Aisyah, suaranya penuh dengan kebutuhan yang tak pernah ia akui sebelumnya. Ia melingkarkan kakinya di pinggang Dimas, menariknya lebih dekat, menyerahkan dirinya sepenuhnya pada sensasi. Tubuh mereka bergerak bersama, keringat mereka bercampur, dan suara desahan mereka mengisi ruangan, seperti simfoni yang penuh gairah dan cinta.
Dimas menurunkan kepalanya, bibirnya menemukan leher Aisyah, mencium dan menjilat dengan penuh perhatian, meninggalkan jejak basah yang membuatnya menggigil. “Aku suka suara kamu, Aisyah,” bisiknya di sela-sela ciuman, suaranya penuh dengan kasih sayang. “Aku suka segala tentang kamu.”
Aisyah tidak menjawab—ia tidak bisa. Pikirannya telah larut, dunia menyusut menjadi ranjang ini, tubuh Dimas, dan kenikmatan yang membakarnya dari dalam. Ia merasakan tekanan yang semakin kuat, tubuhnya menegang, dan dengan erangan yang keras, ia mencapai puncak, gelombang kenikmatan menyapunya, begitu kuat hingga ia lupa pada segala yang pernah ia anggap benar. Dimas mengikuti tak lama kemudian, tubuhnya menegang, geramannya menggema di telinga Aisyah saat ia mencapai klimaks, mengisi dirinya dengan panas yang terasa seperti janji dan pelarian sekaligus.
Ketika gelombang itu mereda, mereka terengah, tubuh mereka masih saling menempel, keringat mereka bercampur di seprai yang kini berantakan. Dimas menarik diri perlahan, berbaring di samping Aisyah, tangannya membelai rambutnya dengan kelembutan yang membuat air mata Aisyah mengalir. “Aku serius, Aisyah,” bisiknya, suaranya penuh dengan emosi. “Aku nggak cuma mau tubuh kamu. Aku mau kamu, semua tentang kamu.”
Aisyah tidak menjawab. Ia menatap langit-langit, napasnya masih tersengal, dan realitas mulai merayap kembali. Ia telah menyerahkan dirinya pada Dimas, pada nafsunya, pada perasaan yang kini mulai terasa seperti cinta. Tapi di dalam hatinya, ia tahu ini bukan akhir. Arga, dengan masa lalunya yang kelam, dan Ryan, dengan ancamannya yang nekat, masih ada, masing-masing menariknya ke arah yang berbeda. Dan Reza, dengan pesan yang ia temukan, semakin dekat untuk menghancurkan dunia yang Aisyah bangun dengan kebohongan.
Malam itu, ketika ia meninggalkan hotel dengan jilbab yang kembali rapi dan wajah yang disembunyikan oleh kegelapan, Aisyah tahu bahwa ia telah terjebak dalam jaring laba-laba yang tak bisa ia lepaskan. Dan yang lebih menakutkan, ia tidak yakin apakah ia ingin lepas.
59Please respect copyright.PENANAqm5U5nThjT
59Please respect copyright.PENANAv9aANS2MFH
Bab 11: Konfrontasi
Jakarta terperangkap dalam cengkeraman malam yang kelabu, langit dihiasi kilatan petir yang sesekali menerangi gedung-gedung pencakar langit. Hujan belum turun, tapi udara terasa berat, penuh dengan ketegangan yang seolah mencerminkan gejolak di hati Aisyah. Di dalam rumah mewahnya di Kebayoran Baru, ia berdiri di dekat jendela ruang tamu, jilbab abu-abu muda membingkai wajahnya yang pucat. Cahaya lampu kristal di atasnya memantul di matanya, memperlihatkan kilau air mata yang tak pernah jatuh. Di usia 32 tahun, Aisyah seharusnya menjadi simbol keteguhan—dokter andrologi yang disegani, istri yang setia, dan wanita yang menjaga martabatnya di balik jilbab yang selalu anggun. Namun, malam ini, ia merasa seperti burung yang sayapnya patah, terjebak dalam sangkar yang ia buat sendiri dari nafsu dan kebohongan.
Reza berdiri di sisi lain ruangan, tangannya mencengkeram ponsel Aisyah, layarnya masih menyala dengan pesan dari Dimas yang ia temukan dua malam lalu. “Aku kangen malam itu. Kapan lagi?”—kata-kata itu seperti granat yang meledak di antara mereka, menghancurkan dinding rapuh yang selama ini menyembunyikan kebenaran. “Aisyah,” suara Reza rendah, namun penuh dengan kemarahan yang terkendali, “jangan coba bohong lagi. Aku tahu kamu selingkuh. Pertanyaannya cuma satu: sama siapa?”
Aisyah merasa jantungnya berhenti sejenak, napasnya tersangkut di tenggorokan. Ia ingin lari, ingin menghilang, tapi tatapan Reza—penuh dengan campuran sakit dan pengkhianatan—membuatnya terpaku. “Reza… aku…” Ia mencoba merangkai kata, tapi suaranya pecah, seperti kaca yang retak di bawah tekanan. “Aku nggak bermaksud menyakiti kamu. Aku cuma… aku merasa kosong.”
“Kosong?” Reza melangkah mendekat, matanya menyala dengan kemarahan yang kini tak lagi tersembunyi. “Enam bulan kita nggak dekat, Aisyah, aku tahu itu salahku juga. Tapi kamu lari ke orang lain? Kamu pikir aku nggak lihat kamu pulang larut, bau parfum pria lain, dan sikapmu yang kayak orang asing? Ceritain sekarang, Aisyah, atau aku yang cari tahu sendiri.”
Aisyah menunduk, jari-jarinya mencengkeram jilbabnya hingga buku-buku jarinya memutih. Ia ingin mengakui segalanya—tentang Arga dan intensitasnya yang liar, Dimas dan kelembutannya yang memabukkan, Ryan dan spontanitasnya yang nekat—tapi kata-kata itu terlalu berat, seperti batu yang akan menghancurkan apa yang tersisa dari pernikahannya. “Reza, aku salah,” bisiknya akhirnya, air mata akhirnya jatuh, membasahi pipinya. “Aku… aku terjebak. Tapi aku nggak mau kehilangan kamu.”
Reza menghela napas, tangannya mengusap wajahnya dengan gerakan lelah. “Terjebak? Aisyah, kamu dokter, kamu orang pintar. Kamu pilih jalur ini.” Ia meletakkan ponsel di meja dengan suara keras, lalu berjalan menuju pintu. “Aku butuh waktu. Jangan hubungi aku sampai aku siap bicara.” Pintu ditutup dengan bunyi pelan, tapi bagi Aisyah, itu seperti palu yang menghantam hatinya.
Keesokan harinya, klinik terasa seperti medan perang yang sunyi. Aisyah menjalani tugasnya dengan gerakan mekanis, tapi pikirannya kacau. Konfrontasi dengan Reza seperti luka terbuka, dan ketegangan di antara Arga, Dimas, dan Ryan semakin memperburuk keadaan. Pagi itu, ia mendengar dari seorang perawat bahwa Arga dan Ryan hampir bertengkar di ruang tunggu, saling melempar tatapan penuh ancaman karena keduanya tahu mereka bukan satu-satunya yang mengejar perhatian Aisyah. Dimas, dengan kepekaannya, mengirimi pesan: “Aisyah, aku tahu kamu lagi susah. Aku nggak mau memaksa, tapi kita perlu bicara. Aku nggak bisa terus begini tanpa tahu kamu pilih apa.”
Aisyah merasa seperti terperangkap dalam pusaran yang semakin kencang. Ia tahu ia harus mengakhiri ini, tapi ada bagian dirinya yang masih merindukan sentuhan mereka, panas tubuh mereka, dan bisikan yang membuatnya merasa hidup. Dan Arga—Arga yang kini ia tahu memiliki masa lalu kelam—masih memiliki daya tarik yang sulit ia tolak. Rahasia bahwa ia pernah menghancurkan karier dokter lain membuat Aisyah takut, tapi juga, anehnya, membuatnya ingin menghadapinya satu kali lagi, seolah ingin membuktikan bahwa ia bukan sekadar mangsa.
Malam itu, dengan hati yang dipenuhi kemarahan dan kerinduan, Aisyah mengemudikan mobilnya menuju apartemen Arga di Sudirman. Hujan mulai turun, gerimis ringan yang membasahi kaca depan, mencerminkan air mata yang tak lagi ia tumpahkan. Ia tahu ini mungkin pertemuan terakhir, tapi ia perlu melihat Arga, perlu merasakan intensitasnya sekali lagi sebelum ia memutuskan untuk melepaskan semuanya. Ketika pintu apartemen terbuka, Arga berdiri di ambang, tubuhnya yang kekar memenuhi kusen, kaus hitamnya ketat memperlihatkan otot-otot yang terpahat, dan matanya—mata yang selalu penuh dengan hasrat—menyala dengan campuran kemarahan dan keinginan.
“Kamu datang,” katanya, suaranya rendah, hampir seperti geraman. “Aku pikir kamu bakal kabur setelah tahu soal masa laluku.”
Aisyah melangkah masuk, pintu tertutup di belakangnya dengan suara yang terasa seperti akhir dari satu era. Apartemen itu luas, dengan sofa kulit hitam, meja kaca, dan jendela-jendela besar yang memperlihatkan kota yang basah oleh hujan. Aroma kayu mahal dan asap rokok memenuhi udara, mencerminkan aura Arga—maskulin, liar, dan penuh bahaya. “Aku tahu tentang dokter itu, Arga,” kata Aisyah, nadanya tegas tapi ada getar kecil yang mengkhianati ketenangannya. “Kamu menghancurkan hidupnya. Apa aku cuma mainan buat kamu?”
Arga melangkah mendekat, tubuhnya seperti predator yang tahu mangsanya tak akan lari. “Mainan? Aisyah, kamu beda,” katanya, suaranya serak, penuh dengan kepemilikan. “Dokter itu… dia nggak seperti kamu. Dia lemah. Kamu… kamu kuat, tapi kamu juga liar. Aku tahu kamu suka ini, suka bahaya yang aku kasih.”
Aisyah merasa panas merayap di lehernya, wajahnya memanas di balik jilbabnya. “Kamu nggak punya hak atas aku, Arga,” katanya, suaranya gemetar tapi penuh tantangan. “Aku datang bukan karena aku lemah. Aku datang karena… aku perlu tahu.”
Arga tersenyum, senyuman yang berbahaya, penuh dengan janji dan ancaman. “Tahu apa? Bahwa kamu nggak bisa lepas dari aku?” Ia melangkah lebih dekat, kini hanya beberapa inci darinya, cukup dekat sehingga Aisyah bisa mencium aroma sabun dan aftershave-nya, campuran yang memabukkan. “Aku tahu kamu marah, Aisyah. Gunain kemarahan itu. Tunjukin ke aku.”
Aisyah menutup mata, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menolak, tapi aroma Arga, panas tubuhnya, dan suaranya yang serak membuat dinding pertahanannya runtuh. “Arga… ini terakhir,” bisiknya, suaranya penuh dengan kepasrahan dan kemarahan. “Setelah ini, kita selesai.”
Arga tidak menjawab dengan kata-kata. Dengan gerakan cepat, ia menarik Aisyah ke dalam pelukannya, bibirnya menempel pada bibir Aisyah dalam ciuman yang keras dan penuh nafsu, seperti dua badai yang bertabrakan. Lidahnya menjelajahi mulut Aisyah dengan dominasi, setiap gerakan penuh dengan kemarahan dan hasrat yang mentah. Aisyah merespons dengan sama liarnya, tangannya mencengkeram kaus Arga, menariknya lebih dekat, seolah ingin mencurahkan semua kemarahan dan rasa bersalahnya ke dalam ciuman itu.
Ciuman mereka penuh dengan intensitas, napas mereka bercampur, dan Arga memutus ciuman itu sejenak, matanya berkilau dengan kemenangan. “Terakhir, ya?” katanya, suaranya serak, penuh dengan ejekan. “Kita lihat itu, Aisyah.” Ia menarik Aisyah menuju sofa, mendorongnya hingga ia duduk, lalu berlutut di depannya, tangannya meraih ujung jilbabnya. “Boleh aku lepasin ini?” tanyanya, tapi nadanya bukan meminta, melainkan menuntut.
Aisyah mengangguk, tangannya gemetar, dan Arga melepas jilbabnya dengan gerakan kasar namun terkontrol, memperlihatkan rambut hitamnya yang panjang dan mengalir. “Cantik banget,” katanya, tangannya mencengkeram rambut Aisyah, menariknya pelan hingga kepalanya terangkat, memperlihatkan lehernya yang rentan. Ia mencium lehernya, giginya menggigit ringan, meninggalkan tanda kecil yang membuat Aisyah tersentak. “Arga… pelan…” desahnya, tapi suaranya lebih seperti permohonan agar ia terus melanjutkan.
“Pelan? Aisyah, kamu nggak mau pelan,” kata Arga, tertawa pelan, suaranya penuh dengan kepemilikan. Tangannya kini meraih blus Aisyah, merobek kancingnya dengan gerakan yang sengaja kasar, memperlihatkan bra hitam yang kontras dengan kulit cerahnya. Ia menarik bra itu ke bawah, memperlihatkan payudaranya yang penuh, dan tanpa menunggu, mulutnya menyelimuti salah satu puncak, lidahnya berputar dengan cekatan, menggoda hingga Aisyah menggeliat, tangannya mencengkeram sofa untuk menahan erangan.
“Arga… oh, Tuhan…” Aisyah memejamkan mata, sensasi lidah Arga seperti api yang membakar kulitnya. Ia bergeser ke puncak lainnya, giginya menggigit lebih keras, cukup untuk mengirimkan gelombang kenikmatan yang bercampur dengan sedikit rasa sakit. Tangannya tidak tinggal diam, meraih rok Aisyah, menariknya ke atas hingga memperlihatkan paha yang halus, lalu menyingkirkan celana dalamnya dengan gerakan cepat. Jari-jarinya menemukan bagian paling intim dari tubuh Aisyah, menyentuhnya dengan tekanan yang sengaja provokatif, membuatnya tersentak.
“Kamu udah basah, Aisyah,” bisik Arga, suaranya penuh dengan kemenangan. “Ini buat aku, kan?” Jari-jarinya bergerak dengan ritme yang cepat, menjelajahi setiap lipatan, menggoda hingga Aisyah merasa seperti akan meledak. “Bilang, Aisyah. Bilang kamu mau aku.”
Aisyah menggigit bibir, mencoba menahan erangan, tapi ketika Arga menambah tekanan, jari-jarinya kini lebih dalam, ia menyerah. “Ya… aku mau kamu, Arga…” erangnya, kepalanya terlempar ke belakang, rambutnya tersebar di sofa seperti air terjun hitam. Tubuhnya menegang, kakinya mencengkeram pinggang Arga, menariknya lebih dekat, seolah ingin menyatu dengannya.
Arga tertawa, suara yang rendah dan penuh godaan. “Itu baru permulaan,” katanya, bangkit sejenak untuk melepaskan kaus dan celananya, memperlihatkan tubuhnya yang seperti dipahat dari batu—otot-otot yang tegang, kulit yang berkilau oleh keringat, dan tato elang kecil di dadanya yang seolah hidup dengan setiap gerakan. Ia kembali ke Aisyah, menariknya hingga ia berbaring di sofa, posisinya kini di atasnya, matanya mengunci mata Aisyah dalam tatapan yang penuh dominasi.
“Kamu milikku malam ini,” katanya, tangannya mencengkeram pergelangan tangan Aisyah, menahannya di atas kepala, membuatnya merasa rentan namun anehnya aman. Ia menciumnya lagi, ciuman yang penuh dengan kemarahan dan nafsu, lidahnya menjelajahi mulut Aisyah dengan kekuatan yang membuatnya tersengal. “Aku nggak peduli sama Dimas atau Ryan. Cuma aku yang bisa bikin kamu gini.”
Aisyah tidak menjawab—ia tidak bisa. Napasnya tersengal, dadanya naik-turun dengan cepat, dan matanya terkunci pada mata Arga, melihat api yang membakar di dalamnya. Ia merasakan tangan Arga yang lain meluncur ke bawah, memposisikan dirinya, dan dengan gerakan yang kuat namun terkendali, ia memasuki Aisyah, mengisi kekosongan yang telah lama ia rasakan. Sensasi itu begitu kuat, begitu penuh, sehingga Aisyah menjerit pelan, tangannya mencengkeram sofa, kuku-kukunya meninggalkan jejak kecil di kulitnya.
Arga menggeram, tubuhnya bergerak dengan ritme yang liar namun teratur, setiap dorongan seperti gelombang yang menghantam pantai, membawa Aisyah lebih dekat ke tepi jurang. “Aisyah… kamu sempurna,” katanya, suaranya serak, penuh dengan nafsu yang nyaris tak terkendali. Ia menurunkan kepalanya, bibirnya menemukan leher Aisyah, mencium dan menjilat dengan penuh gairah, meninggalkan jejak basah yang membuatnya menggigil.
“Arga… lebih cepat…” desah Aisyah, suaranya penuh dengan kebutuhan yang tak pernah ia akui sebelumnya. Ia melingkarkan kakinya di pinggang Arga, menariknya lebih dalam, menyerahkan dirinya sepenuhnya pada sensasi. Tubuh mereka bergerak bersama, keringat mereka bercampur, dan suara desahan mereka mengisi ruangan, seperti simfoni yang penuh gairah dan dosa.
Arga menurunkan kepalanya, bibirnya menemukan bibir Aisyah, menciumnya dengan nafsu yang mentah, lidahnya menari dengan cekatan, menjelajahi setiap inci mulutnya. “Kamu nggak akan lupain ini, Aisyah,” bisiknya di sela-sela ciuman, suaranya penuh dengan kepemilikan. “Aku tahu kamu bakal balik.”
Aisyah tidak menjawab—ia tidak bisa. Pikirannya telah larut, dunia menyusut menjadi sofa ini, tubuh Arga, dan kenikmatan yang membakarnya dari dalam. Ia merasakan tekanan yang semakin kuat, tubuhnya menegang, dan dengan erangan yang keras, ia mencapai puncak, gelombang kenikmatan menyapunya, begitu kuat hingga ia lupa pada segala yang pernah ia anggap benar. Arga mengikuti tak lama kemudian, tubuhnya menegang, geramannya menggema di telinga Aisyah saat ia mencapai klimaks, mengisi dirinya dengan panas yang terasa seperti pengakuan dan hukuman sekaligus.
Ketika gelombang itu mereda, mereka terengah, tubuh mereka masih saling menempel, keringat mereka bercampur di sofa yang kini berantakan. Arga menarik diri perlahan, berbaring di samping Aisyah, tangannya masih mencengkeram pinggangnya, seolah takut ia akan menghilang. “Kamu nggak akan ninggalin aku, Aisyah,” katanya, suaranya kini lebih lembut, tapi masih penuh dengan kepemilikan.
Aisyah tidak menjawab. Ia menatap langit-langit, napasnya masih tersengal, dan realitas mulai merayap kembali. Konfrontasi dengan Reza, ancaman Ryan, permintaan Dimas—semuanya kembali menghantamnya seperti ombak. Ia telah menyerahkan dirinya pada Arga sekali lagi, pada kemarahan dan gairah yang membakarnya, tapi ia tahu ini adalah akhir. Ia harus memilih, dan pilihannya bukan Arga, bukan Dimas, bukan Ryan—tapi dirinya sendiri, dan mungkin, Reza, jika ia masih bisa menyelamatkan apa yang tersisa.
Malam itu, ketika ia meninggalkan apartemen Arga dengan jilbab yang kembali rapi dan wajah yang disembunyikan oleh kegelapan, Aisyah tahu bahwa ia telah mencapai titik balik. Dunia yang ia bangun dengan kebohongan sedang runtuh, dan ia harus menghadapi puing-puingnya, meski itu berarti kehilangan segalanya.
59Please respect copyright.PENANA3NzD4Cuztp
59Please respect copyright.PENANAwynwVMSV2i
Bab 12: Pilihan Terakhir
Jakarta terbungkus dalam selubung fajar yang kelam, langit dihiasi awan tipis yang tersapu angin pagi, seolah kota ini sedang berbisik tentang rahasia yang ingin terkubur. Di dalam mobilnya yang diparkir di sudut sepi kawasan Senayan, Aisyah duduk mematung, jilbab cokelat tua membingkai wajahnya yang lelah namun penuh tekad. Matanya, yang dulu berkilau dengan campuran hasrat dan rasa bersalah, kini memancarkan kelelahan yang mendalam, seperti laut yang akhirnya tenang setelah badai panjang. Di usia 32 tahun, ia seharusnya menjadi pilar kekuatan—dokter andrologi yang dihormati, istri yang setia, dan wanita yang menjaga martabatnya di balik jilbab yang selalu anggun. Namun, kini ia merasa seperti seorang peziarah yang tersesat, mencari jalan pulang setelah terlalu lama menjelajahi lorong-lorong dosa.
Konfrontasi dengan Reza dua malam lalu telah mengguncang fondasi hidupnya. Pengakuannya—meski hanya setengah kebenaran, tanpa menyebut nama Arga, Dimas, atau Ryan—telah meninggalkan luka yang masih berdarah. Reza, dengan mata penuh kekecewaan, meminta waktu untuk memaafkan, tapi Aisyah tahu bahwa pernikahannya kini seperti kaca retak, siap pecah dengan satu sentuhan salah. Di klinik, ketegangan antara Arga dan Ryan telah mencapai puncak, dengan keduanya hampir bertengkar fisik, sementara Dimas, dengan kepekaannya yang menusuk, meminta Aisyah untuk memilih: melanjutkan hubungan terlarang mereka atau mengakhirinya selamanya. Aisyah tahu ia tidak bisa melangkah lebih jauh di jalur ini. Nafsunya telah menghancurkan hidupnya, dan kini, ia harus memutuskan rantai yang mengikatnya pada ketiga pria itu.
Pagi itu, setelah berjam-jam termenung di kamarnya, Aisyah membuat keputusan yang ia tahu akan menyakitkan namun perlu. Ia mengirim pesan singkat ke Arga dan Ryan, tegas dan tanpa ruang untuk negosiasi: “Kita selesai. Jangan hubungi saya lagi.” Kepada Dimas, ia memilih untuk bertemu langsung, bukan karena ia lebih lemah terhadapnya, tetapi karena Dimas, dengan kelembutannya, telah meninggalkan jejak yang lebih dalam di hatinya—jejak yang terasa seperti cinta, meski ia tahu itu mungkin hanya ilusi yang lahir dari nafsu. Pertemuan ini akan menjadi perpisahan, momen terakhir untuk menutup babak yang telah terlalu lama menguasainya.
Dimas menunggunya di tempat yang sama di mana mereka pernah berbagi momen intim sebelumnya—mobilnya, diparkir di sudut sepi dekat taman kota. Ketika Aisyah tiba, matahari baru saja muncul di cakrawala, menciptakan siluet lembut di wajah Dimas yang duduk di kursi pengemudi. Ia mengenakan kemeja biru tua yang sedikit kusut, rambutnya sedikit berantakan, dan matanya—mata yang selalu penuh dengan kelembutan—memandang Aisyah dengan campuran kerinduan dan kepedihan. “Aisyah,” katanya saat ia masuk ke dalam mobil, suaranya rendah, seperti belaian yang penuh luka. “Aku tahu ini bukan pertemuan biasa.”
Aisyah menarik napas dalam, mencoba menjaga suaranya tetap stabil. “Dimas, aku nggak bisa lanjut,” katanya, nadanya tegas tapi penuh dengan kesedihan yang tak bisa disembunyikan. “Aku udah nyakitin Reza, nyakitin diri sendiri. Aku harus berhenti, dan itu termasuk kita.”
Dimas tidak menjawab segera. Ia menatap ke depan, tangannya mencengkeram kemudi dengan erat, seolah mencoba menahan emosi yang mengancam meluap. “Aisyah, aku tahu kamu lagi susah,” katanya akhirnya, suaranya serak. “Tapi aku nggak cuma main-main sama kamu. Aku peduli. Mungkin… mungkin lebih dari yang seharusnya.”
Kata-kata itu seperti pisau, menusuk tepat di hati Aisyah. Ia ingin menangis, ingin berlari ke pelukannya, tapi ia tahu itu hanya akan memperpanjang penderitaan. “Dimas, kamu baik,” bisiknya, air mata mulai menggenang di matanya. “Tapi aku nggak bisa kasih apa yang kamu mau. Aku harus perbaiki hidupku, mulai dari nol kalau perlu.”
Dimas menoleh, matanya mengunci mata Aisyah, dan di dalamnya ia melihat sesuatu yang lebih dari sekadar nafsu—ada kasih sayang, ada keinginan untuk melindungi. “Aisyah, satu kali lagi,” bisiknya, suaranya penuh dengan kerinduan. “Biar aku bilang selamat tinggal dengan cara yang kita berdua mengerti. Setelah ini, aku janji aku nggak akan ganggu kamu lagi.”
Aisyah menutup mata, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menolak, tapi aroma Dimas—campuran kayu cendana dan musk yang selalu membuatnya merasa aman—dan suaranya yang serak membuat dinding pertahanannya retak. “Dimas… ini salah,” bisiknya, tapi suaranya penuh dengan kerentanan yang mengkhianati tekadnya.
Dimas tidak membuang waktu. Dengan gerakan lembut namun penuh tujuan, ia meraih tangan Aisyah, jari-jarinya meluncur di atas kulitnya, meninggalkan jejak panas yang tak terlihat. “Aisyah, biar ini jadi kenangan terakhir kita,” katanya, wajahnya kini begitu dekat sehingga napasnya yang hangat menyapu bibir Aisyah. “Kamu nggak akan lupain aku, dan aku nggak akan lupain kamu.”
Aisyah merasa air mata mengalir di pipinya, tapi sebelum ia bisa menangis, Dimas menangkup wajahnya dengan kedua tangan, bibirnya menemukan bibir Aisyah dalam ciuman yang lembut namun penuh gairah. Ciuman itu seperti air yang mengalir ke tanah kering, membangkitkan sesuatu yang telah lama mati di dalam dirinya. Lidahnya menari dengan cekatan, menjelajahi setiap inci mulut Aisyah dengan kelembutan yang kontras dengan kekasaran Arga atau energi Ryan, membuatnya merasa seperti sedang dicintai, bukan hanya diinginkan.
Aisyah merespons tanpa berpikir, tangannya meraih kemeja Dimas, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka bertabrakan di ruang sempit mobil. Panas tubuh Dimas membuatnya lupa pada fajar di luar, pada Reza, pada dunia yang runtuh di sekitarnya. Ciuman mereka semakin dalam, napas mereka bercampur, dan Dimas memutus ciuman itu sejenak, matanya berkilau dengan campuran hasrat dan kesedihan. “Aisyah, kamu cantik banget,” bisiknya, suaranya serak. “Aku pengen bikin kamu merasa spesial, meski cuma sebentar.”
Aisyah tidak bisa menjawab. Napasnya tersengal, dadanya naik-turun dengan cepat, dan matanya terkunci pada mata Dimas, melihat kelembutan yang membuatnya lupa pada rasa bersalahnya. “Dimas… ini terakhir,” bisiknya, suaranya penuh dengan kepasrahan dan kerinduan.
Dimas tersenyum tipis, tangannya membelai pipi Aisyah. “Aku tahu, sayang,” katanya, suaranya rendah, penuh dengan janji. Ia menarik Aisyah ke kursi belakang mobil, ruang yang sempit namun terasa intim dengan aroma kulit jok dan parfum Dimas yang memenuhi udara. Ia membaringkan Aisyah dengan hati-hati, tangannya meraih ujung jilbabnya. “Boleh aku lepasin ini?” tanyanya, nadanya penuh hormat yang membuat hati Aisyah meleleh.
Aisyah mengangguk, tangannya gemetar, dan Dimas melepas jilbabnya dengan hati-hati, memperlihatkan rambut hitamnya yang panjang dan mengalir. “Ya Tuhan, Aisyah…” bisiknya, matanya penuh kagum. Ia menunduk, mencium keningnya dengan lembut, lalu pipinya, lalu bibirnya, setiap ciuman seperti puisi yang ditulis dengan sentuhan. Tangannya kini meraih blus Aisyah, membuka kancingnya satu per satu dengan kelembutan yang kontras dengan kekasaran Arga atau kecepatan Ryan. Ketika blus itu terbuka, memperlihatkan bra putih yang kontras dengan kulit cerahnya, Dimas menghela napas, jari-jarinya meluncur di kulitnya, meninggalkan jejak panas yang membuat Aisyah menggigil.
“Aku pengen nikmati setiap detik sama kamu,” katanya, tangannya membuka kait bra dengan gerakan yang terlatih, memperlihatkan payudaranya yang penuh dan lembut. Ia menatapnya sejenak, matanya penuh dengan kagum, sebelum mulutnya menyapu puncak payudaranya, ciumannya lembut namun penuh gairah, lidahnya menari dengan cekatan, menggoda hingga Aisyah menggeliat, tangannya mencengkeram pundak Dimas. “Dimas… oh…” desahnya, suaranya penuh dengan kerinduan.
Dimas tidak terburu-buru. Ia seperti pelukis yang sedang menyelesaikan karya terakhirnya, setiap sentuhan penuh perhatian, setiap ciuman penuh makna. Ia bergeser ke puncak lainnya, giginya menggigit ringan, cukup untuk mengirimkan sensasi yang bercampur antara sakit dan nikmat. “Kamu manis banget, Aisyah,” bisiknya, suaranya serak, penuh dengan keinginan yang terkendali. Tangannya kini meraih rok Aisyah, menariknya ke bawah bersama celana dalamnya, memperlihatkan tubuhnya yang telanjang, berkilau di bawah cahaya fajar yang masuk melalui jendela mobil. Rambutnya tersebar di jok seperti mahkota hitam, dan Dimas menatapnya sejenak, seperti sedang menghafal setiap detail.
“Aku pengen bikin kamu merasa diinginkan,” katanya, melepaskan kemejanya dengan gerakan yang elegan, memperlihatkan tubuhnya yang ramping namun terlatih, kulitnya yang halus berkilau oleh keringat. Ia merangkak di atas Aisyah, tangannya mencengkeram pinggulnya dengan lembut, posisinya kini sejajar di ruang sempit itu. Ia menciumnya lagi, ciuman yang dalam dan penuh perhatian, lidahnya menjelajahi mulut Aisyah dengan kelembutan yang membuatnya merasa seperti sedang dicintai, bukan hanya diinginkan. “Kamu layak dapat lebih dari yang kamu pikir, Aisyah,” bisiknya di sela-sela ciuman, suaranya penuh dengan kasih sayang.
Aisyah tidak bisa menjawab. Napasnya tersengal, dadanya naik-turun dengan cepat, dan matanya terkunci pada mata Dimas, melihat kelembutan yang membuatnya lupa pada rasa bersalahnya. Ia merasakan tangan Dimas meluncur ke bawah, menyentuh bagian paling intim dari tubuhnya, jari-jarinya menjelajahi dengan kelembutan yang kontras dengan kekasaran Arga atau energi Ryan. Sentuhan pertamanya membuat Aisyah tersentak, pinggulnya bergerak sendiri, mencari lebih banyak tekanan. “Dimas… oh…” desahnya, tangannya mencengkeram pundaknya, mencoba menahan gelombang kenikmatan yang menyapunya.
“Kamu udah siap buat aku,” bisik Dimas, suaranya penuh dengan kagum. Jari-jarinya bergerak dengan ritme yang sempurna, menjelajahi setiap lipatan, menggoda hingga Aisyah merasa seperti akan meleleh. “Aku pengen denger suara kamu. Jangan tahan.”
Aisyah menggigit bibir, mencoba menahan erangan, tapi ketika Dimas menambah tekanan, ibu jarinya menggosok titik paling sensitif dengan keahlian yang mematikan, ia menyerah. “Dimas… aku… aku nggak tahan…” erangnya, kepalanya terlempar ke belakang, rambutnya tersebar di jok seperti halo hitam. Tubuhnya menegang, kakinya mencengkeram pinggang Dimas, menariknya lebih dekat, seolah ingin menyatu dengannya.
Dimas tersenyum, suara yang rendah dan penuh godaan. “Belum selesai, sayang,” katanya, melepaskan celananya dengan gerakan yang elegan, memperlihatkan kekerasan yang menunjukkan betapa ia menginginkannya. Ia kembali ke atas Aisyah, posisinya kini sejajar, matanya mengunci mata Aisyah dalam tatapan yang penuh kasih sayang. “Kamu mau aku, kan?” tanyanya, suaranya serak, penuh dengan keinginan yang terkendali.
Aisyah menutup mata, rasa bersalah dan hasrat bertarung di dalam dirinya. Tapi tubuhnya telah memilih. “Ya… aku mau kamu, Dimas…” bisiknya, suaranya penuh dengan kepasrahan dan kerinduan.
Itu adalah izin yang Dimas butuhkan. Dengan gerakan yang lembut namun penuh tujuan, ia memasuki Aisyah, mengisi kekosongan yang telah lama ia rasakan. Sensasi itu begitu penuh, begitu lembut, sehingga Aisyah menjerit pelan, tangannya mencengkeram pundak Dimas, kuku-kukunya meninggalkan jejak kecil di kulitnya. Dimas menggeram pelan, tubuhnya bergerak dengan ritme yang lambat namun dalam, setiap dorongan seperti puisi yang ditulis dengan tubuh, membawa Aisyah lebih dekat ke tepi jurang.
“Dimas… lebih dalam…” desah Aisyah, suaranya penuh dengan kebutuhan yang tak pernah ia akui sebelumnya. Ia melingkarkan kakinya di pinggang Dimas, menariknya lebih dekat, menyerahkan dirinya sepenuhnya pada sensasi. Tubuh mereka bergerak bersama, keringat mereka bercampur, dan suara desahan mereka mengisi ruangan, seperti simfoni yang penuh gairah dan cinta.
Dimas menurunkan kepalanya, bibirnya menemukan leher Aisyah, mencium dan menjilat dengan penuh perhatian, meninggalkan jejak basah yang membuatnya menggigil. “Aku suka suara kamu, Aisyah,” bisiknya di sela-sela ciuman, suaranya penuh dengan kasih sayang. “Aku suka segala tentang kamu.”
Aisyah tidak menjawab—ia tidak bisa. Pikirannya telah larut, dunia menyusut menjadi mobil ini, tubuh Dimas, dan kenikmatan yang membakarnya dari dalam. Ia merasakan tekanan yang semakin kuat, tubuhnya menegang, dan dengan erangan yang keras, ia mencapai puncak, gelombang kenikmatan menyapunya, begitu kuat hingga ia lupa pada segala yang pernah ia anggap benar. Dimas mengikuti tak lama kemudian, tubuhnya menegang, geramannya menggema di telinga Aisyah saat ia mencapai klimaks, mengisi dirinya dengan panas yang terasa seperti janji dan pelarian sekaligus.
Ketika gelombang itu mereda, mereka terengah, tubuh mereka masih saling menempel, keringat mereka bercampur di jok yang kini berantakan. Dimas menarik diri perlahan, berbaring di samping Aisyah di ruang sempit itu, tangannya membelai rambutnya dengan kelembutan yang membuat air mata Aisyah mengalir. “Aku serius, Aisyah,” bisiknya, suaranya penuh dengan emosi. “Aku nggak akan ganggu kamu lagi. Tapi aku harap kamu bahagia, meski bukan sama aku.”
Aisyah tidak menjawab. Ia menatap langit-langit mobil, napasnya masih tersengal, dan realitas mulai merayap kembali. Ia telah menyerahkan dirinya pada Dimas untuk terakhir kalinya, pada kelembutan yang membuatnya merasa hidup, tapi ia tahu ini adalah akhir. Ia harus memperbaiki pernikahannya dengan Reza, meski itu berarti menghadapi luka yang ia ciptakan sendiri. Ia juga mempertimbangkan untuk pindah klinik, meninggalkan tempat yang telah menjadi panggung dosanya, demi memulai hidup baru.
Pagi itu, ketika ia meninggalkan mobil Dimas dengan jilbab yang kembali rapi dan wajah yang disembunyikan oleh fajar, Aisyah tahu bahwa masa depannya penuh dengan ketidakpastian. Reza mungkin tidak akan pernah memaafkan sepenuhnya, dan bayang-bayang Arga, Dimas, dan Ryan mungkin akan selalu menghantuinya. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa seperti memiliki kendali—bukan atas dunia, tapi atas dirinya sendiri. Dan itu, untuk saat ini, sudah cukup.
59Please respect copyright.PENANAgc2y2q37rv
59Please respect copyright.PENANAchLpO3fNP1
Epilog: Bayang-Bayang Hasrat
Jakarta telah berubah dalam setahun, namun malam ini kota itu terasa seperti lukisan yang ditinggalkan setengah jadi—cahaya lampu neon berkelip di kejauhan, mencerminkan kerapuhan dan harapan yang bercampur dalam udara. Di sebuah rumah modern di kawasan Pondok Indah, Aisyah berdiri di depan cermin kamar tidurnya, jilbab krem yang ia kenakan hari ini telah dilepas, membiarkan rambut hitamnya mengalir seperti sungai gelap yang menutupi bahunya. Wajahnya, kini berusia 33 tahun, masih memancarkan keanggunan, namun ada garis-garis halus di sudut matanya—jejak dari badai yang telah ia lalui. Matanya, yang pernah berkobar dengan hasrat terlarang, kini memancarkan ketenangan yang rapuh, seperti danau yang baru saja mereda setelah gelombang besar. Ia bukan lagi dokter yang terjebak dalam jaring laba-laba nafsu, bukan lagi istri yang menyembunyikan rahasia di balik jilbabnya. Kini, ia adalah Aisyah yang baru—wanita yang berjuang untuk menebus dosa, membangun kembali pernikahannya, dan menemukan dirinya sendiri di tengah puing-puing masa lalu.
Setahun lalu, Aisyah meninggalkan klinik di Kuningan, tempat yang telah menjadi panggung perselingkuhannya dengan Arga, Dimas, dan Ryan. Ia pindah ke klinik kecil di pinggiran Jakarta, tempat ia bisa memulai dari nol, jauh dari bayang-bayang tiga pria yang pernah menguasai hidupnya. Reza, suaminya, masih berjuang untuk memaafkan. Perjalanan mereka rapuh, penuh dengan percakapan yang hati-hati dan malam-malam yang dingin, namun ada kemajuan kecil—senyuman Reza yang mulai kembali, sentuhan tangannya yang kini lebih hangat, dan keberanian Aisyah untuk jujur, meski hanya setengah, tentang apa yang telah ia lakukan. Mereka belum sepenuhnya pulih, tapi Aisyah bertekad untuk memperbaiki apa yang tersisa, meski itu berarti menghadapi luka yang ia ciptakan sendiri.
Namun, sore ini, sebuah pesan misterius tiba di ponselnya dari nomor tak dikenal: “Aku masih ingat malam itu. Kamu juga, kan?” Kata-kata itu seperti kilat yang menyambar, membangkitkan kenangan tentang Arga dan intensitasnya yang liar, Dimas dan kelembutannya yang memabukkan, atau Ryan dan spontanitasnya yang nekat. Aisyah tidak membalas, bahkan memblokir nomor itu, tapi pesan itu meninggalkan getar di hatinya—pertanyaan yang tak ingin ia jawab: akankah ia tergoda lagi? Malam ini, ia memilih untuk melawan bayang-bayang itu dengan cara yang berbeda. Ia ingin menunjukkan kepada Reza, dan kepada dirinya sendiri, bahwa ia bisa menjadi istri yang ia janjikan, bahwa hasratnya kini milik suaminya, meski kenangan masa lalu masih berbisik di sudut pikirannya.
Di kamar mandi, suara air pancuran mengalir pelan, membawa aroma sabun citrus yang memenuhi udara. Reza sedang mandi, dan Aisyah, dengan jantung berdegup kencang, memutuskan untuk memberikan kejutan. Ia ingin merayu suaminya, ingin membuktikan bahwa ia bisa membangkitkan gairah mereka tanpa bayang-bayang pria lain. Ia melepas gaun tidurnya, membiarkan kain sutra itu jatuh ke lantai, memperlihatkan tubuhnya yang masih indah, dengan lekuk yang lembut dan kulit yang berkilau di bawah cahaya lampu. Bra dan celana dalam hitam yang ia kenakan terasa seperti pernyataan—ia bukan lagi wanita yang tersesat, tapi wanita yang tahu apa yang ia inginkan.
Aisyah membuka pintu kamar mandi perlahan, uap hangat menyambutnya, membasahi kulitnya seperti embun pagi. Reza berdiri di bawah pancuran, air mengalir di tubuhnya yang ramping namun kuat, otot-otot di punggungnya bergerak lembut setiap kali ia menggosok rambutnya. Rambutnya yang basah menempel di dahi, dan matanya tertutup, tidak menyadari kehadiran Aisyah. Ia melangkah masuk, kakinya menyentuh ubin yang dingin, dan dengan gerakan yang penuh tekad, ia menutup pintu di belakangnya, mengunci dunia luar dari momen ini.
“Reza,” panggil Aisyah, suaranya lembut namun penuh godaan, seperti nada yang ia tahu bisa membangkitkan perhatian suaminya. Reza membuka mata, terkejut, dan ketika ia melihat Aisyah berdiri di depannya, hanya mengenakan pakaian dalam hitam yang kontras dengan kulit cerahnya, matanya melebar, ada kilau kagum dan kerinduan di dalamnya.
“Aisyah… apa ini?” tanyanya, suaranya serak, campuran antara kejutan dan hasrat yang mulai terbangun. Air masih mengalir di tubuhnya, menciptakan kilau yang membuatnya terlihat seperti patung yang hidup, setiap tetes air seperti menari di kulitnya.
Aisyah tersenyum, langkahnya penuh percaya diri meski jantungnya berdegup kencang. “Aku kangen kamu, Reza,” bisiknya, suaranya penuh dengan kejujuran yang ia harap bisa menembus dinding di antara mereka. “Aku mau kita mulai lagi. Malam ini, cuma kita.”
Reza menatapnya, matanya menelusuri tubuh Aisyah dari atas ke bawah, dari rambutnya yang basah oleh uap hingga lekuk pinggulnya yang tersembunyi di balik renda hitam. “Aisyah… kamu yakin?” tanyanya, nadanya penuh dengan keraguan, tapi juga ada nada kerinduan yang tak bisa ia sembunyikan.
Aisyah tidak menjawab dengan kata-kata. Ia melangkah mendekat, air dari pancuran mulai membasahi tubuhnya, membuat pakaian dalamnya menempel erat, memperlihatkan setiap detail tubuhnya. Ia meraih wajah Reza dengan kedua tangan, jari-jarinya meluncur di pipinya yang basah, dan tanpa menunggu, ia menciumnya—ciuman yang dalam dan penuh gairah, seperti api yang akhirnya menyala setelah terlalu lama redup. Lidahnya menjelajahi mulut Reza dengan keberanian yang baru, setiap gerakan penuh dengan keinginan untuk menebus, untuk membuktikan bahwa ia milik suaminya.
Reza merespons dengan ragu-ragu pada awalnya, tapi ciuman Aisyah seperti kunci yang membuka pintu yang telah lama terkunci. Tangannya meraih pinggang Aisyah, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka bertabrakan di bawah pancuran, air hangat mengalir di antara mereka, menciptakan sensasi yang memabukkan. “Aisyah… kamu bikin aku gila,” bisiknya di sela-sela ciuman, suaranya serak, penuh dengan hasrat yang mulai menguasainya.
Aisyah tersenyum di tengah ciuman, tangannya meluncur ke dada Reza, merasakan otot-otot yang tegang di bawah kulitnya yang basah. “Aku mau bikin kamu lupa segalanya, Reza,” katanya, suaranya penuh dengan godaan. “Cuma aku, cuma malam ini.” Ia mendorong Reza hingga punggungnya menyentuh dinding ubin yang dingin, posisinya kini membalikkan kendali, membuat Reza terperangkap dalam pesonanya.
Reza menghela napas, matanya berkilau dengan campuran hasrat dan kerentanan. “Aisyah… aku nggak tahu apa aku bisa percaya lagi,” bisiknya, tapi tangannya tetap mencengkeram pinggang Aisyah, seolah tak ingin melepaskan.
“Percaya sama ini,” kata Aisyah, tangannya meluncur ke bawah, menemukan kekerasan yang menunjukkan betapa Reza menginginkannya. Ia mengelusnya dengan lembut, jari-jarinya bergerak dengan ritme yang sengaja lambat, menggoda hingga Reza menggeram pelan, kepalanya terlempar ke belakang, menyentuh ubin. “Aku milik kamu, Reza. Selalu.”
Kata-kata itu seperti mantra, dan Reza menyerah. Dengan gerakan yang cepat namun penuh kelembutan, ia menarik Aisyah ke dalam pelukannya, membalikkan posisi hingga kini Aisyah yang menempel pada dinding, air pancuran mengalir di wajahnya, membuat rambutnya menempel di pipi. Ia menciumnya lagi, ciuman yang lebih liar, penuh dengan nafsu yang telah lama terpendam. Lidahnya menari dengan cekatan, menjelajahi setiap inci mulut Aisyah, dan tangannya meraih bra-nya, membuka kaitnya dengan gerakan yang terburu-buru, memperlihatkan payudaranya yang penuh dan basah oleh air.
“Ya Tuhan, Aisyah…” bisik Reza, matanya penuh kagum saat ia menatap tubuh istrinya, seperti melihatnya untuk pertama kali. Ia menunduk, mulutnya menyapu puncak payudaranya, lidahnya berputar dengan cekatan, menggoda hingga Aisyah menggeliat, tangannya mencengkeram rambut Reza yang basah. “Reza… oh…” desahnya, suaranya penuh dengan kerinduan, tapi di sudut pikirannya, ia berjuang untuk tidak memikirkan Dimas, Arga, atau Ryan—nama-nama yang pernah keluar dari bibirnya dalam momen-momen panas yang salah.
Reza tidak terburu-buru, meski nafsunya terlihat dari caranya mencengkeram pinggang Aisyah dengan erat. Ia seperti ingin menghapus setiap jejak pria lain dari tubuh istrinya, setiap ciuman penuh dengan kepemilikan, setiap sentuhan penuh dengan janji. Ia bergeser ke puncak lainnya, giginya menggigit ringan, cukup untuk mengirimkan gelombang kenikmatan yang bercampur dengan sedikit rasa sakit. “Kamu milikku, Aisyah,” bisiknya, suaranya serak, penuh dengan keinginan yang nyaris tak terkendali. Tangannya kini meraih celana dalam Aisyah, menariknya ke bawah hingga jatuh ke ubin, memperlihatkan tubuhnya yang telanjang, berkilau di bawah air pancuran.
“Aku pengen nikmati kamu,” katanya, tangannya meluncur ke bawah, menyentuh bagian paling intim dari tubuh Aisyah, jari-jarinya menjelajahi dengan kelembutan yang kontras dengan intensitas ciumannya. Sentuhan pertamanya membuat Aisyah tersentak, pinggulnya bergerak sendiri, mencari lebih banyak tekanan. “Reza… oh, Tuhan…” desahnya, tangannya mencengkeram pundak Reza, mencoba menahan gelombang kenikmatan yang menyapunya.
“Kamu udah basah, sayang,” bisik Reza, suaranya penuh dengan kagum. Jari-jarinya bergerak dengan ritme yang sempurna, menjelajahi setiap lipatan, menggoda hingga Aisyah merasa seperti akan meleleh di bawah air pancuran. “Ini buat aku, kan? Bukan orang lain.”
Aisyah menutup mata, kata-kata Reza seperti pisau yang menusuk, tapi juga seperti pengingat bahwa ia sedang berjuang untuk kembali ke jalur yang benar. “Cuma buat kamu, Reza,” bisiknya, suaranya penuh dengan kejujuran yang ia harap bisa ia pegang. “Selamanya.”
Reza tersenyum, suara yang rendah dan penuh godaan. “Aku suka denger itu,” katanya, tangannya kini mencengkeram pinggul Aisyah, mengangkatnya hingga kakinya melingkar di pinggangnya, posisinya kini sejajar di bawah pancuran. Ia menciumnya lagi, ciuman yang dalam dan penuh perhatian, lidahnya menjelajahi mulut Aisyah dengan kelembutan yang membuatnya merasa seperti sedang dicintai, bukan hanya diinginkan. “Aku pengen bikin kamu lupa semua yang dulu,” bisiknya di sela-sela ciuman, suaranya penuh dengan kepemilikan.
Aisyah tidak menjawab—ia tidak bisa. Napasnya tersengal, dadanya naik-turun dengan cepat, dan matanya terkunci pada mata Reza, melihat kelembutan yang mulai kembali setelah setahun penuh luka. Ia merasakan Reza memposisikan dirinya, dan dengan gerakan yang kuat namun terkendali, ia memasuki Aisyah, mengisi kekosongan yang telah lama ia rasakan. Sensasi itu begitu penuh, begitu nyata, sehingga Aisyah menjerit pelan, tangannya mencengkeram pundak Reza, kuku-kukunya meninggalkan jejak kecil di kulitnya yang basah.
Reza menggeram, tubuhnya bergerak dengan ritme yang lambat namun dalam, setiap dorongan seperti janji yang ditulis dengan tubuh, membawa Aisyah lebih dekat ke tepi jurang. “Aisyah… kamu sempurna,” katanya, suaranya serak, penuh dengan nafsu yang nyaris tak terkendali. Ia menurunkan kepalanya, bibirnya menemukan leher Aisyah, mencium dan menjilat dengan penuh gairah, meninggalkan jejak basah yang membuatnya menggigil di bawah air pancuran.
“Reza… lebih cepat…” desah Aisyah, suaranya penuh dengan kebutuhan yang ia tahu hanya bisa dipenuhi oleh suaminya. Ia melingkarkan kakinya lebih erat di pinggang Reza, menariknya lebih dalam, menyerahkan dirinya sepenuhnya pada sensasi. Tubuh mereka bergerak bersama, keringat mereka bercampur dengan air pancuran, dan suara desahan mereka mengisi ruangan, seperti simfoni yang penuh gairah dan penebusan.
Reza menurunkan kepalanya, bibirnya menemukan bibir Aisyah, menciumnya dengan nafsu yang mentah, lidahnya menari dengan cekatan, menjelajahi setiap inci mulutnya. “Kamu nggak akan lupain ini, Aisyah,” bisiknya di sela-sela ciuman, suaranya penuh dengan kepemilikan. “Aku nggak akan biarin kamu lupain aku.”
Aisyah tidak menjawab—ia tidak bisa. Pikirannya telah larut, dunia menyusut menjadi kamar mandi ini, tubuh Reza, dan kenikmatan yang membakarnya dari dalam. Ia berjuang untuk tidak memikirkan Dimas, Arga, atau Ryan, untuk tidak membiarkan nama mereka keluar dari bibirnya, dan dalam perjuangan itu, ia menemukan kekuatan baru—kekuatan untuk memilih Reza, untuk memilih pernikahannya. Ia merasakan tekanan yang semakin kuat, tubuhnya menegang, dan dengan erangan yang keras, ia mencapai puncak, gelombang kenikmatan menyapunya, begitu kuat hingga ia lupa pada segala yang pernah ia lakukan dengan pria lain. Reza mengikuti tak lama kemudian, tubuhnya menegang, geramannya menggema di telinga Aisyah saat ia mencapai klimaks, mengisi dirinya dengan panas yang terasa seperti pengakuan dan awal baru sekaligus.
Ketika gelombang itu mereda, mereka terengah, tubuh mereka masih saling menempel, air pancuran terus mengalir, membasahi kulit mereka yang berkilau. Reza menurunkan Aisyah perlahan, tangannya masih mencengkeram pinggangnya, seolah takut ia akan menghilang. “Aisyah… aku kangen kamu yang dulu,” bisiknya, suaranya kini lebih lembut, penuh dengan kerentanan.
Aisyah menatapnya, air mata bercampur dengan air pancuran di wajahnya. “Aku juga kangen kita, Reza,” bisiknya, suaranya penuh dengan kejujuran. “Aku janji, aku akan coba bikin ini berhasil. Kita berdua.”
Reza tersenyum tipis, tangannya membelai pipi Aisyah. “Kita coba, ya,” katanya, nadanya penuh dengan harapan yang rapuh. Ia mematikan pancuran, mengambil handuk, dan membungkus tubuh Aisyah dengan lembut, setiap gerakan penuh dengan perhatian yang membuat hati Aisyah hangat.
Malam itu, ketika mereka berbaring di ranjang, tubuh mereka masih hangat dari momen di kamar mandi, Aisyah merasa seperti akhirnya bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Reza tertidur di sisinya, napasnya pelan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Aisyah merasa seperti berada di tempat yang benar. Namun, di sudut pikirannya, pesan misterius itu masih berbisik, seperti bayang-bayang hasrat yang tak pernah sepenuhnya padam. Ia tahu perjuangannya belum selesai, tapi malam ini, dengan Reza di sisinya, ia merasa cukup kuat untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
ns3.149.27.97da2