Intan berdiri di hadapan cermin, matanya merenung wajah yang semakin kusam. Hujan masih turun di luar, namun di hatinya, badai yang lebih hebat sedang mengamuk. Telefon di tangan bergetar sekali lagi, kali ini dengan mesej ringkas.
108Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡICDtZKJzCw
“Boleh kita jumpa? Saya perlu bercakap dengan awak.” — Fazli.
108Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡvo0zHYQEh4
Tanpa fikir panjang, Intan membalas, hatinya berkecamuk antara keraguan dan keinginan. Dia memilih sebuah kafe kecil yang terpencil, jauh dari hiruk-pikuk kota, tempat yang sering mereka kunjungi dulu.
108Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjwARcxbyXT
Ketika Intan tiba, Fazli sudah menunggu, wajahnya kelihatan sama seperti dulu—tapi ada sesuatu yang berbeza, lebih matang, tapi juga penuh dengan kesedihan.
108Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡsQ2UxjFXx8
Mereka duduk berdepan, kata-kata sulit mula mengalir, menyentuh luka lama yang belum sembuh. Percakapan yang menghangatkan, namun juga menusuk ke dalam hati Intan.
108Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡVbmevSRg3O
“Kenapa kau datang kembali, Fazli? Kau tahu aku sudah bergelar isteri,” suara Intan sedikit bergetar.
108Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXpgAqbAUf7
Fazli memandang dalam matanya, “Aku tahu, Intan. Tapi aku tak pernah lupakan kita... dan aku tak nak terus hidup dengan penyesalan.”
108Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXFP7EIPBIn
Intan menunduk, air mata hampir mengalir. Dia tahu, apa yang mereka lakukan salah, tapi perasaan yang lama terpendam itu seperti api yang menyala kembali.
108Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡuGsEJ61Q5M
Pertemuan itu menjadi titik mula yang membawa mereka ke jalan penuh ranjau dan pilihan sukar.
108Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡcAucmga5HZ
