Arman pulang lebih awal hari itu, langkahnya berat setelah seharian menahan lelah di kantor. Cahaya senja merah jingga menyelinap melalui jendela rumah kecil mereka, menerangi ruang tamu yang mulai terasa asing. Meja makan kosong, tidak ada aroma masakan yang biasanya menyambutnya. Hanya suara samar dari kamar tidur, seperti desah pelan bercampur dengan bisikan yang tidak jelas. Ia melepas sepatunya, berjalan pelan menuju pintu kamar yang tertutup rapat. Tangan di kenop pintu terhenti. Ia mendengar sesuatu—suara Zahra, lembut, hampir seperti ratapan.
“Ya Allah… sucikan hatiku… sucikan jiwaku…”
Arman mengerutkan kening. Ia tahu Zahra sedang berzikir, tapi ada nada aneh dalam suaranya, sesuatu yang tidak pernah ia dengar sebelumnya. Ia mengetuk pintu perlahan. “Zahra? Aku pulang.”
Tidak ada jawaban. Hanya suara desah itu lagi, disusul napas panjang yang terputus-putus. Arman mengetuk lebih keras. “Zahra, kamu baik-baik saja?”
Pintu tetap tertutup. Dari dalam, suara Zahra terdengar, sedikit tergesa. “Arman? Tunggu… aku sedang ruqyah. Jangan masuk dulu.”
“Ruqyah?” Arman mengerutkan kening lebih dalam. “Sendiri? Di kamar?”
“Iya… ini… ini khusus. Dari Habib Albar. Aku harus fokus.”
Arman berdiri di depan pintu, tangannya masih di kenop. Pikirannya berputar. Ruqyah? Di kamar yang terkunci? Ia tahu Zahra semakin dalam terlibat dengan majelis taklim itu, tapi ini terasa… salah. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Baiklah. Aku di luar kalau kamu butuh apa-apa.”
Ia berjalan menjauh, duduk di sofa ruang tamu yang sudah mulai usang. Pikirannya tidak tenang. Ia mengambil ponselnya, mencoba mengalihkan perhatian dengan membaca berita, tapi suara dari kamar terus mengusiknya. Desah pelan, napas tersengal, dan sesekali suara laki-laki yang lembut namun tegas, seperti sedang memimpin doa. Arman tahu suara itu—rekaman Habib Albar yang Zahra simpan di ponselnya. Tapi kenapa di kamar? Kenapa terkunci?
Di dalam kamar, Zahra duduk di atas sajadah hijau tua yang terbentang di lantai. Cahaya lampu kecil di sudut kamar menciptakan bayang-bayang lembut di dinding. Ia mengenakan gamis putih panjang, hijabnya terlepas, tergeletak di samping sajadah. Rambutnya yang hitam legam tergerai, beberapa helai menempel di lehernya yang berkeringat. Di tangannya, ponsel memutar rekaman suara Habib Albar, nadanya dalam dan penuh wibawa, seperti membelai setiap kata yang keluar.
“Wahai jiwa yang mencari cahaya… lepaskan beban duniawi dari tubuhmu… biarkan ruhmu menyatu dengan kebenaran…”
Zahra menutup mata, tangannya gemetar memegang ponsel. Napasnya tidak teratur, dadanya naik-turun cepat di balik gamis tipis. Ia merasakan panas di wajahnya, di dadanya, di antara pahanya. Suara Habib seolah merasuk, membelah dinding-dinding kesadarannya. Ia tahu ini salah, tapi ada sesuatu dalam nada itu, dalam kata-kata itu, yang membuatnya merasa… hidup.
“Ya Allah…” bisiknya, suaranya hampir tidak terdengar. “Ampuni aku… ampuni hamba-Mu yang lemah…”
Ia meletakkan ponsel di samping sajadah, suara Habib terus mengalir, mengisi ruangan dengan ritme yang hampir hipnotis. “Lepaskan… lepaskan nafsu duniawi… sucikan dirimu dengan sentuhan yang ikhlas…”
Zahra menggigit bibir bawahnya, tangannya perlahan merayap ke atas dadanya sendiri. Jari-jarinya menyentuh payudaranya yang terasa penuh di balik kain gamis, putingnya mengeras di bawah sentuhan lembut itu. Ia menahan desah, tapi napasnya semakin berat. Ia membayangkan tangan lain, bukan miliknya, yang membelai. Tangan yang kuat, penuh wibawa, milik seseorang yang ia yakini membawa cahaya.
Di luar, Arman tidak tahan lagi. Ia bangkit, berjalan kembali ke pintu kamar. “Zahra, buka pintunya. Aku cuma ingin tahu kamu baik-baik saja.”
Dari dalam, suara Zahra terdengar, sedikit panik. “Arman, tolong… aku butuh waktu sendiri. Ini untuk kebaikanku… untuk kita.”
“Untuk kita?” Arman mencengkeram kenop pintu, suaranya meninggi. “Zahra, apa yang kamu lakukan di dalam? Aku dengar suara laki-laki. Apa itu rekaman Habib itu lagi?”
Zahra tidak menjawab segera. Di dalam, ia buru-buru mengambil hijabnya, memakainya dengan tangan gemetar. Ia mematikan rekaman, tapi suara Habib masih bergema di kepalanya. “Arman, ini cuma ruqyah. Aku… aku sedang membersihkan hati. Kamu tidak akan mengerti.”
“Tidak mengerti?” Arman menendang pintu pelan, bukan karena marah, tapi karena frustrasi. “Aku suamimu, Zahra. Aku berhak tahu apa yang terjadi denganmu.”
Zahra membuka pintu perlahan, wajahnya memerah, tapi matanya penuh keteguhan. “Aku sedang berusaha menjadi lebih baik, Arman. Kenapa kamu tidak bisa mendukungku?”
Arman menatap istrinya, mencari sesuatu di wajah itu yang dulu ia kenal. Tapi ada dinding di antara mereka sekarang, dinding yang tidak bisa ia tembus. “Aku cuma ingin kamu jujur. Apa yang kamu lakukan di dalam? Kenapa pintunya dikunci?”
Zahra menunduk, jari-jarinya memainkan ujung hijab. “Aku… aku hanya mengikuti petunjuk Habib. Ini ruqyah khusus. Untuk menyucikan jiwa. Kamu tidak perlu curiga.”
“Curiga?” Arman tertawa pahit. “Zahra, kamu berubah. Kamu tidak lagi… kamu. Aku merasa kehilanganmu.”
Zahra mengangkat wajah, matanya berkaca-kaca tapi penuh keyakinan. “Aku tidak hilang, Arman. Aku sedang menemukan jalan. Kalau kamu mencintaiku, kamu akan mengerti.”
Arman tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya menatap Zahra, lalu berbalik, kembali ke sofa. Pikirannya kacau. Ia ingin mempercayai istrinya, tapi ada sesuatu dalam nadanya, dalam caranya menutup pintu, yang membuat dadanya sesak.
Di dalam kamar, Zahra menutup pintu lagi, kali ini tanpa mengunci. Ia duduk kembali di sajadah, menyalakan rekaman sekali lagi. Suara Habib mengalir, lebih pelan sekarang, seperti berbisik langsung di telinganya. “Wahai hamba yang setia… tubuhmu adalah kuil, sucikan dengan tanganmu sendiri… biarkan ruhmu menari dalam cahaya…”
Zahra menutup mata, napasnya kembali memanas. Ia melepas hijabnya lagi, membiarkan rambutnya jatuh bebas. Gamisnya terangkat perlahan, memperlihatkan paha yang mulus dan putih. Jari-jarinya bergerak turun, menyentuh pinggiran celana dalamnya. Ia ragu sejenak, tapi suara Habib terus membujuk, memandu. “Sucikan… lepaskan… ini bukan dosa, ini jalan menuju-Nya…”
Ia menyelipkan jari ke dalam celana dalam, menyentuh bibir vaginanya yang sudah lembap. Sensasi itu mengguncangnya, membuatnya menggigit bibir lebih keras untuk menahan desah. Ia membayangkan Habib di depannya, matanya yang dalam, tangannya yang lembut namun tegas. Jari-jarinya bergerak perlahan, mengelus klitorisnya dengan ritme yang mengikuti irama dzikir dari rekaman. Napasnya semakin cepat, dadanya naik-turun, payudaranya terasa berat di balik kain gamis.
“Ya Allah…” desahnya pelan, hampir seperti doa. Tubuhnya menegang, pinggulnya bergerak perlahan mengikuti sentuhan jarinya. Ia membayangkan Habib membelai vaginanya, jari-jarinya yang panjang dan kuat menggantikan miliknya. Fantasi itu terasa begitu nyata, begitu kuat, hingga ia hampir tidak bisa menahan diri.
Di luar, Arman mendengar desah pelan itu lagi. Ia bangkit, berjalan ke pintu, tapi kali ini ia tidak mengetuk. Ia hanya berdiri, mendengarkan, hatinya hancur. Ia tahu apa yang terjadi di dalam, tapi ia tidak bisa memastikannya. Apakah itu hanya imajinasinya? Atau istrinya benar-benar telah melangkah ke dunia yang tidak lagi ia pahami?
Zahra mencapai klimaks dalam hening, tubuhnya gemetar di atas sajadah. Ia menarik napas panjang, air mata mengalir di pipinya. Bukan air mata penyesalan, tapi campuran antara ekstase dan keyakinan bahwa ia sedang melakukan sesuatu yang benar, sesuatu yang suci. Ia merapikan gamisnya, mematikan rekaman, dan berbaring di sajadah, menatap langit-langit kamar.
“Ya Allah, jika ini salah… tunjukkan jalanku…” bisiknya.
Di ruang tamu, Arman duduk kembali, tangannya menutupi wajah. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia hanya tahu satu hal: istrinya, wanita yang ia cintai, sedang menjauh, dan ia tidak tahu cara menariknya kembali.
Malam itu, rumah kecil mereka terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada doa yang terucap bersama, tidak ada sentuhan yang menghangatkan. Hanya suara azan dari masjid jauh, yang seolah mengejek kesepian Arman.
Bersambung
Telegram @sprachgewandt666
ns216.73.216.210da2