
Setelah mematikan keran air, Farrah mengambil handuk dan mengeringkan setiap bagian tubuhnya dengan seksama. Tanpa busana, ia melangkah keluar dari kamar mandi. Udara dingin menyentuh kulitnya, tapi ia tak tergesa. Setiap langkahnya terukur, seperti menari dalam sunyi. Payudaranya yang berisi bergerak alami, mengikuti irama tubuhnya yang percaya diri.
Kini wanita cantik bertubuh sintal itu berdiri tegak di depan meja rias panjang, menatap pantulan dirinya di cermin. Matanya perlahan menyusuri setiap lekuk tubuhnya sendiri. Nafasnya bergetar pelan. Dalam diam, ia membayangkan tangan suaminya menyentuh kemaluannya yang sudah tercukur rapi, membangkitkan kehangatan yang sudah terlalu lama tertunda.
Pandangannya kemudian bergerak naik ke bagian perut, lalu berhenti di kedua payudaranya yang montok dan berukuran besar. Putingnya yang berwarna merah gelap ia amati sejenak.
"Kapan Mas Bambang pulang?" tanyanya dalam hati sebelum menghela napas panjang.
Hati Farrah merana, rindu belaian dan sentuhan sang suami. Meski lelaki itu kini lebih sering di sisi istri kedua, Farrah tetap menjaga tubuhnya. Tak sekalipun ada keinginan untuk mencari lelaki lain untuk memuskan hasratnya. Farrah yakin suatu hari nanti, suaminya akan kembali pulang.
Perlahan Farrah menuangkan krim pelembab ke telapak tangannya. Hangat menyebar di kulitnya saat dioleskan perlahan dari paha, pantat, hingga perutnya. Setiap usapan terasa seperti pengganti tangan sang suami yang dirindukan.
Untuk payudara, Farrah punya krim khusus, Farrah meyakini jika krim tersebut akan tetap menjaga keindahan bentuk bukit kembarnya meskipun usianya sudah tak lagi muda. Jemarinya memijat dengan gerakan memutar, memastikan setiap inci terolesi sempurna. Saat menyentuh puting, Farrah menarik napas dalam. Sentuhan itu mengingatkan pada sesuatu yang lama tak dirasakan.
Saat memijat, matanya terpejam. Ia membayangkan suaminya berdiri di belakangnya, tangan hangat Bambang meraba payudaranya sambil mencium lehernya. Lamunan itu membuat tangannya tanpa sadar bergerak ke selangkangan, jemarinya mulai mengelus klitorisnya dengan lembut. Saat menyentuh lubang vagina, ia merasakan sudah mulai basah. Keinginan untuk memasukkan jarinya pun muncul. Dengan napas berat, Farrah merebahkan diri di atas ranjang dan membuka lebar pahanya.
TRANG!
TRANG!
TRANG!
Suara pukulan di pagar besi rumahnya membuat Farrah kaget. Dengan alis berkerut, ia bergegas ke jendela dan mengintip melalui tirai. Di depan pintu, berdiri seorang pemuda tinggi tegap. Dari atas, Farrah bisa melihat tubuh pria muda itu yang nampak tegap dan atletis. Mengenakan kaus hitam ketat dan jeans biru, pemuda itu terlihat sangat gagah dan stylish. Tak hanya itu, wajahnya juga sangat tampan. Farrah tersenyum lebar.
345Please respect copyright.PENANAs4IjAEuHJD
***
345Please respect copyright.PENANASLys3CCspx
Dengan cepat, Farrah mengambil bra ukuran D-cup dari lemari dan mengenakannya. Kemudian ia memakai kaos nilon hitam tipis yang memiliki garis leher V sangat rendah hingga memperlihatkan lekuk payudaranya yang dalam. Terakhir, ia mengenakan celana pendek putih tanpa memakai apapun di dalamnya.
Kini ia berdiri di depan cermin, membenahi rambutnya agar terlihat rapi. Ia menepuk-nepuk sedikit debu di pahanya yang putih mulus. Dengan cepat dia berjalan keluar dari kamarnya menuju pintu depan. Farrah membuka pintu lebar-lebar. Pemuda tampan itu melambaikan tangan kepadanya sambil tersenyum manis. Farrah membalas dengan senyum ceria dan segera berlari menuju pintu pagar.
Pemuda itu bernama Arjuna, dia adalah anak ketiga dari kakak perempuan Farrah. Arjuna satu bulan lalu baru saja diterima kerja di pusat kota, karena kebetulan kantor dan rumah Farrah tak begitu jauh, wanita cantik itu menawarkan pada kakak perempuannya agar Juna tinggal di rumahnya saja sampai pemuda itu mendapatkan tempat kos atau kontrakan yang lebih layak.
“Ibumu tadi bilang kamu datang jam 2 siang, kenapa kamu malah udah nyampek jam segini?” Ujar Farrah sambil membuka gembok pintu pagar.
“Loh, ayah nggak ngasih taau tante ya kalo aku berangkat lebih awal”
Juna tak bisa menjaga pandangan matanya dari payudara Farrah yang berukuran sangat besar. Juna sama sekali tak menduga jika saat berada di rumah, Farrah akan mengenakan pakaian yang “sangat” terbuka, mengingat saat bersama keluarga besar, Farrah selalu tampil tertutup dengan hijab berukuran lebar.
“Iya kah? Duh, HP Tante pasti mati, lupa nge-charge. Eh, cepetan masuk Jun. Panas nih.” ujar Farrah sambil membuka tangannya untuk memeluk keponakan kesayangannya itu.
“Terima kasih. Tante sehat?” tanya Juna sambil memeluk tantenya erat. Aroma wangi tubuh Farrah tercium jelas oleh pemuda tampan itu.
“Tante sehat, Alhamdulillah. Ayo masuk.”
“Oi, Farrah!”
Farrah dan Juna langsung menoleh ke kiri secara bersamaan. Terlihat Naura, tetangga sebelah rumah Farrah, menyeringai sambil melambaikan tangan ke arah mereka.
“Jun, kenalin nih, tetangga favoritku. Namanya Naura.”
“Udah kenal kok, tadi sempat ketuk pintu rumahnya, aku kira itu rumah Tante Farrah.” jawab Juna sambil melambaikan tangan ke arah Naura.
“Oh ya? Oke deh, kamu masuk duluan ya, Tante mau ngobrol sebentar.” balas Farrah.
“Oke.” jawab Juna singkat, lalu menarik koper besarnya masuk ke dalam rumah.
“Eh keponakanmu ganteng banget. Badannya berotot pula.” bisik Naura pelan sambil nyengir. Janda satu anak itu senyum-senyum sendiri seperti orang yang baru dapat undian berhadiah. Farrah membelalakkan matanya dan mendekat ke dinding pemisah rumah mereka.
“Ih, kamu ini, dia keponakanku yang pernah aku ceritain waktu dulu. Yang dari Jawa.”
“Iya, aku tahu. Kamu kan pernah cerita waktu itu. Kalau seganteng ini, nggak usah cari tempat tinggal lain deh. Suruh aja tinggal di sini selamanya. Nanti aku pinjam semalam aja, boleh nggak?”
“Ih, kamu ini nggak ada habisnya ya godain orang?”
“Ah, kayak kamu sendiri nggak pernah genit aja. Jangan-jangan malam ini malah kamu yang duluan deketin dia.” kata Naura sambil tertawa kecil. Farrah kembali membelalakkan matanya. Baginya, itu sama sekali tidak lucu.
"Nggak mungkin! Juna kan keponakanku, aku nggak akan tega ngentot sama keponakan sendiri!”
"Oh, cuma keponakan, bukan anak kandung. Kamu kan masih bisa main-main. Aku yakin pasti enak kalau dientot sama Juna.”
"Ish! Mulutmu Naura! Gini ya kalau udah lama nggak ngrasain kontol?" kata Farrah sambil tertawa. Dia tahu tetangganya itu cuma bercanda.
"Tentu saja. Eh, besok pagi kamu jadi ke rumahku kan?" tanya Naura lagi.
"Aku ke sana jam 11. Nanti aku whatsapp. Bye!”
Tanpa menunggu balasan dari tetangganya, Farrah berbalik dan melangkah cepat masuk ke dalam rumahnya. Juna sudah duduk dengan nyaman di sofa menghadap TV yang belum dinyalakan. Setelah menutup pintu, Farrah duduk di sebelah Juna.
“Maaf ya, Jun. Tetangga sebelah itu agak cerewet sedikit.”
“Oh, nggak apa-apa kok. Malah bagus punya tetangga kayak gitu. Jadi rame. Tante juga nggak terlalu kesepian kan? Ada teman ngobrol.”
“Iya juga, kalau nggak ada dia, ya TV jadi sahabat baik Tante. Eh, kenapa nggak nyalain TV?” tanya Farrah saat menyadari Juna sedang menatap TV yang belum menyala.
“Eh, sungkan lah Tante, Juna baru aja sampai, masa udah langsung pegang-pegang barang Tante?”
"Lah, kok jadi malu-malu gini sih? Ini kan rumah Tante. Lagian kamu kan mau tinggal di sini lama. Anggap aja rumah ini kayak rumahmu sendiri. Mau pegang apa aja bebas. Mau pegang Tante juga boleh lho..."
Kalimat terakhir Farrah membuat Juna terdiam sejenak.
345Please respect copyright.PENANAjg4XAforvf
BERSAMBUNG
Cerita ini sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION, untuk membaca versi lengkapnya silahkan klik link yang ada di bio profil345Please respect copyright.PENANAAPsktOluRl