
Langit sore itu membentang dalam warna jingga keemasan—seperti lukisan yang dilukis langsung oleh tangan Tuhan. Aku berdiri di teras rumah, secangkir kopi hitam mengepul di genggaman. Angin semilir membawa aroma tanah basah dan kenangan-kenangan yang tiba-tiba saja menyeruak dari sudut pikiranku.
Aku masih ingat jelas hari-hari awal pernikahan kami. Masa-masa yang manis, seperti mimpi yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Semuanya sederhana, tapi entah mengapa terasa begitu utuh dan membahagiakan.
Nikma—istriku—adalah perempuan yang lembut, penyayang, dan penuh cahaya. Wajahnya selalu teduh setiap kali menatapku, seakan dunia ini tak pernah cukup keras untuk menggoyahkan ketenangannya. Saat aku pulang kerja dengan tubuh letih, senyumnya selalu lebih manjur dari obat manapun.
Di awal pernikahan, hidup kami bukan tentang kemewahan. Kami tinggal di rumah kontrakan kecil di pinggiran kota, dengan perabotan hasil warisan orangtua dan diskon akhir tahun dari toko furnitur. Tapi entah mengapa, rumah kecil itu terasa lebih hangat dari istana manapun.
Malam-malam kami dipenuhi tawa yang tak dibuat-buat. Sesekali kami makan malam sambil menonton sinetron lama, atau sekadar duduk berselimut berdua di sofa robek sambil mendiskusikan hal remeh—seperti siapa yang harus buang sampah besok pagi.
Suatu malam, hujan deras turun. Listrik padam. Rumah kami hanya diterangi oleh cahaya lilin kecil di meja ruang tengah. Kami duduk bersisian di karpet tipis, dengan secangkir teh hangat dan suara hujan sebagai musik pengiring.
“Nanti kalau kita punya anak,” ujar Nikma sambil menyandarkan kepalanya di bahuku, “aku pengen dia mirip kamu. Sabar, penyayang, dan... doyan ngopi.”
Aku tertawa kecil, menyentuh ujung rambutnya yang keluar dari balutan hijabnya. “Kalau dia mirip kamu, dia bakal jadi penyuka senja, pencinta buku, dan jago masak. Bisa-bisa aku nggak laku nanti.”
Dia menepuk pundakku pelan. “Kamu nggak akan pernah nggak laku, pah.”
Dan di tengah kegelapan itu, dalam ruang sederhana tanpa kemewahan apapun, aku merasa seperti lelaki terkaya di dunia. Hangatnya cinta kami mengalahkan dinginnya malam. Lilin kecil itu menerangi bukan hanya ruangan, tapi juga hatiku.
Itulah masa-masa awal kami. Sebuah permulaan dari perjalanan panjang yang belum tentu selalu mulus, tapi selalu kami hadapi bersama. Cinta kami tumbuh seperti akar—pelan tapi pasti, semakin dalam dan kuat.
Nikma bukan hanya cantik. Ia indah—dalam cara ia menjaga dirinya, dalam cara ia bersikap, dalam caranya menjadi perempuan yang tahu di mana letak batas dan kehormatan. Sejak awal aku mengenalnya, ia bukan tipe perempuan yang mudah menyapa pria sembarangan. Tutur katanya lembut namun tegas. Sorot matanya penuh ketegasan, tapi tak kehilangan kelembutan.
Setiap kali kami menghadiri acara keluarga besar atau reuni, Nikma selalu menjadi pusat perhatian dalam diam. Ia tak pernah memakai pakaian mencolok, tapi keanggunannya dalam balutan hijab syar’i selalu membuat orang menoleh.
Suatu kali, saat pulang dari sebuah acara keluarga, ia terlihat sedikit gelisah.
“Pah...” panggilnya pelan dari kursi penumpang saat aku mengemudi. “Kadang aku canggung kalau mereka terlalu bebas bercanda. Tapi aku nggak enak juga menolak keras…”
Aku menoleh sebentar, lalu menggenggam tangannya. “Kamu udah cukup menjaga dirimu, mah. Aku tahu kamu nggak nyaman. Nanti kalau ada acara seperti itu lagi, kita datang sebentar aja. Kalau kamu nggak mau ikut, pun nggak masalah.”
Ia tersenyum, lega. “Makasih ya, pah. Kadang aku takut kelihatan terlalu kaku…”
Aku menatapnya lama. “Kaku itu kalau kamu nggak tahu tempat. Tapi kamu tahu persis kapan harus ramah, kapan harus menjaga diri. Itu bukan kaku, itu namanya berpendirian.”
Ia menunduk, menatap jemarinya. Lalu dengan suara yang lirih tapi pasti, ia berkata, “Aku cuma pengen kamu selalu bangga sama aku.”
Hatiku mencelos mendengarnya. “Aku nggak cuma bangga, mah. Aku bersyukur. Setiap hari.”
Kini usiaku 32 tahun. Nikma baru saja menginjak 29. Selisih usia itu terasa sempurna. Cukup untuk membuatku menjadi tempatnya bersandar, tapi tak terlalu jauh hingga kami masih bisa tertawa seperti dua sahabat.
Dan memang, Nikma seringkali terasa lebih dewasa dari usianya. Bukan karena kerutan di wajahnya—karena wajahnya masih sama seperti saat pertama kali aku melihatnya dulu—tapi karena caranya bersikap. Ketenangannya saat menghadapi masalah. Ketegarannya saat kami kehilangan janin pertama kami. Cara ia memelukku, ketika justru aku yang lebih hancur.
Pernikahan, aku sadari, bukan hanya tentang cinta yang menggebu. Bukan tentang kupu-kupu di perut saat berjumpa. Pernikahan adalah tentang memilih tetap tinggal saat badai datang. Tentang bertahan saat kebosanan menyelinap, dan menggenggam tangan yang sama meski genggaman itu kadang terasa longgar.
Nikma, dalam semua keteduhan dan keteguhannya, membuatku ingin menjadi lelaki yang lebih baik. Ia bukan hanya istri. Ia adalah sahabat, pelindung, dan cermin dari versi terbaik diriku.
Aku menyeruput kopi yang kini mulai dingin. Di kejauhan, langit mulai berubah menjadi ungu gelap. Senja akan segera berlalu. Tapi cinta yang kupunya untuk Nikma... tidak akan pernah memudar.
Aku mencintai Nikma. Itu tak pernah berubah. Wajahnya yang damai saat tidur, suaranya yang sabar saat membangunkanku untuk shalat Subuh, atau caranya menyeduh teh setiap sore seakan tanpa lelah—semua itu menjadi bagian dari diriku. Tapi entah sejak kapan, sebuah bayangan asing mulai tumbuh di benakku.
Sebuah fantasi. Gila, aku tahu. Tapi begitu liar menari-nari di kepalaku..
Aku tak pernah menceritakan ini pada siapa pun—tidak pada sahabat, tidak pada ustadz yang kadang kutemui di masjid, apalagi pada Nikma. Mungkin karena aku takut. Takut akan dihakimi, takut dianggap tidak waras, atau... takut aku sendiri tak bisa menjelaskan kenapa.
Aku mulai memimpikan sesuatu yang tak semestinya. Bayangan Nikma, dalam situasi yang seharusnya tak pernah ada. Aku membayangkan Nikma bersama pria lain. Bukan karena aku ingin kehilangan dia—justru karena aku merasa memilikinya sepenuhnya, aku merasa aman untuk melepaskan imajinasi itu... dalam kepala.
Fantasi itu bukan tentang pengkhianatan. Anehnya, tidak. Justru di dalamnya aku tetap ada—menyaksikan, merasakan, seolah-olah aku masih bagian dari cerita itu. Entah ini bentuk dari obsesi, trauma yang tak kusadari, atau hanya gejolak dari rutinitas yang terlalu lama diam.
Aku mencoba menepisnya berkali-kali. Berdoa, mengalihkan pikiran, menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Tapi ia seperti embun yang kembali tiap pagi. Tak bisa dihindari, hanya bisa diterima keberadaannya—meski aku tak pernah ingin menyentuhnya.
Suatu malam, saat Nikma sedang melipat pakaian aku memandangnya lama. Ia masih dengan gamisnya yang sederhana, jilbab yang dililit rapi, dan aroma sabun mandi yang menenangkan.
"Mas, kenapa ngelamun?" tanyanya tanpa menoleh.
Aku tersenyum samar. “Nggak. Cuma mikir… kamu tahu nggak? Kamu tuh cantik banget.”
Ia mendongak, tertawa kecil. “Baru sadar sekarang ya?”
Aku ikut tertawa. Tapi di dalam diriku, ada gemuruh yang tak mampu dijelaskan. Aku ingin mengungkapkan fantasiku. Tapi kepada siapa? Kepada Nikma? Untuk apa? Hanya akan menyakitinya.
Aku pun tahu, tidak semua isi kepala pantas keluar dari mulut. Tidak semua yang kita bayangkan harus kita jalani. Karena pada akhirnya, cinta bukan hanya tentang keinginan. Tapi juga tentang pengendalian. Dan mungkin... itulah cara paling tulus untuk mencintai seseorang: menahan diri dari menyakiti mereka, bahkan jika itu hanya lewat pikiran.
Bersambung
ns216.73.216.6da2