1477Please respect copyright.PENANA2Wz1XoYrGo
Malam seusai sholat Isya aku duduk di sofa ruang tamu kami. Aku menyeruput kopi yang sudah mulai dingin, sementara Nikma asyik menonton sinetron di TV. Rambutnya yang biasanya tertutup hijab kini terurai rapi.
"Kamu dari tadi melamun aja," suara Nikma menyentak pikiranku.
Aku tersadar, memaksakan senyum. "Oh, enggak. Cuma mikirin proyek kantor aja."
Padahal saat ini kepalaku dipenuhi oleh fantasi, Nikma, bercinta dengan pria lain. Bukan sembarang pria, melainkan seorang laki-laki sempurna—berbadan tegap, memiliki daya tarik yang memikat, dan mahir dalam seni bercinta. Aku membayangkan bagaimana dia menyetubuhi istriku dengan penuh gairah, mendominasinya dengan kekuatan dan keahlian yang membuat Nikma merintih dalam nikmat. Aku membayangkan matanya yang biasanya penuh kesucian itu berubah gelap oleh nafsu, bibirnya menganga, dan tubuhnya bergerak liar di bawah sentuhan pria itu.
Fantasiku ini bukan sekadar bayangan singkat yang muncul dan menghilang. Ia tumbuh semakin kuat, mengakar dalam benakku, sampai akhirnya, setahun yang lalu, aku memberanikan diri untuk mengungkapkannya kepada Nikma.
Malam itu, di atas ranjang, saat tubuh kami saling bersentuhan dan nafas mulai memburu, aku membisikkan keinginanku di telinganya. Aku menggambarkan bagaimana aku ingin melihatnya dinikmati oleh laki-laki lain, bagaimana aku ingin mendengar erangannya yang melengking saat dia mencapai puncak kenikmatan dari lelaki lain itu.
Malam itu, udara terasa pengap meski kipas angin berputar kencang di atas ranjang kami. Nikma berbaring di bawahku, tubuhnya sudah berkeringat, bibirnya terbuka lebar mengikuti tarikan napas yang semakin cepat. Tangannya mencengkeram erat bantal di samping kepalanya, jari-jarinya menekan hingga putih. Aku mengenal baik tanda-tandanya—dia sudah sangat dekat.
"Sayang… aku udan mau nyampe ouhwwwwww…" bisiknya parau, mata setengah tertutup.
Aku memperlambat gerakanku, membuatnya mengerang kesal. "Terus sayang yang kuat…"
Tapi justru di detik itulah bisikan terkutuk itu meluncur dari mulutku.
"Aku pengen liat mamah kayak gini… tapi dengan laki-laki lain."
Nikma terus mengerang. "Apa…owuwhhh papah ngomong apa sih ouwhhhhhhh.?"
"Papah lagi bayangin mamah…," aku mendesah, mempercepat gerakan lagi, membuatnya terengah. "Lagi di gituin sama laki-laki lain yang lebih besar, lebih kuat dari papah dia entotin mamah dengan ganas."
"Ouwhhhhh papah gila owuhhhhhh!"
Aku tak memberinya waktu berpikir. "Dia entotin memek mamah dengan kontol gedenya, meremas pantat bahenol mamah, genjotin memek mamah dengan kuat.."
"Ouwhhhh terus pah yang kuat!" Nikma mengerang, tubuhnya justru melengkung mendekatiku, tangannya mencakar punggungku.
"Mamah suka ngebayangan itu, kan?" aku mendesis di telinganya. "Dia bikin mamah menjerit lebih keras karena nikmat."
"Ouwhhh pah terus gitu pah—ah! Aaah!"
Tubuhnya bergetar hebat, kuku-kukunya meninggalkan bekas di kulitku. Aku merasakan kontraksi panasnya menggilasku saat dia mencapai puncak—jeritannya lebih panjang, lebih liar dari biasanya.
Aku menumpahkan spermaku dengan penuh kenikmatan. Ketika kesadaran kami perlahan pulih, Nikma langsung memprotes fantasiku tadi.
"Ih papah kok mikir yang aneh-aneh sih!" suaranya bergetar akibat orgasme hebat, tapi pipinya masih merah.
Aku menarik napas. "Ini hanya fantasi biar makin seru aja mah."
Dia menyingsingkan selimut dengan kasar. "Itu menjijikkan pah! papah maksa mamah bayangin orang lain. Aneh banget."
"Tapi kayaknya tadi mamah jadi lebih nafsu dari biasanya," potongku, memberanikan diri menyentuh pahanya yang masih gemetar.
Dia menampar tanganku. "Ih itu karena mamah emang lagi gairah aja!" Tapi napasnya masih tersengal.
Di dalam keramangan lampu kamar, aku melihat matanya semacam ada kebingungan di sana, mungkin juga… rasa malu karena tubuhnya merespons begitu liar dan itu mungkin sangat memalukan baginya.
"Udah ah pah mamah udah mau bersih-bersih abis itu mau istirahat." dia mendesis sebelum kemudian bangkit menuju ke kamar mandi.
Tapi apapun itu aku melihat reaksinya tadi itu di luar dugaanku. Aku yakin tadi itu Nikma justru terlihat semakin bergairah. Aku ingat benar nafasnya menjadi semakin cepat, tubuhnya semakin panas, dan matanya membara dengan hasrat yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Aku rasa tadi itu kami bercinta dengan intensitas yang berbeda—liar, penuh gairah, dan penuh eksplorasi.
Malam berikutnya aku kembali memainkan fantasiku itu. Aku menahan hasratku, membiarkan tanganku menjelajah tubuh Nikma dengan santai seolah tidak mau buru-buru ke menu utama persetubuhan. Dia mengerang kecil, tubuhnya mulai bergerak tak sabar.
"Sayang..." panggilnya lembut, matanya memohon.
Aku tersenyum, sengaja memperlambat sentuhanku. "Ada apa, mah?"
"Cepetan dong aku udah pengen banget pah..." dia mendesis, tangannya mencengkeram lenganku.
Aku membalikkan posisinya, menelungkupkannya di atas kasur. Dengan perlahan, aku menempelkan bibirku ke telinganya dan berbisik:
"Papah lagi ngebayangin andai tubuh indah mamah ini digerayangi pria perkasa."
Tubuhnya langsung menegang.
"Pria yang tubuhnya lebih kuat dari papah," aku terus membisik, sementara tanganku mulai menjelajah. "Tangannya lebih besar, bisa memegang kedua pergelangan tanganmu sekaligus."
"Ih papah mulai lagi deh.." protesnya lemah, tapi pinggulnya sudah mulai menggesek ke kasur.
"Dia akan menggenjot memek mamah kayak gini tapi dengan kontol yang lebih besar dan kuat." aku mulai memompa kontolku ke memek Nikma istriku.
Nikma mengaduh, wajahnya makin terlihat sange. Aku bisa melihat pundaknya bergetar.
"Dan ketika mamah meronta," aku mendesah, "dia malah menggenjot mamah lebih keras ke kasur—"
"Aaah! Iyah pah gitu ahhhhh!" teriaknya, diikuti tubuhnya yang melengkung, mengejar kenikmatan yang aku tahu sudah mendidih di perutnya.
Aku tak berhenti. "Mamah mau nyampe sekarang? Atau mamah mau bayangin laki-laki lain itu lagi maksa mamah nanah orgasme lebih lama?"
Dia menjerit, tangannya mencengkram sprei hingga berkerut. Ledakan orgasmenya lebih keras dari biasanya—aku bisa merasakan denyutnya bahkan kontol aku sampai diremas-remas dengan liar oleh memeknya.
Dan saat dia masih tersengal-sengal, aku menariknya kembali ke realitas.
"Gimanana mamah suka bayangin itu, ya?"
Dengan gerakan kasar, dia membalikkan badan dan menatapku dengan mata berkaca-kaca. "papah emang udah gila."
Bersambung1477Please respect copyright.PENANAD6pY5s83h2