Sekarang aku sedang rebah di atas ranjang. Pikiranku masih terbayang-bayang oleh pemulung tampan yang melintas di dekatku kemarin. Sebenarnya, yang memikat hatiku bukan hanya ketampanannya, namun juga semangatnya untuk berjuang. Yang tak malu meski hidup dengan kekurangan. Ia tetap bekerja keras, sampai aroma tubuhnya yang terbakar matahari menyentuh syaraf-syaraf indera penciumanku.
Dan melihatnya, aku jadi teringat papaku yang jauh dariku. Entah sudah berapa tahun, aku terpisah dengan papaku. Sejak aku kelas 5 SD, yang saat itu bisnis Papa sadang melejit. Dari domisili di Jakarta Timur berpindah ke Jakarta Selatan. Sejak saat itulah, Papa meninggalkanku untuk membangun bisnisnya di Singapura. Ya meski Papa dan Mama masih pulang ke Jakarta. Hanya saja bisa dihitung dengan jari.
Bagi anak seusiaku saat itu, masih sangat butuh perhatian dari orang tuanya. Karena keegoisan orang tuaku, terpaksa aku harus belajar mandiri sejak kecil. Dan hanya asisten rumah tanggaku yang setia sampai sekarang untuk menjagaku.
Ingatanku pun, kembali ke sosok pemulung tampan yang melintas di dekatku kemarin. Hatiku bergetar, memikirkannya. Kurasakan dorongan kuat untuk mencari pemulung itu. Aku benar-benar ingin menemuinya, lalu berkenalan dengannya.
Namun, aku tak tahu mulai darimana aku harus mencarinya. Karena ibu kota begitu luas. Dengan mengembuskan nafas aku berjalan ke arah garasi, kutunggangi motor kesayanganku Yamaha YZF-R1M berwarna hitam. Kukendarai motorku pelan dari garasi menuju pos satpam.
"Pagi, Pak!" sapaku pada satpamku.
"Pagi juga, Ci!" Satpamku pun menjawab dengan ramah.
Gerbang rumahku yang tinggi pun digeser oleh satpamku. Setelah gerbang terbuka, aku mulai mengendarai motorku keluar dari gerbang. Seperti hari-hari sebelumnya, motorku berderum berat melintasi kompleks perumahan elite.
Kulihat rumah-rumah besar berdiri dengan jarak yang tak begitu dekat. Pikiranku mengawang-awang, memikirkan penghuni perumahan ini yang begitu individualis, yang tak peduli dengan tetangganya.
Setelah aku mengendarai motorku keluar dari kompleks perumahan, kupacu motorku lebih cepat memasuki jalanan.
Terpaan angin mengenai tubuhku, semilirnya membuat hijabku berkibar. Sekarang dengan keyakinan penuh, aku ingin mencari keberadaan pemulung kemarin. Entah, apakah yang aku lakukan ini konyol atau tidak, karena usahaku untuk mencari seseorang yang sama sekali tak aku kenal.
Melewati jalanan, mataku mulai mengawasi. Setiap aku berhenti, hanya untuk sekedar bertanya kepada pemulung yang aku temui. Kata-kataku tercekat di tenggorokan, bagaimana tidak, aku mencari orang yang namanya saja aku tak tahu. Sampai-sampai setiap pemulung pun menatapku dengan tatapan heran.
"Namanya siapa? Kalo Mbak nggak tau namanya, wah sulit Mbak. Soalnya di daerah sini, pemulung nggak cuma satu orang doang."
"Duh Pak, orang ini penting buat saya. Saya harus nemuin orang ini secepat mungkin." Hatiku mulai was-was, aku merasa usahaku akan sia-sia.
"Andai saja, Mbak tau siapa namanya. Saya mungkin bisa bantu Mbak." Pemulung tua di depanku mengusap keringatnya yang membasahi keningnya.
Aku sedikit putusasa, badanku pun sudah cukup lelah. Dengan sesekali keringatku yang membasahi keningku kuseka. Lalu aku turun dari motor, kulangkahkan kakiku ke mini market yang ada di depanku. Setelah aku masuk ke dalam mini market, kubeli dua botol soda.
"Boleh, aku duduk disini, Pak?" tanyaku pada pemulung tua tadi yang istirahat di dekat gerobak sampahnya.
Pemulung tua itu pun tersentak kaget. "Eh Mbak, boleh Mbak silakan! Maaf sampahnya bau."
"Nggak apa-apa Pak, nggak bau kok. Ini Pak, buat Bapak." Kusodorkan satu botol soda.
"Repot-repot banget Mbak, terima kasih ya." Dengan malu-malu pemulung tua itu menerima satu botol soda yang aku berikan. Kubalas ucapan terima kasih itu dengan tersenyum.
Sekarang aku duduk di dekat pemulung tua itu, sambil meneguk soda di dalam botol. Saat aku sedikit menyingkap cadarku untuk meneguk soda di dalam botol, pemulung tua itu melirikku. Tahu aku memergokinya sedang melirikku, ia salah tingkah sambil menundukkan pandangan.
Kubuka obrolan dengan pemulung tua itu. "Bapak udah lama ya mulung kayak gini?"
Pemulung tua itu, mengembuskan nafasnya. "Udah lama Mbak, sejak saya masih muda."
Kuamati pemulung tua itu yang duduk di dekatku, ternyata tak setua dugaanku. Sepertinya selisih 25 tahun dengan umurku, yang sekarang menginjak 19 tahun.
"Nama Bapak siapa, kalo boleh tau?"
“Ahmad, Mbak,” ucapnya sambil terus menunduk, tak berani menatapku. Aku tersenyum di balik cadarku, melihat pemulung yang duduk dekat di sampingku. Yang malu-malu, dengan tangan bergetar memegang botol soda yang aku berikan tadi.
"Oh Pak Ahmad. Saya Icha, Pak. Salam kenal ya Pak!" Aku menoleh ke samping, menatap Pak Ahmad sambil tersenyum.
Karena aku duduk di dekat pohon yang lumayan rimbun, panasnya siang ini tak begitu menyengat. Hanya saja, saat angin mulai bertiup. Aroma sampah di dalam gerobak mulai menyebar di udara. Meski aku sedikit kurang nyaman, karena baunya yang menyengat. Sebisa mungkin kutahan untuk menjaga perasaan Pak Ahmad yang duduk di sampingku.
"Pak Ahmad, punya anak berapa?" tanyaku sambil menoleh, menatap Pak Ahmad.
"Tiga Mbak. Tapi udah pada nikah, sekarang ikut suaminya." Pak Ahmad tiba-tiba murung.
"Bapak di rumah sama istri doang ya Pak?" Aku menoleh ke arah Pak Ahmad. Lalu aku meneguk soda di dalam botol. Pak Ahmad sekilas menatapku dengan ujung matanya. Saat aku menoleh sambil tersenyum. Ia memalingkan wajahnya sambil meneguk soda.
Kembali aku menatap Pak Ahmad yang duduk di sampingku.
"Istri saya udah meninggal Mbak, sekitar sepuluh tahun yang lalu." Pak Ahmad menunduk, nampak kesedihan di wajahnya.
“Maaf ya, Pak. Saya nggak bermaksud mengingatkan Bapak pada almarhumah istri Bapak.”
Pak Ahmad menghela nafasnya, berat, "Nggak apa-apa, Mbak."
Aku coba mengalihkan pembicaraan, karena aku merasa tak enak sudah membuat Pak Ahmad bersedih. “Saya senang bisa ketemu sama Bapak. Dan bisa ngobrol seperti sekarang. Rasanya seperti sedang ngobrol sama Papa saya sendiri.” Sekarang giliran aku yang tenggelam ke dalam kesedihan, karena aku teringat orang tuaku.
“Sebelumnya Bapak minta maaf. Emm Papa mbak udah meninggalkah?”
“Belum Pak, beliau sekarang nggak tinggal serumah sama saya Pak.”
"Kalo boleh saya tau, Papa Mbak sekarang tinggal dimana?"
“Di Singapura Pak.” Karena aku begitu sedih karena membicarakan orang tuaku yang jauh dariku, aku pun membahas topik lain. “Kalo boleh saya tau, berapa umur Bapak? Sepertinya Bapak sepantaran dengan Papa saya. Maaf ya Pak, kalo saya nggak sopan, nanya macem-macem ke Bapak.”
"Nggak apa-apa, Mbak. Saya tahun ini, 55 tahun." Aku agak terkejut mendengar pengakuan Pak Ahmad, karena tak seperti yang aku kira. Sebelumnya aku mengira, Pak Ahmad seumuran papaku, ternyata selisih 10 tahun lebih tua. Cukup awet muda, karena Pak Ahmad terlihat seperti Papa yang berumur 45 tahun.
"Wah Bapak awet muda ya."
"Hehe, Mbak bisa aja. Saya udah mendekati lansia sih Mbak." Pak Ahmad menggaruk-garuk kepalanya. Ia tak lagi menunduk, malu-malu. Matanya memancar sesuatu yang berbeda tak seperti saat pertamakali kita mengobrol. Sepertinya Pak Ahmad menyukai pujianku.
Entah kenapa terbersit pikiran, untuk singgah sebentar ke rumah Pak Ahmad. "Em, Pak..."
Pak Ahmad pun menoleh ke arahku. "Iya Mbak?"
"Boleh saya main ke rumah Bapak?" tanyaku, tersenyum sambil memainkan ujung hijabku.
"Aduh gimana ya. Saya malu, Mbak. Rumah saya cuma gubuk." Pak Ahmad kembali muram.
"Ya ampun Bapak, kok ngomong gitu? Boleh ya saya main? Saya nggak gigit kok! hihi." Aku mencoba mencairkan suasana, agar Pak Ahmad tak lagi merasa rendah diri.
"Hehe, Mbak bisa aja. Ya udah, kalo Mbak maksa main. Mari Mbak! Rumah saya Nggak jauh dari sini." Pak Ahmad mendorong gerobak sampahnya di depanku, sedangkan aku mengikuti Pak Ahmad dengan mengendarai motorku. Berulangkali Pak Ahmad menoleh ke belakang sambil mengernyitkan dahinya, saat aku kesulitan mengendarai motorku yang besar sambil mengikuti Pak Ahmad dari belakang.
"Kok berhenti Pak?" Aku berhenti, karena Pak Ahmad berhenti mendorong gerobaknya. Lalu menghampiriku.
"Emm, gini aja Mbak. Mbak tau kan, Masjid seberang jalan itu?" Pak Ahmad menunjukkan letak Masjid dengan jari telunjuknya.
“Iya, tau Pak.”
“Daripada Mbak kesulitan karena ngikutin saya yang berjalan lambat, gimana kalo Mbak tunggu aja saya di Masjid depan sana? Rumah saya deket kok Mbak sama Masjid disana itu.”
“Oh baik Pak, kalo begitu saya tunggu di depan Masjid ya Pak.” Sekarang aku mulai mengendarai motorku, menyeberang jalan, lalu aku berhenti di depan Masjid sambil menunggu Pak Ahmad.
Aku tunggu Pak Ahmad sekitar dua menitan, baru Pak Ahmad sampai di depan Masjid.
“Kita abis ini, masuk ke gang sini ya Mbak! Trus kalo Mbak lihat gubuk dengan cat berwarna biru dan di depannya banyak kucing. Itu rumah saya,” ujar Pak Ahmad sambil tersenyum.
"Oh iya, Pak. Saya duluan ya?" Aku kembali mengendarai motorku, masuk ke dalam gang sempit. Saat aku memasuki gang sempit, aku menatap banyak gubuk dengan tembok kayu dan triplek, atapnya terbuat dari seng. Kuhela nafasku, membandingkannya dengan kehidupanku sendiri. Betapa tak bersyukurnya aku, yang tak mampu menerima takdir Tuhan. Membuat aku merasa sedih sekaligus membuka mataku. Setelah sampai, aku pun berhenti di depan gubug dengan cat berwarna biru seperti yang dikatakan Pak Ahmad.
Kulihat ada ibu-ibu mendekatiku, "Cari siapa ya Mas?" Saat kubuka helmku dan melihatku memakai cadar, ibu-ibu itu terhenyak. “Eh maaf ya Mbak, saya kira Mbak cowok. Nggak taunya cewek, hihi.”
"Hehe, nggak apa-apa, Bu. Emm, bener ini rumah Pak Ahmad?"
“Bener, Mbak siapanya Pak Ahmad?” Ibu-ibu itu menatapku, menyelidik.
Sebelum menjawab, aku berpikir berulangkali. Aku tak mau, kejujuranku justru menjadi masalah. Dan justru mempersulit kehidupan Pak Ahmad. Tetangga Pak Ahmad akan menggunjingkan Pak Ahmad karena memasukkan seorang gadis ke dalam rumahnya.
"Saya keponakannya, Bu."
"Oh, keponakannya ya? Bagus kalo gitu, saya kasian sama Pak Ahmad karena anaknya nggak ada yang mau jenguk Pak Ahmad. Syukur, sekarang ada yang mau jenguk. Ya udah, saya tinggal dulu ya Mbak?"
"Iya, Bu. Terima kasih ya!"
"Sama-sama, Mbak. Saya pergi dulu ya! Tunggu aja di rumah, paling sebentar lagi Pak Ahmad pulang!"
"Baik, Bu," jawabku, sambil mengangguk.
Setelah ibu itu meninggalkanku, aku turun dari motorku lalu berjalan ke arah rumah Pak Ahmad. Belum sempat aku masuk ke dalam rumah, Pak Ahmad datang dengan mendorong gerobaknya.
"Maaf ya, Mbak. Agak lama." Nafas Pak Ahmad terengah-engah, sepertinya Pak Ahmad berlari saat menyeberang kesini. Aku merasa tak enak karena sudah memaksa Pak Ahmad agar aku diizinkan main ke rumahnya.
"Nggak apa-apa, Pak!"
"Mari masuk, Mbak!" Aku berjalan di belakang Pak Ahmad. Sesampainya di dalam rumah, kuedaran pandanganku untuk menatap sekelilingku. Ternyata benar, rumah Pak Ahmad hanya berlapis triplek. Dan tak begitu luas, hanya sepetak saja. Di dalam rumahnya tak ada kursi, hanya ada tikar yang digelar di bawah. Setelah aku menatap ke bawah, rumah ini tak berlantai. Hanya tanah yang tak rata.
"Silakan duduk, Mbak!"
"Iya, Pak. Terima kasih!" Aku pun duduk lesehan di atas tikar.
"Tunggu sebentar ya, Mbak! Saya buatkan teh dulu!" Sebenarnya aku ingin menolak, karena aku tak ingin merepotkan Pak Ahmad. Namun, setelah berpikir masak-masak, aku urungkan niatku karena takut Pak Ahmad tersinggung. Akhirnya aku memilih mengiyakan saja.
"Iya, Pak!" jawabku sambil tersenyum.
Setelah Pak Ahmad meninggalkanku ke dslur, aku berdiri menatap dinding rumah Pak Ahmad. Di dinding rumah, terpajang beberapa pigura. Aku melihat, tiga anak perempuan, yang kira-kira berumur tujuh tahun. Cukup lama, aku mengamati ketiga anak itu yang lucu-lucu.
"Mbak, ini tehnya." Aku tersentak kaget, saat Pak Ahmad tiba-tiba berada di belakangku.
"Sama-sama, Pak!" Aku memegang secangkir teh manis, lalu aku duduk di atas tikar.
"Yang ada di pigura itu, anak saya. Mereka mungkin seusia Mbak. Yang sulung mungkin lebih tua daripada Mbak." Pak Ahmad duduk di sampingku sambil bercerita tentang anaknya.
"Iya, Pak. Cantik-cantik ya, pasti sekarang makin cantik deh," timpalku sambil menatap Pak Ahmad, tersenyum dibalik cadarku.
Pak Ahmad menghela nafasnya berat. Ada kesedihan yang tergurat di wajahnya.
"Udah lama banget, mereka nggak main ke rumah ini." Pak Ahmad dengan mata berkaca-kaca, bercerita tentang anaknya
Aku pun terdiam saat Pak Ahmad mengungkapkan perasaannya. Sama sepertiku, yang merasa kesepian karena jauh dari orang tuaku. Pak Ahmad pun juga demikian, ia harus berjuang sendirian di usianya yang uzur seorang diri. Setelah kutahu apa yang dirasakan Pak Ahmad sama seperti yang kurasakan. Kesepianku sedikit pudar, ya meski ada yang mengganjal. Karena aku belum berhasil menemukan sosok pemulung yang seusiaku yang melintas di depanku kemarin.
"Saya bisa ngerasain gimana perasaan Bapak. Karena saya juga merasakan perasaan yang sama, Pak. Bedanya saya harus jauh dari orang tua saya."
Selintas Pak Ahmad menetaskan air mata, lalu memalingkan wajahnya. Ia pun mengusap air matanya dengan ujung kaos lusuh yang ia kenakan.
"Saya selalu berdo'a Mbak, semoga Tuhan memanjangkan umur saya. Saya pengen bekerja lebih keras buat ngumpulin uang, supaya saya bisa menjenguk anak saya di seberang."
Mendengar kejujuran Pak Ahmad, aku jadi ikut sedih. "Anak-anak Bapak sekarang tinggal dimana?"
"Satu di Lampung. Yang dua di Palembang, Mbak." Mendengar keluh kesah Pak Ahmad, rasanya aku ingin membantu.
"Bapak beneran pengen menjenguk anak Bapak di Sumatera? Kalo Bapak berkenan, saya pengen bantu Pak, supaya Bapak bisa menjenguk anak-anak Bapak."
"Jangan Mbak! Saya nggak mau, ngerepotin. Saya pengen berjuang sendiri, dengan hasil jerih payah saya sendiri, Maaf." Pak Ahmad menunduk lesu.
Karena Pak Ahmad bersikeras tak ingin merepotkanku. Aku pun tak bisa memaksa, karena aku terharu melihat Pak Ahmad yang mempertahankan harga dirinya.
Tiba-tiba muncul ide yang melintas di pikiranku. "Emm, saya bakal sering kesini kok Pak. Kalo Bapak mau, Bapak boleh menganggap saya anak Bapak."
Pak Ahmad yang menunduk, ia menatapku dengan mata berkaca-kaca. Aku pegang punggung tangannya.
“Icha bakal meluangkan waktu buat menjenguk Bapak.” Aku menepuk-nepuk punggung tangan Pak Ahmad.
Mungkin seandainya ada orang yang melihatku sedekat ini dengan Pak Ahmad. Mereka akan mengernyitkan dahinya. Lalu mereka mengatakan, bagaimana bisa gadis bercadar sepertiku berduaan dengan yang bukan mahrom, sambil memegang punggung tangannya? Aku akan menjawab, aku tak perduli. Yang aku lakukan hanya sekedar menghibur Pak Ahmad yang sedang bersedih. Tak ada yang salah, karena niatku tulus, tanpa tendensi apa pun.
"Terima kasih ya, Mbak!" Pak Ahmad terisak.
Aku mendekatkan tubuhku ke arah Pak Ahmad, untuk memeluknya. Lalu mengusap-usap punggungnya.
"Jangan sedih ya Pak! Bapak boleh menganggap Icha anak sendiri."
Pak Ahmad melepas pelukanku pada tubuhnya. "Ini nggak boleh, Mbak!"
"Bapak nggak mau menganggap Icha seperti anak Bapak sendiri?"
"Bukan itu. A... anu... Maksud saya, pelukan Mbak ke saya," jawab Pak Ahmad sambil menunduk.
"Hehe, nggak apa-apa kok Pak. Bapak nggak perlu merasa bersalah!"
Suasana pun hening, aku pun kembali memeluk Pak Ahmad. Ada perasaan haru di hatiku saat aku memeluk Pak Ahmad. Setidaknya mampu menyembuhkanku dari kerinduanku pada papaku.
Pak Ahmad tak lagi melepas pelukanku pada tubuhnya. Sekarang Pak Ahmad ikut memeluk tubuhku dengan terisak. Tetes air matanya kurasakan menetes ke tubuhku, menembus kain hijabku. Lalu meresap membasahi leherku.
Pak Ahmad melepas pelukannya. "Pak, Icha pulang dulu ya? Icha janji, bakal jenguk Bapak lagi."
"Iya Mbak, terima kasih ya? Hati-hati di jalan!" jawab Pak Ahmad sambil mengusap air matanya.
Sebelum aku pulang, aku selipkan beberapa lembar uang ke dalam saku Pak Ahmad. Awalnya Pak Ahmad menolak, karena aku memaksa, pada akhirnya Pak Ahmad mau menerima.
Saat aku naik ke atas motorku, aku dikejutkan dengan sosok yang aku cari. Seketika senyumku merekah. Spontan aku sedikit berteriak, "Dia yang saya cari Pak!"
Pak Ahmad memandang pemuda itu, "Oh Rijal..."
Rijal? Namanya Rijal? Sungguh machonya nama itu.
"Jal, Rijal!" Pak Ahmad memanggil Rijal. Sebelum Rijal berjalan ke arahku dan Pak Ahmad, aku berbisik. "Pak, nanti akuin aku jadi ponakan Bapak ya!"
Pak Ahmad pun mengangguk mengerti. Sekarang Rijal berdiri di depanku, jantungku terasa mau lepas. Detaknya tak mampu kukendalikan, apalagi saat aku menatap mata Rijal yang berwarna cokelat. Nafasku berembus tak beraturan, karena pria yang aku inginkan berdiri di depanku.
"Iya Pak? Ada apa?"
Deg, aku semakin tertawan saat aku mendengar suaranya yang berat, bariton. Kakiku pun terasa lemas, lunglai karena otot-otot kakiku seakan tak mampu menopang tubuhku.
"Sibuk nggak hari ini?" Pak Ahmad mulai basa-basi.
"Nggak sih, Pak." Rijal sesekali menatapku. Ya Tuhan, aku tak sanggup melihat tatapan matanya. Lalu aku tundukkan wajahku.
"Kenalin ini keponakanku, namanya Icha!"
Dengan suara beratnya, Rijal menyodorkan tangannya hendak bersalaman denganku.
"Icha..." ucapku lirih, dengan malu-malu.
"Saya Rijal, salam kenal ya!" Rijal tersenyum menatapku. Ditatap seperti itu, aku benar-benar tak berkutik.
"Om, Icha pulang dulu ya?" Mataku kedip-kedip ke arah Pak Ahmad.
"Oh iya, Cha. Hati-hati di jalan!"
"Iya, Om.. mari Bang!" Aku mengangguk takzim di depan Rijal.
"Assalamualaikum..."
"Wa'alaikum salam..." jawab Pak Ahmad lalu disusul dengan Rijal, yang membalas salamku.
Aku mulai memacu motorku meninggalkan rumah Pak Ahmad. Di perjalanan aku senyum-senyum sendiri, tak kusangka aku bisa menemukan Rijal secepat ini. Padahal aku hampir putusasa karena mustahil aku bisa menemukan Rijal di Ibu Kota yang luas ini.
Apakah ini yang dinamakan takdir? Apakah ia adalah jodohku? Atau sekedar seseorang yang dikirim Tuhan untuk membasuh kesepianku? Aku tak tahu.
Sekarang aku tak lagi kesepian. Tak hanya kutemukan seseorang yang menyemai hatiku, namun juga Pak Ahmad yang menjadi pengganti papaku yang jauh dariku.
Ini belum berakhir. Dan aku akan mengenalnya lebih jauh atau aku akan menjadi pacarnya? Ah apaan sih, Cha.
Bersambung.
ns216.73.216.6da2