Bu Diana tersenyum puas, seolah tahu dia telah memenangkan pertempuran. Matanya berkilat, menantang Bani untuk melanjutkan.
1441Please respect copyright.PENANAqYqCTE7hqA
Bu Diana tersenyum puas, seolah tahu dia telah memenangkan pertempuran. Matanya berkilat, menantang Bani untuk melanjutkan. “Kenapa, Bani?” bisiknya, sengaja menggunakan panggilan yang lebih intim, menguji batas kesabaran Bani.
1441Please respect copyright.PENANAKolpuPJ8AX
Bani tidak bisa menahan diri lagi. Ia membiarkannya menikmatinya mengambil alih. tatapannya turun dari mata Bu Diana ke bibir yang ranum, lalu ke dada yang sedikit terlihat dari balik daster tipis.
1441Please respect copyright.PENANAZjW0aZJ8kI
Bu Diana tersenyum puas, seolah tahu dia telah memenangkan pertempuran. Matanya berkilat, menantang Bani untuk melanjutkan. “Kenapa, Bani?” bisiknya, sengaja menggunakan panggilan yang lebih intim, menguji batas kesabaran Bani.
1441Please respect copyright.PENANAS142mzsfHt
Bani tidak bisa menahan diri lagi. Ia membiarkannya menikmatinya mengambil alih. tatapannya turun dari mata Bu Diana ke bibir yang ranum, lalu ke dada yang sedikit terlihat dari balik daster tipis. Ia mengulurkan tangannya perlahan, meniru gerakan Bu Diana, dan menyentuh lengan atas mertuanya. Kulit Bu Diana terasa hangat dan halus di bawah sentuhannya. “Maksud Mama menemaninya…” Bani menarik napas dalam, mencoba menenangkan degupan jantungnya yang menggila. "Seperti ini?" Ia tak lagi bertanya, melainkan menyatakan, sambil perlahan mengusap lengan Bu Diana, naik ke bahu, lalu mendekati wajahnya. Bu Diana tidak menolak.
1441Please respect copyright.PENANAlMWClDemZM
Bu Diana tersenyum puas, seolah tahu dia telah memenangkan pertempuran. Matanya berkilat, menantang Bani untuk melanjutkan. “Kenapa, Bani?” bisiknya, sengaja menggunakan panggilan yang lebih intim, menguji batas kesabaran Bani.
1441Please respect copyright.PENANAUf4eO2evAb
Bani tidak bisa menahan diri lagi. Ia membiarkan menikmatinya mengambil alih. Terjadinya turun dari mata Bu Diana ke bibir yang ranum, lalu ke dada yang sedikit terlihat dari balik daster tipis. Ia mengulurkan tangannya perlahan, meniru gerakan Bu Diana, dan menyentuh lengan atas mertuanya. Kulit Bu Diana terasa hangat dan halus di bawah sentuhannya. “Maksud Mama menemaninya…” Bani menarik napas dalam, mencoba menenangkan degupan jantungnya yang menggila.
1441Please respect copyright.PENANAtO46CpeZCA
"Seperti ini?" Ia tak lagi bertanya, melainkan menyatakan, sambil perlahan mengusap lengan Bu Diana, naik ke bahu, lalu mendekati wajahnya. Bu Diana tidak menolak. Ia justru membiarkan Bani mendekat, matanya tetap tersanjung pada Bani, memancarkan godaan yang tak terbendung. Senyumnya semakin lebar, dan ia sedikit mengurungnya, seolah mengundang Bani.
1441Please respect copyright.PENANAO4Mk86Nf5E
Bu Diana tersenyum puas, seolah tahu dia telah memenangkan pertempuran. Matanya berkilat, menantang Bani untuk melanjutkan. “Kenapa, Bani?” bisiknya, sengaja menggunakan panggilan yang lebih intim, menguji batas kesabaran Bani. Bani tidak bisa menahan diri lagi. Ia membiarkan menikmatinya mengambil alih.
1441Please respect copyright.PENANAQBGaTZr6Xd
Terjadinya turun dari mata Bu Diana ke bibir yang ranum, lalu ke dada yang sedikit terlihat dari balik daster tipis. Ia mengulurkan tangannya perlahan, meniru gerakan Bu Diana, dan menyentuh lengan atas mertuanya. Kulit Bu Diana terasa hangat dan halus di bawah sentuhannya.
1441Please respect copyright.PENANAPCf1JxCnoD
“Maksud Mama menemaninya…” Bani menarik napas dalam, mencoba menenangkan degupan jantungnya yang menggila. "Seperti ini?" Ia tak lagi bertanya, melainkan menyatakan, sambil perlahan mengusap lengan Bu Diana, naik ke bahu, lalu mendekati wajahnya. Bu Diana tidak menolak. Ia justru membiarkan Bani mendekat, matanya tetap tersanjung pada Bani, memancarkan godaan yang tak terbendung.
1441Please respect copyright.PENANAhlVvV7BAib
Senyumnya semakin lebar, dan ia sedikit mengurungnya, seolah mengundang Bani. Keheningan yang memekakkan telinga memenuhi ruang tamu. Hanya suara hujan yang menderu di luar jendela, menjadi saksi bisu atas apa yang akan terjadi selanjutnya. Bani tahu, dia sudah melewati batas. Etika dan moral sudah lama terlupakan.
1441Please respect copyright.PENANAoOHEsCXj3t
Bu Diana tersenyum puas, seolah tahu dia telah memenangkan pertempuran. Matanya berkilat, menantang Bani untuk melanjutkan. “Kenapa, Bani?” bisiknya, sengaja menggunakan panggilan yang lebih intim, menguji batas kesabaran Bani. Bani tidak bisa menahan diri lagi. Ia membiarkan menikmatinya mengambil alih. Terjadinya turun dari mata Bu Diana ke bibir yang ranum, lalu ke dada yang sedikit terlihat dari balik daster tipis.
1441Please respect copyright.PENANAOr7St5KAIB
Ia mengulurkan tangannya perlahan, meniru gerakan Bu Diana, dan menyentuh lengan atas mertuanya. Kulit Bu Diana terasa hangat dan halus di bawah sentuhannya. “Maksud Mama menemaninya…” Bani menarik napas dalam, mencoba menenangkan degupan jantungnya yang menggila. "Seperti ini?" Ia tak lagi bertanya, melainkan menyatakan, sambil perlahan mengusap lengan Bu Diana, naik ke bahu, lalu mendekati wajahnya. Bu Diana tidak menolak. Ia justru membiarkan Bani mendekat, matanya tetap tersanjung pada Bani, memancarkan godaan yang tak terbendung.
1441Please respect copyright.PENANAmp1bd5EJ3H
Senyumnya semakin lebar, dan ia sedikit mengurungnya, seolah mengundang Bani. Keheningan yang memekakkan telinga memenuhi ruang tamu. Hanya suara hujan yang menderu di luar jendela, menjadi saksi bisu atas apa yang akan terjadi selanjutnya. Bani tahu, dia sudah melewati batas. Etika dan moral sudah lama terlupakan. Yang tersisa hanyalah hasrat membara di antara mereka berdua. “Tapi, kalau Bapak pulang gimana, Mah?” Bani bertanya, suaranya sedikit panik, mencoba menarik rem yang sebenarnya sudah blong. Sekelebat pikiran tentang suami Bu Diana melintas, memicu rasa bersalah. Bu Diana terkekeh pelan, tawa yang terdengar begitu sensual di telinga Bani.
1441Please respect copyright.PENANAc8wDVQe6dD
Bu Diana tersenyum puas, seolah tahu dia telah memenangkan pertempuran. Matanya berkilat, menantang Bani untuk melanjutkan. “Kenapa, Bani?” bisiknya, sengaja menggunakan panggilan yang lebih intim, menguji batas kesabaran Bani. Bani tidak bisa menahan diri lagi. Ia membiarkan menikmatinya mengambil alih. Terjadinya turun dari mata Bu Diana ke bibir yang ranum, lalu ke dada yang sedikit terlihat dari balik daster tipis. Ia mengulurkan tangannya perlahan, meniru gerakan Bu Diana, dan menyentuh lengan atas mertuanya. Kulit Bu Diana terasa hangat dan halus di bawah sentuhannya. “Maksud Mama menemaninya…” Bani menarik napas dalam, mencoba menenangkan degupan jantungnya yang menggila. "Seperti ini?" Ia tak lagi bertanya, melainkan menyatakan, sambil perlahan mengusap lengan Bu Diana, naik ke bahu, lalu mendekati wajahnya. Bu Diana tidak menolak. Ia justru membiarkan Bani mendekat, matanya tetap tersanjung pada Bani, memancarkan godaan yang tak terbendung. Senyumnya semakin lebar, dan ia sedikit mengurungnya, seolah mengundang Bani. Keheningan yang memekakkan telinga memenuhi ruang tamu. Hanya suara hujan yang menderu di luar jendela, menjadi saksi bisu atas apa yang akan terjadi selanjutnya. Bani tahu, dia sudah melewati batas. Etika dan moral sudah lama terlupakan. Yang tersisa hanyalah hasrat membara di antara mereka berdua. “Tapi, kalau Bapak pulang gimana, Mah?” Bani bertanya, suaranya sedikit panik, mencoba menarik rem yang sebenarnya sudah blong.
1441Please respect copyright.PENANALVXLZqhCJB
Sekelebat pemikiran tentang suami Bu Diana melintas, memicu rasa bersalah. Bu Diana terkekeh pelan, tawa yang terdengar begitu sensual di telinga Bani. “Tenang, Bani,” jawabnya, suaranya melegakan.
1441Please respect copyright.PENANAORdE5sYWQI
"Warkop belum waktunya tutup, apalagi hujan begini. Biasanya makin larut kalau hujan." Senyumnya menenangkan kekhawatiran Bani, menghapus sisa-sisa keraguan yang ada.
ns216.73.216.82da2