Jakarta berdenyut di bawah langit kelabu, gedung-gedung kaca mencakar awan, dan di dalam dealer mobil mewah di bilangan SCBD, Salma berdiri di depan cermin kamar mandi karyawan. Hijabnya, satin krem, tersemat rapi, menutupi rambut hitamnya yang dikuncir tinggi. Matanya, cokelat tua dengan bulu mata lentik, menatap pantulan dirinya, mencari celah keraguan. Hari ini bukan hari biasa—Bima, manajer baru, menetapkan target penjualan yang membuat semua sales gemetar. Salma menghela napas, jari-jarinya merapikan hijab, lalu berbisik, “Kamu bisa, Salma. Kamu harus.”
Ruang utama dealer bising dengan deru AC dan percakapan sales yang sibuk menelepon klien. Mobil-mobil mewah berkilau di bawah lampu sorot, refleksi kromnya memantulkan ambisi yang membakar hati Salma. Di mejanya, laptop terbuka menampilkan daftar klien potensial. Nama Ardi Pratama, pengusaha properti berusia 40 tahun, terpampang di urutan teratas. Salma mengetuk pulpen di meja, pikirannya berpacu. Ardi sulit dibujuk, tapi dompetnya tak pernah kering. Instingnya berbisik: dia punya peluang.
Rina, rekan kerja dengan rok ketat dan lipstik merah menyala, melintas dengan senyum sinis.
“Udah punya strategi buat Ardi, Sal?” tanyanya, nada menyindir, rambut pirangnya bergoyang saat menyandarkan pinggul di meja Salma.
“Aku nggak main kotor kayak kamu, Rin. Aku pake otak,” jawab Salma, senyumnya dingin.
Rina terkekeh, berjalan pergi, meninggalkan aroma parfum menyengat. Salma menggigit bibir, tahu gosip tentang sales yang “melayani” klien demi kontrak bukan rahasia di kantor ini.
Di mushola kecil dealer, Salma berlutut di sajadah usang. Matanya terpejam, tangannya terangkat, mulutnya bergerak pelan. “Ya Allah, bimbing hamba. Jangan biarkan hamba tersesat,” bisiknya. Tapi ambisi merayap, seperti ular melilit hatinya. Wajah Umar, suaminya, muncul di benak—lembut, menenangkan saat mengajar kajian. Salma menelan ludah, mengusir rasa bersalah. “Ini demi kita, Umar,” gumamnya, meski tahu itu alasan kosong.
Sore itu, Salma mengemudi ke apartemen Ardi di Kuningan. Sedan pinjaman dari dealer melaju di jalanan macet. Map presentasi di tangannya, tapi pikirannya merancang strategi. Ardi butuh pendekatan personal, bukan cuma spesifikasi mobil. Salma menarik napas, menatap hijabnya di kaca spion. “Cuma presentasi, Salma. Nggak lebih,” katanya, suaranya goyah.
Apartemen Ardi di lantai 30, pemandangan kota memukau dari jendela besar. Interior minimalis mewah: sofa kulit hitam, karpet Persia, lukisan abstrak.
“Masuk, Salma. Aku udah nunggu,” kata Ardi, menyambut dengan senyum lebar, matanya berkilat nakal. Kemeja linen putihnya terbuka di dada, memperlihatkan kulit sawo matang.
Salma tersenyum sopan, jantungnya berdetak kencang, high heels-nya berbunyi klik-klak di lantai marmer.
Mereka duduk di sofa, Salma memulai presentasi. Dia menjelaskan fitur mobil dengan percaya diri: mesin hybrid, interior kulit, sistem navigasi canggih. Ardi mendengarkan, tapi matanya menjelajahi wajah Salma, bukan layar laptop.
“Kamu selalu seprofesional ini, ya?” tanyanya, menyandarkan tubuh, tangannya bermain dengan gelas wine.
“Aku cuma pengen kasih yang terbaik, Pak Ardi,” jawab Salma, tersenyum, pipinya panas.
Presentasi selesai, Ardi ke bar kecil.
“Mau minum apa? Jus? Air mineral?” tanyanya, matanya intens.
“Air mineral aja, Pak,” jawab Salma, nada netral.
Ardi duduk lebih dekat, pahanya hampir menyentuh Salma. Dia mengobrol ringan—bisnis properti, Jakarta yang sesak. Salma mengangguk, menjawab seperlunya, tapi merasakan permainan dimulai.
“Salma,” kata Ardi, suaranya rendah, “aku suka cewek cerdas. Yang tahu apa yang mereka mau.” Dia mencondongkan tubuh, jarinya menyentuh ujung hijab Salma.
“Pak Ardi, aku cuma di sini buat bisnis,” kata Salma, menahan napas, tubuhnya menegang, suaranya gemetar.
“Bisnis bisa banyak bentuknya, Salma,” bisik Ardi, tangannya meluncur ke leher Salma, menyentuh kulit di bawah hijab yang terbuka.
Salma tahu dia harus pergi. Wajah Umar muncul, suaranya mengingatkan janji pernikahan. Tapi Ardi adalah kunci target, promosi, impian. Ambisi melemahkan imannya.
“Aku… nggak bisa, Pak,” gumamnya, tapi tubuhnya diam, membiarkan tangan Ardi menelusuri lehernya, turun ke bahunya.
“Kamu bisa, Salma. Tinggal rileks,” bisik Ardi, napasnya hangat di telinga Salma.
Salma menutup mata, mencari kekuatan menolak, tapi tubuhnya berkhianat. Rasa bersalah menusuk, tapi panas tumbuh di perutnya, dorongan terlarang mempercepat jantungnya.
“Aku punya suami,” katanya lemah, nyaris tak terdengar.
“Suamimu nggak perlu tahu,” jawab Ardi, terkekeh, jarinya memainkan kancing blouse Salma.
Sofa kulit terasa dingin di punggung Salma saat Ardi menekannya ke bawah. Hijabnya masih menempel, tapi ujungnya terlepas, memperlihatkan leher dan rambut. Ardi mencium lehernya, bibirnya lembut tapi penuh niat, mengirimkan gelombang panas ke tubuh Salma.
“Kamu cantik banget, Salma. Aku pengen ngelupas hijabmu pelan-pelan,” bisiknya, tangannya membuka kancing blouse, memperlihatkan bra hitam sederhana.
“Jangan… aku nggak mau jadi orang jahat,” gumam Salma, menggigit bibir, matanya berkaca-kaca, tangannya memegang lengan Ardi, seolah takut dia berhenti.
Ardi tidak menjawab, terus mencium, dari leher ke tulang selangka, lalu ke lekuk dada Salma.
“Payudaramu kenceng banget, Salma. Aku pengen nyanyi di sini,” katanya, suaranya serak, tangannya meremas payudara Salma hingga dia mengerang pelan, tubuhnya melengkung tanpa sadar.
“Ya Allah, ampuni aku,” bisik Salma, tapi suaranya tenggelam dalam desahan kecil yang lolos dari bibirnya, pikirannya berteriak tentang Umar, tentang dosa, tapi tubuhnya berkhianat, pinggulnya bergoyang perlahan.
“Cuma sekali, cuma buat target,” gumam Salma pada dirinya, matanya terpejam, mencoba membenarkan.
“Memekmu pasti udah basah, ya? Aku cek dulu,” kata Ardi, tangannya merayap ke rok Salma, menariknya ke atas, memperlihatkan paha mulus.
“Jangan bilang gitu… aku nggak suka,” kata Salma, menggeleng, suaranya gemetar, tapi tubuhnya tidak menolak saat Ardi menarik celana dalamnya ke bawah, memperlihatkan vaginanya yang sudah lembap.
“Diam, Salma. Biar aku nikmatin memekmu,” kata Ardi, jarinya menelusuri bibir vagina Salma, mengelus klitorisnya dengan gerakan melingkar. Salma mengerang keras, pinggulnya menggoyang tanpa izin, tubuhnya menikmati meski hatinya menolak.
“Pak… jangan kasar… aku takut,” katanya, suaranya malu-malu, penuh pasrah.
“Basah banget, Salma. Kamu bohong kalo bilang nggak mau,” ejek Ardi, memasukkan dua jari ke dalam vaginanya, menggerakkannya dengan ritme cepat hingga Salma mencengkeram bantal sofa, desahannya semakin keras.
“Aku nggak mau… aku nggak boleh,” gumam Salma, tapi tubuhnya bergerak menyambut, vaginanya mengerut di sekitar jari Ardi.
“Memekmu bilang lain, Salma. Enak, kan?” tanya Ardi, tapi Salma hanya menggeleng, menolak menjawab, matanya basah. Ardi mencium bibirnya, lidahnya menyerbu mulut Salma, memaksa ciuman yang dalam. Salma membalas tanpa sadar, tangannya mencengkeram leher Ardi, meski pikirannya berteriak untuk berhenti.
Ardi menarik jarinya, meninggalkan Salma menggigil.
“Aku pengen ngerasain memekmu pake kontolku,” katanya, membuka celananya, memperlihatkan penisnya yang ereksi, besar dan berurat.
“Aku… aku cuma pernah sama Umar,” kata Salma, menatap, matanya melebar, campuran takut dan rasa ingin tahu.
“Kontolku bakal bikin kamu lupa suamimu,” jawab Ardi, memposisikan Salma di sofa, kakinya terbuka lebar, vaginanya terpampang di depannya.
Ardi menggosokkan ujung penisnya ke klitoris Salma, membuatnya mengerang dan menggeliat.
“Jangan… aku nggak mau,” katanya, tapi desahannya mengkhianati, pinggulnya naik menyambut gesekan itu.
“Memekmu minta dientot, Salma,” kata Ardi, lalu mendorong penisnya masuk, perlahan tapi dalam, hingga Salma menjerit kecil, tangannya mencengkeram sofa.
“Pelan… aku sakit,” katanya, tapi vaginanya mengerut erat, tubuhnya menikmati tusukan itu.
Ardi bergerak, keluar-masuk dengan ritme yang semakin cepat, penisnya mengisi Salma sepenuhnya.
“Memekmu ketat banget, Salma. Enak banget ngentotin kamu,” erangnya, tangannya meremas payudara Salma, mencubit putingnya hingga dia mengerang keras.
“Jangan bilang gitu… aku benci,” gumam Salma, tapi desahannya tak berhenti, tubuhnya bergoyang mengikuti irama Ardi, pinggulnya naik-turun tanpa sadar. Hijabnya bergoyang di setiap dorongan, simbol kesucian yang ternoda.
Ardi menarik Salma ke atas, membuatnya duduk di pangkuannya, penisnya masih di dalam.
“Naik-turunin memekmu, Salma. Aku mau lihat kamu ngentotin aku,” katanya, tangannya memandu pinggul Salma.
“Aku nggak mau… ini salah,” kata Salma, menggeleng, tapi tubuhnya bergerak, vaginanya naik-turun di penis Ardi, setiap gerakan mengirimkan gelombang kenikmatan yang dia tolak tapi tak bisa hentikan.
“Ya Allah, aku nggak kuat,” desahnya, matanya basah, tapi pinggulnya terus bergerak, desahannya semakin liar.
Ardi membalik Salma, membuatnya berlutut di sofa, pinggulnya diangkat tinggi.
“Lihat pantatmu, Salma. Bulat banget, pengen aku entot sampe pagi,” katanya, menampar pantat Salma hingga dia mengerang.
“Jangan… aku malu,” katanya, tapi vaginanya semakin basah, tubuhnya menikmati kekasaran itu. Ardi masuk dari belakang, penisnya menyerbu dengan keras, setiap dorongan membuat sofa berderit.
“Memekmu ngisap kontolku, Salma. Kamu suka dientot kasar, ya?” tanyanya, tapi Salma hanya mengerang, menolak menjawab, tangannya mencengkeram sofa, tubuhnya gemetar.
Ardi mengganti posisi lagi, menarik Salma berdiri, menekannya ke jendela besar apartemen. Kaca dingin menyentuh payudara Salma, hijabnya bergoyang saat Ardi masuk dari belakang, penisnya menghantam dengan ritme brutal.
“Kamu lihat kota di bawah? Aku ngentotin kamu di atas dunia, Salma,” katanya, tangannya meremas pinggul Salma.
“Jangan… aku nggak mau dengar,” desah Salma, tapi vaginanya mengerut, orgasme pertama mendekat meski dia berusaha menahannya.
“Aku nggak boleh… ini dosa,” gumamnya, tapi tubuhnya meledak, mengerang keras saat orgasme menyerbu, kakinya gemetar.
Ardi belum selesai. Dia membaringkan Salma kembali di sofa, kakinya diangkat ke bahunya, penisnya masuk lebih dalam.
“Memekmu masih laper, Salma. Aku kasih makan lagi,” katanya, gerakannya semakin liar. Salma mengerang, tubuhnya lemas tapi terus menikmati, meski hatinya hancur.
“Cukup… aku capek,” katanya, tapi desahannya mengkhianati, vaginanya mengerut lagi, orgasme kedua mendekat.
“Kamu bohong, memekmu minta lebih,” ejek Ardi, lalu mempercepat, penisnya menghantam hingga Salma menjerit, orgasme kedua membuatnya ambruk, tubuhnya bergetar hebat.
Akhirnya, Ardi mencapai puncak.
“Aku mau ngecrot di memekmu, Salma,” katanya, lalu melepaskan di dalam Salma, cairannya membanjiri vaginanya. Salma mengerang lemah, tubuhnya lunglai, rasa bersalah kembali menyerang.
“Ya Allah, aku kotor,” bisiknya, matanya basah, tapi tubuhnya masih bergetar dari kenikmatan yang dia tolak.
Saat semuanya selesai, Salma terduduk di sofa, hijabnya dirapikan, tapi matanya kosong.
“Mobilnya aku ambil, Salma. Dan aku mau memek kamu lagi,” kata Ardi, menyerahkan map kontrak yang ditandatangani, senyumnya penuh kemenangan.
“Makasih, Pak,” gumam Salma, mengangguk lemah, tangannya gemetar menerima map.
Di mobil, menuju rumah, Salma menatap jalanan Jakarta yang berkilau di bawah lampu neon. Air matanya jatuh, membasahi hijab. Dia memikirkan Umar, doa-doa yang dipanjatkan, dan dosa yang baru dilakukan. Map kontrak di sampingnya, bukti kemenangan.
“Cuma sekali,” bisiknya, tapi hatinya tahu itu bohong. Lampu merah menyala, dan Salma merasa terjebak di persimpangan yang tak bisa dihindari.
ns18.221.172.197da2