
“ Gairah Liar Menantu Idaman”
Namaku Vera.
Aku baru saja berusia 26 tahun, dan telah menikah dengan Mas Jhoni selama lima tahun. Kami menjalani kehidupan rumah tangga yang tenang, nyaris tanpa masalah berarti. Hubungan kami baik, hangat, dan dari sisi ranjang aku tak punya alasan untuk mengeluh.
Suamiku tahu bagaimana memperlakukan tubuhku, bahkan setelah bertahun-tahun bersama. Kami sama-sama terbuka soal seks. Tak malu berbagi fantasi, mencari ide baru, bahkan menjelajahi berbagai bacaan dan video demi menjaga bara itu tetap menyala. Novel picisan, artikel daring, video amatir, hingga forum-forum rahasia semua menjadi bagian dari petualangan kecil kami di balik pintu kamar.
Belakangan, kami punya kebiasaan baru: menonton video bertema perselingkuhan tentang istri yang diam-diam berselingkuh, atau suami yang justru menikmati istrinya bersama pria lain. Anehnya, tontonan semacam itu malah membuat kami semakin bergairah. Ada sesuatu yang liar, terlarang, tapi justru membuat hasrat kami meledak-ledak. Kadang kami membayangkan, bagaimana kalau salah satu dari itu benar-benar terjadi?
Lama-lama, pembicaraan itu tak lagi sebatas fantasi. Mas Jhoni mulai menyinggungnya di luar ranjang. Mungkin hanya gurauan atau mungkin tidak. Dan tanpa kusadari, pikiranku mulai berkelana. Membayangkan hal yang selama ini tak pernah kubayangkan: bersama pria lain, dengan izin dari pria yang paling mencintaiku.
Aku tak tahu sejak kapan imajinasi itu mulai tumbuh, atau kenapa rasanya makin sulit ditepis. Tapi semuanya berubah ketika Mertuaku memperkenalkan seseorang, seorang pria paruh baya yang datang dari luar kota.adik dari Bapak Mertuaku. Dan entah kenapa… ada sesuatu pada pria itu yang membuatku terpaku..
Sejak saat itu pandanganku terhadap pria paruh baya sedikit berubah, meskipun adik Bapak Mertuaku sudah kembali ke kotanya namun kesannya masih melekat di benaku.
Hingga detik ini, aku dan suamiku masih tinggal bersama orangtuanya Pak Giman dan Bu Mala. Ayah mertuaku, Pak Giman, kini berusia 52 tahun. Sehari-hari ia bekerja sebagai pegawai negeri sipil, sementara Bu Mala menjalankan usaha rumah makan kecil yang cukup ramai di dekat pasar.
Meski usianya tak lagi muda, Pak Giman selalu tampak segar dan ceria. Ia punya banyak humor yang membuat suasana rumah tak pernah terasa kaku. Posturnya sedang, sekitar 165 cm, rambutnya cepak dengan semburat uban, kulitnya sawo matang, dan wajahnya tegas namun selalu tersenyum ramah. Justru di situlah pesonanya—terlihat dewasa, tenang, dan... entah mengapa, memikat.
Aku tahu ini terdengar salah, tapi sosok Pak Giman lah yang paling sering muncul dalam imajinasi liarku. Setiap kali aku dan suamiku membicarakan fantasi bercinta dengan pria lain, wajah beliau yang terlintas di kepalaku. Awalnya aku mencoba mengalihkan pikiran. Tapi semakin aku menolak, semakin kuat imaji itu muncul. Bahkan saat bercinta dengan Mas Jhoni, kadang aku memejamkan mata dan membayangkan bahwa yang menyentuhku adalah ayah mertuaku sendiri. Imajinasi itu saja bisa membawaku ke puncak berulang kali.
Dan semua itu... tetap menjadi rahasiaku sendiri.
“Apa aku gila? Kenapa justru ayah suamiku yang membangkitkan gairahku?”
“Bagaimana cara menghilangkan pikiran-pikiran mesum ini…?”
“Atau... mungkin aku memang wanita mesum…?”
Aku yakin, hingga sekarang, Pak Giman masih aktif secara seksual dengan istrinya, meskipun aku tak pernah benar-benar tahu seperti apa hubungan mereka di balik kamar. Tapi lama-lama, fantasi saja tidak cukup. Hasratku makin sulit ditekan. Aku mulai merencanakan—menggoda ayah mertuaku. Perlahan. Halus. Tapi pasti.
Dengan tinggi 160 cm, kulit kuning langsat, rambut lurus sebahu, payudara 36D dan lekuk tubuh yang masih kencang, aku cukup percaya diri. Ketika berada di rumah, aku mulai memilih pakaian dengan lebih... strategis. Daster katun tipis, leher lebar, kadang tank top dan celana pendek. Seolah tanpa sengaja, tapi sejujurnya, semuanya dirancang untuk menarik perhatiannya.
Aku tahu risikonya. Di rumah ini masih ada ibu mertua dan suamiku. Tapi aku juga tahu: setiap pagi ada jeda waktu yang sangat sempurna.
Mas Jhoni biasanya berangkat kerja pukul setengah delapan. Bu Mala menyusul sekitar lima belas menit setelahnya. Sedangkan Pak Giman, karena kantornya dekat, baru keluar rumah sekitar pukul 09.45. Artinya, aku punya waktu sekitar dua jam setiap pagi hanya berdua dengannya di rumah. Menciptakan Waktu yang sangat... berbahaya.
2410Please respect copyright.PENANAjYIqkV9AtE
https://linktr.ee/Ceritw
https://karyakarsa.com/DSASAXI88
2410Please respect copyright.PENANATYNBnttwpR
Setiap kali suamiku bertanya kenapa aku suka memakai daster mini setelah mereka pergi, aku hanya tertawa dan berkata ringan,
“Adek malas pakai daster bagus, mas. Lagian kan di rumah nggak ada siapa-siapa lagi.”
Kadang dia membalas,
“Tapi kan masih ada bapak, dek…”
Dan aku pun menjawab dengan nada bercanda,
“Ya ampun, mas… emangnya kenapa? Adek udah anggap bapak kayak ayah sendiri kok.”
Padahal kalau saja ia tahu... niatku jauh lebih dari sekadar merasa nyaman berpakaian santai.
Aku mulai memperhatikan gerak-gerikku setiap pagi. Saat menyapu, aku lebih sering menunduk dalam-dalam, membiarkan bagian dadaku menggantung bebas dari balik daster. Saat mengepel, aku memilih jongkok daripada berdiri, membiarkan lekuk tubuhku terekspos lebih jelas. Kadang, saat mencuci, aku sengaja membasahi bagian atas dasterku. Dan ketika menjemur, aku memilih tempat yang paling terkena cahaya matahari—agar siluet tubuhku tampak dari balik kain tipis yang kukenakan.
Aku tahu ini gila. Tapi semakin aku melangkah, semakin sulit untuk kembali.
Aku masih berdiri di depan kamar mandi, diam-diam mendengarkan suara napas yang terdengar dari dalam. Hening... tapi penuh makna. Suara napas itu bukan hanya desir udara ia membawa sesuatu.
Sebuah ketegangan. Sebuah gejolak. Aku melangkah mundur satu langkah. Jantungku berdebar. Seolah baru tersadar bahwa aku sudah menyeberangi batas. Tapi… batas apa? Moral? Norma? Atau hanya rasa takutku sendiri terhadap kebenaran yang tak ingin kuakui?
Seketika aku merasa kosong. Seperti sehabis menangis terlalu lama. Seperti tubuhku sudah menumpahkan segalanya, tapi jiwaku masih haus. Masih lapar. Aku melangkah kembali ke kamar, menyandarkan tubuh ke tembok, dan menatap langit-langit yang perlahan memudar karena sinar matahari mulai bergeser.
Aku menutup mata. Dalam gelap itu, wajahnya muncul. Pandangannya yang selama ini sembunyi-sembunyi. Senyumnya yang samar tapi selalu menggantung di ujung bibir. Dan sekarang, desah napasnya yang tadi kudengar… seolah menjadi bukti bahwa aku bukan satu-satunya yang terjebak dalam rasa ini.
Lalu terdengar suara pintu kamar mandi dibuka. Pelan. Hati-hati.
Aku menahan napas.
Langkah-langkah berat itu mendekat. Setiap derapnya seperti mengetuk dada. Seperti menguji keteguhan hatiku yang mulai runtuh.
Aku duduk di tepi ranjang, menatap lantai. Tidak berani menoleh. Tidak berani melihatnya. Tapi aku tahu, dia berdiri di ambang pintu. Mengamatiku.
Hening. Hanya suara kipas angin yang berputar malas, dan detak jantungku sendiri.
Copas Linkthreenya ke Browser mu, dan pilih koleksi ceritanya
https://linktr.ee/Ceritw
Atau
https://karyakarsa.com/DSASAXI88
ns13.58.242.216da2