Namaku Arum, usia tiga puluh lima tahun, seorang guru bahasa di sebuah SMK kecil yang tersembunyi di sudut kota ini. Hidupku, di permukaan, tampak seperti lukisan cat air yang tenang: seorang istri yang setia, walau suamiku, Rudi, mengarungi samudra di kapal pesiar Dubai, hanya singgah setahun sekali seperti musim semi yang singkat. Aku juga seorang ibu, dengan seorang putra remaja bernama Andre, enam belas tahun, yang kebetulan menjadi salah satu muridku sendiri di sekolah. Mengajar adalah panggilan yang mulia, namun seringkali terasa seperti memanggul beban gunung es—jiwa-jiwa remaja yang bergelora, pemberontak, seringkali membuat kepalaku pening, terutama Andre, putraku sendiri, yang selalu menjadi biang kerok dalam setiap keonaran.
374Please respect copyright.PENANArZ0k3mkvd9
374Please respect copyright.PENANA6PkUn87loI
374Please respect copyright.PENANA9rS5FBBUbj
374Please respect copyright.PENANAn1Qh8PyD6T
Siang itu, koridor sekolah dipenuhi riuh rendah tawa dan bisikan. Aku terpaksa menjatuhkan hukuman pada Andre, Johan, dan Yusuf—tiga serangkai yang gemar berulah—karena kebisingan mereka di kelas, tawa mereka yang memekakkan telinga saat membicarakan permainan daring. Aku memerintahkan mereka untuk menulis esai lima ratus kata di perpustakaan, sebuah hukuman rutin bagi Andre. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Mata Johan menatapku dengan kilatan dendam yang dingin, seperti tatapan anjing liar yang baru saja disiram air mendidih. Sebuah firasat buruk merayap di punggungku, namun aku mengabaikannya.
374Please respect copyright.PENANASDpeC5JvUY
374Please respect copyright.PENANAAWhQnQLohx
Pukul empat sore, lonceng sekolah berdenting nyaring, mengoyak keheningan dan memicu eksodus massal para murid dan guru yang bergegas pulang, seolah diburu waktu. Aku memilih bertahan di ruang guru, jari-jariku menari di atas tuts keyboard usang, merangkai soal ujian untuk hari Senin. Sebuah rencana sederhana: menyelesaikan pekerjaan agar akhir pekan bisa kubisikkan dalam ketenangan bersama Andre. Ruang guru itu, biasanya ramai, kini sepi mencekam, hanya diisi oleh melodi ketukan keyboard-ku dan bisikan angin sore yang nakal dari jendela, membuat kertas-kertas di meja bergeser pelan.
374Please respect copyright.PENANAtbMZW5Xkt7
374Please respect copyright.PENANAS0mNoy5tiV
374Please respect copyright.PENANAC9rUQGi8x6
Tiba-tiba, perutku diserang mulas hebat, rasa nyeri menusuk yang menghujam seperti pisau berputar di dalam ususku. Aku berlari tergopoh-gopoh menuju toilet guru, terburu-buru, sampai lupa membawa ponselku yang kutinggalkan tergeletak di meja ruang guru, layarnya masih menyala terang seperti mata yang mengawasi. Dua puluh menit berlalu dalam penderitaan yang tak berkesudahan, dan akhirnya, kelegaan membanjiri diriku. Aku kembali ke meja, kembali mengetik, sama sekali tak menyadari bahwa kecerobohan kecilku itu akan menjadi gerbang menuju bencana yang mengerikan.
374Please respect copyright.PENANAq5kSlq16s4
374Please respect copyright.PENANArCNUAeDIBE
374Please respect copyright.PENANAX9VGGNgJgN
Pukul 18:30, tirai malam mulai menyelimuti, ruang guru tenggelam dalam kegelapan, hanya diterangi oleh cahaya remang dari lampu meja yang meredup. Aku merapikan tumpukan kertas soal, buku catatan yang penuh coretan, dan sajadah yang kuletakkan di sudut, lalu mengunci pintu rapat-rapat dan melangkah menuju parkiran untuk mengambil motorku. Tepat saat aku menutup pintu, ponselku di saku bergetar, merenggutku dari lamunan. Sebuah pesan dari nomor asing muncul, hanya berisi sebuah file gambar. Awalnya kupikir hanya iseng belaka, namun pesan berikutnya yang muncul membuat jantungku seolah macet, berhenti berdetak: "Ikuti perintahku, atau foto-foto ini menyebar ke sekolah dan keluargamu."
374Please respect copyright.PENANA3AXpjF1KDK
374Please respect copyright.PENANAgJmSJyBXjF
Aku membuka gambar itu dengan tangan gemetar. Dan duniaku runtuh. Itu adalah fotoku, telanjang bulat di kamar mandi rumahku sendiri.
374Please respect copyright.PENANAVR9ZUibjvl
Payudaraku yang besar dan menjulang, memekku yang terlihat jelas dengan bulu-bulu halus yang basah, air yang menetes di kulitku—semuanya terpampang nyata, sebuah aib yang tak terbayangkan. "Aku nggak takut!" ketikku, mencoba menyembunyikan getaran di jemariku. Namun, si pengirim tak membalas dengan kata, ia hanya mengirim foto lain—sebuah
374Please respect copyright.PENANAZKmJkJtW7y
374Please respect copyright.PENANARWXIZ30T6o
close-up memekku yang telanjang, membuat wajahku seketika pucat pasi seperti mayat. "Kalau nggak nurut, Andre yang akan menanggung akibatnya" ancamnya, suaranya terangkai dalam tulisan dingin yang menusuk.
374Please respect copyright.PENANAgSVl1fehe1
374Please respect copyright.PENANAujV8Oz1MgC
Panik melanda diriku, gelombang mual memuntahkan air mata yang membasahi layar ponselku, membuatnya buram, mengaburkan horor yang terpampang di sana. Demi Andre, putraku, aku menyerah, jiwaku hancur berantakan. "Besok pergi mengajar, tanpa bra dan celana dalam. Pake rok cokelat pendek. Salah gerak, foto-foto ini akan tersebar ke grup WhatsApp sekolah," demikian perintahnya. Aku membaca berulang-ulang, setiap kata menancap di dadaku seperti paku-paku berkarat, sesak, mencekik.
374Please respect copyright.PENANAUcmA3G95xM
374Please respect copyright.PENANAENbsV0j87l
374Please respect copyright.PENANAG8bMKUKFdG
Perjalanan pulang di atas motor terasa seperti neraka yang dingin. Air mataku tak henti-hentinya mengalir, membaur dengan embusan angin malam yang dingin, membekukan wajahku. Foto-foto keji itu, yang kusangka aman di dalam ponselku, kini telah menjadi senjata mematikan di tangan orang asing, menghancurkan privasiku, mengancam seluruh duniaku. Di rumah, Andre menyambutku di ruang tamu, matanya terpaku pada layar ponselnya, asyik dalam dunianya. "Bu, kok lama banget?" tanyanya, matanya yang polos menatapku dengan tajam. Aku memaksakan sebuah senyuman, sebuah topeng tipis untuk menyembunyikan kehancuran batinku. "Lembur, Nak,ibu tadi nyiapin soal ujian," jawabku, suaraku bergetar, nyaris patah seperti ranting kering. "Mata Ibu kenapa merah?" tanyanya lagi, membuat panikku memuncak. "Kemasukan debu truk di jalan," bohongku, dan buru-buru menyelinap ke kamar mandi.
374Please respect copyright.PENANA4ZqXVNWRq6
374Please respect copyright.PENANAMLvXphsRW4
374Please respect copyright.PENANAYqM1O2mwPg
374Please respect copyright.PENANAhm0t3nXMpO
374Please respect copyright.PENANAHTG9cJuMKO
Air hangat dari pancuran membasahi tubuhku, namun tak mampu menghanyutkan rasa takut yang menempel erat seperti lumpur kotor. Saat aku keluar, ponselku kembali bergetar. "Halo, Bu Guru" tulis nomor itu, nadanya mengejek. "Apa maumu? Aku udah bilang akan menuruti perintahmu!" balasku, jari-jariku kaku dan gemetar, nyaris tak mampu mengetik. "Kirim foto seksi sekarang, telanjang,
374Please respect copyright.PENANA6UxlNSzRPK
374Please respect copyright.PENANApf6s9CAY5o
374Please respect copyright.PENANALJIEHY7WRa
close-up tetek sama memek lo. Kalau nggak, foto-foto tadi akan ku kirim ke email sekolah. Lo dipecat, Andre hancur," balasnya, sebuah ultimatum yang dingin dan kejam.
374Please respect copyright.PENANAWnaYFeQFpL
Aku kembali masuk ke kamar mandi, melepaskan pakaianku satu per satu, berdiri telanjang di depan cermin, memandangi pantulan diriku yang kini menjadi objek tawar-menawar.
374Please respect copyright.PENANAWkiWqoSOSw
Payudaraku besar dan tegang, putingku mengeras karena ketakutan yang mencekik.
374Please respect copyright.PENANAbmUggEjjzL
Memekku basah, lengket, sebuah pengkhianatan dari tubuhku sendiri yang tak kuminta. Aku mengangkat ponsel, menjepret beberapa foto—setiap jepretan kamera terasa seperti pisau yang mengoyak jiwaku, sebuah tindakan jual diri yang paling rendah. "Ini yang kamu mau, kan? Stop ganggu aku!" ketikku, air mata menetes membasahi layar ponsel. Balasannya datang cepat, sebuah tawa pahit terangkai dalam kata-kata: "Hahaha, nurut juga lo, Bu Guru pelacur. Jangan lupa Senin: ngajar tanpa bra dan celana dalam.".
374Please respect copyright.PENANA27qkHyhMGQ
bersambung
ns216.73.217.7da2