
Suara Ifa yang khas, terdengar dari balik lorong sempit tempat lemari arsip berjejal. Aku mengangkat kepala dari layar komputer, menyipitkan mata menembus jendela kaca yang memisahkan ruangan kami. Ifa Sartika, teman sekaligus staffku, sedang asyik bercengkerama via telepon. Bibirnya meregang lebar, satu tangan memegang ponsel, sementara jari-jari lainnya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tak beraturan. Begitu matanya menangkap kehadiranku, ia buru-buru menjauhkan perangkat komunikasi dari telinga.
"Bagaimana, Bu?" suaranya tiba-tiba berubah formal, tapi matanya masih berbinar. Aku melipat lengan.
"Ba.. Bu.. Ba.. Bu, emangnya aku ibumu? Udah, yuk ke kantin! Lapar ini!" Kataku sambil mengetuk-ngetuk jam tangan.
"Daritadi pacaran mulu, emang nggak bosen kamu?" Ifa terkikik, wajahnya memerah.
"Maaf, Teh," bisiknya sebelum kembali membawa ponsel ke telinga.
"Ehh, Say…" Ia tercekat, lalu buru-buru berbisik,
"Nanti aku telpon lagi, ya? Si bos ngajak lunch. Bye!" Kutekan jidatku.
"Dasar. Buruan nikah sana! Kelamaan ntar dia malah kabur!"
Sejak kuliah dulu, Ifa memang selalu jadi sasaran empuk candaanku yang kadang terlalu tajam. Tapi itulah kami, dua sahabat yang nasibnya dipertemukan kembali di kantor pemerintah ini setelah Ifa lulus tes CPNS setahun lalu.
"Yee, Teteh sirik! Aku kan masih puber," balasnya sambil menyeringai, menggoyang-goyangkan bahu seperti anak SMA.
"Puber? Kamu udah mau tiga puluh, Ifa!"
"Iya deh, aku ngalah sama yang udah nikah," ia menyeringai lagi, tapi kali ini ada sedikit kerutan di dahinya.
Kami berjalan menyusuri koridor panjang menuju kantin belakang. Udara pengap gedung langsung tergantikan oleh aroma bawang goreng dan kuah kaldu.
"Teh, Aldi nggak apa-apa sendirian sama Mbak Yuni?" tanyanya tiba-tiba.
"Nggak apa-apa. Udah biasa," jawabku singkat. Tapi kemudian Ifa menambahkan,
"Kalau Mas Imran?"
Nama itu menghentikan langkahku sejenak. Imran. Suamiku. Aku tak langsung menjawab, karena tiba-tiba saja bayangannya muncul, senyumnya yang selalu datar, caranya memeluk Aldi sebelum berangkat, dan keheningan yang selalu ia tinggalkan setiap pagi.
Sudah satu tahun terakhir aku dan Mas Imran terpaksa hidup terpisah tak satu rumah alias LDR. Suamiku itu ditugaskan oleh kantornya untuk mengerjakan proyek di luar pulau dan meninggalkanku di rumah berdua saja dengan Aldi, anak semata wayang kami. Awalnya Mas Imran berniat memboyongku namun hal itu tak akan pernah bisa terjadi karena sebagai abdi negara, mengajukan pindah tugas tentu bukan hal semudah membalikkan telapak tangan.
Alhasil, kini kami terpaksa menjalani kehidupan pernikahan seperti ini. Mas Imran kadang menyempatkan waktu untuk pulang sebulan sekali, namun belakangan dia baru bisa pulang dua bulan sekali karena proyeknya di sana tak bisa ditinggal. Rasa rindu dan kangen membelengguku, apalagi hormonku lagi tinggi-tingginya. Aku menginginkan sentuhan suamiku namun Mas Imran malah lebih memilih pekerjaannya. Sesuatu yang membuatku kadang sedih dan menceritakannya pada Ifa.
“Ya begitulah, masih banyak proyek. Mungkin minggu depan dia baru bisa pulang.” Kataku sedikit malas.
“Aduh, kok murung gitu si Teh? Maaf kalau pertanyaan Ifa buat Teteh sedih, kangen ya sama Mas Imran?”
“Ya, begitulah Fa, namanya juga suami pasti dikangeninlah apa lagi jauh kayak gini.”
“Sabar ya teh, pokoknya kalo teteh butuh temen curhat, Ifa selalu siap! Hehehehehe.”
Obrolan kami terputus ketika pesanan tiba di meja. Sepiring nasi ayam goreng kremes dan nasi rendang Padang yang masih menguap panas, ditambah dua gelas es teh manis, seketika mengalihkan perhatian kami dari percakapan. Perut yang sudah keroncongan akhirnya mendapat balasan setimpal. Dalam hitungan menit, hanya tersisa piring-piring licin dan es yang belum sempurna mencair, menggenang di dasar gelas.
"Alhamdulillah... kenyang banget!" Ifa menghela napas puas sambil menyeruput sisa es tehnya. Kusorongkan piring rendang ke arahnya.
"Mau nambah? Aku traktir."
"Nggak usah, Teh," ia menggeleng, lalu memegang perutnya.
"Nanti kalau jadi gemuk, Deny kabur nyari cewek lain."
"Cieee... yang lagi kasmaran," godaku, membuat pipinya memerah lagi.
Aku teringat cerita Ifa beberapa bulan lalu tentang Deny, si pengusaha muda anak anggota DPRD itu. Awalnya, Ifa ragu—reputasi Deny sebagai playboy sudah terlalu terkenal. Tapi siapa yang bisa menolak pesona pria berwajah tampan, karier mapan, plus garis keturunan terpandang? Modal itu lebih dari cukup untuk membuat banyak perempuan terjebak dalam permainannya.
Tapi waktu membuktikan lain. Deny berubah. Ia tak hanya setia mengantar-jemput Ifa, tapi juga kerap mengirimkan rangkaian bunga segar ke kantor, gestur romantis yang bahkan tak pernah kudapat dari Imran selama pernikahan kami. Saat melihat Ifa tersipu bahagia, ada sesuatu yang mengganjal di dadaku. Bukan sekadar iri, tapi juga pertanyaan yang tak pernah berani kuakui,
"Apa yang salah dengan pernikahanku?"
“Fa, ayo balik! Aku lupa kalo masih ada kerjaan berkas yang harus kita beresin hari ini.”
“Loh? Berkas apalagi ya teh? Bukannya kemarin udah dikirim ke kantor Bupati?”
“Hmmm, makanya kalo ada rapat koordinasi tuh jangan terlambat. Tadi pagi Pak Sekda pesan kalo kita harus beresin berkas baru karena besok ada rapat penting di kantor Bupati.” Ujarku menjelaskan. Ifa hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bengong.
“Oh gitu, ya udah balik aja sekarang. Oh, ya, kali ini Ifa yang traktir makan siangnya. Hehehehe.”
“Wah tumben nih? Kamu nggak lagi ulang tahun kan?”
“Yeee, nggak lah teh. Kan gaji 13 ku udah cair minggu kemarin. Hihihihi.”
“Asyiikkk, nggak sekalian pengen ngasih belanja bulanan teteh nih?” Godaku yang langsung disambut cubitan gemas dari Ifa.
“Ih, itu sih bagiannya mas Imran lah.”
Setelah membayar makanan dan minuman kami berdua bergegas kembali ke ruang kerja masing-masing. Benar saja pekerjaan yang seharusnya bisa kami selesaikan lebih cepat ternyata terlambat, akibatnya kami harus lembur untuk mengejar target. Karena berkas yang kami kerjakan ini keesokan harinya akan dipakai oleh Bupati sebagai bahan meeting bulanan bersama para kepala dinas di lingkungan Provinsi.
“Gimana Fa? Udah beres?” Tanyaku saat masuk ke ruang kerja Ifa. Wanita yang juga mengenakan hijab itu masih sibuk di depan komputer.
“Belum nih teh, masih kurang banyak. Gimana dong?” Ujarnya dengan mimik wajah lesu dan tak bersemangat.
Kulihat jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, hampir seluruh pegawai sudah pulang ke rumah mereka masing-masing dan menyisakan beberapa orang saja termasuk kami berdua. Aku sebenarnya bisa saja membebankan pekerjaan ini pada Ifa mengingat dia adalah bawahanku, namun melihatnya bekerja keras hari ini aku jadi tak tega.
“Teteh pulang aja duluan nggak apa-apa, kasian Aldi sendirian di rumah.” Ujarnya seolah tau yang mengganggu pikiranku sejak jam 6 sore tadi.
“Beneran nggak apa-apa nih?” Tanyaku ragu.
“Iya beneran teh, ini mah paling sejam dua jam lagi udah kelar. Pokoknya teteh tenang aja, serahin semuanya sama Ifa, pasti beres!” Ujarnya yang kini mendadak sumringah.
“Ya udah kalo gitu aku tinggal pulang duluan ya Fa. Nanti kabarin kalo ada apa-apa, nomorku selalu aktif kok.”
“Siaap teh! Oh ya sekalian bawa berkas adendumnya teh, siapa tau besok diminta Pak Bupati.” Ifa mengingatkan.
“Okey bos!” Sahutku seraya melangkah pergi meninggalkan ruang kerja Ifa.
Setelah membereskan barang-barangku ke dalam tas, aku langsung berjalan menuju tempat parkir mobil yang berada di dekat kantin makan siang tadi. Area parkir yang sepi hanya diterangi cahaya remang-remang lampu neon yang berkedip-kedip. Langkahku bergema di lantai beton, disambut sesekali oleh sapaan ramah petugas keamanan yang masih bertugas. Saat sampai di tempat parkir, hanya empat mobil yang tersisa, termasuk Honda Jazz putihku dan Mercedes hitam milik Deny yang terparkir persis di sebelahku.
5843Please respect copyright.PENANAT5fPhMN4qq
"Malam, Bu Arum. Udah mau pulang?"
Suara itu membuatku menoleh. Deny sedang berdiri di samping mobilnya, rambut klimisnya masih rapi meski hari sudah larut. Ia tersenyum sambil membuka pintu mobil.
"Oh, iya. Kamu jemput Ifa?" tanyaku, berusaha santai meski tangan berkeringat menggenggam kunci mobil.
"Iya, Bu. Ifa masih lama?"
"Sayangnya iya. Masih ada berkas yang harus diselesaikan. Satu jam lagi, mungkin." Kulihat matanya yang teduh tetap sabar.
"Kalo mau, kamu bisa masuk ke dalam. Bilang saja ke satpam aku yang izinkan." Deny menggeleng, senyumnya hangat.
"Nggak apa-apa, Bu. Aku biasa nunggu di sini."
Ada sesuatu tentang caranya menjawab, terlalu sempurna, terlalu lembut. Dadaku berdegup kencang. Apakah ini yang Ifa rasakan setiap hari? Perhatian yang tulus, ataukah topeng dari seorang playboy yang ahli memainkan peran?
"Baiklah, kalau begitu. Aku pamit dulu." Kubuka pintu mobilku, melemparkan tas dan dokumen ke kursi belakang. Saat hendak masuk, Deny tiba-tiba berkata,
"Hati-hati di jalan, Bu."
"Terima kasih," balasku singkat, tapi senyumku terasa kaku.
Begitu mesin mobil menyala, bayangan Mercedes hitam itu masih terpantul di kaca spion. Aku menarik napas dalam. Mengapa perhatian sekecil itu bisa terasa begitu mahal bagiku?
Setiap bertemu Deny, selalu ada sesuatu yang mengusikku. Bukan sekadar keramahannya, tapi cara matanya menahan kontak terlalu lama, senyum yang agak terlalu hangat untuk sekadar basa-basi. Sebagai perempuan, aku bisa membedakan antara sikap sopan dan sikap yang sengaja dirancang untuk menggoda.
Setiap kali Deny tersenyum padaku, ada sesuatu yang menggelitik di dasar perutku, bukan rasa suka, tapi kepekaan yang mengganggu. Aku tahu cara seorang pria melirik, bagaimana pupil matanya membesar sedikit, bagaimana nada suaranya turun setengah oktaf saat berbicara. Deny melakukannya dengan sempurna, seolah-olah setiap sapaan adalah undangan rahasia.
"Apa mungkin Deny sedang mengujiku?"
Tapi segera kusurutkan pikiran itu. Ifa jauh lebih cantik, dengan energinya yang segar dan tawa yang mudah pecah. Sementara aku? Seorang ibu rumah tangga yang mulai menemukan uban di antara helai rambut hitamku. Seorang pria seperti Deny pasti punya standar tinggi. Ifa adalah bunga segar di pagi hari, sementara aku? Aku hanya bayang-bayang yang tersisa dari seorang perempuan yang pernah dicintai. Tapi tubuhku tidak peduli. Daging dan darahku masih bereaksi, mengingatkan betapa lama aku diabaikan.
Namun, mengapa pikiranku terus melayang ke arah itu? Mungkin ini efek dari ranjang yang terlalu lama terasa dingin. Aku ingat bulan lalu, saat nekad memesan sebuah dildo, benda karet yang akhirnya hanya mengingatkanku pada satu hal, tak ada yang bisa menggantikan kehangatan manusia. Bahkan jika ukurannya lebih besar, lebih keras, tetap saja itu hanya benda mati. Yang kurindu bukan sekadar kepuasan fisik, tapi desahan hangat di telinga, ciuman yang tak terburu-buru, cara tangan seorang pria menggenggam pinggangku seakan takut aku menghilang.
Setelah hampir dua puluh menit mengendarai mobil dan berperang dengan isi kepala, aku sudah sampai di garasi mobil. Mbak Yanti, pembantu sekaligus pengasuh Aldi membukakan pintu rumah. Wanita yang setahun terakhir bekerja di rumahku itu nampak baru saja bangun tidur, karena matanya terlihat sembab.
“Aldi udah tidur Mbak?” Tanyaku.
“Sudah Bu, daritadi siang rewel terus.” Ujar Mbak Yanti seraya membawakan tas kerjaku ke dalam rumah.
“Oh ya? Kenapa?”
“Katanya kangen Bapak.”
Aku menghela nafas panjang, ternyata yang merindukan kehadiran Mas Imran bukan hanya aku seorang namun juga anakku satu-satunya, Aldi. Memang sedari kecil Aldi sangat dekat dengan Ayahnya, dan sejak kepergian Mas Imran untuk menjalankan tugas kantor ke luar pulau Aldi harus menghabiskan hari-harinya seorang diri dan hanya ditemani oleh Mbak Yanti. Sebagai ibu, aku merasa gagal. Taoi ini juga ada andil dari Mas Imran yang lebih mementingkan karier dibandingkan keluarganya. Mengingat ini membuatku merasa marah terhadap keadaan.
“Mau diangetin masakannya Bu?” Ucapan Mbak Yanti membuyarkan lamunanku.
“Nggak usah Mbak, aku belum lapar. Mbak Yanti lanjut tidur aja, aku mau ke kamarnya Aldi.”
“Baik Bu, permisi kalo begitu.”
Aku melangkah menuju lantai dua tempat kamar anakku berada. Kubuka pintu kamarnya dan mendapati Aldi sudah terlelap sambil memeluk boneka iron man, tokoh film yang jadi idolanya. Kuhampiri Aldi dan kukecup lembut pipinya, berusaha agar tak sampai membangunkannya dari tidur. Aldi nampak begitu tenang, nafasnya teratur, nyenyak dan damai. Namun begitu aku masih merasa bersalah terhadap anakku satu-satunya ini. Aku dan Mas Imran membuatnya kehilangan kehangatan kasih sayang orang tua di masa kecil.
Tak mau terlalu larut dalam perang batin yang menyiksa, aku putuskan untuk melangkah meninggalkan Aldi dan menuju kamarku yang dingin karena selalu kutiduri sendiri. Kubuka kembali tas kerjaku, mengeluarkan beberapa barang pribadiku. Pandanganku teralih pada map merah tempat berkas-berkas adendum, seigatku harusnya map pembungkusnya berwarna cokelat.
Benar saja, begitu kubuka map tersebut ternyata isinya adalah berkas lain. Sial! Aku salah ambil berkas rupanya. Tak pikir panjang aku segera menelepon Ifa, berharap staffku itu masi berada di kantor dan nanti saat pulang mau mengantarkan berkas yang kuperlukan ke rumah. Nada dering tersambung, namun Ifa tak mengangkat teleponku. Berkali kulakukan namun panggilanku sama sekali tak terjawab.
Mungkin Ifa sudah pulang, mengingat berkas ini sangat penting maka kuputuskan untuk kembali ke kantor. Setelah berpamitan pada Mbak Yanti aku langsung masuk ke dalam mobil dan menginjak pedal gas dalam-dalam. Sesampainya di area parkir kantor, suasana jadi lebih sepi dari sebelumnya. Mobil Deny juga sudah tak terlihat lagi. Hanya ada satu mobil operasional yang terparkir di bagian dalam area parkir.
Setelah mamakirkan mobil, aku bergegas turun dan melangkah menuju ruang kerjaku di lantai tiga. Aku sempat bertemu dengan Jarot, salah satu petugas keamanan yang berjaga malam ini. Pria dengan jenggot lebat itu sempat menawariku untuk mengantar namun kutolak. Aku memang sengaja menghindari Jarot karena sudah bukan rahasia umum lagi kalo petugas keamanan itu suka menggoda pegawai perempuan. Aku merasa risih saat berdekatan dengannya.
Pintu lift terbuka, aku sudah sampai di lantai tiga tempat ruang kerjaku berada. Lorong terlihat sepi meskipun lampu penerangan menyala, berada di tempat ini seorang diri tentu membuat bulu kudukku merinding. Kupercepat langkahku agar segera sampai di ruang kerja, namun perhatianku teralihkan pada ruang arsip yang berseberangan dengan ruang kerjaku. Pintunya sedikit terbuka, semburat cahaya lampu di bagian dalam menyapu lantai lorong.
“Siapa yang masih ada di dalam?” Gumamku seorang diri seraya berjalan mendekati ruang arsip.
Baru beberapa langkah, aku mendengar suara aneh yang berasal dari dalam ruang arsip. Aku terkesiap, membuatku seketika memperlambat langkah kakiku, berjalan mengendap-endap layaknya seorang pencuri dalam film-film action. Suara itu terdengar mulai lebih keras saat tubuhku mulai mendekat pada pintu ruang arsip yang terbuka. Wajahku berusaha melihat ke arah dalam namun yang kulihat hanyalah lemari arsip berukuran besar yang menghadap langsung ke arah pintu.
Ruang arsip memang jauh lebih kecil jika dibanding dengan ruang kerjaku, dan ruangan ini dipenuhi oleh lemari dan rak besar untuk menyimpan berbagai macam bentuk dokumen fisik. Maka jangan heran jika sepanjang mata memandang, hanyalah deretan lemari berukuran besar yang terlihat. Aku berusaha untuk melongok lebih dalam, jantungku berdegup makin kencang, rasa penasaran benar-benar membuatku ingin segera mengetahui siapa sebenarnya yang sedang berada di dalam ruangan. Dan apa yang aku lihat sungguh di luar dugaan, ini menjelaskan asal muasal suara aneh yang sekarang semakin jelas di telingaku.
Dengan mata dan kepalaku sendiri aku melihat Ifa tengah berdiri menyandarkan tubuhnya pada lemari besi di belakangnya. Sesekali dia melenguh dengan ekspresi wajah binal, nafasnya tersenggal hebat, kembang kempis namun nampak begitu eksotis. Suara aneh yang sempat kudengar tadi teryata adalah desahan Ifa. Ifa tak sendirian karena di bawah tubuhnya terlihat sebuah kepala seorang pria yang sibuk bergerak. Kedua tangan Ifa berkali-kali meremasi rambut pria itu sambil terus mendesah nikmat.
“Astagfirullah, Ifa???”
5843Please respect copyright.PENANAJ7AvfBZFsi
BERSAMBUNG
ns216.73.216.238da2