
******
Chapter 2 :
Dreamboat
******
181Please respect copyright.PENANAlsOTp4fMin
SELIN berlari dengan tergesa-gesa di koridor lantai dua itu. Dia panik; jantungnya berdebar dan dia menggigit bibirnya dengan gelisah. Ia berlari sekencang mungkin, melarikan diri hingga seluruh pemandangan di samping kanan dan kirinya hanya tinggal sekelebat. Anehnya, dia tidak merasa lelah sama sekali. Degup jantungnya terdengar sangat kencang, tetapi bukan karena lelah akibat berlari, melainkan karena salah tingkah setengah mati.
“Apaan—apaan itu tadi?!” ucap Selin panik. Otaknya kembali memutar kejadian yang baru saja terjadi di kamar tamu itu. Suara berat ayah Lucian, tubuh proporsionalnya, senyum miringnya, otot bisep dan trisepnya… Sial, semuanya seksi. Selin semakin gelisah; pipinya merona. Apa yang baru saja ayah Lucian katakan padanya itu juga tidak membantu sama sekali.
181Please respect copyright.PENANANxeVOLbEIX
“Sweet. It’s pleasure to meet you, Selin. See you around.”
181Please respect copyright.PENANAIVJuEN31lr
Itu terdengar biasa saja, ‘kan? Seharusnya begitu. Iya, harusnya itu biasa saja! Namun, sampai di kalimat ‘See you around’, mengapa mendadak lutut Selin jadi semakin lemas? Sial, ini tidak normal. Tuhan, masa iya Selin nervous dan merasa ter‘undang’ hanya karena kalimat itu? Ah, Selin seumur-umur bukanlah orang yang horny-horny amat. Dia biasa-biasa saja. Iya, dia sebelumnya normal.
Namun, jika dipikir-pikir lagi, mungkin dilf energy atau sexual aura dari Om Juanlah yang terlalu kuat, sampai-sampai apa pun yang terucap dari mulut Om Juan bisa disalahartikan oleh Selin. Otaknya jadi mampu membayangkan sampai ke mana-mana. Ah, ini kacau. Malu banget sama Om Juan kalau seandainya otak mesum Selin ini terbongkar atau ketahuan sama Om Juan.
Selin berlari menuruni tangga spiral menuju ke lantai satu dengan terburu-buru. Dia masih memakai handuk; kalau saja dia tidak memegang pangkal handuknya dengan erat, niscaya handuk itu akan jatuh dan Selin akan berlari sambil telanjang. Namun, itu semua tidak terlalu dipikirkan oleh Selin saat ini; dia sibuk memikirkan betapa mengerikannya kemesuman otaknya hanya karena Om Juan menyapanya barusan. Otaknya juga sibuk mencerna apa yang sedang terjadi sejak tadi. Dia yang bertemu Om Juan secara tiba-tiba dalam keadaan hanya memakai handuk, dia yang meninggalkan pakaiannya di dalam kamar tamu hingga harus kembali lagi dan melihat Om Juan yang hanya memakai boxer, dia yang meminta Om Juan untuk menutup mata…serta seluruh obrolan-obrolan mereka pada saat setengah telanjang. Siaaaal! Apa, sih, yang baru saja terjadi padanya?
Saat ia berlari di area lantai satu, kebetulan ia melihat Maxi yang baru saja keluar dari salah satu kamar tamu. Maxi melebarkan matanya begitu melihat Selin yang tengah berlari-lari dengan ekspresi panik seperti baru saja melihat hantu. “Lah, Sel—”
Selin langsung menarik lengan Maxi dengan cepat dan kuat; dia menarik Maxi supaya masuk kembali ke kamar tamu tersebut hingga mereka berdua kini berada di dalamnya. Rasanya, jantung Maxi jadi ikut-ikutan mau copot; dia kaget karena Selin langsung menariknya dengan kuat seolah-olah tak ada hari esok. “Hei, Selin, ada apa, sih?!Kamu baru ngeliat apa?!”
“Nanti aja aku cerita!!” jawab Selin panik. Selin langsung membuka handuknya di depan Maxi dan memakai pakaian gantinya cepat-cepat. Maxi spontan menganga, memperhatikan semua gerakan Selin dari belakang dan berkata, “Hah?? Kamu kenapa coba?!”
Selin hanya diam; gadis itu tak menjawab apa pun. Dia hanya terus memakai pakaiannya dan setelah selesai, dia pun menarik tangan Maxi untuk keluar dari kamar itu. “Ayo keluar.”
Maxi semakin bingung. Dia mengernyitkan dahi dan memiringkan kepalanya. “Lin, kamu kenapa, sih?Cerita dulu!!”
Selin—yang berjalan di depan seraya memegang tangannya itu—hanya mendengkus dan berkata, “Nanti aja. Nanti kuceritain. Ayo kita balik ke kamar Lucian.”
Mendengar jawaban Selin, mau tak mau Maxi hanya bisa mengedikkan bahu. Dia pun menghela napas, memutuskan untuk menyerah. Sebetulnya, dia begitu penasaran, tetapi dia tahu bahwa Selin ini orangnya agak susah dibujuk. Jadi, dia hanya bisa menunggu sampai nanti Selin memutuskan untuk menceritakannya sendiri. Haduh, demi Tuhan,Maxi ini sebenarnya adalah orang ter-kepo sedunia, tetapi dia mampu menahannya sedikit untuk Selin. Dia kurang baik apa lagi coba? Ini baru namanya sahabat. Tiba-tiba, Maxi jadi merasa bangga sendiri.
181Please respect copyright.PENANAneY4zSwTzu
******
181Please respect copyright.PENANAS1MQv5S4yl
Sejak tadi, Selin hanya melamun. Mereka semua kembali mengerjakan tugas; Dylan, Aria, Lucian, dan Maxi sudah sibuk berdiskusi. Maxi dan Aria beberapa kali menyadarkan Selin dari lamunannya, tetapi agaknya lamunan itu selalu kembali dan kembali lagi. Selin tak bisa berhenti memikirkan apa yang terjadi di antara dirinya dan ayah Lucian, atau lebih tepatnya, dia tak bisa berhenti memikirkan ayah Lucian.
Tiba-tiba, ada sebuah ketukan di pintu kamar Lucian. Ketukan itu sukses memecahkan lamunan Selin; Selin langsung menoleh ke pintu tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada teman-teman Selin; mereka semua spontan menoleh ke pintu.
“Ya?” jawab Lucian singkat, merespons ketukan pintu itu.
“Tuan Muda Lucian,” ucap seorang laki-laki di balik pintu tersebut. “Tuan mengajak Anda dan teman-teman Anda makan malam bersama, Tuan Muda.”
Semua orang yang ada di dalam kamar kontan merasa heran. Mereka mulai panik. Tidak bohong, jantung Selin pun tiba-tiba serasa berhenti berdetak setelah satu degupan kencang berupa ‘Deg!’ tatkala mendengar pemberitahuan itu.
Haduh, gimana ini? Gimanaaa?!
Makan malam bersama? Huaaaa mampus! Selin masih belum normal, nih!
“Woy, Lu!!!!” bisik Maxi panik, ia menganga dan langsung mencecar Lucian. “Kok ayahmu ada di rumah?!! Bukannya katamu masih ada di China?!!”
“Aku juga nggak tau, nih!!” jawab Lucian, dia ternyata ikutan panik. “Kok tiba-tiba Ayah ada di rumah, ya?!!”
“Lah, kamu aja nggak tau, apalagi aku!!” ujar Maxi. Mereka jadi berdebat sendiri.
Diam-diam, Selin membatin, ‘Iya, Lucian, ayahmu udah balik. Tadi, aku ketemu sama dia dan kami sama-sama nggak pake baju yang senonoh.’
Jujur, Selin rasanya mau menangis dan menggali tanah untuk mengubur dirinya sendiri hidup-hidup tatkala mengingat kenyataan itu.
Aria dan Dylan juga panik, tetapi belum mengucapkan apa-apa. Mereka berdua pun kaget saat mengetahui bahwa ternyata ayahnya Lucian ada di rumah dan bahkan sudah mengetahui keberadaan mereka.
Aaaaagh!
Lucian diam selama dua detik…sampai akhirnya pemuda itu pun menjawab.
“Oke, Diego. Bentar lagi kami keluar. Ayah udah pulang, ya?”
Pria yang berdiri di balik pintu tersebut—yang sebenarnya merupakan head butler di mansion itu—pun menjawab, “Iya, Tuan Muda. Tuan baru pulang sekitar dua jam yang lalu.”
Lucian menghela napas. “Oke, Diego. Bilang sama Ayah, tunggu bentar, ya. Kami bakal turun.”
“Baik, Tuan Muda,” jawab Head Butler Diego, kemudian terdengarlah bunyi ketukan langkah sepatunya yang mulai menjauhi pintu kamar Lucian.
“Ayo kita ke bawah,” ajak Lucian langsung. “Sorry, ya, aku juga nggak tau kenapa Ayah udah pulang. Mungkin, dia ada perubahan jadwal atau gimana, tapi aku janji, Ayahku nggak bakal marah kok. Dia bukan ayah yang galak. Ayo kita turun dulu aja, sekalian kalian bisa kenalan.”
Akhirnya, mereka semua mengangguk.
Hm… Sejujurnya, walau sedikit mendadak, mereka penasaran juga, sih,bagaimana wujud asli Mr. Zacharias yang begitu terkenal di beberapa belahan bumi ini akibat bisnisnya yang tersebar di banyak negara. Dia adalah pebisnis sejati yang banyak dikagumi oleh orang-orang, sampai sering dijadikan contoh pada saat dosen menerangkan soal bisnis.
Kali ini, sosok billionaire itu akan mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri.
181Please respect copyright.PENANA1iVGqLd8Uq
******
181Please respect copyright.PENANAVk4WEcObyE
Begitu sampai di ruang makan, mereka semua melihat sosok ayah Lucian yang duduk di kursi paling ujung meja makan itu. Meja makan yang ada di ruang makan tersebut adalah sebuah meja makan panjang yang masing-masing ujung atas dan bawahnya memiliki satu kursi, lalu di tengah-tengahnya berjajar beberapa kursi yang saling berhadapan.
Di atas ruang makan tersebut, tergantung beberapa lampu kristal megah yang mengelilingi satu lampu kristal yang paling besar. Lampu kristal terbesar itu berada tepat di atas meja makan, di bagian tengah. Namun, posisi kursi-kursi dan lampu kristal itu tak begitu penting saat ini, soalnya ada sebuah ciptaan yang jauh lebih rupawan tengah duduk di depan sana. Seorang pria yang matang dan berparas menakjubkan. Kedua siku pria itu bertumpu di meja, jemarinya saling terjalin di depan dagu. Pose itu membuat otot bisepnya jadi terlihat semakin kentara. Semakin tercetak jelas. Bentuk wajah yang simetris, garis rahang yang tajam, hidung yang mancung, bibir yang menggoda, serta baju kaus putih polos yang mencetak bentuk tubuh sempurnanya…semuanya seratus persen sukses membuat Maxi, Aria, dan Selin menahan napas.
Padahal, Aria sudah beberapa kali melihat Om Juan (meski bukan di mansion itu), tetapi dia tetap saja kagum tiap kali melihat pria itu. Maxi bahkan sampai ternganga. Dia hampir saja berdecak kagum, untung saja urat malunya masih tersambung. Untung saja, otaknya belum mengalami korsleting sehingga dia masih mampu menahan dirinya untuk tidak berteriak kagum atau mengeluarkan air liur di sana.
181Please respect copyright.PENANADANy9UmToN
Gila, woy, ini beneran bapaknya Lucian?
Culik aku, Om!
181Please respect copyright.PENANARYHDsVj0IB
Selin pun melihat ke arah Maxi dan spontan membatin seperti, ‘Yeah, Maxi. I know, I know. Kita sepemikiran.’
Maksudnya, yang benar saja. Itu sungguhan pria yang sudah punya anak sebesar Lucian?
Dia terlihat seperti buah terlarang yang merah merekah. Juicy, matang sepenuhnya, dan tinggal dimakan.
Ah. Jadi pengin makan, ‘kan.
Mulai lagi, deh.
181Please respect copyright.PENANA6bQDjWU4wS
“Halo,” sapa ayah Lucian seraya tersenyum kepada mereka semua. “I’m Lucian’s dad. Nice to meet you.”
181Please respect copyright.PENANARQ25rDxKHt
Damn.
Damn.
‘Suaranya brooooo,’ batin Maxi. ‘Buseeeet. Daddy banget ini!’
Maxi pun spontan menoleh kepada Selin. Melihat tatapan Maxi, Selin langsung paham total. Seakan bertelepati, Selin pun mengangguk seraya memejamkan matanya. Menyetujui Maxi dalam diam. Melipat bibirnya seolah-olah berkata, ‘Iya, Say, iya. Sangat daddy. Aku paham maksudmu. Paham banget.’
“Ah—haha… Iya, Om,” jawab Maxi setelah menatap ayah Lucian kembali. Sekuat tenaga mengusahakan agar suaranya tidak terdengar serak atau bergetar, soalnya lututnya mendadak jadi lemas. “Nice to meet you too, Om.”
“Selamat malam, Om,” sapa Dylan dengan sopan.
Om Juan tersenyum. “Malam. Ayo, silakan duduk. Kita makan malem dulu, ya, sambil ngobrol-ngobrol. Soalnya baru kali ini Lucian bawa temen-temennya ke rumah.”
Mereka semua pun tertawa awkward.
“Ah—iya, Om, baru kali ini,” jawab Maxi. Maxi mulai menyikut-nyikut Selin dan Aria seolah-olah ingin berkata, ‘Woy, bantu jawab ngapa, sih? Lemes, neh!’
Laknatnya, Selin dan Aria malah menyikut balik. Mereka ingin menyerahkan semuanya kepada sang sepuh Maximilian. ‘Kamu aja, woy, kamu lebih kuat.’
Setelah itu, mereka semua mulai duduk. Selin, Aria, dan Maxi duduk di sebelah kanan, sementara Dylan dan Lucian duduk di sebelah kiri. Jadi, posisinya, ayah Lucian ada di depan sekaligus di tengah-tengah mereka semua.
Banyak sekali makanan yang sudah berjajar di atas meja. Ada daging ayam, daging sapi, salad, buah-buahan, seafood, sayuran, dessert, berjenis-jenis minuman…. What a feast. Lengkap sekali. Ada beberapa lilin, beberapa napkin… Ini benar-benar seperti acara dinner orang kaya. Mereka sedang dijamu. Ketika mereka baru duduk, ada beberapa pelayan yang masih mengantarkan makanan-makanan tambahan. Setelah selesai, akhirnya pelayan-pelayan itu menunduk hormat pada mereka dan permisi ke luar.
“Jadi,” buka Om Juan seraya menuangkan air putih ke gelasnya. “kalian semua satu jurusan, ya, sama Lucian?”
“Iya, Om,” jawab Dylan. “Kami satu jurusan.”
Aria dan Maxi manggut-manggut. Selin diam saja; detak jantungnya betul-betul mengganggu. Rasanya, dari tadi dia nyaris tak sanggup melihat wajahnya Om Juan. Meskipun begitu, tatkala Selin melihatnya sesekali, memang benar Om Juan ini tampan sekali. Luar biasa.
Om Juan in casual attire…is so damn hot.
Selin benar-benar deg-degan. Dia tak sanggup melihat keindahan yang sempurna itu saat ini. Kejadian tadi masih menghantui pikirannya.
Om Juan pun mengangguk, tersenyum, dan meminum air putihnya. Tatkala ia menaruh gelas itu kembali di atas meja, suaranya kembali terdengar.
“Kalau Aria dan Dylan…Om udah pernah liat beberapa kali,” katanya. “soalnya Dylan udah temenan sama Lucian dari SMA…dan Aria itu pacarnya Lucian.”
Lucian tersenyum. Dylan dan Aria mengangguk-angguk.
Seraya memiringkan kepala, Om Juan pun kembali berkata, “Kalo kamu…siapa namanya?”
Sadar bahwa Om Juan sedang melihat ke arahnya, Maxi langsung kikuk dan tubuhnya bergetar. “Uhh—um… Maxi, Om. Elena Ruby Maximilian.”
“Oh… Salam kenal, Maxi,” sapa Om Juan seraya tersenyum. Maxi mendadak bahagia mempunyai nama ‘Maxi’, soalnya nama itu terdengar bagus sekali tatkala lidah Om Juan mengucapkannya. Melihat dirinya sudah ditanya, Maxi pun mulai menunggu kapan giliran Selin ditanyai juga, soalnya cuma dia dan Selinlah yang belum Om Juan kenal sebelumnya.
Namun, alih-alih menanyai Selin, Om Juan justru hanya menatap Selin. Selin—yang bisa merasakan seluruh tatapan kini mendadak mengarah kepadanya itu—refleks langsung menatap sekeliling. Sampai akhirnya, dia pun membalas tatapan Om Juan.
Tepat ketika Selin menatap Om Juan balik, pria itu mulai memberikan Selin sebuah senyuman lembut.
Namun, hanya itu. Hanya seulas senyuman. Tanpa pertanyaan ‘Siapa nama kamu?’ seolah-olah dia sudah tahu nama Selin. Maxi agak mengernyitkan dahi, dia jadi bingung.
Dengan kikuk, Selin pun tersenyum balik pada Om Juan. Ia tak tahu reaksinya ini terlihat menggelikan atau tidak, pokoknya balas senyum dulu aja, deh!
“Jadi, kalian tinggal di mana?” tanya Om Juan lagi. Mendengar pertanyaan itu, satu per satu dari mereka mulai menyebutkan lokasi rumah mereka masing-masing. Suasana saat itu jadi agak mencair karena Lucian dan Maxi mulai berdebat terkait di mana lokasi rumah Maxi yang sebenarnya. Selin sudah tidak heran lagi dengan Maxi yang selalu saja bisa lupa alamat lengkap rumahnya sendiri. Bahkan, Selin dan yang lain justru lebih hafal alamat rumah Maxi daripada empunya sendiri. Om Juan bahkan sempat tertawa dengan perdebatan mereka dan God damn it, he’s so gorgeous. Inikah yang namanya surga? Soalnya…kok ada bidadara seksi di sini?
Selin dan teman-teman ceweknya benar-benar dibuat sampai tercengang.
Akan tetapi, tiba-tiba Om Juan mulai bertanya.
181Please respect copyright.PENANAxOaMcr4q3j
“Kalo Selin, rumahnya di mana?”
181Please respect copyright.PENANAS8Ewl5s5U3
Semua orang kontan terdiam.
Selin langsung menatap Om Juan dan meneguk ludahnya. Sementara itu, Maxi, Aria, dan Dylan pun langsung menoleh kepada Selin. Lucian? Oh, pemuda itu spontan melihat ayahnya dan Selin secara bolak-balik. Di dalam benak teman-teman Selin, kini terdapat pertanyaan yang sama, yaitu:
181Please respect copyright.PENANAy0wlUfOLX6
“Kok Om Juan udah tau nama Selin?”
181Please respect copyright.PENANAgWd2zqPEzT
Dada Selin jadi berdebar. Ia meremas celananya sendiri di bawah meja. Setelah itu, dengan napas yang tertahan, Selin pun mulai menjawab.
“Di Woodlands 167, Om.”
“Hmm…” Om Juan berdeham. Pria itu mengangguk samar, lalu memiringkan kepalanya. “Lumayan jauh juga, ya, dari sini.”
Selin tersenyum canggung. Namun, akhirnya dia jadi sedikit tertawa hambar. “Ah—haha, iya, Om. Lumayan.”
“Masih jauh rumah Aria dan Dylan kok, Dad,” kata Lucian. “Rumah Selin sama Maxi masih agak di tengah-tengah, kalo dari sini.”
Om Juan pun tersenyum, menatap Selin agak lama, lalu mengangguk. Setelah itu, ia mulai mengambil sendok dan garpunya. “Ayo, kita makan dulu.”
Dengan ajakan dari Om Juan itu, mereka semua pun mulai makan. Suasana semakin mencair tatkala mereka makan, soalnya sesekali mereka mengobrol meskipun tahu bahwa makan sambil berbicara itu tidak baik. Namun, percayalah, makan sambil ngobrol memang seseru itu.
Hingga akhirnya, setelah selesai makan, Om Juan pamit lebih dahulu. Pria itu hanya memberitahu mereka dengan kalimat singkat seperti: “Om duluan, ya. Ada yang masih mau Om selesaikan.”
Setelah mereka semua menjawab, “Iya, Om, silakan.”, Om Juan pun pergi meninggalkan ruang makan itu.
181Please respect copyright.PENANA5Fq4PUj8Bt
******
181Please respect copyright.PENANAChFJezXHV7
Setelah selesai makan, begitu keluar dari ruang makan itu, Selin langsung menarik tangan Lucian dan berlari ke salah satu kamar tamu yang ada di lantai satu. Lucian—yang sedang berjalan sambil menggoda Aria—kontan membelalakkan mata, terkejut karena mendadak tangannya ditarik dengan kencang oleh Selin. Genggamannya pada Aria jadi terlepas; dia jadi ikut berlari karena ditarik oleh Selin. “Lin, ada apa, nih?!! Lin!!”
Selin lantas menoleh ke belakang; matanya mendelik kesal. “Sini dulu kamu!!” teriak Selin, lalu gadis itu menarik tangan Lucian dengan lebih kencang. Jadi, mereka benar-benar berlari ke kamar tamu terdekat dengan ngebut. Setelah sampai di kamar tamu itu, Selin pun membuka pintunya, lalu masuk ke sana dan langsung mengempaskan tubuh Lucian ke dinding kamar yang bagian kiri. Lucian sampai berteriak, ‘Ow!’, lalu mengusap-usap bahunya dengan dramatis.
“Sakit, lho, Lin. Patah tulang, nih, kayaknya,” ujar Lucian seraya merengek. Namun, meski merengek, tatapan matanya mengandung jenaka; dia sedang menahan tawa. Sayangnya, Selin tidak menutup pintu kamar itu kembali, saking tidak sabarnya.
“Biarin aja patah sekalian,” jawab Selin.
“Waduh.” Mata Lucian membeliak. “Ini cewek jahat banget, astaga.”
Selin kemudian menjewer Lucian dengan kencang sampai pemuda itu mengerang kesakitan. Lucian lantas berteriak, “Iya, iya, Lin, iya! Ampun!! Ada apa, sih?!”
Selin pun melepaskan jemarinya dari telinga Lucian dan mulai bertanya, “Kamu kenapa nyaranin aku mandi di lantai dua? Aku baru sadar, nih, soalnya kayaknya banyak kamar tamu di lantai satu. Maxi juga mandi di lantai satu.”
Mendengar pertanyaan itu, Lucian tiba-tiba jadi mengernyitkan dahi dan sedikit memiringkan kepalanya. Mata pemuda itu melihat ke arah lain; dia tampaknya sedang berpikir sejenak.
“Hm…nggak kenapa-napa, sih. Kamar mandi itu bagus aja buat cewek. Dari seluruh kamar mandi di rumah ini, kamar mandi itu doang yang ada ornamen-ornamen ceweknya. Emang dikhususin buat tamu-tamu cewek. Soalnya, kan, emang jarang ada tamu.” Lucian mengedikkan bahu, lalu melanjutkan, “Tadinya, kan…kamu doang yang mau mandi. Makanya, kamulah yang kutawarin mandi di sana. Eh, nggak taunya Maxi juga ikutan mau mandi. Jadi, ya udah…nggak mungkin juga kalian satu kamar mandi berdua, ‘kan? Nanti kalian jadi suka sesama jenis.”
Selin—yang sedang menyimak jawaban Lucian dengan serius itu—pun perlahan mengangguk. Setelah mendengar penjelasan dari Lucian itu, dia kini berhasil melepaskan satu pertanyaan dari benaknya. Satu rasa penasarannya sudah terpenuhi. Namun, kerutan di dahinya belum pudar. Masih ada pertanyaan lain yang tersimpan dan mengganjal di otaknya.
“Satu lagi,” kata Selin. “Ayah kamu biasanya mandi di mana?”
“Eh?” Lucian malah bertanya balik. Pemuda itu memiringkan kepala dan mengernyitkan dahinya seolah-olah dia salah dengar.
Selin mendengkus. “Gini, lho, Lu, ayah kamu biasanya man—”
181Please respect copyright.PENANAYtDBkbi0jG
“Ehh eh eeehh, ada apa, neeh? Ada gosip apaan??!!”
181Please respect copyright.PENANA7LO6pTsJjb
Lucian dan Selin kontan melihat ke sumber suara. Betapa terkejutnya Selin saat melihat bahwa ternyata Maxi dan Aria sudah berjalan masuk ke kamar itu dan menatap mereka berdua dengan jail. Mata Maxi dan Aria juga berbinar-binar seolah menunggu asupan nutrisi berupa gosip terbaru. Gosip ter-hot. Melihat itu, Lucian jadi mengikik geli.
Aria dan Maxi langsung mendekati mereka berdua dengan antusias. Maxi berdiri di dekat Selin, berkacak pinggang seraya memberikan tatapan yang seolah-olah berkata, ‘Kasih tau, cepet! Spill!’
Selin menganga. Rasanya, keringat dingin mulai muncul di dahinya. Dia kebingungan setengah mati, alisnya menyatu karena sibuk berpikir.
Aduh, gimana, nih? Mau bilang apa?! Halaah, kepergok!!
Akhirnya, karena merasa terjebak, tertangkap basah, dan tertekan, Selin jadi tidak punya pilihan lain. Mau tidak mau, dia harus menceritakan semuanya.
Menatap ke depan, Selin pun mendapati teman-temannya yang sudah menatapnya dengan mata melebar karena penasaran. Teman-temannya itu sudah menunggu kalimat apa yang akan Selin ucapkan. Mata mereka berbinar-binar karena ingin tahu, termasuk Lucian. Mereka bahkan hanya diam di sana dan berdiri tegak; tubuh ketiganya benar-benar menghadap ke arah Selin seperti sedang mengadangnya. Kalau orang tidak tahu soal ini dan tiba-tiba mengintip dari pintu, mereka akan mengira bahwa Selin sedang di-bully oleh ketiga temannya.
Selin menghela napas.
Dengan berat, Selin pun mulai membuka mulutnya. “Tadi…pas aku selesai mandi dan keluar dari kamar mandi yang kupake, tiba-tiba ada ayah kamu berdiri di depan kamar mandi itu. Dia kayak mau mandi juga di situ, soalnya cuma pakai boxer dan bawa handuk.”
Maxi, Aria, dan Lucian spontan membelalakkan mata, mereka semua kaget bukan main. Aria bahkan menutup mulutnya dengan kedua tangannya; dia betul-betul terkejut dan tak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Selin. Jika itu terjadi padanya, mungkin dia akan pingsan di tempat atau pura-pura pingsan saja, saking malunya.
Maxi, yang tadinya menganga, mulai mencengkeram bahu Selin dan mengguncang-guncang tubuh Selin dengan brutal. “Hah?!! Kok bisa?! Terus gimana? Gimana, Lin?!!”
“Pantes aja tadi Om Juan udah tau nama kamu!” komentar Aria, dia mulai menyusun seluruh puzzle yang tadinya masih acak-acakan di otaknya. “Kalian sempet kenalan?”
Hidung Selin berkerut; ia terlihat berpikir keras. Ia memikirkan bagaimana cara untuk menjelaskan semuanya dengan benar. “Aku tadinya sempet lari karena kaget, tapi aku lupa kalo baju gantiku masih ada di atas kasur. Makanya, aku balik lagi ke kamar itu. Kukira nanti pas aku udah sampe sana, Om Juan udah masuk ke kamar mandi. Taunya belum.”
“Lah, terus gimana?!!” cecar Maxi. Maxi jadi ikutan panik.
“Ya Omnya masih duduk disituuuu, Maxiiiii!” erang Selin. “Mampus banget aku tadi, seriusan. Terpaksa minta tolong Om Juan buat tutup mata dulu, biar aku bisa lari ambil bajunya ke dalem.” Selin menutup wajahnya karena frustrasi.
Namun, tatkala mendengar itu, Lucian justru tertawa terbahak-bahak. Pemuda itu sampai membungkuk; ia tertawa habis-habisan seraya memukul-mukul lututnya sendiri.
“WHAHAHAHAAHAHAH!!!” Lucian tertawa keras. Spontan tak bisa menguasai dirinya sendiri. “HAHAHAHAHAHAH—Lin, astaga, ya Tuhan—HAHAHAH!”
Aria dan Maxi—yang tadinya menganga karena tak mengira kalau Selin bakal ngomong begitu ke Om Juan—kini jadi ikutan tertawa karena ketularan Lucian. Tawanya Lucian itu sungguh menular. Akibatnya, Aria dan Maxi jadi ikut menertawai Selin.
“EH! Kalian ini apaan, sih?!! Kok malah ketawa coba?!! BANTUIN NGAPA! Makanya, kan, aku bawa Lucian ke sini, mau nanya kenapa ayahnya malah mandi disituuuuu!!! Kan Om Juan punya kamar mandi sendiri…!!” Selin hampir menangis. Frustrasi banget, sumpah. Mana diketawain lagi.
Lucian masih mencoba untuk menghentikan tawa kerasnya itu. Beberapa saat kemudian, pemuda itu akhirnya mulai mengelus dadanya dan mengatur napas. Ia pun berusaha untuk berbicara dengan normal.
“Sebenernya, Ayah nggak pernah mandi di situ, sih,” jawab Lucian. Dia masih menahan tawanya. “tapi mungkin dia denger kayak ada aktivitas di kamar itu. Makanya, dia ke sana. Kamar itu, kan, sebelahan sama kamarnya.”
“Lah, tapi kamar Om Juan, kan…besar banget. Masa iya kedengeran?” tanya Maxi heran. Aria pun mengangguk menyetujui.
“Hm…” Lucian menaruh jemarinya di dagu, terlihat berpikir. “Iya, sih. Selain besar, kamarnya itu juga kedap suara. Hm…mungkin dia udah denger ada yang mandi di kamar sebelah sebelum dia masuk ke kamarnya. Maksudnya, dia denger suara itu pas dia baru pulang dan baru mau masuk ke kamarnya. Kan udah aku bilang, di rumah kami jarang ada tamu. Jadi, mungkin dia mau tau siapa yang mandi di kamar tamu itu.”
“Ya kalo emang penasaran, kan, bisa langsung masuk aja. Kenapa harus pas udah lepas baju dan cuma pakai boxer?” tanya Maxi. Aria dan Lucian spontan tertawa terbahak-bahak.
“Gini aja, mungkin dia udah agak lama nungguin di situ dan Selin belum keluar juga. Kami semua ngerasa kok kalo Selin dan Maxi mandinya lama,” ujar Lucian. “Bisa jadi, dia udah nunggu sebentar di situ dan Selin belum selesai juga. Jadi, dia masuk ke kamarnya sendiri dulu, naruh barang-barang yang dia bawa, dan ngebuka bajunya. Dari situ, kayaknya dia mulai pengen mandi di sebelah aja, sekalian mau liat siapa yang mandi di sana.”
“Kamu mulai ngarang indah, Sayang,” ucap Aria yang kontan dihadiahi tawa kencang oleh Lucian. Maxi pun jadi ikut-ikutan tertawa.
“Lho, tapi itu logika yang paling masuk akal, untuk karakter Ayahku,” jawab Lucian. “Cuma itu yang bisa kupikirin, selaku anak yang udah tinggal sama dia dari kecil.”
Mendengar itu, ketiga perempuan yang ada di sana hanya bisa manggut-manggut.
“Jadi, tadi kalian sempet kenalan?” tanya Lucian pada Selin. Mereka bertiga pun kini kembali menatap Selin.
“Iya. Ngobrol-ngobrol bentar. Dia nanya aku ini temennya Lucian atau bukan. Aku jawab ‘iya’, terus aku ceritain kenapa kita ada di sini. Aku juga bilang kalo yang kita tau, dia pulangnya besok. Kita nggak tau kalo dia bakal pulang hari ini,” jawab Selin dengan pasrah.
“Terus Om Juan jawab gimana?” tanya Aria.
“Ya…katanya dia pulang lebih cepet karena meeting dan kunjungannya selesai lebih cepet daripada apa yang udah direncanain. Jadi, dia langsung pulang,” jelas Selin.
Mulut Maxi dan Aria pun membulat, membentuk ‘O’, tatkala telah mendengarkan seluruh penjelasan dari Selin. Jujur, itu telah menjawab pertanyaan di benak mereka sejak makan malam tadi.
“Tapi jujur, aku nggak nyangka kalo kamu bakal nyuruh Ayahku tutup mata,” ujar Lucian tiba-tiba. “Ayah dibikin jadi imut-imut gitu. Astaga, ya Tuhan, HAHAHAH!”
Aria dan Maxi tertawa lagi. Mendengar itu, Selin pun jadi ikutan tertawa. Iya juga, ya, dia sendiri baru sadar. Bisa-bisanya dia menyuruh Om Juan melakukan hal seimut itu…dan bisa-bisanya Om Juan setuju!
“Aduh, Lin, ada-ada aja,” kata Maxi seraya menggeleng geli. “Bisa-bisanya ada insiden kayak gini. Haha! Mana setengah telanjang lagi!”
Tepat setelah Maxi mengucapkan kalimat itu, Selin langsung memukuli punggung Maxi berkali-kali dengan kencang seraya berteriak kesal, “Diem nggak?!”
Akan tetapi, Maxi dan teman-temannya yang lain malah tetap lanjut menertawai Selin.
Hal yang tidak mereka ketahui adalah: Dylan juga mendengar semua percakapan itu sejak tadi. Pemuda itu berdiri di luar, menyembunyikan dirinya di balik dinding. Di samping kosen pintu.
Dari awal hingga akhir percakapan itu, dahi Dylan berkerut. Ia mendengarkan semua cerita Selin seraya berpikir keras. Meski cerita Selin terdengar begitu lucu, konyol, dan menarik, entah mengapa Dylan merasa sedikit gelisah. Seolah-olah akan ada sesuatu yang terjadi, yang pastinya…
…tidak begitu Dylan senangi.
181Please respect copyright.PENANA98m29H15De
******
181Please respect copyright.PENANA1dZ9SuWXzU
Keesokan paginya, mereka semua sarapan di meja makan yang sama. Jika semalam Om Juan terlihat menggoda karena mengenakan pakaian kasual, pagi ini Om Juan juga terlihatmenggoda, tetapi dalam artian yang berbeda dari semalam.
Sama-sama seratus persen menggoda, tetapi kali ini lebih ke arah...formal. Dia mengenakan suit berwarna hitam dengan garis-garis berwarna putih. Kemejanya berwarna putih dan dia mengenakan dasi yang senada dengan jasnya. Rambutnya tertata rapi; ia terlihat begitu fresh. Begitu produktif. Tubuh tegapnya begitu mendukung pakaian yang sedang ia kenakan. Justru bukan pakaian itu yang membuat tubuhnya terlihat bagus; tubuhnyalah yang membuat pakaian itu terlihat perfect. Dia memiliki aura kepemimpinan yang sangat kuat. His manly smell, his styled hair that shows off his forehead, his leadership aura, his sharp jawline, his smile, his nice-sculpted body and face, his ‘rich’ aura…
Man, this billionaire is perfect. He has it all.
Tidak banyak yang bisa mereka bicarakan pagi itu sambil sarapan, soalnya mereka semua mau pergi kuliah dan Om Juan juga akan pergi bekerja. Mereka hanya mengobrol sebentar, melakukan percakapan santai, hingga kemudian Om Juan pamit untuk keluar terlebih dahulu. Dia mau berangkat cepat ke kantornya sebab ada meeting yang akan dia pimpin pagi ini.
Setelah Om Juan pergi, Selin dan teman-temannya kembali makan. Mereka semua menikmati hidangan sarapan yang ada di hadapan mereka dengan senang dan penuh rasa syukur. Kapan lagi bisa makan senikmat dan semewah ini di rumah orang kaya?
Namun, tak lama kemudian, ada seorang pria paruh baya—rambut pria itu nyaris putih semuap—yang berjalan masuk ke ruang makan. Aria, Maxi, Selin, dan Dylan pun refleks melihat ke arah pria itu yang langkahnya sedikit tergesa-gesa tatkala menghampiri Lucian.
Kini, mereka semua sudah tahu bahwa pria itu adalah Head Butler Diego.
Lucian pun menatap Diego dengan santai dan menaikkan kedua alisnya. “Ada apa, Diego?”
“Tuan memanggil Anda, Tuan Muda,” ujar Diego dengan sopan. “Beliau menunggu Anda di depan mansion.”
Lucian sedikit melebarkan matanya, lalu menjawab, “Oh, oke.”
Menatap empat temannya—bukan empat, sih, soalnya yang satu lagi itu pacar—Lucian pun mulai berdiri dan berpamitan. “Eh, aku ke depan dulu, ya. Ayahku manggil.”
“Oke,” sahut Dylan dan Maxi. Maxi mengacungkan jempolnya.
Selin hanya mengangguk, sementara Aria mulai tersenyum pada Lucian dan berpesan, “Hati-hati, ya, Sayang.”
Lucian pun mengedipkan sebelah matanya pada Aria. Dia lalu menjawab, “Oke, Sayangku!” dan langsung berjalan keluar dari ruang makan itu dengan diikuti oleh Diego.
Lucian berlari kecil ke pintu utama mansion. Ketika berhasil keluar melalui pintu yang sangat besar itu, Lucian pun lanjut berlari lagi hingga akhirnya dia mulai menuruni anak-anak tangga berwarna putih yang membentang luas di depan rumahnya. Tangga itu mengarah ke jalan aspal yang ada di tengah-tengah pekarangan mansion. Jalan aspal itu membelah pekarangan mansion yang super luas.
Tatkala menuruni tangga, Lucian sudah bisa melihat ayahnya yang sedang berdiri di samping mobil. Mobil itu terparkir secara horizontal dari arah pandang Lucian. Ayahnya berdiri di samping pintu penumpang yang baru saja dibukakan oleh salah satu bodyguard.
Mendengar suara langkah kaki Lucian yang menuruni tangga, Juan pun menoleh kepada Lucian dan memperhatikan anaknya itu. Lucian terus berlari kecil hingga akhirnya dia sampai di anak tangga terakhir. Dia sudah berdiri sekitar empat langkah di depan ayahnya.
“Yes, Dad?” buka Lucian. Ia langsung menjawab ‘panggilan’ dari ayahnya itu.
Juan pun menatap Lucian dengan saksama. Setelah itu, pria itu tersenyum tipis dan sedikit memiringkan kepalanya. “Lu, can you give me your friends’ number?”
Mata Lucian kontan melebar. Kini, gantian Lucian yang memiringkan kepalanya karena bingung. Pemuda itu pun bertanya, “Untuk apa, Dad?”
Juan masih tersenyum. Dia bernapas samar, lalu suaranya kembali terdengar. “This is the first time I've met them in person. Now that I think about it, I need to know their phone numbers so I can ask them about you, in case something happens.”
“Oh,” ucap Lucian, dia mulai mengerti maksud ayahnya. Dia pun mengangguk. “Oke, Dad.”
“Hmm,” deham Juan. Pria itu mulai berencana untuk berbalik dan masuk ke mobil tatkala tiba-tiba Lucian memanggilnya kembali. Langkahnya pun terhenti.
“Dad, sebenernya semalem ada apa sama Selin?” Seraya menanyakan hal itu, Lucian mulai tertawa. “Gimana, sih, ceritanya?”
Mendengar itu, Juan jadi tersenyum lagi. Dia agak menunduk sejenak; secara refleks, senyumannya berubah menjadi tawa kecil. “Ah, soal itu. Selinnya ada cerita?”
“Iya, Dad, dia panik banget. Dia sampe marah-marah ke aku semalem,” jelas Lucian seraya tergelak. Dia betul-betul menggeleng geli. “Sebenernya, Ayah kenapa, sih, mandi di situ? Terus kenapa nggak langsung masuk ke kamar mandi pas Selin udah lari?”
“Oh…” Juan kembali tertawa pelan—sungguh renyah—dan mulai berbicara, “Pas baru pulang dan mau buka pintu kamar, Ayah denger kayak ada suara dari dalem kamar itu. Suara orang mandi. Lampu kamarnya juga hidup. Ayah tungguin bentar, tapi orang yang ada di dalem sana nggak keluar-keluar. Jadi, Ayah masuk dulu ke kamar Ayah dan naruh barang-barang bawaan dari China. Biar tau siapa yang mandi di situ, Ayah jadi mau mandi di sana.”
Bingo! Dugaan Lucian benar.
“Pas Selin keluar dari kamar mandi, dia kaget ngeliat Ayah dan langsung lari keluar dari kamar, tapi Ayah liat bajunya masih ada di atas ranjang. Ayah mau ngasih tau dia, tapi tiba-tiba ada chat penting dari kantor yang ada di China. Jadi, Ayah duduk dulu di kamar itu dan soal baju Selin, Ayah pikir pasti dia bakal balik lagi buat ngambil bajunya. Kalo dia balik lagi, Ayah bisa sekalian nanya-nanya ke dia. Jadi, Ayah bisa ngebales chat dari kantor sekaligus nanya-nanya dan ngobrol langsung sama Selin.”
Lucian pun mengangguk; mulutnya membulat, membentuk ‘O’. “Ooooh… Jadi gitu, ya, ceritanya. Ya ampun, Dad, Selin panik banget itu, dari semalem!!” Lucian tertawa terbahak-bahak. “Dia malu banget, katanya. Diliat dari reaksinya, kayaknya semalem dia mau ngubur dirinya sendiri hidup-hidup. Hahaha!!”
Ayah Lucian, Juan, kontan tertawa renyah. “Ada-ada aja. Padahal, dia nggak perlu malu kok. Kan sebagiannya salah Ayah juga. Terlalu waswas, soalnya rumah kita jarang ada tamu. Pelayan-pelayan juga nggak pernah pake kamar tamu.”
Lucian mengangguk, membenarkan perkataan ayahnya. “Iya, bener banget. Hmm…tapi serius, aku ngakak banget pas denger kalo dia minta Ayah tutup mata supaya dia bisa lewat ngambil bajunya! Tolongggglaaah, astagaa! Yang bener aja?! HAHAHAH!”
Juan tertawa kecil. Jujur, dia pun agak terkejut saat itu.
“Lu, you should invite your friends over more often, since I don’t stay at home every day,” saran Juan. Dia tersenyum pada anaknya, kemudian melanjutkan, “I started to worry because you always hung out with just Aria; I thought you didn’t have any friends anymore.”
Lucian tertawa keras. Bisa-bisanya dia dikira tak punya teman lagi. “Iya, Dad, iya. Aku bakal sering-sering ngundang mereka ke sini.”
Juan pun mengangguk dan tersenyum tipis. Setelah percakapan itu, Lucian mulai bergerak; pemuda itu berencana untuk berbalik dan kembali masuk ke rumah. Namun, sebelum tubuhnya benar-benar membelakangi ayahnya, dia tiba-tiba bersuara lagi.
“Dad,” panggilnya. Ya, dia kadang memanggil Juan dengan sebutan 'Dad' dan kadang dengan sebutan 'Ayah'. Panggilan itu lantas membuat Juan menoleh ke anaknya lagi seraya menyahut, “Hmm?”
Tak ada angin dan tak ada hujan, tiba-tiba Lucian berkata:
181Please respect copyright.PENANAIEylTwNNWB
“Selin itu single.”
181Please respect copyright.PENANAvdABJGHiUI
Setelah mengatakan itu, dengan laknatnya, Lucian mulai tersenyum miring pada ayahnya dan mengedipkan sebelah matanya. []
181Please respect copyright.PENANAFfGd1xWHHC