
#3
284Please respect copyright.PENANAt7tR5OF1jO
Segelas teh hangat di tangan kananku. Sementara obat di tangan kiriku. Aku berdiri di tengah pintu dan melihat Dila yang tidur terlentang di atas ranjang. Matanya terpejam tak sadar dengan keberadaanku.
Kupandangi tubuh Dila, terutama di bagian pahanya. Berkat gamisnya yang tersingkap, aku bisa leluasa melihat pahanya sebelah kanan yang putih dan mulus itu.
Dila ini adalah cewek dengan tubuh yang ideal menurutku. Meskipun ia memiliki postur tubuh yang tidak tinggi. Kira-kira tingginya 160cm. Sudah standar lah untuk ukuran wanita orang Indonesia.
Kemudian berat badannya saya kira pas banget. Tidak gemuk dan juga tidak kurus. Kira-kira 50kg. Jadi benar-benar ideal menurutku. Aku memandangi wajahnya yang polos sedang terlelap. Begitu cantik. Jantungku jadi berdetak lebih kencang saat melihatnya. Ada sebuah rasa lebih dari sekadar saudara.
Dila tertidur masih mengenakan kerudung. Dia belum sempat melepas kerudungnya nampaknya, karena masih pusing dan pingin cepat-cepat untuk istirahat lagi di atas kasur.
Pandanganku kemudian turun ke dadanya, tepatnya pada tonjolan payudaranya. Memang tak terlalu besar. Ukurannya sedang nampun terlihat bulat dan padat. Rasanya tanganku jadi ingin meremasnya.
Sementara pada bagian bokongnya, Dila punya pantat yang juga berukuran sedang. Namun kulihat juga masih padat dan bulat. Meskipun dia sudah menjadi janda muda. Namun karena belum punya anak, saya kira tidak ada perubahan drastis pada tubuhnya. Karena dia belum menjadi ibu-ibu.
Sekitar 5 menit aku memandangi tubuh Dila. Paling lama mataku melihat paha dan betisnya yang membuat nafsuku perlahan muncul. Entah, kenapa isi pikiranku jorok sekali. Padahal dia adalah saudaraku, kenapa aku jadi suka padanya, bahkan bernafsu padanya.
Kemudian aku jadi bimbang. Mau membangunkan Dila atau tidak. Karena ibu sudah menyuruhku untuk mengantar teh hangat dan obat. Dan meminta untuk Dila segera meminumnya, biar badan Dila cepat pulih. Karena ibu kasihan pada Dila, melihat dia datang-datang dalam kondisi kurang enak badan gara-gara mabuk perjalanan.
Setelah dengan berbagai pertimbangan, akhirnya aku memberanikan diri untuk membangunkannya.
“Dila… Dila… Dila….” panggilku. Namun tidak ada tanda-tanda dia terbangun. Matanya masih terpejam.
“Dila… bangun…. Dila……” panggilku lagi, dengan suara lebih kencang dari sebelumnya. Tapi tetap saja, dia tidak bangun.
Kemudian aku berjalan masuk ke dalam kamar. Supaya lebih dekat dengannya. Barangkali suaraku lebih terdengar kalau di dekatnya. Kini aku berada di samping ranjang tempat Dila tidur.
“Dila…. bangun……. Dila……. Dila……” panggilku lagi, berulang. Tapi tetap saja tidak ada tanda-tanda ia mau bangun.
Dalam posisi ini, aku bisa melihat wajah Dila dengan lebih jelas. Dia makin terlihat cantik dan manis. Kemudian aku juga bisa melihat paha dan betisnya lebih jelas juga. Paha dan betis yang menggoda tanpa satu goresan luka.
Dila masih belum terbangun. Mungkin dia masih merasa pusing dan masih ingin beristirahat. Tapi kata ibu, kalau tidak minum teh hangat dan obat, bisa makin lama hilang pusingnya.
Suara para saudara di luar kamar terdengar saling bersahutan. Mereka saling bertanya kabar dan lain-lain. Gegap gempita sangat terdengar karena sudah lama kami tidak berjumpa.
Sementara aku masih di dalam kamar Dila. Lalu kuputuskan, meletakan teh hangat dan obat di atas meja. Kemudian ku bangunkan lagi dia. Kini kutepuk pelan bahu Dila.
“Dila… Dila…. Dila…. bangun…..” ucapku, sambil menepuk bahunya beberapa kali.
Akhirnya Dila pelan-pelan membuka matanya. Aku senang dia terbangun. Kemudian melihat ke arahku, namun terlihat masih setengah sadar.
“Dila… maaf aku bangunin. Sama ibu disuruh minum teh hangat dan obat dulu,” kataku, sambil menunjukan teh hangat dan obat di atas meja.
Dila akhirnya benar-benar membuka kedua matanya. Ia sepertinya sadar dengan keberadaanku di kamar ini. Namun dia masih belum bersuara. Tiba-tiba matanya melihat ke arah pahanya, dia sadar gamisnya tersingkap ke atas sampai paha dan betisnya terlihat.
Buru-buru Dila membetulkan gamisnya. Sehingga kini paha dan betisnya bisa tertutup lagi. Ia jadi seperti malu, melihat gamisnya terangkat di hadapanku.
“Minum teh dan obat dulu ya, biar hilang pusingnya,” kataku, perhatian padanya. Kuambil segelas teh hangat dan obat di atas meja itu, lalu kusodorkan padanya.
“Diminum dulu ya,” kataku lagi.
Dila kemudian pelan-pelan bangun. Ia duduk di atas kasur. Ia belum sepenuhnya sadar. Matanya terlihat masih berat untuk terbuka.
“Terimakasih ya, repot-repot aja,” katanya.
“Ini ibu yang buatin, cepat diminum. Lalu bisa tidur lagi,” kataku.
Dila kemudian mengambil obat dan teh hangat dari tanganku. Ia telan obat itu lalu minum teh hangat sampai habis.
“Nah gitu dong pinter. Masa udah besar masih aja mabuk di kendaraan,” godaku, sambil mengambil gelas kosong dari tangannya.
Dila hanya tersenyum. “Aku kan masih kecil,” ucapnya dengan nada manja.
“Kecil apanya? Haha,” kataku. “Mau tidur lagi? Apa mau makan? Itu semuanya pada makan sekarang,” ucapku.
Dila terdiam. Seperti masih mikir dulu.
“Hmmmmm…. aku mau beres-beres dulu aja. Mau mandi dulu aja biar segar. Biasanya kalau udah mandi, badan jadi enak lagi. Setelah itu nanti aku nyusul aja makannya,” ucapku.
“Iya mandi aja, mau ku mandiin atau mandi bareng aku? Haha,” godaku. ***
ns3.144.114.63da2