Esok harinya, Nikma bangun lebih awal dan langsung mandi wajib. Aku mendengar suara air mengalir deras—lebih lama dari biasanya. Setelah itu dia sholat subuh. Aku masih malas untuk bangun.
Setiap kali aku mencoba membicarakan hal ini di siang hari—saat kami minum kopi bersama, atau ketika sedang santai di sofa—Nikma langsung berubah. Sepertinya dia tidak menyukai membahas hal itu selain saat sedang dilanda nafsu birahi saat sedang bercinta di ranjang. Sepanjang waktu pola yang sama terus berulang. Di tempat tidur saat sedang aku setubuhi Nikma membiarkan aku dengan fantasiku yang membuat dia berubah menjadi wanita liar yang penuh nafsu, menjerit mengejar kenikmatan dengan tanpa batas. Tapi di kehidupan sehari-hari dia menolak membahas fantasi-fantasi yang aku ungkap itu.
."Aku gak suka papah ngomong kayak gini!" bentaknya suatu kali, sebelum berbalik dan meninggalkanku sendirian di ruang tengah.
Aku tahu kenapa dia seperti ini. Nikma berasal dari keluarga yang sangat religius, di mana segala sesuatu yang berbau seksualitas dibungkus rapat-rapat dalam norma dan aturan. Ayahnya seorang ustadz, ibunya pengajar mengaji, dan dia sendiri dibesarkan dengan doktrin bahwa seorang istri harus suci, patuh, dan tidak boleh memiliki pikiran "kotor".
Tapi justru itulah yang membuatku semakin penasaran.
Di ranjang, dia bisa menjadi wanita liar yang tak kenal malu—menggigit, mengerang, bahkan tak keberatan mendengar fantasiku. Tapi begitu kaki menyentuh lantai di pagi hari, dia kembali menjadi Nikma yang sopan, pendiam, dan sangat menjaga image sebagai istri solehah.
Dan aku... aku terjebak di antara dua versi istriku itu.
1564Please respect copyright.PENANAWlzLQI60rz
Oh iya aku lupa mengenalkan lebih jauh tentang Nikma istriku. Di usianya yang sudah 29 tahun tubuhnya masih seperti perempuan muda yang penuh gairah. Belum mempunyai anak selama pernikahan kami. Wajahnya cantik. Tubuhnya indah dengan lekuk liku yang mempesona. Tingginya cukup ideal, sekitar 165 cm, dengan berat badan yang terjaga sempurna berkat rajinnya dia berolahraga setiap minggu minimal lari pagi dan berlatih yoga dengan mengikuti tutrial lewat youtube. Aku sering memandanginya diam-diam saat dia berlatih yoga di rumah, melihat bagaimana otot-otot kecil di perutnya mengencang setiap kali dia menarik napas.
Payudaranya lumayan besar, sangat pas di genggamanku, tapi ada satu hal yang selalu membuatku tergoda—puting susunya. Saat dalam keadaan biasa, putingnya terlihat biasa saja. Tapi begitu gairahnya mulai terbakar, putingnya membesar, mengeras, dan berubah warna menjadi merah muda yang menggoda. Aku suka menggigitnya perlahan, mendengar desisannya, merasakan bagaimana dia menggeliat di bawahku.
Tapi semua itu hanya terjadi di dalam kamar.
Di luar sana, dia tetap wanita yang selalu mengenakan hijab lebar dan busana muslimah yang tertutup rapat, berbicara dengan sopan.
Aku mulai bertanya-tanya apakah Nikma benar-benar menikmati fantasi ini, atau dia hanya melakukannya untuk menyenangkanku? Apa yang sebenarnya dia rasakan setiap kali aku berfantasi soal pria lain saat bercinta dengannya? Dan yang paling penting—akankah fantasi kami tetap hanya sebatas kata-kata, atau suatu hari akan benar-benar terjadi?
Tapi untuk sekarang, pertanyaan-pertanyaan itu tetap tak terjawab. Karena selama Nikma menolak membicarakannya di luar ranjang, selama itu pula aku hanya bisa menebak-nebak apa yang sebenarnya ada di pikiran istriku.
Dan entah kenapa, ketidakpastian itu justru membuat fantasi ini semakin menggoda...
1564Please respect copyright.PENANAECIEpHWRQg
Di tengah segala kontradiksi yang ada, satu hal yang selalu membuatku bersyukur memiliki Nikma adalah kecantikannya yang alami dan kepribadiannya yang memikat. Wajahnya oval dengan kulit halus seperti sutra, dipadu bibir yang selalu tersungging senyum manis—senyum yang mampu meredakan amarahku bahkan di saat paling tegang sekalipun. Matanya besar, berbinar-binar dengan bulu mata lentik yang seolah selalu berkedip penuh arti.
Tapi bukan hanya kecantikan fisiknya yang membuatku jatuh cinta. Nikma adalah istri yang sempurna dalam segala hal—penuh perhatian, setia, dan yang paling penting, dia adalah pasangan bercinta terbaik yang pernah kumiliki. Gerakannya selalu pas, responnya alami, dan kemampuannya memadu nafsu seolah bawaan sejak lahir.
Namun, justru karena itulah fantasiku semakin menjadi-jadi.
Aku ingin melihatnya dinikmati oleh pria lain. Melihat ekpresinya seperti apa kalau kemaluannya dimasuki kontol besar yang kuat dan perkasa.
Selama lima tahun menikahi Nikma, aku belajar bahwa istriku bukanlah tipe wanita yang mudah terpesona oleh pria sembarangan. Namun, sebagai suami yang penuh perhatian, aku mulai menyadari pola tertentu dalam seleranya - petunjuk-petunjuk halus yang bisa kudapatkan dari cara dia mengagumi selebritas tertentu.
Aku ingat betul malam-malam ketika kami sedang menonton film bersama. Ada cara khusus Nikma menyikapinya saat aktor tertentu muncul di layar. Napasnya akan sedikit lebih dalam, tubuhnya akan bergeser perlahan di sofa, dan yang paling jelas - matanya yang biasanya santai tiba-tiba akan berbinar penuh perhatian.
Aktor tampan Nicolas Saputra selalu menjadi favoritnya.
"Lihat, sayang," katanya suatu kali sambil menunjuk ke layar televisi, "Dia berbeda dari aktor lain. Bukan hanya tampan, tapi ada kedalaman dalam matanya."
Aku memperhatikan dengan seksama. Bukan hanya tentang ketampanan fisik, tapi tentang aura yang dipancarkan - intelektual, sensitif, namun tetap maskulin. Nikma menyukai pria yang memiliki dimensi, bukan sekadar wajah cantik atau tubuh atletis.
Lalu ada Arie Sihasale.
"Pria seperti ini yang bikin perempuan jatuh hati," bisik Nikma suatu kali saat kami menonton salah satu filmnya. "Dia terlihat begitu tegas dan berwibawa, tapi tetap hangat."
Dari sini, aku mulai memahami profil pria ideal versi Nikma. Suatu malam, sambil berbaring di ranjang setelah bercinta, aku mencoba pendekatan halus.
"Bayanganku kalau kamu bisa memilih artis Indonesia untuk jadi kekasih rahasiamu, siapa yang akan kamu pilih?" tanyaku sambil mencium pelipisnya.
Nikma tertawa kecil. "Kamu ini aneh," godanya. Tapi setelah berpikir sejenak, dia menjawab: "Mungkin... Nicolas Saputra. Atau mungkin Ari Sihasale di masa mudanya. Mereka tipe pria yang..."
"Yang bagaimana?" desakku penuh penasaran.
"Yang bikin perempuan klepek-klepek karena ketampanan dan pesona mereka," jawabnya sambil memejamkan mata.
Jawaban itu membuat jantungku berdebar lebih kencang.
Tapi tantangan terbesar masih menanti: bagaimana membawa fantasi ini dari dunia khayalan di atas ranjang ke realita, tanpa menghancurkan segala sesuatu yang telah kami bangun selama ini.
Bersambung1564Please respect copyright.PENANA9ZSdW8rPtQ