Ainun melangkah masuk ke rumah Bayu dengan langkah yang kini terasa lebih ringan, meski ada beban tak terucap yang mulai mengendap di dadanya. Jilbab abu-abunya tersemat rapi, tapi ujungnya sedikit berjumbai, menunjukkan usia kain yang sudah lama menemani. Tas kain kecil di tangannya bergoyang pelan saat ia menaiki tangga menuju kamar Naya. Udara pagi membawa aroma bunga melati dari halaman, bercampur dengan embun yang masih menempel di rumput. Rumah besar itu tetap megah, tapi setelah dua minggu bekerja, Ainun mulai terbiasa dengan keheningan yang menyelimuti setiap sudut.
Di kamar Naya, bayi itu sudah bangun, duduk di ranjang bayinya dengan mainan plastik berbentuk cincin warna-warni. Naya mengoceh kecil, matanya yang besar menyala saat melihat Ainun. “Bu-bu!” serunya, tangan kecilnya meraih udara ke arah Ainun.
“Hai, manis,” kata Ainun, suaranya lembut seperti biasa. Ia mengangkat Naya, mencium keningnya yang halus, wangi susu bayi yang manis. Naya terkikik, jari-jarinya meraih jilbab Ainun dan menariknya pelan. Ainun tertawa kecil, menepis tangan Naya dengan hati-hati. “Jangan tarik, ya. Nanti Ibu disuruh Bapak beli jilbab baru.”
Ia membawa Naya ke ruang tamu, tempat Nyonya Tuti sudah menyiapkan botol susu di meja marmer. Ainun duduk di sofa, menyangga Naya di pangkuannya, dan mulai menyuapi bayi itu dengan gerakan yang sudah terlatih. Cahaya pagi masuk melalui jendela besar, memantul di lantai keramik yang mengilap. Tapi di tengah ritme biasa, Ainun merasakan kehadiran Bayu sebelum ia mendengar langkahnya. Ia muncul di ambang pintu, kemeja biru tua yang digulung sampai siku memperlihatkan lengan yang kokoh. Rambutnya sedikit berantakan, seolah baru bangun, tapi matanya tajam, penuh perhatian.
“Pagi, Ainun,” sapa Bayu, suaranya rendah, seperti hembusan angin yang membawa aroma kopi dan parfum mahal. Ia melangkah masuk, tangannya memegang secangkir kopi hitam yang masih mengepul.
“Pagi, Pak,” jawab Ainun, menunduk sekilas, fokus pada Naya yang minum dengan lahap. Tapi ia bisa merasakan tatapan Bayu, seperti di hari-hari sebelumnya—terlalu lama, terlalu dalam, seolah mencoba menembus lapisan jilbabnya.
“Naya kelihatan senang banget sama kamu,” kata Bayu, duduk di sofa di seberang Ainun. Ia menyilangkan kaki, cangkir kopi di tangannya diletakkan di meja dengan gerakan santai. “Kamu punya bakat alami, ya. Bikin anak-anak tenang.”
Ainun tersenyum kecil, wajahnya memanas. “Alhamdulillah, Pak. Mungkin karena saya juga ibu, jadi tahu caranya.”
Bayu mengangguk, tapi matanya tak lepas dari Ainun. Ia memperhatikan cara Ainun memegang botol susu, jari-jarinya yang ramping bergerak dengan lembut, dan cara bahunya sedikit membungkuk saat mencondongkan tubuh ke Naya. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Ainun merasa seperti ada aliran listrik kecil di kulitnya, meski tak ada sentuhan. “Kamu… bikin suasana di rumah ini beda,” katanya, suaranya lebih lembut sekarang. “Lebih hidup.”
Ainun menunduk, jari-jarinya memainkan ujung jilbabnya. “Terima kasih, Pak. Saya cuma ngelakuin tugas.”
Bayu tersenyum, tapi ada sesuatu di senyumnya yang membuat Ainun merasa diperhatikan lebih dari seharusnya. “Bukan cuma tugas, Ainun. Kamu bawa… kehangatan.”
Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi nadanya membuat jantung Ainun berdetak lebih cepat. Ia mencoba mengabaikannya, fokus pada Naya yang mulai mengantuk, tapi ada rasa gelisah yang mulai tumbuh di dadanya. Ia tak tahu apakah itu rasa bersalah, cemas, atau sesuatu yang lain—sesuatu yang membuat kulitnya terasa lebih sensitif dari biasanya.
Sore itu, Bayu mengajak Ainun untuk membawa Naya jalan-jalan ke taman kecil di belakang rumah. “Dia perlu udara segar,” katanya, membawa stroller biru tua yang terlihat mahal. Ainun mengangguk, menggendong Naya yang sudah mengenakan topi kecil berwarna kuning. Taman itu tak besar, tapi rapi, dengan rumput hijau yang dipangkas pendek dan beberapa pohon bunga kertas yang sedang mekar merah muda. Angin sore membawa aroma tanah basah, dan Naya mengoceh riang dari dalam stroller.
“Taruh Naya di sini,” kata Bayu, membuka stroller dengan gerakan lincah. Ainun menurunkan Naya dengan hati-hati, memastikan bayi itu duduk nyaman. Tapi saat ia meluruskan punggungnya, Bayu tiba-tiba bergerak mendekat, tangannya meraih pegangan stroller yang sama dengan tangan Ainun. Jari-jari mereka bersentuhan, hanya sesaat, tapi cukup untuk membuat Ainun membeku.
Jari Bayu hangat, sedikit kasar, berbeda dengan tangan Hendra yang selalu terasa dingin dan berminyak karena oli motor. Sentuhan itu ringan, hampir tak sengaja, tapi Ainun merasakan getaran kecil yang menjalar dari ujung jarinya ke lengannya, lalu ke dadanya. Napasnya tersendat, dan ia buru-buru menarik tangannya, berpura-pura merapikan topi Naya.
“Maaf,” kata Bayu, suaranya rendah, tapi ada nada main-main yang tak bisa Ainun abaikan. Ia menatap Ainun, matanya menyipit sedikit, seolah mencoba membaca reaksi di wajahnya.
“Nggak apa-apa, Pak,” jawab Ainun cepat, suaranya hampir tersangkut di tenggorokan. Ia menunduk, fokus pada Naya, tapi tubuhnya terasa panas, seperti ada api kecil yang menyala di bawah kulitnya. Sentuhan tadi, meski singkat, meninggalkan jejak yang tak bisa ia jelaskan—kehangatan yang mengguncang hatinya, membuatnya sadar akan setiap inci tubuhnya yang biasanya ia abaikan.
Bayu mendorong stroller, berjalan di depan Ainun, tapi sesekali ia menoleh, matanya menangkap Ainun dengan tatapan yang lembut namun penuh arti. “Kamu suka taman, Ainun?” tanyanya, suaranya santai, seolah tak ada yang terjadi.
“Suka, Pak,” jawab Ainun, berusaha menjaga suaranya tetap stabil. “Di rumah nggak ada taman, jadi Arfan cuma main di gang.”
Bayu mengangguk, tapi matanya kembali ke Ainun, kali ini lebih lama. “Kamu harus bawa Arfan ke sini suatu hari. Biar dia main sama Naya.”
Ainun tersenyum kaku, tak tahu apakah itu undangan sungguhan atau hanya basa-basi. “Insyaallah, Pak,” katanya, menunduk lagi, merasa tatapan Bayu seperti menyapu wajahnya, lehernya, bahkan bahunya yang tertutup tunik panjang.
Mereka berjalan mengelilingi taman, Naya mengoceh riang di stroller, tapi Ainun merasa ada ketegangan di udara, seperti benang tak terlihat yang menghubungkan dirinya dengan Bayu. Setiap kali tangan mereka hampir bersentuhan lagi saat mendorong stroller, Ainun menarik tangannya cepat, tak ingin merasakan getaran itu lagi. Tapi tubuhnya seolah berkhianat—detak jantungnya tak mau melambat, dan kulitnya terasa lebih hidup, lebih peka, seolah setiap hembusan angin membawa sensasi baru.
Saat kembali ke rumah, Ainun menggendong Naya yang mulai mengantuk. Bayu berjalan di sampingnya, terlalu dekat, hingga Ainun bisa mencium aroma parfumnya yang tajam bercampur dengan bau keringat samar. “Kamu capek, nggak?” tanya Bayu, suaranya lembut, hampir seperti bisik.
“Nggak, Pak,” jawab Ainun, buru-buru menuju kamar Naya. Ia meletakkan bayi itu di ranjang, menyelimutinya dengan hati-hati, mencoba mengalihkan perhatian dari kehadiran Bayu yang masih berdiri di ambang pintu.
“Kalau capek, istirahat dulu,” kata Bayu, melangkah masuk. Ia berdiri di sisi ranjang, cukup dekat hingga Ainun bisa merasakan kehangatan tubuhnya. “Kamu kerja keras banget. Naya beruntung punya kamu.”
Ainun menunduk, jari-jarinya meremas ujung jilbabnya. “Terima kasih, Pak. Saya cuma lakuin yang terbaik buat Naya.”
Bayu tersenyum, tapi matanya tak lepas dari Ainun. Ia melangkah lebih dekat, dan untuk sesaat, Ainun merasa seperti ruangan itu menyusut, hanya menyisakan mereka berdua. “Bukan cuma Naya yang beruntung,” katanya, suaranya rendah, hampir seperti rahasia. “Aku juga.”
Ainun membeku, napasnya terhenti. Ia tak berani menatap Bayu, tak berani mengartikan kata-kata itu. Tapi tubuhnya—tubuh yang selama ini hanya tahu lelah dan kewajiban—merespons dengan caranya sendiri. Dadanya terasa sesak, tapi bukan karena cemas. Ada sesuatu yang lain, sesuatu yang hangat dan asing, yang membuat darahnya mengalir lebih cepat. Ia buru-buru mengambil tasnya, berpamitan dengan suara yang gemetar.
“Saya pulang dulu, Pak,” katanya, melangkah cepat menuju pintu. Bayu tak menghentikannya, tapi tatapannya mengikuti Ainun sampai ia menghilang di balik pintu.
Di mobil, Ainun menatap keluar jendela, mencoba menenangkan napasnya. Sentuhan jari Bayu tadi, meski singkat, masih terasa di ujung jarinya, seperti bara kecil yang tak mau padam. Ia menggenggam tangannya sendiri, mencium aroma samar parfum Bayu yang seolah menempel di kulitnya. Di dadanya, ada pertempuran kecil antara rasa bersalah dan sesuatu yang tak ia pahami—sesuatu yang membuatnya merasa hidup, tapi juga takut. Rumah besar itu semakin menjauh, tapi bayangan Bayu, kehangatan jarinya, dan tatapannya yang penuh arti tetap tinggal, seperti goresan tak terlihat di hatinya.
Bersambung
https://sites.google.com/view/cerita-sprachgewandt/home?authuser=0
22Please respect copyright.PENANApHRil1djtm