"Kakak masuk dulu ya, Rin!" ucapku sambil mengusap-usap rambut Rina.
"Makasih ya, Kak. Coklatnya!" Rina berlari bersama dengan teman-temannya meninggalkanku.
"Ayok, Cha! Masuk!" Pak Ahmad mempersilakanku masuk ke dalam rumahnya.
"Iya, Pak." Aku pun masuk ke dalam rumah, mengikuti Pak Ahmad yang berjalan lebih dulu di depanku.
Setelah aku masuk ke dalam rumah, aku duduk lesehan di atas tikar.
"Bapak udah makan?"
"Belum Cha, tapi udah sarapan tadi pagi." Pak Ahmad berjalan ke dapur.
"Nggak usah repot-repot, Pak!" Aku berjalan mendekati Pak Ahmad, yang ternyata sedang menyeduh teh.
"Nggak apa-apa, Icha kan tamu Bapak." Sekarang Pak Ahmad sedang mengaduk teh manis hangat dengan sendok.
Meski rumah Pak Ahmad hanya gubuk sepetak, namun Pak Ahmad memiliki kompor gas. Jadi aku tak kesulitan, merebus mie instan yang aku bawa dari rumah.
"Aku bawa mie instan, Pak. Nanti kita makan bareng ya!"
"Oalah repot-repot banget, Cha. Icha kan tamu Bapak."
"Nggak apa-apa, Pak. Kemarin kan Icha udah janji." Aku menyeduh mie rebus yang sudah masak ke dalam dua mangkuk.
"Terima kasih ya, Cha."
"Sama-sama, Pak. Yuk kita makan bareng! Mienya udah mateng." Aku dan Pak Ahmad, makan mie bersama di atas tikar sambil bertukar cerita. Yang sedikit banyak menjadi obat rasa kecewaku, setelah kejadian yang aku saksikan kemarin. Dan pelipur ketika aku tenggelam di dalamnya.
Selesai menyantap mie, aku mengatakan pada Pak Ahmad ingin mengajaknya ke mall untuk membelikannya pakaian. Pak Ahmad sempat menolak, namun akhirnya Pak Ahmad berhasil aku bujuk.
"Kalo begitu, Bapak mandi dulu ya, Cha? Bau keringat soalnya, hehe." Pak Ahmad sesekali mengangkat kerah kaos lusuhnya, lalu menciumnya.
"Ya udah... Icha, tunggu ya Pak!"
Pak Ahmad berjalan ke belakang rumah, melewati dapur. Karena penasaran, aku berjalan ke arah dapur mini yang berada di dalam rumah sekedar melihat-lihat. Kemudian, aku mencari-cari dimana letak kamar mandinya. Setelah aku telusuri ternyata, kamar mandinya terpisah. Yang letaknya berada di belakang rumah.
Jantungku berdetak kencang, setiap kali mendengar guyuran air. Membuat pikiranku mengembara kemana-mana. Dan membayangkan Pak Ahmad yang tidak-tidak. Sempat kutepis, namun pikiran itu melintas begitu saja.
Ketika aku ingin kembali ke dalam rumah, dorongan kuat dari pikiranku yang sejak semula menggerogotiku. Mendorongku untuk mengintip Pak Ahmad yang sedang mandi. Dengan jantung yang berdetak semakin kencang, kakiku melangkah ke arah kamar mandi. Kemudian berjinjit, agar aku bisa mengintip dari celah yang tak begitu lebar. Gila memang, bagaimana bisa seorang akhwat bercadar sepertiku melakukan hal segila ini? Namun, rasa penasaranku mengalahkan akal sehatku.
Di dalam kamar mandi aku tak melihat Pak Ahmad, mungkin karena celah terlalu kecil yang menyebabkan jangkauan pandanganku terbatas. Kemudian aku berpikir, bagaimana caranya aku bisa menatap ke dalam? Sebelum aku menemukan cara agar aku bisa leluasa mengintip. Sekonyong-konyong, aku melihat Pak Ahmad yang sedang memegang gayung. Kemudian, ia menceburkan gayung ke dalam bak mandi. Meski sebatas tangannya saja, karena kemungkinan Pak Ahmad dalam posisi jongkok.
Karena aku tak begitu tinggi, lama berjinjit membuat jari-jariku sakit. Dan kakiku pun terpuntir, menahan rasa sakit. Pada akhirnya jatuh ke belakang, sampai aku terjengkang. Yang membuatku mengaduh cukup keras. Kemudian aku tutup mulutku yang tertutup cadar dengan tanganku. Berharap Pak Ahmad tak mendengar suaraku.
"Cha, itu kamu ya?" Aku kaget Pak Ahmad mengetahui keberadaanku disini.
"Eh, i... iya Pak. Icha mau pipis, nggak tahan banget. Maaf ya Pak!" Terpaksa aku harus berbohong, karena tak mungkin mengatakan sejujurnya.
"Oh, sebentar ya, Cha. Bapak sebentar lagi selesei kok."
"I… iya Pak!" Aku sedikit gugup, karena merasa malu sudah berbuat tak senonoh.
Pak Ahmad keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang melilit tubuhnya sebatas perut sampai lutut. Mataku nanar, menatap Pak Ahmad. Di usianya yang sudah lanjut, tubuhnya masih kencang. Dengan dadanya yang kekar, begitu juga perutnya. Karena malu, aku memalingkan wajahku ke samping. Namun, ujung mataku menatap ke arah Pak Ahmad sambil menelan ludahku berulangkali.
Buru-buru aku berlari, masuk ke dalam bilik kamar mandi. Dan aku pun menutup wajahku menggunakan kedua telapak tanganku dengan perasaan tak menentu.
Setelah Pak Ahmad masuk ke dalam rumah. Aku keluar dari kamar mandi, sambil menunduk karena aku begitu malu seandainya ia mengetahuiku sedang mengintipnya. Harapanku, ia tak curiga, kemudian memandangku dengan cara berbeda. Namun anehnya, usai mengintip. Penasaranku semakin menjadi-jadi. Yang mendorongku, untuk mengintip sekali lagi.
Parahnya, bukan sekedar dorongan. Hasrat di mataku yang membuatku ingin melakukan lebih. Meski berulangkali kutepis, aku tak mampu membohongi diriku sendiri. Mengintip seseorang secara diam-diam, seakan menjadi kebutuhanku. Ketika obat anti depresan tak sepenuhnya memberiku ketenangan. Apakah aku merasa bersalah? Tentu saja, karena aku seorang muslimah bercadar.
Ketika aku masuk ke dalam rumah, Pak Ahmad sudah mengenakan kaos putih lusuh dengan celana jeans kumal.
"Pak, aku ada hadiah buat Bapak." Aku mengambil bingkisan yang terbungkus rapi menggunakan kertas kado, berisi jaket kulit berwarna hitam. "Ini buat Bapak."
Pak Ahmad membuka bingkisan itu, ia menyunggingkan senyumnya dengan mata berbinar ketika melihat isi di dalam bungkusan kertas kado. Menatapnya bahagia, aku pun ikut merasakan kebahagiaan.
“Suka nggak Pak?”
"Suka banget, Cha. Terima kasih ya."
"Syukurlah, kalo Bapak suka."
Sebelum berangkat, aku mengajak Pak Ahmad ngobrol. Aku ungkapkan keinginanku untuk merenovasi rumah beliau.
“Gimana Pak? Jangan nolak ya! Please! Icha bakal sedih kalo Bapak nolak!”
"Ya udah, kalo Icha yang maksa Bapak bisa apa. Terima kasih ya, udah mau peduli sama Bapak!"
"Sama-sama, Pak. Kayak yang Icha pernah bilang, Icha bakal anggap Bapak kayak orang tua Icha sendiri." Karena perasaan haruku, aku memeluknya. Aku merasakan embusan nafasnya. Detak jantungnya berdetak kencang ketika pelukanku semakin erat. Tak hanya Pak Ahmad, jantungku berdetak tak kalah hebatnya. Apalagi cuping hidungku yang mencium aroma kelakiannya. Membuat aku ingin berlama-lama memeluk tubuhnya.
"Cha..." Suara Pak Ahmad bergetar. Mendengar suara Pak Ahmad yang berat, hatiku hanyut. Kemudian, aku melepas pelukanku.
"Iya Pak?" Kita saling menatap dengan jarak yang begitu dekat, sampai nafas kita beradu.
“Nggak apa-apa." Pak Ahmad tersenyum, ia terlihat tersipu.
"Ya udah, kita berangkat ya Pak? Nggak apa-apa kan, Icha bonceng?"
“Nggak apa-apa, Cha.” Ia terlihat antusias.
Sekarang aku naik ke atas motorku, disusul dengan Pak Ahmad yang terlihat malu-malu. Ketika aku mulai memacu motorku, ia memegang pinggangku erat.
"Pegangan yang kenceng ya Pak!
“Iya Cha.”
Di saat aku memacu motorku lebih kencang, Pak Ahmad tersentak. Ia memelukku erat dengan tangannya yang melingkar di perutku. Dan aku pun tersenyum sambil mengulum bibir bawahku di balik cadarku, karena pelukannya yang tiba-tiba.
"Kita sampai, Pak." Sekarang aku mengendarai motorku memasuki parkiran.
Usai turun dari motor, aku menatap Pak Ahmad dengan sorot mata bahagia sedang memandang bangunan mall yang megah.
"Ayok Pak, kita masuk!" Aku menggandeng tangan Pak Ahmad, masuk ke dalam mall. Ia pun menggenggam erat tanganku.
Di dalam mall, semua mata menatapku. Namun, aku tak tahu apa yang mereka pikirkan. Apakah mereka melihatku sedang berjalan bersama papaku atau mereka menganggapku dengan Pak Ahmad sepasang suami istri? Aku tak tahu. Kemungkinan kedua, membuatku salah tingkah.
“Bapak suka yang mana?” Aku bertanya pada Pak Ahmad, sambil memilih pakaian yang cocok dengan Pak Ahmad.
“Duh, Bapak bingung. Pilihannya banyak juga.”
“Ya udah, biar Icha yang pilih ya Pak.” Sekarang aku memilih beberapa set pakaian, kemudian Pak Ahmad mencoba beberapa pakaian yang aku pilih di ruang ganti.
“Bagus nggak Cha?" Pak Ahmad keluar dari ruang ganti.
Tampannya, kok Bapak bisa setampan ini sih?
“Emm, nggak deh Pak. Coba ganti yang lain!”
Pak Ahmad kembali masuk ke dalam ruang ganti. “Kalo ini?”
“Emm, sip… itu aja deh,” ucapku, sambil mengacungkan jempolku.
Selesei mengajak Pak Ahmad berkeliling mencari pakaian. Selanjutnya, aku mengajaknya untuk membeli ponsel untuknya. Ketika aku menoleh ke arah Pak Ahmad, raut wajahnya berubah. Seperti campuran antara bingung dan cemas menjadi satu.
"Nanti Icha ajarin kok Pak!" Aku tersenyum, menatapnya sambil menepuk-nepuk punggung tangannya agar ia tak perlu khawatir. Dan ia pun memandangku, tersenyum, sepertinya ia tak lagi merasa cemas.
Ketika pulang, aku terbersit untuk membelikan Rijal ponsel. Dan aku berpikir, untuk kembali ke gerai ponsel. Sewaktu aku izin kembali untuk masuk ke dalam mall, Pak Ahmad tak curiga.
Pelayan gerai memandangku heran. "Ada yang ketinggalan Kak?"
"Oh, nggak ada Kak. Saya mau beli hp satu lagi. Em ini aja deh Kak, boleh saya lihat?"
"Silakan!"
Aku melihat spesifikasi ponsel yang akan aku beli. Setelah aku pikir cocok untuk aku berikan pada Rijal, aku memutuskan untuk membeli ponsel yang aku pilih.
"Ini aja Kak!" Aku memilih ponsel yang sama seperti ponselku.
Setelah selesei membeli ponsel, aku buru-buru kembali ke parkiran. Karena aku tak enak, meninggalkan Pak Ahmad cukup lama.
"Maaf ya, Pak. Icha lama!"
"Nggak apa-apa, Cha."
"Ayok kita pulang!"
"Iya, Cha." Pak Ahmad mengenakan helmnya. Dan aku pun mengenakan helmku. Sekarang aku mulai mengendarai motorku keluar dari parkiran. Ketika aku melintas, setiap mata menatapku. Dalam hati aku merasa bangga, karena membonceng Pak Ahmad. Entah perasaan macam apa yang aku rasakan.
Ketika aku mengerem mendadak karena lampu lalu lintas berganti merah. Pak Ahmad tersentak, yang membuat tubuhnya terdorong ke depan. Sampai ia melingkarkan kedua tangannya ke tubuhku. Tak hanya memeluk pinggangku, namun mendekap tubuhku.
Lampu merah pun berganti hijau. Aku pun kembali memacu motorku. Dengan perlahan aku memacu motorku, menembus kemacetan. Namun Pak Ahmad masih memelukku erat.
Sekarang aku mengendarai motorku memasuki gang menuju rumah Pak Ahmad. Melintas di depan Masjid, kemudian melewati jembatan reot. Bunyi kaitan besi terdengar, seperti bunyi gesekan benda tajam yang digesek. Kelelawar pun berterbangan ketika motorku yang berat melewati jembatan, sampai berayun-ayun ke bawah, ke samping kanan kiri berulangkali.
Sesampainya di rumah Pak Ahmad, aku membantu, mengangkat belanjaan ke dalam rumah.
"Duh capek banget, Icha rehat dulu ya Pak?"
“Silakan Cha, bebas. anggap aja rumah sendiri!”
“Iya Pak…" Setelah aku menyandarkan punggungku ke tembok, aku ingin mengutarakan sesuatu. "Pak…"
"Iya Cha?"
"Gini... Icha punya rencana. Gimana kalo Rijal ikut buat merenovasi rumah Pak Ahmad?"
"Emm, terserah Icha aja sih. Bapak sih, ngikut Icha aja. Tapi... setau Bapak, Rijal belum pernah kerja di proyek."
"Jadi menurut Bapak gimana? Bisa nggak Rijal ikut kerja merenovasi rumah Bapak?"
"Bisa sih, malah bagus. Biar Rijal sekalian cari pengalaman. Ya meski jadi kuli dulu."
"Iya, Pak. Paling nggak, bisa bantu-bantu juga kan Pak?"
"Bener, Cha." Pak Ahmad pun berdiri lalu berjalan ke dapur.
Aku mendengar dentingan sendok, karena penasaran aku berjalan ke dapur. Kemudian aku melihat Pak Ahmad sedang mengaduk teh manis di dalam gelas.
"Ini buat Icha!"
"Terima kasih ya Pak."
"Kita santai dulu disini ya Cha." Pak Ahmad duduk lesehan di atas tikar. Dan aku pun ikut duduk, di samping Pak Ahmad.
"Iya, Pak."
Ketika aku menyingkap cadarku, untuk menyesap teh manisku. Hatiku menghangat, mungkin karena aku merindukan suasana seperti ini. Yang tak aku dapatkan dari kedua orang tuaku.
Berulangkali aku menatap jam di tanganku. "Pak Icha pamit ya?
"Diabisin dulu tehnya!"
"Iya, Pak..." Aku pun menyesap tehku sampai tersisa sedikit. Kemudian aku bersalaman sambil mengecup punggung tangan Pak Ahmad.
"Hati-hati ya Cha!"
"Iya Pak, assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam." Pak Ahmad melambaikan tangannya. Sebelum aku mengendarai motorku, menjauh, aku pun melambaikan tangan sambil teriak. "Icha bakal main lagi. Tunggu ya, daa!"
Di perjalanan aku terharu, sampai aku meneteskan air mata.
***
Sekarang aku rebah di atas ranjang, sambil menatap jam yang berada di dinding. Aku embuskan nafasku, kemudian mengambil obat anti depresanku. Pait, namun beginilah aku. Yang tak lepas dari anti depresan.
Aku pun turun dari ranjangku. Selanjutnya, mengambil droneku untuk aku terbangkan. Usai menggeser pintu kacaku, aku berjalan menuju balkon rumahku. Angin malam berembus menerpa tubuhku. Dengan mata terpejam, kuresapi angin malam yang menjilat tubuhku yang hanya memakai gaun tidur dengan tali di pundak. Rambutku yang panjang berkibar dan kulitku yang telanjang mulai menggigil.
Ketika aku menerbangkan droneku, sayup-sayup aku mendengar desahan. Namun, mataku tak menatap apa pun. Hanya bunga-bunga di dalam pot besar yang bergoyang-goyang.
Kembali, aku menerbangkan droneku, terbang lebih tinggi. Aku perbesar shoot kamera droneku ke arah taman, tak ada apa pun. Karena tak menemukan sumber suara, aku menyerah. Meskipun sempat memantik, rasa penasaranku.
Sekarang, aku merekam kompleks perumahanku. Sepi tak ada siapa pun. Kemudian aku menerbangkan droneku menjauh dari rumahku.
Mataku memicing, ketika aku menatap sesuatu yang mencurigakan. Aku perbesar shoot kameraku, nampak seorang pria yang sedang berdiri dekat tembok. Berulangkali aku menelan ludahku. Ketika mataku fokus ke arah sesuatu yang besar, panjang dengan air seni yang memancar. Tak sengaja, aku menerbangkan droneku lebih rendah karena aku ingin melihat lebih jelas lagi.
Sepertinya orang itu tahu aku sedang mengawasinya. Ia pun mendongak, menatap ke arah droneku. Aku tersentak kaget, tak mengira akan ketahuan. Yang membuatku kembali terkejut, ketika aku melihat kemaluan yang menggantung bebas, keluar dari resleting celana jeans yang dibiarkan terbuka. Mataku tak lepas, menatapnya. Dengan berulangkali aku mengulum bibir bawahku karena menahan rasa gatal yang kembali muncul di selangkanganku.
Aku tak bergeming, jariku seakan membeku. Yang seharusnya aku menerbangkan droneku meninggalkan tempat itu, justru menerbangkan droneku semakin mendekat ke arah orang itu.
Pandanganku pun tak lepas dari layarku. Kemaluan orang itu membuatku menelan ludah berulangkali. Sambil lidahku menjilat bibirku di balik cadarku.
Orang itu pun memasukan kembali kemaluannya ke dalam celananya. Setelah menarik resletingnya, orang itu berteriak keras sambil mengacungkan tangannya ke atas.
Karena aku tahu, orang itu berusaha menangkap droneku dengan melempar droneku menggunakan batu. Aku pun menerbangkan droneku terbang lebih tinggi.
Sayup-sayup orang itu mengucapkan sumpah serapah. Namun percuma saja, karena aku menerbangkan droneku terbang menjauh dari orang itu.
Adrenalinku terpacu. Aku pun tertawa sejadi-jadinya sambil melompat kegirangan karena bisa lolos dari orang gila yang buang air kecil sembarangan.
Sekarang, aku menerbangkan droneku ke arah lain. Karena aku masih ingin bermain-main, aku tak merekam untuk keperluan kontenku. Sekali lagi, aku menangkap sesuatu yang membuatku penasaran. Mobil yang terparkir di pinggir jalan, sedang bergoyang-goyang.
Pikiranku mengembara liar, membayangkan apa yang terjadi di dalam mobil.
Dan seperti dugaanku, pintu mobil terbuka. Kemudian pria berbadan tambun, dengan seorang perempuan yang memakai mini dress yang menampakkan pahanya yang mengkilat oleh keringat keluar dari mobil. Keringatnya bercucuran dari leher ke pangkal dadanya yang terbuka.
Sekarang perhatianku beralih, ke arah pria berbadan tambun. Ternyata dugaanku salah, sebelumnya aku mengira pria berbadan tambun itu om-om, berumur sekitaran 30 ke atas. Namun ternyata, wajahnya cukup muda. Tampan juga, khas Chindo dengan wajah bersih tanpa jambang. Perkiraanku, ia berusia sekitar 20 awal. Karena badannya yang obesitas, sekilas pria itu nampak berumur 30an ke atas.
Beruntung mereka melakukan hal tak senonoh di area kompleks perumahan. Bukan hanya, karena jarak satu rumah ke rumah yang lain saling berjauhan, namun karena warganya yang memang tak saling peduli antara yang satu dengan yang lainnya.
Mereka tak mungkin peduli, meski pasangan mesum itu ketahuan sedang mesum di dalam mobil. Mungkin karena memang, kalangan atas mentalitasnya seperti itu.
Setelah rasa penasaranku terobati, aku pun menerbangkan droneku meninggalkan tempat itu. Lagipula tak ada yang manarik untuk diawasi. Sekarang aku menerbangkan droneku di atas pos satpam, perumahan.
Tak ada yang aneh, tak ada kejadian apa pun. Selang beberapa menit, karena aku menerbangkan droneku berputar-putar di sekitaran pos satpam. Aku melihat mobil berhenti di depan pos satpam. Kemudian keluar, perempuan setengah baya yang memakai pakaian minim. Rambutnya panjang tergerai.
Satpam perumahan pun keluar, menyambutnya. Mereka saling cipika cipiki. Siapa sebenarnya perempuan itu? Apakah ia istrinya? Entah kenapa aku begitu penasaran. Sampai aku memutuskan untuk mengawasinya.
Dari atas, aku melihat perempuan itu duduk di samping satpam di kursi depan pos satpam.
Satpam perumahanku pun, melingkarkan tangannya ke pundak perempuan itu. Kemudian menarik tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya. Sesekali satpam perumahanku mengecup puncak kepala perempuan itu. Perempuan itu pun menatap satpam perumahanku, dengan tubuhnya yang menggelendot manja.
Mata mereka saling menatap, kemudian satpam itu menarik kepala belakang perempuan itu. Satpam perumahanku mengecup bibir perempuan itu, setelah itu mereka pun kembali saling menatap. Dengan tersenyum, perempuan itu kembali mengecup satpam perumahanku. Tak hanya mengecup, namun saling memagut.
Karena aku begitu penasaran, ingin mengetahui apa yang terjadi selanjutnya. Aku perbesar shoot kamera droneku. Dadaku mulai bergemuruh, sambil sesekali menelan ludah. Tak bisa aku pungkiri, hasratku mulai meletup. Dengan tangan bergetar aku mengendalikan droneku turun ke bawah, lebih mendekat ke arah satpam perumahanku yang bermesum ria.
Jantungku semakin berdebar, membayangkan, seandainya aku berada di posisi perempuan itu. Karena mereka tak sekedar berciuman, namun juga bermain lidah. Saling membelit, isap satu sama lain. Tanpa aku sadari, ludahku menetes.
Aku gelengkan kepalaku. Ya ampun Icha, kamu kenapa sih? Kemudian aku usap ludahku yang sempat menetes.
Ketika aku sedang asyik mengawasi, kamera droneku bergoyang. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi. Sekarang aku menerbangkan droneku sambil menyorot sekitaran pos satpam. Betapa terkejutnya aku, melihat seseorang yang sempat aku shoot sedang buang air kecil. Ia menggenggam batu di tangannya, kemudian bersiap untuk melemparnya ke arah droneku.
Aku tak mau droneku rusak karena lemparan batu. Maka, aku menerbangkan droneku meninggalkan tempat itu. Tanpa aku sangka, orang itu mengejar droneku sambil mengendarai motornya. Sambil memicingkan mata, aku menatap orang itu yang mengejar droneku.
Kemudian, aku menerbangkan droneku terbang lebih tinggi, namun tetap saja orang itu mampu mengikutiku. Ketika berada di jalan belokan, orang itu berhenti. Dengan mata terbelalak, aku melihat orang itu mengeluarkan device dari tas selempangnya.
Apakah itu drone watcher RF? Tubuhku seketika menggigil.
Sekarang drone yang aku terbangkan landing ke bawah di depan balkonku.
Aku terkejut bukan main, sebelum droneku sepenuhnya turun ke bawah, di atas balkon rumahku. Shoot kamera droneku menangkap orang yang mengejarku, sekarang berdiri di depan gerbang rumahku. Untung saja, rumahku luas. Meski aku berada di lantai dua, orang itu tak sepenuhnya bisa menatapku karena terhalang jarak yang cukup jauh.
Setelah droneku turun ke bawah, aku cepat-cepat membawanya masuk. Kemudian, menutup pintu geserku.
Tubuhku lemas, duduk di tepi ranjang. Belum sempat aku mengatur nafasku, ponselku berdering. Satpamku melaporkan, ada seseorang yang berdiri di depan gerbang, mondar-mandir.
Aku mengatakan pada satpamku, supaya diam saja. Tak membuka gerbang rumahku apa pun yang terjadi.
Ponselku kembali berdering, kata satpamku lewat telepon, orang itu sudah pergi. Sebelum pergi kata satpamku, orang itu berteriak.
"Oh Icha ya... hahaha."
Dari mana orang itu mengenalku?
Bersambung.352Please respect copyright.PENANA61lcZWMfmA