Setelah mengingat-ingat kembali pria-pria yang mungkin bisa membuat Nikma melirik, akhirnya aku menjatuhkan pilihan pada Reza teman kantor aku.
Bukan tanpa alasan. Reza berusia pertengahan tiga puluhan, tinggi sekitar 180 cm—hampir sepuluh sentimeter lebih tinggi dariku—dengan tubuh kekar hasil rutinitas gym yang konsisten. Tapi dia bukan sekadar berotot. Ada aura dominan yang memancar dari caranya bergerak, dari suara baritonnya yang dalam, bahkan dari cara dia menatap. Wajahnya tegas dengan rahang yang tajam, dan senyumnya mengandung daya tarik yang sulit ditolak—seperti kombinasi mematikan antara kepercayaan diri dan bahaya.
Tapi yang paling penting—aku yakin Nikma menyukai tipe pria seperti dia.
Aku masih ingat dengan jelas malam itu, beberapa waktu lalu di acara kantor yang melibatkan keluarga pegawai kantor aku mengajak Nikma. Aku memperhatikan bagaimana Nikma—yang biasanya pendiam di antara orang-orang baru—tiba-tiba menjadi lebih terbuka saat berbicara dengan Reza. Matanya sesekali berbinar, dan gestur tubuhnya sedikit lebih bersahabat daripada biasanya dalam mengahadapi lawan jenis. Aku bahkan menangkap pandangan singkatnya melirik lengan Reza yang menggembung di balik lengan kemeja yang digulung.
Saat itu, perasaan cemburu biasa. Sekarang? Itu menjadi bahan bakar bagi fantasi liar aku.
Sekarang, tinggal satu pertanyaan besar: Bagaimana cara mewujudkan fantasi ini tanpa membuat Nikma marah atau menolak mentah-mentah?
Aku tahu ini tidak akan mudah. Nikma bukan tipe perempuan yang terbuka tentang hasrat terlarang. Dia dibesarkan dalam lingkungan religius, dan meskipun dia tidak kaku, aku yakin ide bermain dengan orang ketiga tidak pernah terlintas di pikirannya.
Tapi jika berhasil…
Ini akan menjadi pengalaman terpanas dalam hidup kami.
1555Please respect copyright.PENANAiSFlsheT5X
***
Sore itu, Kafe Taman Dahlia memancarkan kehangatan yang berbeda. Cahaya temaram lampu gantung bergoyang pelan, menciptakan pola bayangan yang menari-nari di atas meja kayu tua kami. Nikma duduk di seberangku, jemarinya yang lentik terus memainkan sendok kecil di cangkir red velvet latte-nya, membuat lingkaran-lingkaran sempurna di atas busa susu yang mengembang.
"Jadi besok kamu ada meeting dengan klien Bandung?" tanya Nikma sambil tangan kirinya secara refleks membenarkan ujung hijabnya yang nyaris tersentuh tetesan kopi.
Aku mengangguk santai, sementara mataku tak sengaja melirik ke arah pintu kaca besar. Seolah seperti direncanakan, sosok yang selalu aku bayangkan akan bisa mewujudkan fantasi liarku itu muncul dari balik pintu.
Dia Reza, sebuah kebetulan yang menarik. Dengan berbalut kemeja putih lengan pendeknya membungkus tubuh atletisnya dengan sempurna, memperlihatkan lengan berotot yang terpoles oleh rutinitas gym. Celana chino hitamnya mengikuti lekuk paha yang kekar, sementara rambut hitamnya yang biasanya rapi sengaja dibiarkan sedikit berantakan - terlihat santai namun tetap elegan.
"Tunggu sebentar..." Aku menyipitkan mata, berpura-pura baru menyadari kehadirannya. "Wah, itu Reza, temen kantor aku!"
Sebelum Nikma sempat menoleh, aku sudah berdiri dan melambai penuh semangat.
"Reza! Hei!"
Pria itu berbalik, wajahnya pecah menjadi senyum lebar yang memancarkan kepercayaan diri. "Wah, siapa nih yang ketemu di hari Jumat malem?" Suara baritonnya bergema cukup keras untuk membuat beberapa pengunjung lain menoleh.
Dia melangkah mendekat dengan gaya berjalan santai namun penuh keyakinan. Aku melihat bagaimana mata Nikma membesar sedikit saat menyadari tinggi badan Reza yang mengungguli kami berdua setidaknya sepuluh sentimeter.
"Kebetulan banget ketemu kamu di sini," kataku sambil menjabat tangannya yang besar. "Ini istriku, Nikma. Nik, ini Reza, teman sekantor dari divisi marketing."
"Wah kayaknya pernah ketemu di acara kantor tempo hari ya?" Reza menyahut sambil mengambil tempat duduk di sampingku.
"Eh iya," jawab Nikma dengan sedikit gugup, jarinya kembali memainkan ujung hijabnya.
Reza mengalihkan pandangannya sepenuhnya ke Nikma, senyumnya berubah menjadi lebih hangat. "Akhirnya ketemu lagi dengan sang istri yang sering diceritakan Mas Ardi." Tangannya yang besar terulur dengan percaya diri.
Nikma menjabatnya, dan aku tak bisa tidak memperhatikan bagaimana jari-jarinya yang mungil tenggelam dalam genggaman Reza. "Cerita apa saja nih yang dibeberkan suami aku?" tanyanya sambil tertawa kecil, tapi ada getar halus di suaranya yang biasanya tak pernah muncul saat berbicara denganku.
"Oh, mulai dari masakan kamu yang enak sampai kebiasaan begadang nonton drakor," jawab Reza sambil melepas jabatan terakhir dengan sengaja menggesek pergelangan tangan Nikma sepersekian detik lebih lama dari seharusnya.
Aku menyela dengan sengaja, "Kamu sendiri lagi nunggu orang?"
Reza menggeleng, "Enggak, cuma mampir ke sini dan pengin coba kopi special di tempat ini. Katanya kopi di sini juara."
"Wah, kebetulan kita juga baru pesan itu," sahutku cepat sebelum Nikma sempat bicara. "Mau gabung?"
Reza berpura-pura ragu, matanya yang tajam berpindah-pindah antara aku dan Nikma dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Nggak ganggu?"
"Ah, gak ganggu kok," Nikma yang tiba-tiba menjawab, suaranya terdengar lebih tinggi dan lebih bersemangat dari biasanya.
Begitulah Reza akhirnya duduk di sebelahku, tepat berhadapan dengan Nikma. Aroma parfumnya yang maskulin menyebar halus di sekitar kami, cukup kuat untuk terasa tapi tidak menyengat. Aku melihat bagaimana hidung Nikma bergerak halus, seperti sedang mencoba mengenali aroma itu.
Dan di balik senyum santai yang kupasang, aku tahu - pertunjukan baru saja dimulai.
Percakapan kami mengalir seperti sungai di musim semi - lancar, alami, dan penuh kehidupan. Aku duduk menyaksikan dengan perasaan campur aduk saat melihat bagaimana Nikma, istriku yang hanya seorang ibu rumah tangga dan biasanya lebih suka diam di depan orang baru, kini berubah menjadi sosok yang begitu bersemangat. Dia seolah bisa nyambung dengan obrolan Reza yang seorang lelaki bujang.
Sepertinya Reza memang ahli dalam hal ini.
"Kamu sering traveling sendirian gitu?" tanya Nikma dengan suara yang lebih tinggi setengah oktaf dari biasanya. Tangannya memainkan sedotan plastik di es jeruknya, membuat bunyi klik-klik yang mengganggu.
Reza menggeser posisi duduknya di kursi rotan, membuat serat-serat kayunya berderit. Tubuhnya yang kekar itu sedikit condong ke depan, seperti jembatan Ampera yang melengkung di pagi hari. "Kadang sendirian, kadang dengan teman kantor. Tapi..." Dia berhenti sejenak, matanya yang tajam seperti pisau rencong menatap Nikma. "Akhir-akhir ini lebih sering sendirian. Lebih bebas menentukan mau eksplore mana - mau ke Kampung Betawi Setu Babakan, atau sekalian ke Pulau Seribu."
baca lengkapnya sampe tamat di karyakarsa https://karyakarsa.com/whizkei/kisah-nikma
Aku melihat bagaimana Nikma menelan ludah, kerongkongannya bergerak pelan. Matanya melirik ke arahku secepat orang yang takut ketahuan nyontek di ujian, sebelum kembali ke Reza. "Wah, aku sih belum pernah keluar Pulau Jawa. Paling jauh cuma ke Bandung waktu kuliah dulu," ujarnya sambil tersenyum kecil, tapi aku tahu itu senyum yang berbeda - senyum yang biasanya hanya muncul saat dia melihat baju bagus di butik Kemang.
Bersambung
ns216.73.216.6da2