Bab 1
Dewi adalah seorang muslimah yang taat dan sangat mencintai olahraga.
Setiap hari, ia selalu terlihat mengenakan gamis panjang dan jilbab syar'i yang menutupi auratnya dengan sempurna.
Olahraga adalah passion-nya, baik itu lari pagi, senam ringan, atau yoga.
Suatu hari, saat sedang berselancar di media sosial, Dewi menemukan sebuah akun yang mengunggah konten olahraga khusus wanita berjilbab.
Tertarik, ia pun mulai mengikuti akun tersebut.
Semakin ia scroll, semakin banyak konten menarik yang ia temui mulai dari senam berkelompok hingga latihan kardio.
Namun, perhatiannya tertuju pada sebuah postingan tentang "Edisi Khusus & Privat". Penasaran, Dewi mengirimkan pesan langsung (DM) untuk menanyakan lebih lanjut.
Admin akun itu dengan ramah menjelaskan bahwa mereka menawarkan ruangan privat eksklusif untuk latihan olahraga.
Di sana, peserta akan didampingi oleh instruktur profesional dan bisa memilih paket lengkap yang dilengkapi fasilitas seperti kamar tidur, peralatan olahraga canggih, serta pendampingan penuh.
Yang menarik, harga paket "ruang kamar" justru lebih murah dibandingkan ruang biasa.
Tanpa pikir panjang, Dewi memutuskan untuk mencoba.
Esok harinya, ia datang ke lokasi yang diberikan sebuah gedung fitness eksklusif yang terlihat mewah namun agak tersembunyi.
Setiba di sana, ia disambut oleh admin yang ramah.
Dewi memilih paket ruang kamar privat dan admin pun menjelaskan kembali rincian layanannya.
Sebelum masuk, Dewi diberikan pakaian khusus:
Celana training ketat
Kaos lengan panjang ketat
Jilbab instan pendek (hanya sebatas dada)
Meski awalnya ragu karena pakaian itu lebih ketat dan jilbabnya tidak seperti biasanya, Dewi mencoba meyakinkan diri bahwa ini demi kenyamanan berolahraga.
Tanpa curiga, ia menganti di ruangan khusus dan mengenakannya lalu diantar menuju ruangan tersebut.
Sesampainya di dalam, ruangan itu justru lebih mirip kamar hotel mewah dengan beberapa peralatan fitness di sudutnya.
Dewi disuruh menunggu, tapi ia mulai merasa ada yang aneh. Apa sebenarnya yang terjadi di balik layanan eksklusif ini?
155Please respect copyright.PENANAVb47dwQ3hG
Setelah masuk ke dalam ruangan eksklusif itu, Dewi mulai mengamati sekelilingnya.
Ruangan itu lebih mirip kamar mewah daripada tempat olahraga.
Di depannya, ada cermin besar yang memantulkan seluruh tubuhnya.
Dewi tertegun untuk pertama kalinya, ia melihat bentuk tubuhnya yang terpampang jelas karena pakaian ketat yang diberikan.
Tanpa sadar, tangannya mengelus payudara dan pantatnya sendiri, terpesona oleh lekuk tubuh yang biasanya tersembunyi di balik gamis longgar.
"Aku... terlihat berbeda," pikirnya, merasa aneh tapi juga terpana.
Matanya kemudian beralih ke dinding terdapat beberapa utas tali yang digantung rapi, serta sebuah kursi rebahan yang bisa diatur ke berbagai posisi.
Di sudut-sudut ruangan, ada pengait logam yang membuatnya bertanya-tanya: "Ini untuk alat olahraga apa?"
Tapi Dewi mengabaikan pertanyaan itu.
Ia memilih untuk berbaring di kasur empuk sambil bermain HP, menunggu instruktur datang. Saat itulah, dua pria masuk.
155Please respect copyright.PENANAff0iRDQMKf
Mereka mengenakan pakaian olahraga ketat yang memperlihatkan otot-otot tubuh.
Marcus, tinggi tegap dengan tatapan tajam.
Yosep, lebih berisi tapi dengan senyum yang membuat Dewi sedikit tidak nyaman.
"Hai, Dewi! Kami instruktur pribadimu hari ini," kata Marcus ramah, sementara Yosep mengunci pintu dari dalam.
Dewi tersenyum polos, masih belum menangkap situasi sebenarnya. "Apa yang akan kita lakukan?" tanyanya.
Marcus mendekat, "Kami akan membantumu mencapai ideal seorang wanita… dengan cara khusus."
Yosep tersenyum sinis, "Kamu suka pakaian yang kami berikan? Kamu terlihat… sangat cantik."
Tiba-tiba, Dewi menyadari sesuatu yang salah.
Mengapa pintu dikunci?
Untuk apa tali-tali di dinding?
Mengapa tatapan mereka seperti… memangsanya?
155Please respect copyright.PENANAMAdLGfYo8Y
Di luar, petugas lain lewat di depan pintu.
Suara tawa dan gerakan di dalam ruangan membuatnya berhenti sebentar. Tapi kemudian ia melanjutkan langkah, seolah sudah terbiasa dengan pemandangan seperti ini.
menandai sesuatu di clipboard.155Please respect copyright.PENANATSDhbTZ9Nn
"VIP 03: Mulai sesi."
Lalu ia berjalan pergi, meninggalkan koridor yang kembali sunyi
155Please respect copyright.PENANA2ftYj81UT5
Lamunan Flashback Dewi.
Dewi mengatur napas dalam-dalam sebelum menekan tombol lift. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena kelelahan, melainkan karena antisipasi.
Gedung fitness eksklusif ini jauh berbeda dari tempat biasa ia berolahraga lebih mewah, lebih tertutup, dan membuatnya sedikit bergidik.
"Ini untuk kebaikanmu juga," bisiknya dalam hati, mencoba meyakinkan diri.
Pakaian ketat yang diberikan terasa asing di kulitnya. Celana training itu membentuk setiap lekuk tubuhnya, sementara kaos lengan panjang yang melekat membuatnya merasa terbungkus tapi justru lebih terbuka daripada gamis longgarnya. Jilbab instan pendek yang hanya sebatas dada membuatnya beberapa kali refleks meraih leher, merasa ada yang kurang.
"Tapi untuk olahraga, mungkin memang harus seperti ini," pikirnya, mengingat penjelasan admin bahwa pakaian ini dirancang khusus untuk kenyamanan gerak.
Lift terbuka, dan seorang petugas dengan senyum profesional menyambutnya.155Please respect copyright.PENANA9owB19yiVd
"Saudari Dewi? Silakan ikuti saya."
Ia diantar melalui koridor panjang dengan dinding kaca buram. Suara musik elektronik samar-samar terdengar, tapi tak ada satu pun orang yang terlihat. Ruangan yang dituju memiliki pintu kayu tebal dengan plat nomor "VIP 03".
"Ini ruangan Anda. Instruktur akan segera datang," ujar petugas itu sebelum pergi, meninggalkannya sendiri.
Dewi memandang sekeliling. Ruangan ini terlalu mewah untuk sekadar tempat olahraga.
Kasur besar dengan seprai satin.
Cermin hampir di seluruh dinding, memantulkan bayangannya dari setiap sudut.
Tali-tali yang digantung rapi di sisi ruangan.
Kursi besi yang bisa disetel ke berbagai posisi.
Ia berjalan mendekati cermin, terpaku pada pantulan dirinya. Tubuhnya terlihat berbeda—lebih terbentuk, lebih... terbuka. Tanpa sadar, tangannya meraba pinggulnya sendiri, lalu naik ke bagian dada.
"Aku... tidak pernah melihat diriku seperti ini," gumamnya. Ada rasa malu, tapi juga kepuasan aneh yang membuatnya tersipu.
Dewi berbaring di kasur, mencoba menenangkan diri sambil membuka ponsel. Tak ada sinyal.
Ketukan di pintu.
Sebelum sempat menjawab, dua pria sudah masuk.
Marcus, tinggi, berotot, dengan senyum yang terlalu sempurna.
Yosep, lebih pendek tapi dengan tatapan yang membuat kulitnya merinding.
"Kami instruktur pribadimu," kata Marcus, suaranya halus tapi berwibawa.
Yosep mengunci pintu. Klik.
Dewi tiba-tiba merasa sesak.155Please respect copyright.PENANA2r1HjfdK0f
"Kita... akan mulai dengan apa?" tanyanya, mencoba terdengar tenang.
Marcus mendekat, "Pemanasan dulu, tentu saja." Tangannya menyentuh bahu Dewi, membuatnya kaget. "Kamu tegang sekali. Ayo kita bantu rileks."
Yosep sudah berdiri di sisi lain, memegang salah satu tali dari dinding. "Kami punya metode khusus... untuk membantumu mencapai fleksibilitas maksimal."
Dewi menelan ludah. Ada yang salah.155Please respect copyright.PENANAKIJa77KjP0
Tapi sebelum ia bisa protes, Marcus sudah memegangi pergelangan tangannya.
"Jangan khawatir," bisiknya. "Kamu akan menyukai ini."
Dewi mengikuti arahan Marcus dengan patuh. "Ayo kita mulai dengan pemanasan dasar," ujarnya sambil menggelar matras kecil di lantai.
Yosep berdiri di samping, matanya mengawasi setiap gerakan Dewi dengan cermat.
"Posisi awal, duduk bersila. Tarik napas dalam-dalam," instruksi Marcus.
Dewi menuruti, tangannya diangkat perlahan mengikuti alur pernapasan.
Namun, baru beberapa detik melakukannya, Yosep sudah mendekat. "Lututmu harus lebih terbuka," katanya, dan tanpa permisi, tangannya menekan paha Dewi ke bawah, membuka posisinya lebih lebar.
Seketika itu juga, Dewi merasa tidak nyaman.
Tapi ia mencoba meyakinkan diri.
Ini kan sesi privat, wajar kalau mereka harus menyentuh untuk memperbaiki postur.
Marcus tersenyum. "Bagus. Sekarang, bungkukkan badan ke depan."
Dewi melakukannya, tapi lengannya belum cukup lurus. Marcus segera meraih pergelangan tangannya, menariknya lebih jauh ke depan hingga tubuh Dewi hampir menempel ke matras. Napasnya tersengal.
"Lebih baik, kan?" bisik Marcus di dekat telinganya.
Dewi mengangguk kecil, wajahnya memerah. Ia bisa merasakan panas tubuh Marcus terlalu dekat.
155Please respect copyright.PENANAxNf0RYaxFX
Latihan berlanjut.
Setiap gerakan, selalu ada alasan untuk disentuh.
Saat peregangan punggung, Yosep menekan bahunya dari belakang, jarinya terkadang "tersasar" ke bagian samping payudara.
Saat posisi plank, Marcus "membantu" dengan meraba perutnya, mengklaim itu untuk memastikan otot inti berkontraksi.
Dewi mulai sulit berkonsentrasi.
"Kamu kaku sekali," komentar Yosep tiba-tiba. "Mungkin butuh pijatan dulu sebelum lanjut."
Sebelum Dewi sempat menolak, Marcus sudah menyetujui. "Ide bagus. Biar aku yang urus."
Dewi terbaring di matras, jantung berdebar kencang, ketika Marcus mulai memijat punggungnya. Awalnya gerakannya normal, tapi lama-lama, tangannya merayap ke area yang seharusnya tidak perlu disentuh.
"Ah, maaf, tangan saya slip," ujarnya saat jemarinya menyenggol bagian pinggul Dewi.
Tapi Dewi hanya diam.
Ini kan sesi privat. Mereka profesional. Aku yang terlalu sensitif.
Setelah sesi pemijatan yang membuatnya gelisah, Dewi dipandu menuju matras yoga. "Sekarang kita lanjutkan dengan gerakan dasar vinyasa," ucap Marcus dengan suara halus, seolah tak terjadi apa-apa tadi.
Dewi mengangguk, mencoba fokus. Namun, begitu ia mengambil posisi downward dog, Yosep segera mendekat.
"Pinggulmu harus lebih tinggi," katanya, tangan menekan pantat Dewi dengan kuat, mendorongnya lebih ke atas.
Dewi menahan napas.
Dari sudut matanya, ia melihat sesuatu yang membuatnya tersentak.
Selangkangan Yosep.
Bahan celana ketatnya membentuk tonjolan tebal yang mengeras, persis di depan wajahnya. Dewi cepat-cepat memalingkan muka, tapi Marcus sudah bergerak di sampingnya, mengambil alih koreksi pose. Saat ia membungkuk untuk "memperbaiki" posisi tangan Dewi, bayangan besar di celananya juga terlihat jelas.
"Apa mereka—?!"
Tapi tidak ada komentar cabul, tidak ada senyum nakal. Keduanya tetap bersikap seperti instruktur profesional, seolah tubuh mereka tak bereaksi di depan klien.
"Lebih baik," gumam Marcus saat Dewi berhasil menahan pose. "Kamu cepat belajar."
Dewi menghela napas. Mungkin ini memang normal. Mereka tidak sengaja. Lagi pula, mereka tidak menggoda aku.
Pikiran yang Terbelah
Setiap gerakan berikutnya semakin membuat Dewi bingung:
Saat child’s pose, Yosep duduk di belakangnya, dengkulnya sengaja menekan pantat Dewi setiap kali ia menarik napas.
Saat butterfly stretch, Marcus "membantu" dengan merenggangkan paha Dewi lebih lebar, jempolnya nyaris menyentuh bagian dalam pakaiannya.
Tapi ucapan mereka tetap formal:155Please respect copyright.PENANAfTufXZBG8d
"Tahan 5 detik lagi."155Please respect copyright.PENANAyEEPt4c5IA
"Jangan lupa bernapas."
Seolah tubuh mereka berbicara bahasa lain, sementara mulut mereka tetap sopan.
Dewi memilih untuk:155Please respect copyright.PENANAE2IVggRehO
Tetap diam, karena takut salah paham.155Please respect copyright.PENANAXA3UDMOnJ5
Membenarkan ini sebagai reaksi alami pria.155Please respect copyright.PENANAy4YaJNFxqj
Percaya bahwa selama mereka tidak berkata kasar, ini masih profesional.
Tapi di sudut hatinya, ada bisikan waswas:155Please respect copyright.PENANAbwG2GM4wAl
"Kalau memang tidak ada niat buruk, kenapa ruangannya dikunci?"
Adegan Child’s Pose & Konflik Batin Dewi
155Please respect copyright.PENANA4KyBsWXOqG
Dewi berlutut di matras, paha terbuka sedikit, badan membungkuk ke depan hingga dadanya hampir menempel ke paha. Dahinya menyentuh lantai, tangan terulur lurus ke depan—pose klasik child’s pose yang seharusnya menenangkan.
Yosep,
Dia langsung duduk di lantai tepat di belakang Dewi, kaki mengangkang mengurung tubuh Dewi di antaranya.
Lutut kanannya sengaja menekan pantat Dewi setiap kali Dewi menarik napas, sehingga bokongnya terpaksa menyentuh selangkangannya.
Tangannya "membantu" dengan menekan punggung Dewi, tapi jari-jarinya merayap ke sisi pinggang, hampir menyentuh bawah payudara.
Tonjolan di celananya mengeras dan menyentuh punggung Dewi saat ia sengaja membungkuk lebih depan untuk "mengoreksi pose".
Napasnya berat tapi diatur pelan, seolah berusaha terdengar normal.
Konflik Batin Dewi
Pembenaran (Pikiran Rasional):
"Ini cuma koreksi pose. Aku overthinking."
"Dia instruktur profesional. Pasti nggak sengaja."
"Aku jangan sok sensitif. Ini kan demi latihan."
Merahasiakan Malu: Pipinya panas, tapi takut protes akan membuat situasi canggung.
Rasa Bersalah: Ada bagian dirinya yang justru merasa tertarik pada sensasi terlarang ini, lalu menyalahkan diri sendiri.
Ketakutan Terselubung: "Kalau aku marah, apa mereka akan berhenti... atau justru semakin kasar?"
Pertanyaan yang Menggantung:
"Kenapa ruangan ini dikunci?"
"Kenapa pakaianku dibuat seketat ini?"
"Apakah aku yang memancing mereka?"
"Dia tidak mengatakan apa-apa yang vulgar. Tidak meraba terang-terangan. Tapi setiap sentuhannya seperti meninggalkan api."
Adegan Butterfly Stretch: Sentuhan yang Menyeberang Batas
Dewi duduk di matras dengan telapak kaki saling menempel, lutut terentang ke samping seperti sayap kupu-kupu. Posisi ini—butterfly stretch—seharusnya meregangkan paha dalam, tapi yang ia rasakan justru panasnya tatapan dua pasang mata di depannya.
155Please respect copyright.PENANAQYOvuqoBNM
Marcus berjongkok di hadapannya, tangan "membantu" menekan lutut Dewi lebih dalam ke lantai.
Ibu jarinya menggosok perlahan bagian dalam paha Dewi, bergerak semakin ke atas.
Napasnya sengaja diatur berat, membuat Dewi sadar betapa dekat wajahnya dengan pangkal pahanya.
Keringat dingin mengalir di punggung Dewi—tapi bukan dari gerakan.
Dia menahan napas setiap kali jari Marcus nyaris menyentuh bagian sensitif.
Pakaian ketatnya memperlihatkan reaksi tubuhnya sendiri, membuatnya malu tapi... terpana.
155Please respect copyright.PENANALtMxoVSf2L
Yosep, di samping Marcus, berkata dengan suara datar:155Please respect copyright.PENANAbB7jLUwnlF
"Tahan 30 detik lagi. Bagus."155Please respect copyright.PENANAzJkpoIbH5q
Tapi matanya menatap fixated pada pertemuan paha Dewi, lidahnya menjilat bibir atas secara refleks.
Konflik Batin yang Memuncak
155Please respect copyright.PENANAe6mZsc4gvi
"Aku pasti salah tangkap. Mereka kan cuma mau bantu aku stretching..."155Please respect copyright.PENANAhJdbKtR8yl
"Kalau aku biarkan mereka terus, apa yang akan terjadi?"155Please respect copyright.PENANAG8YxgH8Sg2
"Kenapa aku... penasaran?"
Ini salah! Mereka jelas memanfaatkan aku!
Tapi sentuhannya... enak.
Aku tidak bisa berhenti. Aku terjebak.
"Marcus bilang ini peregangan, tapi kenapa rasanya seperti diperkosa perlahan-lahan?"
155Please respect copyright.PENANAYlze8CFX7T
Adegan Puppy Pose: Tubuh yang Terbuka di Balik Jilbab Pendek
Dewi merangkak di atas matras, tangan menjulur ke depan, dada hampir menyentuh lantai sementara pinggulnya tetap terangkat tinggi.
Pose anjing yang merengek—puppy pose—tapi dalam posisi ini, seluruh lekuk tubuhnya terekspos dengan brutal.
Kain jilbab instan yang pendek (hanya sebatas dada) melorot ke depan, memperlihatkan payudaranya mengantung
Baju training ketat menekuk mengikuti kurva tulang belakangnya, memperlihatkan tonjolan tulang rusuk dan bayangan alur otot.
Bagian belakang baju naik sedikit, memperlihatkan beberapa sentimeter kulit pinggang yang biasanya tersembunyi.
Pantat Terangkat, Celana Ketat yang Nyaris Transparan
Bahan celana yoga stretch menempel seperti kulit kedua, menggambarkan bentuk bokongnya dengan vulgar—bahkan bayangan lipatan pakaian dalamnya terlihat.
Setiap tarikan napas membuat gerakan halus di area itu, seolah sengaja memamerkan diri.
Lutut terpisah selebar pinggul, membuat paha dalamnya tegang dan—jika dilihat dari belakang—hampir memperlihatkan bayangan selangkangan.
Marcus berlutut di belakangnya, tangan "membantu" menekan punggung bawah Dewi.
Telapak tangannya panas dan lembap, bergerak turun hingga jempolnya menyentuh ujung pantat.
Dia sengaja bersuara berat, "Lebih dalam, tarik napas..." sambil wajahnya hanya berjarak beberapa inci dari bokong Dewi.
Yosep, di depan Dewi, pura-pura mengoreksi posisi punggung Dewi, tapi:
Jarinya "terselip" di samping payudara Dewi, menggosok lembut bagian sensitif di sana.
Matanya menatap langsung ke payudara Dewi yang tertekan ke lantai—bayangan payudara yang tertekan jelas terlihat.
155Please respect copyright.PENANAol6WdeVHyL
"Ini salah. Aku harus berhenti."
155Please respect copyright.PENANA8oY5SwSe7w
"Tapi sentuhannya... membuat ototku panas. Aku tidak bisa berpikir."
155Please respect copyright.PENANAX9sBB5evVZ
"Mungkin memang harus begini kalau mau fleksibel. Aku terlalu kaku."
"Jilbabku, tapi justru itu yang paling sedikit mengkhawatirkanku sekarang."
155Please respect copyright.PENANAhzwXJ1Atdy
Saat Yosep tiba-tiba berkomentar, "Kamu lebih lentur dari yang terakhir. Dia sampai nangis."155Please respect copyright.PENANAqEx991mbcj
...mengungkap ada korban sebelumnya, dan Dewi mungkin tidak akan jadi yang terakhir.
155Please respect copyright.PENANAf1r6gGzwQM
Dewi berbaring di kasur, napasnya masih belum rata setelah sesi latihan yang begitu… intens.
Ruangan terasa pengap, tapi ia terlalu lelah untuk bergerak.
Kedua instruktur itu telah keluar sebentar, memberikannya waktu untuk mengumpulkan pikiran.
"Apa aku seharusnya pergi?"
Tapi sebelum ia bisa memutuskan, pintu terbuka.
Marcus dan Yosep masuk kembali, membawa nampan berisi minuman berenergi dan buah-buahan potong.
"Istirahat dulu, biar stamina pulih," kata Marcus, meletakkan nampan di samping kasur.
Dewi buru-buru duduk, bersandar ke kepala tempat tidur, merasa sedikit tidak nyaman ketika mereka langsung naik ke kasur—satu di kanan, satu di kiri—mengapitnya.
"Ayo, minum dulu," Yosep menyodorkan gelas ke mulut Dewi.
Dewi mencoba mengambilnya, tapi Marcus menggeleng.
"Kami yang pegang. Kamu cukup buka mulut saja."
Dewi gemetar saat mencoba menyesap minuman yang dipegang Marcus. Grogi, ia tidak bisa mengontrol gerakannya—air tumpah membasahi kaos ketatnya!
"Aduh!"
Yosep langsung bereaksi. "Sini, aku bantu."
Sebelum Dewi bisa menolak, sehelai kain sudah mengusap payudaranya yang basah—dengan gerakan yang terlalu perlahan, terlalu sengaja.
"Ma-Maaf, aku bisa sendiri—"
Tapi Marcus menyela, menyodorkan sepotong pisang besar yang telah dilumuri mayones berlebihan.
"Santai saja. Ini cuma pertama kali. Kamu boleh gugup," bisiknya, sambil menekan ujung pisang itu ke bibir Dewi.
Dewi terpaksa membuka mulut—terlalu kecil untuk menerima ukuran itu. Ia mencoba menggigit, tapi mayones menetes ke dagunya.
"Shhh, jangan buru-buru," Yosep mengelap dagunya.
Mereka memberinya makan seperti anak kecil—tapi dengan sentuhan yang tidak pantas.
Setiap "kecelakaan" (tumpahan, makanan berantakan) menjadi alasan untuk menyentuhnya.
Dewi terjebak antara protes atau menuruti—karena mereka bertindak seolah ini semua normal.
Dan yang paling menakutkan?
Mereka tersenyum.
Seolah ini hanya permainan.
155Please respect copyright.PENANAhWwYujx6Ed
Dan Dewi tidak tahu bagaimana cara mengakhirinya.
155Please respect copyright.PENANAVT3kDX6jWm
Setelah "istirahat" yang justru membuatnya semakin tidak nyaman, Dewi dipandu kembali ke matras yoga.
Pakaiannya masih basah di bagian dada dari minuman yang tumpah, membuat bahan kaos ketatnya semakin transparan dan melekat di kulit.
Kaos lengan panjang ketat yang awalnya berwarna biru muda kini menggambarkan bentuk payudaranya dengan jelas, terutama bagian puting yang mengeras karena hawa dingin ruangan atau... rasa terancam.
Celana yoga hitam super ketat sudah bergeser sedikit ke bawah, memperlihatkan garis pakaian dalamnya—dan mungkin lebih dari itu jika pose-pose berikutnya memaksanya terbuka lebih lebar.
Jilbab pendek yang semula rapi tidak bertahan rambutnya yang ikal terlihat di bagian dahi dan leher.
Posisi "Happy Baby" (Ananda Balasana)
Dewi berbaring telentang, lutut ditarik ke samping kepala, tangan memegang telapak kakinya sendiri—pose yang seharusnya meregangkan pinggang, tapi dalam konteks ini...
Selangkangannya terbuka lebar, celana ketatnya menekan dengan cara yang membuat semuanya terlihat jelas.
Marcus duduk di depan wajahnya, "membantu" dengan menarik pergelangan kakinya lebih dalam, sementara napasnya yang berat beradu dengan wajah Dewi.
Yosep di sampingnya, tangan "menstabilkan" pinggul Dewi, jempolnya sesekali menyentuh bagian dalam pahanya.
"Santai saja, rileks... kamu terlalu tegang," bisik Marcus, padahal pose ini membuat Dewi sama sekali tidak bisa santai.
155Please respect copyright.PENANABfHgDAXjhm
Posisi "Bound Angle" (Baddha Konasana) — Versi Terbaring
Dewi masih telentang, telapak kaki menyatu, lutut terjatuh ke samping—pose kupu-kupu yang lebih intim.
Marcus sekarang berada di antara kakinya, tangan menekan paha Dewi lebih dalam ke matras.
Yosep di belakang kepala Dewi, "membantu" dengan memijat bahunya, tapi jari-jarinya sesekali menyentuh leher dan garis rahangnya.
Baju Dewi melorot ke bawah, memperlihatkan lekuk tulang selangkanya—dan Marcus sengaja tidak menoleh, seolah tidak melihat, padahal matanya terus mengamati.
"Kamu sangat lentur untuk pemula," gumam Yosep, suaranya serak.
155Please respect copyright.PENANA45uolAExAZ
Lamunan dewi
Logika: Ini salah. Mereka tahu apa yang mereka lakukan.
Tubuh: Tapi sentuhannya... membuat darahnya mengalir lebih cepat, membuatnya bingung antara jijik dan terangsang.
Ketakutan Terbesar: Aku tidak bisa berhenti. Aku tidak bisa melawan.
Sensual yang mengerikan—setiap pose seolah dirancang untuk mempermalukan sekaligus membangkitkan.155Please respect copyright.PENANAk4yK4mhCrF
Pakaian Dewi semakin tidak karuan, tapi mereka pura-pura tidak memperhatikan.
Setiap koreksi pose adalah alasan untuk sentuhan lebih jauh.
Mereka berbicara seperti instruktur profesional, tapi tindakannya seperti predator.
155Please respect copyright.PENANA7gPxyNYx0e
Dewi kini bergerak dalam ritme yang berbeda—tubuhnya masih tegang, tapi pikirannya mulai menyerah pada narasi "profesionalitas" yang mereka ciptakan.
Pose-Pose yang Kini "Diterima" sebagai Hal Normal
Posisi "Cat-Cow" (Marjaryasana-Bitilasana) – Versi Dimanipulasi
Dewi merangkak, punggung melengkung naik-turun mengikuti napas, tapi:
Marcus duduk di belakangnya, tangan "membantu" dengan menggenggam pinggulnya, menggerakkannya maju-mundur seperti boneka.
Yosep di depan, memegang dagu Dewi, "mengajari" cara menunduk dan mendongak yang benar—tapi jarinya sesekali menyentuh bibirnya.
Jilbabnya bergeser, tapi sebelum sempat lepas, Yosep dengan "sopan" memperbaikinya, seolah itu bagian dari tugasnya.
"Konsentrasi pada pernapasan," bisik Marcus, sambil jempolnya menggosok perlahan di atas celana ketat Dewi, tepat di tulang ekornya.
Dewi mengangguk, mulai menerima bahwa sentuhan-sentuhan ini memang bagian dari pelatihan.
155Please respect copyright.PENANAzAWMUbrYWZ
Posisi "Legs-Up-the-Wall" (Viparita Karani) – Tapi Tanpa Dinding
Dewi berbaring, kaki diangkat lurus ke atas—tapi tanpa dinding sebagai penyangga, Marcus dan Yosep yang memeganginya.
Kaki Dewi terbuka lebar, dipegang oleh Marcus (kaki kanan) dan Yosep (kaki kiri), memperlihatkan semua yang seharusnya tersembunyi.
Jilbabnya melorot ke belakang, tapi Yosep segera menatanya kembali, seolah itu prioritas utamanya.
Mereka pura-puma mengukur fleksibilitasnya, tapi tangan mereka jelas lebih sering berada di paha dalamnya daripada di betis.
"Kamu cepat beradaptasi," puji Marcus, sambil perlahan menekan jarinya ke bagian sensitif di belakang lutut Dewi.
Dewi hanya menghela napas, tidak lagi protes.
155Please respect copyright.PENANApwvsduEQdn
Posisi "Seated Forward Bend" (Paschimottanasana) – Dengan "Bantuan" Ekstra
Dewi duduk, kaki lurus ke depan, mencoba meraih jari kakinya—tapi Marcus justru duduk di atas pahanya, "membantu" mendorong tubuhnya lebih dalam.
Dada Dewi kini menempel ke paha Marcus, napasnya tersengal oleh tekanan itu.
Yosep di belakang, "memijat" bahunya, tapi mulutnya begitu dekat dengan telinga Dewi—panas napasnya membuat bulu kuduknya berdiri.
Jilbabnya nyaris lepas lagi, tapi Marcus dengan cepat memperbaikinya, seolah itu ritual suci yang tidak boleh dilanggar.
155Please respect copyright.PENANAtHFuRaCQMU
Pikiran Dewi yang Kian Kabur
"Mereka tidak pernah melepas jilbabku. Berarti mereka menghormatiku, kan?"
"Sentuhan mereka aneh... tapi aku mulai terbiasa."
"Apa aku yang salah dari awal? Apa ini memang normal?"
Jilbab yang tetap di kepala adalah ilusi kesucian di tengah eksploitasi.
Setiap sentuhan yang "kebetulan" adalah bagian dari skenario yang dirancang perlahan.
Mereka sengaja tidak melepas jilbabnya—itu membuat Dewi merasa "aman" untuk terus menuruti.
Kata-kata mereka tetap "sopan", tapi mata mereka tidak pernah bohong.
155Please respect copyright.PENANA32szlaqHRf
Dewi kini bergerak dalam ritme yang hampir otomatis—tubuhnya merespons instruksi mereka tanpa perlawanan, pikirannya separuh meyakini bahwa inilah bagaimana sesi privat seharusnya berlangsung.
Posisi "Frog Pose" (Mandukasana) – Versi yang Menggiriskan
Dewi merangkak, lutut direnggangkan lebar hingga hampir menyentuh matras, paha membentuk sudut 90 derajat.
Marcus berlutut di belakangnya, kedua tangan "membantu" dengan menekan punggung bawahnya—tapi jempolnya menyelip ke dalam garis celana, menyentuh kulit langsung.
Yosep duduk di depan, memegang pergelangan tangan Dewi, "mengajar" cara menopang berat badan—tapi matanya tertuju pada belahan dada yang tergambar jelas dalam posisi ini.
Jilbabnya yang sedikit miring langsung dibetulkan oleh Marcus, sebelum ia kembali memijat dengan gerakan melingkar di atas tulang ekornya.
"Kamu sangat hebat dalam pose ini," desah Yosep, napasnya memburu.
Dewi hanya mengangguk, mulai menerima bahwa:155Please respect copyright.PENANAXkGakfZLk8
Rasa panas di selangkangannya adalah hal normal.155Please respect copyright.PENANAKWO6FqjdPZ
Tangan mereka yang menjelajah adalah bagian dari koreksi.155Please respect copyright.PENANAqVlv1PxaEW
Erangan kecil yang keluar dari mulutnya hanyalah efek peregangan.
Posisi "Supine Twist" (Supta Matsyendrasana) – Dengan "Bantuan" yang Tak Diundang
Dewi berbaring telentang, lutut ditekuk dan diputar ke samping kanan, tangan terentang.
Marcus berbaring di sebelahnya, "membantu" mempertahankan posisi—tapi kaki kanannya justru mengait paha Dewi, menariknya lebih dekat.
Yosep duduk di sisi lain, "memijat" bahu yang terangkat—tapi jarinya menyelinap ke ketiak, mengusap sisi payudara yang tertekan.
Jilbabnya nyaris menutupi mata, tapi Yosep segera menatanya, seolah itu jauh lebih penting daripada tangannya yang kini merayap ke rusuk bawahnya.
Pikiran Dewi yang Kian Tenggelam
"Aku tidak bisa membedakan lagi—mana sentuhan instruksional, mana yang... lain."
"Tapi mereka selalu memastikan jilbabku rapi. Berarti mereka baik, kan?"
"Atau... aku yang sudah terlalu jauh untuk berbalik?"
"Menjaga kesopanan" dengan jilbab yang rapi, sementara tubuhnya dieksploitasi.
"Koreksi pose" yang selalu berakhir di area sensitif.
Mereka sengaja tidak melepas jilbabnya—simbol terakhir ilusi kesucian yang membuat Dewi tetap bertahan.
Setiap erangan atau gemetar Dewi ditanggapi dengan pujian, seolah itu kemajuan fisik—bukan kepanikan.
Dewi berbaring telungkup di atas kasur, wajahnya tertanam di bantal, tubuhnya lelah namun anehnya terasa ringan setelah semua "latihan" tadi. Marcus dan Yosep kini duduk bersila di sisi kanan dan kirinya, tangan mereka siap "memijat untuk menghindari kram atau kekakuan setelah latihan intens".
Marcus memulai dari kepala, jemarinya menekan pelan di kulit kepala Dewi, menyisir rambut yang tersembunyi di balik jilbab pendeknya.
Yosep mengusap bahunya, gerakan melingkar yang seharusnya melepas ketegangan—tapi jempolnya sesekali menyelip ke bawah tali bra.
Dewi menghela napas, mencoba rileks. Ini hanya pijatan. Profesional. Biasa saja.
155Please respect copyright.PENANAyQR2SPllut
Pijatan bergerak ke punggung, dan di sini tangan mereka mulai berbeda gerakan:
Marcus menggunakan telapak tangan penuh, menggosok dari tulang belakang ke samping, mendorong sisi payudara yang tertekan kasur.
Yosep memijat pinggang dengan ibu jari, tapi perlahan merayap ke bawah, mendekati pantat yang masih terbungkus celana ketat.
Dewi menggigit bibir, merasakan tangan mereka semakin berani, tapi—155Please respect copyright.PENANAQgfWDbIj5Q
"Ini kan biar tidak kaku nanti," bisiknya dalam hati.
155Please respect copyright.PENANAVG01gBy85j
Marcus memegang betisnya, mengurut dari lutut ke pergelangan kaki—tapi jari-jarinya menyelip di belakang lutut, area sensitif yang membuat Dewi menggeliat tanpa sengaja.
Yosep "kebetulan" memijat paha dalam, tangannya terlalu tinggi, terlalu dekat dengan celana ketat yang sudah lembap oleh keringat atau mungkin sesuatu yang lain.
Dewi menutup mata, mencoba mengatur napas. Aku tidak boleh berpikir macam-macam. Ini cuma pijat.
155Please respect copyright.PENANABc1YhFalvr
Marcus tiba-tiba menekan jari-jarinya di tulang ekor Dewi, menggosok dengan tekanan yang jelas bukan untuk melepas kram.
Yosep membalikkan tangannya, memijat pantat Dewi dengan gerakan melingkar, seolah itu hal yang wajar.
Dewi mengerang pelan—tidak tahu lagi apakah itu karena sakit, geli, atau sesuatu yang lebih dalam.
"Bagus, kamu sudah sangat rileks sekarang," bisik Marcus, padahal Dewi justru gemetaran.
Pikiran Dewi yang Hampir Pasrah
"Aku seharusnya bilang tidak..."
"Tapi aku terlalu lelah. Dan... enak juga."
"Lagipula, mereka tidak pernah melepas jilbabku. Mereka masih menghormatiku, kan?"
155Please respect copyright.PENANAaMmM6Q8Q9l
Napas Marcus dan Yosep yang semakin berat—mereka tidak bisa menyembunyikan gairah lagi.
Dewi tidak protes, tapi tubuhnya masih gemetar—pertanda ia belum sepenuhnya menyerah, tapi juga tidak melawan.
155Please respect copyright.PENANAkdV2IZ5b2H
Dewi masih terlungkup di atas kasur, tubuhnya lemas namun anehnya nyaman di bawah tekanan tangan kedua instrukturnya. Marcus kini berpindah ke posisi di atas kepalanya, sementara Yosep berada di bawah, mendominasi area kaki hingga panggulnya.
Dewi merasakan sesuatu yang keras menyenggol pelipisnya—tonjolan di celana Marcus yang tak bisa disembunyikan.
Marcus berpura-pura tidak sadar, terus memijat bahu Dewi dengan kedua tangan, tapi gerakan maju-mundurnya membuat "itu" semakin sering menyentuh kepala Dewi.
"Apa ini... sengaja?" batin Dewi, tapi ia cepat-cepat mengusir pikiran itu. Masa sih aku mikir macam-macam? Dia kan cuma fokus memijat.
155Please respect copyright.PENANAL2i6F2GpC3
Yosep melipat kedua kaki Dewi ke atas, hingga lututnya menekuk dan telapak kakinya menempel di pantatnya sendiri.
Dengan alasan "merilekskan otot paha", ia mendorong kaki Dewi lebih dalam, hingga pantatnya yang bulat tertekan ke selangkangan Yosep.
Tonjolan di celana Yosep kini jelas menggesek-gesek, tapi Dewi hanya mengerang pelan—entah karena malu atau karena... nikmat.
"Kamu sangat lentur, Dewi. Pose seperti ini biasanya membuat orang kesakitan," gumam Yosep, suaranya serak.
155Please respect copyright.PENANAfLBjGn3SsQ
Awalnya ia merasa aneh, tapi kini tubuhnya merespons berbeda.
Setiap gesekan dari tonjolan Marcus di kepala membuat jantungnya berdebar kencang—tapi bukan karena jijik.
Setiap tekanan Yosep di pantatnya justru menghasilkan kehangatan aneh di perut bawahnya.
"Aku... suka?" batinnya, terkejut dengan dirinya sendiri.
Pikiran Dewi yang Kian Kacau
"Ini salah. Tapi kenapa aku tidak bisa bilang 'tidak'?"
"Mereka tidak memaksa. Aku yang diam. Aku yang membiarkan."
"Apa aku memang menginginkan ini dari awal?"
155Please respect copyright.PENANA8JJnHIEOYI
Dewi masih berjilbab rapi, seolah itu tameng terakhir kesuciannya—padahal tubuhnya sudah jauh lebih "terbuka" dari yang ia sadari.
Marcus & Yosep tetap bersikap "profesional", tapi tubuh mereka sudah berbicara lebih jujur.
155Please respect copyright.PENANA27IkWsoOmn
Dewi mulai merespons secara fisik—napasnya memburu, kulitnya memerah. Ia mungkin lebih "siap" dari yang ia akui.
Instruktur tidak lagi menyembunyikan gairah mereka, tapi Dewi memilih untuk pura-pura tidak tahu.
155Please respect copyright.PENANAxrxOpaLCuv
Yosep dari Belakang – Mengunci Dewi dalam Lengkungan
Kedua kaki Dewi dilipat ke atas, hingga pantatnya terangkat tinggi, celana ketatnya menekan dengan cara yang membuat setiap lekuk terbaca jelas.
Tangan Dewi ditarik ke belakang oleh Yosep, badannya melengkung seperti busur—pose yang seharusnya untuk meregangkan tulang belakang, tapi dalam konteks ini...
Dada Dewi maju ke depan, ujung payudaranya yang keras menekan kasur melalui kaos tipis yang basah oleh keringat.
155Please respect copyright.PENANAcBX2HhW04G
Marcus dari Depan – "Bantuan" yang Tak Disangka
Dia berjongkok di depan wajah Dewi, tangan "menstabilkan" bahunya.
Tapi tonjolan di celananya kini menekan-nekan pipi Dewi, sengaja atau tidak, bergerak maju-mundur seirama tarikan nafas beratnya.
Dewi mencoba memalingkan wajah, tapi Marcus menggerakkan pinggulnya, memastikan "itu" tetap menggesek kulitnya.
"Santai saja... Ini bagus untuk fleksibilitasmu," bisik Yosep, sambil menarik lengan Dewi lebih kuat, membuat lengkungan tubuhnya semakin dalam.
155Please respect copyright.PENANAHzugVdO6FH
Orgasme yang Tak Terbendung
Setiap gesekan, setiap tekanan, membangun gelombang aneh di perut bawah Dewi.
Napasnya tersengal, kaki gemetar, tapi Yosep terus mempertahankan pose itu, seolah tahu persis apa yang akan terjadi.
Lalu—155Please respect copyright.PENANAKIVpN42Q1Y
Gemetar.155Please respect copyright.PENANAYGBkdAvI7Q
Kaku.155Please respect copyright.PENANAvPFCbCLu3o
Kedipan mata cepat.155Please respect copyright.PENANAaSkx1atMgV
Dewi mengatupkan mulut, tapi erangan pendek tetap lolos.
"Kamu hebat, Dewi. Baru pemula tapi sudah bisa merasakan release," kata Marcus, senyumnya terlalu puas.
155Please respect copyright.PENANAzWYD8RaN1C
Pikiran Dewi: Kekalahan Terakhir
"Aku... tidak seharusnya merasakan itu."
"Tapi aku tidak bisa bohong. Itu... nyata."
"Apa aku masih bisa bilang ini hanya sesi olahraga?"
155Please respect copyright.PENANAPvClRA9JsK
Pose "peregangan" yang berubah jadi ritual pemuasan terselubung.
Dewi masih berjilbab, tapi tubuhnya sudah lebih jujur daripada akalnya.
Mereka tahu persis apa yang mereka lakukan—ini bukan pertama kalinya.
Dewi terbaring lemas, napasnya masih tersengal-sengal, tubuhnya lembap oleh keringat dan sesuatu yang lain—sesuatu yang membuat pipinya terus memerah meski ia berusaha menenangkan diri.
155Please respect copyright.PENANAkbirFmF7qR
Marcus dengan lembut—terlalu lembut—membalikkan tubuh Dewi hingga ia terlentang.
Jilbab pendeknya masih bertahan, meski rambutnya sudah berantakan, ikal-ikal kecil menempel di dahi yang berkeringat.
Matanya setengah tertutup, terlalu lelah untuk melawan.
Tangannya terkulai di samping tubuh, seolah pasrah pada apa pun yang akan mereka lakukan.
Kaos ketatnya masih basah, memperjelas bentuk payudaranya yang naik-turun cepat.
155Please respect copyright.PENANAQxAfcY1Vtj
Marcus dan Yosep duduk mengapitnya, tangan mereka mulai bekerja lagi—tapi kali ini, tanpa pretensi.
Marcus memijat dari kepala, jari-jarinya menyelip ke bawah jilbab, memainkan rambut Dewi yang basah.
Yosep mengambil alih kaki, tapi gerakannya terlalu lambat, terlalu penuh arti, bergerak ke paha dalam dengan tekanan yang jelas bukan untuk melepas kram.
155Please respect copyright.PENANAFKO7Xwi24q
Lalu—mereka serentak bergerak ke atas.
Empat tangan sekarang menekan, menggosok, memijat payudara Dewi, seolah itu bagian wajar dari "pendinginan setelah olahraga".
Ibu jari Marcus mengitari putingnya yang mengeras melalui kain tipis, sementara Yosep menekan dari sisi bawah, mendorong payudara itu ke atas seperti menawarkannya.
Dewi mengerang, tapi tidak lagi mencoba menghindar.
"Kamu sangat hebat hari ini," bisik Marcus, mulutnya begitu dekat dengan telinga Dewi.
"Kami akan pastikan kamu dapat bonus khusus di sesi berikutnya," tambah Yosep, jari-jarinya masih sibuk.
155Please respect copyright.PENANAuWyXaI4Xmm
Pikiran Dewi yang Akhirnya Menyerah
"Aku tidak bisa lagi berpura-pura ini normal."
"Tapi aku juga tidak bisa menghentikannya."
"Apa aku... menginginkan ini?"
155Please respect copyright.PENANArzDDtyn3ma
Dewi masih terbaring lemas di atas kasur, tubuhnya lembap oleh keringat dan getaran yang tersisa. Kedua instruktur itu kini berdiri, berpakaian rapi kembali, seolah semua yang terjadi hanyalah sesi latihan biasa.
Marcus tersenyum, matanya memandang Dewi dengan kepuasan yang membuat perutnya berdegup aneh.155Please respect copyright.PENANA3SOYQFq8JH
"Kamu murid yang cepat belajar. Jarang ada yang bisa sefleksibel ini di sesi pertama."
Yosep menambahkan, tangan dengan santai memegang ponsel di saku—Dewi tidak melihat kamera kecil yang baru saja dimatikan di sudut ruangan.155Please respect copyright.PENANA6uzpWjrN8i
"Besok kita lanjutkan. Kamu pasti bisa lebih relax lagi."
Dewi merasakan panas yang belum sepenuhnya reda di antara pahanya.
Payudaranya masih sensitif, bekas sentuhan mereka seperti terbakar di kulit.
"Aku hampir... tapi kenapa mereka berhenti?" pikirnya, tanpa sadar kecewa.
155Please respect copyright.PENANAOuPXKo16C0
Saat Dewi hendak bertanya tentang gerakan aneh Marcus di balik rak, Yosep cepat-cepat menyela:155Please respect copyright.PENANAtCXCvVTuga
"Kita rekam tadi untuk evaluasi. Biar kamu bisa lihat progress latihan. Nanti kami kirim filenya."155Please respect copyright.PENANA8Xcg9qH8CX
155Please respect copyright.PENANA38QdyrrvkY
Dewi mengangguk.
"Oh... baiklah."
155Please respect copyright.PENANAmwVEtmEWWs
Sebelum benar-benar pergi, Marcus mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan cuplikan video sesi latihan tadi—beberapa potongan adegan di mana postur Dewi "perlu dikoreksi".
"Lihat, di sini posisi pinggangmu kurang rata... dan di sini kamu harusnya lebih rileks," katanya, jari menunjuk layar yang memperlihatkan pantat Dewi dalam pose downward dog.
Dewi mengangguk, pipi memerah tapi matanya tak lepas dari rekaman itu.155Please respect copyright.PENANAn1wtu0IgMC
"Oh... aku paham."
Yosep menyambar:155Please respect copyright.PENANA5dl7cuBLWX
"Kami akan edit dulu, kasih notes biar kamu lebih ngerti. Kasih nomor WhatsApp, ya? Biar kami bisa kirim filenya nanti."
Tanpa pikir panjang, Dewi memberikan nomornya.
155Please respect copyright.PENANAdXvnWTUwpC
Tak lama setelah mereka pergi, seorang wanita berjilbab masuk—gamisnya ketat, memperlihatkan bentuk tubuh yang mungkin sengaja dipamerkan.
"Saya Desi, bagian administrasi. Laporan instruktur tadi bilang kamu perform-nya bagus," ujarnya sambil membuka map berisi dokumen yang tak akan dibaca Dewi.
Lalu, dengan senyum terlalu manis:155Please respect copyright.PENANAHkMqV8hJ6F
"Untuk sesi pemijatan penutup nanti, mau pakai minyak atau lotion? Biar lebih nyaman..."
Dewi, yang masih terbuai oleh pujian dan sensasi tadi, hanya mengangguk.155Please respect copyright.PENANAbZeHZLUD4M
"Pake minyak saja."
Desi tersenyum, seolah sudah tahu jawabannya.155Please respect copyright.PENANAKw5woSIzY2
"Oke. Nanti kami siapkan yang extra warm—bisa bikin otot lebih rileks."
155Please respect copyright.PENANARTLLHSFFqC
Pikiran Dewi yang Sudah Terkondisi
"Aku harusnya malu dilihat video begituan... tapi kok malah penasaran ya?"
"Minyak extra warm? Apa itu bakal bikin pijatannya lebih..."
"Besok. Aku pasti datang lagi."
155Please respect copyright.PENANA9UV6OE2c0I
Dewi menandatangani dokumen itu tanpa membaca detailnya, hanya sekilas melihat tulisan *"Program Kebugaran Eksklusif - 30 Sesi"* di bagian atas.
"Bagus. Sampai jumpa besok," ucap Desi sambil menyimpan map, senyumnya terlalu lebar untuk sekadar ucapan selamat tinggal.
155Please respect copyright.PENANARxiZ1RDjSD
Di ruang ganti kecil yang terasa pengap, Dewi berdiri menatap pantulan dirinya di cermin:
Pakaian ketat masih melekat di tubuhnya, membentuk setiap lekuk yang kini terasa berbeda setelah disentuh begitu lama.
Jilbabnya sedikit miring, tapi tangannya tak buru-buru membetulkannya.
"Aku hanya ganti baju. Tak perlu mandi di sini," bisiknya pada diri sendiri, seolah ingin membuktikan ia masih punya kendali.
Ia mengenakan kembal gamis longgar dan jilbab lebar, tapi bayangan celana ketat dan kaos basah masih membekas di kulitnya.
Pulang dengan Pertanyaan yang Tak Terjawab
Saat berjalan ke parkiran, ponselnya bergetar:
📱 "Video sudah siap. Kami potong bagian khusus-nya untuk ditonton berdua di sesi berikutnya. -M"
Dewi menatap layar, jantung berdebar bukan karena takut—tapi karena penasaran.
"Apa bagian khusus itu?"
Ia menoleh ke belakang, melihat gedung fitness itu sekali lagi.
Gamis longgar kini terasa seperti penyamaran, bukan identitas.
155Please respect copyright.PENANAYPl6EdCtHu
30 sesi adalah 30 tahap cuci otak yang baru saja dimulai.
Dewi duduk di sudut kamar, ponsel di tangan, video itu masih diputar.
Layar menampilkan dirinya sendiri—dalam pose-pose yang kini terasa jauh lebih intim daripada yang ia ingat.
Pemutaran Ulang yang Tak Terhindarkan
Setiap adegan di mana tangan mereka "tak sengaja" menyentuh, kini terlihat sangat disengaja.
Setiap erangan kecilnya yang tadi ia kira karena lelah, ternyata bernafsu.
Dan bagian terakhir—saat Yosep menarik lengannya ke belakang, Marcus menggesekkan tubuhnya—dipotong tepat sebelum klimaksnya.
Tangannya bergerak sendiri.
Menggenggam.155Please respect copyright.PENANADNtTR5kWvb
Meremas.155Please respect copyright.PENANAYBxQFUspkU
Memutar putingnya yang masih sensitif melalui kain gamis.
"Aku tidak seharusnya melakukan ini..."
Tapi tubuhnya bergerak lebih cepat daripada penyesalan.
155Please respect copyright.PENANAd04Jy4OWKe
Air hangat mengalir di tubuhnya, tapi tidak bisa membersihkan ingatan akan:
Tekanan jari Marcus di tulang ekornya.
Gesekan Yosep yang diulang-ulang.
Eratnya mereka memegangnya—seolah ia milik mereka.
Dia menggosok kulitnya sampai kemerahan, seolah bisa mengikis perasaan itu.
155Please respect copyright.PENANAMdbRu3rEeE
Di meja makan, Dewi tersenyum pada suaminya yang baru pulang kerja.
"Olahraganya menyenangkan?" tanya sang suami.
"Biasa saja," jawab Dewi, sambil menggigit bibir bawahnya—kebiasaan baru yang tidak ia sadari.
155Please respect copyright.PENANAB5O9NnJ1Kd
Hari Pertama pun berlalu.
155Please respect copyright.PENANAfzkDoHlEB7