Keesokan paginya setelah pertemuan di klub paddle. Bagi Iris, hari-hari itu adalah sebuah kegelisahan yang aneh, sebuah gairah yang terus membara namun tak bisa tersalurkan. "Akal sehat" baru yang ditanamkan Bejo telah merusak logikanya sepenuhnya. Setiap malam, saat suaminya tertidur di sampingnya, dia dihantui oleh bayangan Bejo. Dia akan terbangun dengan tubuh basah oleh keringat dan hasrat yang tak tersalurkan. Dia mencoba menyentuh dirinya sendiri, tapi seperti yang diperintahkan Bejo, tubuhnya menolak untuk mencapai puncak. Dia terjebak dalam neraka kenikmatan yang tak pernah selesai.
Pagi itu, setelah suaminya berangkat kerja, Iris mencoba untuk kembali ke rutinitasnya. Tapi ada sesuatu yang salah. Pikirannya terus kembali pada kartu nama lusuh yang ia simpan dari kurir katering kemarin. Sebuah dorongan aneh, sebuah rasa penasaran yang tak bisa dijelaskan, menyuruhnya untuk menelepon nomor itu. Ini konyol, pikirnya. Untuk apa aku menelepon kurir katering? Tapi dorongan itu begitu kuat, tak terbantahkan. Dengan tangan gemetar, seolah bukan atas kehendaknya sendiri, dia menelepon nomor itu. Dia butuh sebuah alasan, sebuah dalih untuk menutupi tindakannya yang tidak masuk akal ini. 'Katering,' pikirnya cepat. 'Ya, aku butuh katering.'
"Halo?" suara Bejo yang serak terdengar dari seberang.
"Ini aku... Iris," bisiknya. "Aku... aku butuh katering untuk acara kecil di rumah nanti sore. Bisakah kau datang?"
Bejo tertawa pelan. Dia tahu ini bukan tentang katering. "Tentu, Nyonya," jawabnya. "Aku akan datang."
Sore itu, Bejo tiba di rumah Iris yang megah, masih dengan seragam kurirnya yang dekil. Iris menyambutnya di pintu, matanya berkilat lapar seperti seekor binatang yang melihat pawangnya datang membawa makanan.
"Selamat sore, Bu. Saya datang untuk pesanan kateringnya," kata Bejo dengan sopan, memainkan perannya. "Apakah Bapak ada di rumah? Mungkin beliau juga ingin melihat menunya."
"Oh... tidak. Dia... sedang ada pertemuan di luar," jawab Iris, napasnya sedikit terengah, mencoba terdengar normal. "Masuklah. Kita bisa bicara di dalam."
Bejo mengangguk sopan, melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. Dia mengikuti Iris yang berjalan di depannya menuju ruang keluarga. Matanya tak lepas dari pemandangan di hadapannya. Iris mengenakan sebuah sport bra ketat berwarna hitam dan celana legging yang membalut tubuhnya dengan sempurna, seolah baru saja selesai berlatih yoga. Setiap lekuk pinggul dan pahanya yang kencang terjiplak dengan jelas, sebuah kanvas putih mulus yang mengundang untuk dinodai. Bejo bisa mencium aroma samar parfum mahal yang bercampur dengan aroma keringat segar wanita itu, sebuah kombinasi yang memabukkan.
Saat mereka tiba di tengah ruang keluarga yang luas, Iris berbalik untuk menghadapnya. "Jadi, untuk menu kateringnya..."
Kalimatnya terhenti. Matanya melebar ngeri, mulutnya sedikit terbuka. Pemandangan di hadapannya adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa ia bayangkan. Bejo, yang sejak tadi berjalan di belakangnya, telah melakukan persiapannya. Satu tangannya masih memegang kotak katering kosong sebagai properti. Tapi tangannya yang lain... sedang sibuk. Dia telah mengeluarkan kejantanannya dari balik ritsleting celananya yang terbuka, dan kini, dengan tatapan mata yang dingin dan penuh kuasa, dia sedang mengocoknya maju mundur dengan gerakan lambat yang provokatif.
Melihat itu, program di dalam kepala Iris langsung aktif. Dia menelan ludah, matanya terpaku pada kejantanan Tuannya. Dia langsung menjatuhkan diri ke lantai marmer yang dingin dan mulai merangkak mendekat.
"Tuanku..." desahnya. "Izinkan aku..."
"Tunggu," potong Bejo, suaranya dingin dan penuh kuasa, tangannya terangkat menghentikan gerakan Iris. "Kau pikir semudah itu? Kau pikir kau bisa mendapatkan hadiahmu begitu saja hanya karena kau memintanya? Kau harus membuktikan kalau kau pantas."
Iris menatapnya dengan tatapan bingung dan memohon.
Bejo menyeringai. "Aku lihat kau suka olahraga, Iris. Bagaimana kalau kita membuat sebuah program latihan? Sebuah 'olahraga nikmat' setiap hari, di sini, di rumahmu. Dan aku... akan menjadi pelatih pribadimu."
"Pelatih?" bisik Iris, tidak mengerti.
"Iya," kata Bejo. "Aku akan melatih tubuh dan pikiranmu, sampai kau lupa siapa dirimu yang sekarang. Sampai kau tidak bisa lagi membedakan antara kenikmatan dan penderitaan. Dan sebagai bayaran untuk setiap sesi latihan... barulah kau boleh menyembahku."
Ini adalah sebuah transaksi yang gila. Sebuah perbudakan jangka panjang. Sisa-sisa kesadaran Iris yang lama menjerit. Tidak! Ini salah!
"Tidak... aku tidak mau," bisik Iris, menggelengkan kepalanya, sebuah perlawanan terakhir dari jiwanya yang hancur.
Bejo tertawa pelan. Dia tahu persis tombol mana yang harus ditekan. "Baiklah kalau kau tidak mau," katanya santai. "Kalau begitu aku pergi. Kau tidak akan pernah bisa merasakan ini." Dia menunjuk ke kejantanannya. "Kau tidak akan pernah bisa menghisapnya. Kau tidak akan pernah bisa meminum persembahanku. Kau akan terus tersiksa oleh hasrat yang tidak akan pernah terpuaskan."
Mendengar kata "menghisap", program yang ditanamkan Bejo di dalam pikiran Iris meledak. Kebutuhan itu, candu itu, kini jauh lebih kuat dari sisa moralitasnya. Matanya yang tadi ragu kini kembali berkilat lapar. Dia tidak peduli lagi dengan latihan atau penghinaan. Dia hanya menginginkan satu hal.
"Baik," jawabnya, suaranya bergetar, sebuah campuran antara rasa malu dan kebutuhan yang mendesak. "Saya... saya setuju. Saya akan... melakukan apa yang Anda minta. Tapi... setelah itu... Anda harus menepati janji Anda."
"Bagus," kata Bejo. "Sesi pertama dimulai sekarang. Pemanasan. Aku ingin kau melakukan pose Anjing Menunduk."
Iris, dengan napas terengah-engah, langsung mengambil posisi Downward-Facing Dog. Tubuhnya membentuk huruf 'V' terbalik yang sempurna, kepalanya menunduk di antara kedua lengannya, sementara bokongnya menjadi titik tertinggi dari tubuhnya—sebuah persembahan yang paling rentan. Tubuhnya mulai gemetar karena lelah.
Bejo berjalan mendekat, lalu berjongkok di depan wajah Iris. "Latihan pikiran pertama," bisiknya. "Katakan padaku, Iris sang pakar. Apa arti kesetiaan?"
Iris, sambil menahan posisinya, mencoba berpikir jernih. "Kesetiaan... adalah... komitmen untuk menjaga hati dan tubuh hanya untuk satu pasangan," jawabnya, suaranya sedikit terengah.
"Salah," desis Bejo. "Jawaban yang membosankan. Dengarkan aku. Kesetiaan adalah saat kau berbaring di samping suamimu, tapi pikiranmu hanya memikirkanku. Sekarang, ulangi."
"Tidak..." rintih Iris.
"Ulangi," kata Bejo, suaranya lebih tegas. "Atau aku akan pergi."
Dengan suara yang hancur, Iris mengulanginya. "Kesetiaan... adalah saat aku berbaring di samping suamiku... tapi pikiranku hanya memikirkanmu."
"Anak pintar," puji Bejo. Sebagai hadiah, dia mendekatkan kejantanannya ke wajah Iris. "Kau boleh menciumnya. Hanya mencium."
Iris, didorong oleh candunya, langsung mencium aroma primal itu. Sebuah sensasi yang membuatnya meremang, dan seketika, dia merasakan gelombang panas baru membanjiri bagian bawahnya, lebih deras dari sebelumnya.
"Pertanyaan kedua," lanjut Bejo, menjauhkan dirinya lagi. "Apa arti kebahagiaan dalam pernikahan?"
"Membangun... membangun masa depan bersama..." jawab Iris lemah.
"Salah!" bentak Bejo. "Kebahagiaan adalah saat kau merasakan kenikmatan dari kehancuranmu di tanganku. Saat kau sadar betapa hinanya dirimu, tapi kau justru menikmatinya. Ulangi!"
Dengan suara yang kini lebih mantap, seolah telah menemukan kebenaran baru, Iris mengulanginya. "Kebahagiaan... adalah saat aku menyerahkan segalanya untuk memberi Tuanku kenikmatan..."
"Hadiahmu," kata Bejo, kembali mendekatkan kejantanannya. "Sekarang kau boleh menjilatnya."
Dengan lidah yang gemetar, Iris mulai menjilat ujung dari kejantanan Bejo. Setiap jilatan terasa seperti siksaan yang nikmat, mengirimkan sengatan listrik ke seluruh tubuhnya. Dia bisa merasakan air liurnya sendiri mulai menetes, sebuah tanda dari hasratnya yang tak tertahankan. Di bawah sana, cairan kenikmatannya mengalir semakin deras, membasahi matras yoganya, sebuah bukti memalukan dari betapa dia menginginkan lebih.
"Katakan padaku, Iris!" perintahnya. "Siapa pemilikmu?!"
"Kau... Tuanku... Kau pemilikku!" jawab Iris, suaranya teredam.
"Siapa yang mengendalikan kenikmatanmu?!"
"Kau! Hanya kau! Kumohon, Tuanku... izinkan aku menghisapnya! Aku harus menghisapnya!"
Mendengar pengakuan itu, Bejo tersenyum. Dia tidak akan memberikan izin untuk muncrat, tapi dia akan memberikan "bayaran" yang telah ia janjikan. "Baiklah," katanya. "Ambil bayaranmu."
Dia berjongkok di hadapannya. Iris, tak sanggup lagi menahan posenya, ambruk ke lantai. Dengan sisa tenaganya, dia merangkak maju dan akhirnya mendapatkan "dosis" yang sangat ia dambakan. Didorong oleh gairah yang tak tertahankan, dia dengan kasar menarik sport bra-nya ke atas, melepaskan kedua dada montoknya. Dia menatap Tuannya dengan tatapan memuja, lalu memulai ritualnya. Dia melayani Bejo dengan mulutnya yang rakus, sementara kedua tangannya yang bebas meremas dan memilin dadanya sendiri, seolah ingin menunjukkan betapa dia menderita. Suara slurp... slurp... yang basah bercampur dengan desahannya yang tertahan. Tapi itu tidak cukup. Dia ingin lebih. Dia ingin memberikan segalanya. Dia menempatkan kejantanan Bejo di tengah belahan dadanya, lalu menjepitnya dengan kuat, mengocoknya naik turun sambil mulutnya terus menghisap ujungnya.
Merasakan sensasi ganda yang luar biasa itu—gesekan lembut dari dadanya dan hisapan panas dari mulutnya—membuat Bejo mengerang. Dia mencengkeram kedua sisi kepala Iris, kini dia yang memainkan ritmenya, mendorong kejantanannya maju mundur, lebih dalam, lebih kasar.
"Iya, Tuanku... begitu..." rintih Iris, matanya terpejam pasrah.
Bejo terus menusuknya hingga menyentuh kerongkongannya, membuat Iris sedikit terbatuk namun tidak berhenti. Melihat selir barunya yang begitu rusak dan patuh, Bejo tidak bisa lagi menahan diri. Dengan sebuah geraman berat, dia mencapai puncaknya. Cairan kenikmatannya yang kental muncrat dengan deras, memenuhi mulut Iris hingga penuh. Iris memejamkan mata, merasakan kehangatan yang memalukan itu. Karena begitu penuh, sebagian cairan itu menetes dari sudut bibirnya, jatuh ke matras yoga di bawahnya.
Dan saat dia menelan persembahan itu, saat cairan Tuannya mengalir hangat di tenggorokannya, itulah pemicunya. Tubuhnya mengkhianatinya sepenuhnya. Sebuah ledakan klimaks yang selama ini terkunci akhirnya meledak dengan brutal. Dia menjerit, sebuah jeritan panjang yang melengking saat tubuhnya kejang hebat. CROOT! Cairan kenikmatannya muncrat dengan deras, membanjiri lantai ruang tamu yang mewah.
603Please respect copyright.PENANAJUPgJZ7wED
Setelah semuanya berakhir, dia terkulai lemas di lantai, napasnya terengah-engah, tubuhnya gemetar karena kelelahan. Dia telah mendapatkan bayarannya. Tapi matanya melihat tetesan cairan Bejo yang jatuh di matras yoganya. Didorong oleh insting yang paling primal, dia menundukkan kepalanya, dan dengan lidahnya, dia menjilat bersih setiap tetes persembahan Tuannya dari atas matras, tidak menyisakan satu pun.
"Besok," kata Bejo sebelum pergi, menatap pemandangan itu dengan senyum paling puas. "Kita akan masuk ke latihan ketahanan. Bersiaplah."
Dia meninggalkan Iris yang terbaring lemas, tubuhnya lelah, tapi jiwanya kini terikat dalam sebuah program latihan yang akan menghancurkannya secara perlahan, hari demi hari.
ns216.73.216.143da2