Riuh rendah jalanan di kota dihiasi suara kendaraan dan para pejalan kaki. Tampaknya sudah masuk jam-jam para pekerja pulang dari kantor dan para pelajar kembali setelah mengenyam pendidikan. Langit di atas masih biru cerah, berhias kapas-kapas putih.
Berbagai seragam menghiasi jalanan. Ada yang berjalan berkelompok, saling bercengkrama ria dan berbagi berita. Ada pula yang menyusuri langkahnya seorang diri, tak menginginkan apapun selain segera berehat menutup kelelahan hari ini.
Sean sembari menyingkap rambut gelap kemerahannya sibuk menyahut cerita yang dibagi teman-teman di sekelilingnya. Mereka nampak cukup tenggelam dalam topik yang agaknya semakin lama akan semakin bergerak ke kabar yang semakin tidak diduga, membuat setiap pendengar di dalam obrolan semakin penasaran untuk mengobrol semakin panjang.
Shena berjalan menunduk, kedua tangannya memegangi payung yang tertutup rapi. Sesekali ia melihat sekitar agar kiranya agak berhati-hati melangkah. Tidak banyak yang ia lakukan, hanya berjalan pulang.
Orang-orang di tepi jalan berdiri menunggu lampu lalu lintas berganti warna. Kala tiba warna merah menyala, lampu penyebrangan pun berganti hijau. Pejalan kaki di setiap ujung jalan pada perseimpangan tersebut akhirnya dapat menyebrang.
Dari arah yang berlawanan, Sean dan Shena menyusuri jalur penyebrangan yang sama. Keduanya menebar pengelihatan mata dan tak sengaja menemukan satu sama lain tepat saat mereka hampir bersebelahan. Untuk dua detik saling memandang, sebelum secara bersamaan mengalihkan pandangan dan mengabaikan kejadian itu seolah itu bukanlah kejadian penting.12Please respect copyright.PENANAyYtPiyfZZr
"Kalo gitu, kamu gak usah pindah, dooongg."
"Iya, Sean, masa cuma karena gak suka gurunya doang, siiihhh."
Sean mengibaskan tangannya sambil sedikit tertawa. "Udah, lah. Lagian udah disetujuin juga surat pindahnya. Telat kalian."
"Ya, cancel, dong kalo gituuu."
"Hih, cancel. Dikira order-an ojol?" delik Sean. "Lagiaaan, aku kan ansos, aku ini seorang penyendiriii. Mau aku pindah ke Pluto kek, tenggelam di Neptunus kek, terbang-terbang di Jupiter kek, gak ada siapapun yang bakal kangen sama diri malangku ini."
"Ih, enak aja! Banyak yang bakal kangen, tau! Adek kelas yang kemaren nembak itu apa? Terus kakak OSIS yang minggu lalu? Kakel yang bulan kemaren? Bapak mapel Sejarah?"
"Bener bangeeet! Kalo kamu pindah sekolah, terus yang suka jemput kamu tiap pulang sekolah mau dikemanain? Kasian, tau! Siapa namanya? Orangnya ganteng parah padahal."
"Ricky! Iyaaa! Ganteng banget! Tau, gak, sih? Dia, kan, anak geng motor gituuu. Aaaaahh! Bad boi! Bad boi idaman! Kenapa kalian gak pacaran aja, sih?"
Sean merengut sebal. Dia membalas, "Terus kalian gak khawatir, gitu, kalo aku kenapa-napa?"
"Kamu ini khawatiran banget, deh, Sean. Jelas-jelas dia, kan, perhatian sama kamu. Kenapa kamu selalu nolak dia?"
"Iya, ya. Mana Ricky juga tetep mepet terus. Jakendor."
"Kira-kira, kalo dia tau Sean pindah sekolah, dia tetep ngejar gak, ya?"
Sambil tertawa kecil, Sean tersenyum iseng. "Aku juga kadang mikirin itu, sih."
Shena kembali mendongak. Sayup-sayup ia mendengar namanya di antara keramaian. Langkahnya terhenti, tepat saat Shena menoleh ke belakang, seorang pemuda sepantarannya meraih telapak tangannya.
"Shenaaa ... kamu kenapa ninggalin aku?"
Gadis itu setengah terkejut menjawab, "Ta-tapi ... tapi katanya Kak Arevo ada jadwal sparring?"
"Kan, pulang dulu." Arevo, sambil menggandeng Shena, mengajaknya lanjut berjalan. "Kamu lupa Kakak gak ikut ekskul apa pun?"
Sembari menunduk malu, Shena mengangguk pelan. Karena sering mendengarkan teman-temannya mengobrol tentang ekskul di kelas, kadang ia berasumsi kalau Arevo juga punya kesibukan yang sama. Ia lupa kalau Arevo mengambil les, bukan ekstra kulikuler sekolah.
Sepertinya, sudah kebiasaan Shena diam-diam menyimak percakapan sekitar dan ikut tenggelam dalam obrolan mereka seolah dia yang bercengkrama di sana. Padahal, nyatanya tidak.
Dengan pelan, Arevo menepukkan payung di tangannya ke payung Shena. "Kamu masih aja sering melamun, ya," tanggapnya lembut. "Jangan kebiasaan, ah."
"I ... iya, maaf, Kakak," balas Shena gugup, kembali menunduk. Ia mulai merasa tidak enak karena terdiam memikirkan hal lain saat sedang dalam pembicaraan, kesannya seperti mengabaikan saudara sendiri yang sedang ada di hadapannya.
Arevo mendengus pelan melihatnya. Untuk sesaat, senyum hangatnya sedikit berubah pahit. Ditariknya tangan Shena dengan lembut agar gadis itu tidak berjalan di belakang. Sekarang mereka berjalan sejajar. Arevo melepas genggaman tangannya dan memperbaiki posisi sepasang bobby pin di atas alis kiri Shena.
"Maaf, ya, tadi siang Kakak gak nemenin kamu makan. Sepanjang istirahat Kakak dipanggil guru buat urusan tugas. Gak ada yang jahilin kamu lagi, kan, selama istirahat tadi?"
Shena menggeleng pelan. Kedua matanya memandang ke bawah.
Akhirnya Arevo selesai membetulkan jepit rambut Shena. Sekalian Arevo menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga dan menyibak surai kecokelatan itu ke belakang bahu. Sebab perbedaan tinggi, kadang Arevo tidak dapat melihat wajah Shena bila tertutup rambut bergelombangnya.
"Kalo gitu, gak mau cerita tadi siang ngapain aja?" tanya Arevo sambil menatap mata Shena.
Shena jadi menaikkan pandangannya, balas memandang. "Cuma ... makan."
"Gak ada yang lain?"
"Minum."
"Shena," Arevo mendengus. "Kita jajan crepes dulu, yuk."
Jalan gang yang biasa Sean susuri agak bau dari biasanya. Sepertinya karena hujan kemarin malam. Sean mendongak dan meneliti potret langit berawan yang berhias kabel-kabel listrik, juga tali jemuran antar bangunan. Tepi atap gedung-gedung membingkai pemandangan. Bukan karena gedungnya yang sangat tinggi, namun karena jalan gang yang cukup sempit.
Di depan penghujung gang, jalan sedikit lebih lebar. Walau tetap saja sebetulnya adalah jalan gang yang diapit gedung-gedung, setidaknya muat untuk dua sepeda motor. Sebelum keluar dari gang yang sempit, Sean berhenti dan berdiri seraya menyandarkan punggungnya pada tembok. Tanpa berganti posisi ia mengangkat sebelah kakinya ke depan, diluruskannya kaki dan pantofel merahnya pun menempel pada sisi tembok di seberangnya.
Sejenak dihelanya nafas dengan pelan. Agak lelah dengan aroma selokan yang lebih menyembul sore ini. Belum lagi tempat sampah tak tertutup yang basah kuyup hingga luber. Tangan kirinya meraih ubun-ubun kepalanya, menarik karet rambut hingga lepas. Tangan kanannya mengacak rambut merahnya yang terasa agak kaku setelah hampir seharian dikucir.
Jalan umum berada sekitar setengah kilo jauhnya. Sejak tadi Sean tidak melihat orang berlalu, mungkin karena masih terlalu sore. Gadis itu menghembuskan napas kesal sambil menyandarkan kepalanya ke tembok. Ia merasa bosan.
Saat itu tak sengaja ia melihat ada sebuah jendela kost terbuka di atas. Ada seorang wanita terlihat duduk di samping jendela tersebut, tengah asik membaca buku sambil menyuap bongkahan besar dari sepotong kue.
Rakusnya, ejek Sean dalam hati. Lalu ia tersenyum kecil.
Sean merunduk ke tanah, meraih secarik kupon plastik yang tergulung dan sebuah serpihan gelas. Di tangan kirinya, karet rambutnya yang tipis dilebarkan dengan jempol dan telunjuk. Sean meletakkan kertas kupon di tengah karet dan gelasnya di depan kupon. Sambil menutup salah satu mata, Sean mengarahkan ketapel sederhananya ke atas. Setelah bidikan siap, Sean pun melepas tangan kanannya, membiarkan kuponnya melayang perlahan kembali ke tanah dan pecahan kaca melesat langsung ke dalam mulut terbuka wanita itu.
Wanita tersebut langsung berdiri, kaget dengan beling yang tiba-tiba terbang mengiris bibir, gusi, dan lidahnya hingga tersangkut di kerongkongan. Ia memegangi lehernya dan terbatuk-batuk hebat. Semakin ia terbatuk, semakin dalam beling menusuk. Tenggorokan tersedaknya tak mampu mengeluarkan suara dengan baik. Percikan darah keluar dari mulutnya setiap kali ia batuk. Karena sadarnya dimonopoli rasa sakit, ia hilang kesadaran akan kendali gerak tubuhnya. Badannya bergerak kacau terhuyung ke sana ke mari, mencakar meja, menampar dinding, menjatuhkan dan menghempas benda-benda kecil yang teraih tangannya sambil berdelusional dengan putus asa seolah meminta rasa sakit itu segera hilang.
Sean sambil tertawa renyah meninggalkan gang itu.
ns18.189.22.241da2