Desahan itu berlanjut, semakin intens, berirama dengan detak jantungku yang mendadak tidak karuan. Aku duduk terpaku, tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah aku mengetuk dinding sebagai tanda protes? Haruskah aku pura-pura tidak mendengar? Atau mungkin mengenakan headphone dan menenggelamkan diri dalam lagu keras-keras?
Lima hari mengenal Sinta, aku mengira dia adalah sosok yang hampir sempurna—mandiri, cerdas, dan tampak beretika. Dia yang dengan sabar mengajariku cara bertahan hidup di Jakarta, menunjukkan tempat-tempat yang harus kukunjungi dan harus kuhindari. Dia yang selalu tersenyum ramah dan menanyakan kabarku setiap pagi sebelum berangkat ke kantornya di daerah Kuningan. Tidak pernah terbayang olehku bahwa di balik semua kebaikan dan keramahannya, ada sisi lain yang kini terungkap lewat suara-suara yang menembus dinding tipis kamar kos.
"Oh... sayang... iya... di situ..."
Suara seorang pria samar-samar juga terdengar, teredam oleh desahan Sinta yang lebih lantang. Aku menutup telingaku dengan bantal, tapi suara-suara itu masih menembus.
Pikiranku berkecamuk. Apakah selama ini aku terlalu naif? Terlalu terpukau dengan kota besar hingga tidak melihat tanda-tanda? Mungkinkah Sinta mengira aku tidak akan ada di kamar saat ini? Padahal ini baru jam delapan malam, masih terlalu awal untuk berasumsi semua penghuni kos sudah keluar atau tertidur.
"Ouwhhhh… Iya, memek kamu enak banget, sayang..."
Astaga suara laki-laki itu menyebut alat kelamin perempuan dengan entengnya. Suara laki-laki yang asing bagiku jelas terdengar melalui dinding kamar kos-kosan ini. Dari kamar Sinta tetangga kosan aku.
Tanganku gemetar memegang buku catatan. Aku tidak salah dengar, kan? Sinta? Gadis cantik berhijab yang begitu baik dan mulai dekat denganku. Dia juga sangat rajin sholat bahkan tadi waktu magrib masih mengajakku sholat berjamaah.
Aku mencoba menutup telinga dengan bantal, tapi suara erangan itu terus terdengar dan kini diikuti decakan basah membuat kesadaranku makin terusik.
Tiba-tiba, suara kasur berderit-derit semakin keras, diikuti teriakan Sinta yang memekik, "Ouwhhhh sayang… aku udah mau nyampe.. Ouwhhhhh!"
‘Aku juga udah mau keluar. Aku keluarin di mulut kamu aja ya?”
‘Iya ouwhhhhhh..”
“Arghhhhhh…” tedengar jeritan Sinta dan lelaki itu bersamaan.
Suara itu akhirnya berhenti, digantikan oleh tawa mesra dan bisikan-bisikan yang membuat telingaku panas.
Aku memandang langit-langit kamar dan muncul tanya dalam hatiku.
"Apa beda kamu dengan mereka, Nabila? Kamu tinggal di kos bebas yang sama. Orang akan menganggap kamu seperti mereka." Ucap batinku.
Lanjutan cerita dapat di baca di https://karyakarsa.com/elevensage/gadis-alim1302Please respect copyright.PENANA65uWgqWbi5