Aku memilih naik TransJakarta untuk menuju kantor. Begitu masuk halte, aku langsung diserbu oleh lautan manusia yang berdesakan. Beberapa kali tubuhku terhimpit, dan aku harus berusaha keras melindungi hijabku agar tidak tersenggol.
"Ini baru jam 6.30…" gumamku takjub.
Di dalam bus, seorang ibu hamil berdiri di sampingku. Aku segera menawarkan tempat duduk, dan senyum syukur darinya membuat sedikit keteganganku mereda.
"Karyawan baru di Kementerian X ya?" tanya seorang bapak paruh baya yang duduk di sebelahku setelah melihat ID card sementara yang tergantung di tas.
"Iya, Pak. Hari pertama," jawabku malu-malu.
"Semangat, Nak. Awalnya pasti berat, tapi lama-lama akan terbiasa," ujarnya sebelum turun di halte berikutnya.
Gedung kantor tempatku bertugas ternyata jauh lebih megah dari yang kubayangkan. Kaki ini terasa berat melangkah masuk, seolah ada magnet tak terlihat yang mencoba menahanku.
"Nabila, kan? CPNS baru dari Sulawesi?"
Seorang perempuan berkacamata dengan blazer biru tua menyambutku di lobi.
"I-Iya, Bu," jawabku sambil sedikit membungkuk.
"Saya Ibu Dian, Kabag SDM. Ayo, ikut saya."
Ia membawaku ke ruang induksi, di mana beberapa wajah baru—yang ternyata rekan seangkatanku—sudah duduk rapi. Ada 5 orang CPNS, dengan ekspresi campuran antara gugup dan antusias.
Setelah sesi pengarahan, kami diajak berkeliling kantor. Aku tak menyangka betapa kompleksnya struktur birokrasi di sini.
"Ini ruang Kepala Bidang, ini ruang rapat VIP, dan ini… hati-hati ya, jangan sampai tersesat di arsip," Ibu Dian bercanda sambil menunjuk lorong panjang berderet rak berkas.
Saat melewati satu ruangan, mataku tertuju pada seorang pria tinggi dengan kemeja lengan panjang rapi yang sedang berbicara serius dengan stafnya.
"Itu Pak Handoko, Kepala Subdit yang akan menjadi atasan langsungmu," bisik Ibu Dian.
Dadaku berdebar. Wajahnya terlihat begitu tegas.
Siang hari, aku dipanggil ke ruangan Pak Handoko. Keringat dingin mulai mengucur.
"Nabila, ya?" suaranya dalam tapi jelas. "Saya lihat IPK-mu bArnold. Tapi ingat, di sini yang dibutuhkan bukan hanya nilai akademik, tapi juga kemampuan adaptasi dan kerja tim."
Aku mengangguk cepat. "Siap, Pak. Saya akan belajar keras."
"Kamu dapat tugas di seksi perencanaan. Besok akan ada briefing proyek prioritas nasional. Siapkan dirimu."
Begitu keluar dari ruangannya, aku menarik napas panjang. Proyek prioritas nasional? Hari kedua langsung dapat tugas besar?
1148Please respect copyright.PENANAn18BHkgrFV
Di kantin, aku akhirnya bisa berkenalan lebih dekat dengan beberapa rekan seangkatan.
"Aku Rina dari Bandung," ujar perempuan berkuncir tinggi. "Kamu tadi dipanggil Pak Handoko juga? Aku sampai gemetaran!"
"Aku Aldi," sela seorang pria berkacamata. "Dengar-dengar beliau itu sangat perfeksionis. Tapi kalau kerja kita bArnold, beliau justru yang paling mendukung kenaikan pangkat."
Aku menyendok nasi padang di depanku sambil mencerna informasi ini. Jakarta mulai terasa seperti medan perang yang sebenarnya.
***
Senja merayap perlahan di antara gedung-gedung tinggi Jakarta ketika aku menyeret langkah letih menuju kos-kosan. Udara pengap bercampur aroma masakan dari warung-warung pinggir jalan mengiringi perjalanan pulangku. Ragaku lelah, tetapi pikiranku lebih lelah lagi setelah mengarungi hari pertama yang terasa seperti sebuah petualangan yang tak kurencanakan.
Tepat ketika aku mencapai anak tangga terakhir menuju lorong kos, Sinta muncul dari pintu kamarnya dengan senyum hangatnya yang khas. "Gimana hari pertama kamu, Anin?" tanyanya dengan kilatan penasaran di matanya. Ia menyandarkan bahunya pada kusen pintu, menunggu cerita yang pasti terbaca jelas dari raut wajahku yang kusut.
Aku menghela napas panjang, merasakan semua ketegangan hari ini seolah ingin keluar dalam satu hembusan.
"Lumayan seru sih. Tapi sejauah ini aku rasa masih aman." jawabku akhirnya, menjatuhkan tas selempang yang sejak pagi setia di bahuku.
"Welcome to Jakarta," kata Sinta sambil tertawa, matanya berkilat penuh pemahaman. Ada kehangatan dalam tawanya yang membuatku merasa tidak sendirian. "Ibukota memang tidak pernah ramah pada pendatang baru. Tapi percayalah, kau akan terbiasa."
Ia melangkah keluar dari ambang pintunya, mendekat dan menepuk bahuku dengan gestur yang entah mengapa terasa menenangkan. "Besok malam aku ajak kamu jalan-jalan lihat-lihat ibukota, mau? Jakarta punya sisi lain yang harus kamu lihat selain gedung kantor dan kemacetan."
"Wah, mau banget, Mbak!" jawabku dengan semangat.
***
Angin malam Jakarta menyapu wajahku saat motor Sinta membelah jalanan ibukota. Aku berpegangan pada pinggangnya, antara was-was dan terpesona melihat gemerlap metropolitan yang kini menjadi rumah baruku. Ini pengalaman pertamaku melihat Jakarta dari balik punggung seseorang—bukan dari jendela taksi atau angkot yang kupergunakan selama ini.
"Pegangan yang kuat!" Sinta berteriak melawan deru angin dan bisingnya klakson. Ia mengenakan jaket denim biru tua, Jilbabnya berkibar-kibar di depan wajahku.
Motor matic putihnya lihai menyelip di antara kepadatan kendaraan. Aku meremas ujung jaketku, gugup sekaligus terkesan dengan keberaniannya membelah kemacetan Jakarta yang terkenal mengerikan. Di kampung halamanku, jalan serapat ini akan menimbulkan panik, tapi Sinta menaklukkannya seolah hanya berjalan santai di taman.
"Jakarta di malam hari itu gemerlapan!" teriak Sinta sambil menunjuk gedung-gedung pencakar langit yang berkilauan. "Menyilaukan, mempesona, tapi juga bisa menelanmu bulat-bulat kalau kamu lengah!"
Kami melewati Bundaran HI, air mancur megahnya bersinar dengan cahaya warna-warni. Monumen Selamat Datang berdiri kokoh di tengah, dua figur perunggu yang melambai seolah benar-benar menyambutku ke kota ini. Kendati sudah sering melihatnya di televisi dan buku, menyaksikannya langsung sambil merasakan gemuruh metropolitan membuatku terpana.
"Itu tempat foto paling mainstream di Jakarta!" Sinta tertawa melihat reaksiku. "Nanti kapan-kapan kita ke sini lagi kalau tidak macet. Sekarang mau ke mana dulu?"
"Terserah kamu aja. Aku kan belum tahu apa-apa."
Sinta mengangguk dan membelokkan motornya ke arah Sabang. Jalanan yang lebih kecil namun tak kalah ramai dengan deretan restoran dan kafe di kiri-kanan. Lampu-lampu kuning hangat dari etalase toko menerangi wajah-wajah pengunjung yang sedang bercengkrama. Aroma kopi dan masakan berbagai negara bercampur dalam satu tarikan napas.
"Di sini surganya kuliner Jakarta!" teriak Sinta sambil memperlambat laju motornya. "Dari yang paling murah sampai yang bikin dompet menangis, ada semua!"
Kami berhenti di depan sebuah kedai kopi kecil yang terlihat nyaman dengan kursi-kursi kayu di luar dan lampu gantung yang redup. Setelah memarkirkan motor, Sinta membimbingku masuk. Kopi hitam dan pisang goreng menjadi teman obrolan kami tentang Jakarta.
"Jadi," ujar Sinta sambil menyesap kopinya, "apa kesan pertamamu tentang kota ini?"
"Menakutkan tapi menarik," jawabku jujur. "Semua bergerak cepat sekali. Di sini aku merasa seperti ikan kecil di samudera luas."
Sinta tersenyum. "Itu perasaan yang wajar dari pendatang baru. Tapi percayalah, Jakarta punya caranya sendiri untuk membuatmu jatuh cinta."
Setelah menghabiskan kopi, kami kembali menelusuri jalan-jalan Jakarta. Sinta membawaku melewati jalan-jalan kecil yang tak akan pernah kutemukan sendiri—gang-gang sempit dengan mural berwarna-warni, pasar malam impromptu dengan lampu-lampu kertas, dan taman tersembunyi di antara gedung-gedung tinggi.
Kami mengakhiri malam dengan mampir ke pedagang kaki lima di Blok M yang masih ramai meski waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Sepiring nasi goreng kambing yang pedas dan segelas es jeruk menjadi penutup petualangan pertamaku mengenal Jakarta.
Di perjalanan pulang, aku tidak lagi meremas jaketku ketakutan. Alih-alih, aku membiarkan tanganku terbuka di samping, merasakan angin Jakarta yang hangat membelai jemariku. Kota ini mungkin akan membuatku tersesat, kebingungan, dan kewalahan, tapi malam ini, dibonceng motor Sinta dengan lampu-lampu kota berkilauan di sekitarku, aku merasa untuk pertama kalinya—mungkin aku bisa memanggilnya rumah.
Saat kami tiba kembali di kos, Sinta mematikan mesin motornya dan melepas helm.
"Terima kasih untuk malam ini, Sinta," ucapku tulus.
"Sama-sama. Ini baru permulaan," Sinta menepuk bahuku. "Masih banyak sisi Jakarta yang belum kau lihat."
Aku tersenyum, merasakan sebuah keberanian baru tumbuh dalam diriku. Mungkin esok hari akan lebih baik. Dan kalaupun tidak, setidaknya aku tahu ada motor putih yang akan membawaku berkeliling, menemukan keindahan di antara kekacauan ibukota.
***
Lima hari telah berlalu sejak keputusanku menjadikan bangunan dua ini sebagai rumah sementara. Kos-kosan bebas—begitu istilah yang digunakan untuk tempat tanpa aturan jam malam dan tanpa batasan kunjungan. Ketika pertama kali melihat spanduk "Kos-kosan" tanpa embel-embel "dilarang membawa tamu lawan jenis" di depannya, ada keraguan yang menyelinap dalam hatiku.
Meski awalnya sempat ragu, sejauh ini tidak ada kejadian negatif yang kualami. Lagipula, aku sudah terlanjur membayar deposit dan sewa bulan pertama. Uang yang terlalu besar untuk dikorbankan begitu saja hanya karena prasangka. Pikiran untuk pindah masih terasa sangat berat di minggu pertama bekerja dengan gaji yang belum cair.
Malam itu, seperti biasa, aku berbaring di ranjang kos-kosan beralaskan seprai bermotif bunga yang kubawa dari rumah—satu-satunya benda yang mengingatkanku pada kehangatan kamar lamaku di kampung halaman. Lampu temaram dari bohlam 5 watt menerangi kamar kosan yang kini menjadi teritoriku. Sebuah meja lipat kecil, lemari pakaian yang pintunya sedikit macet, dan sebuah rak buku dari kayu triplek menjadi saksi bisu hari-hariku awalku di ibukota.
Aku baru saja selesai membaca chat grup WA kantor di ponsel—diskusi tentang deadline project minggu depan dan beberapa lelucon garing dari Tim IT—ketika tiba-tiba terdengar suara yang membuat jemariku membeku di atas layar.
"Ahh... oughhh... yaa… terus gitu ahhhhh."
Suara itu datang dari balik dinding kamar Sinta—dinding yang menjadi satu-satunya pemisah antara kamarku dan kamarnya. Suara yang tidak mungkin salah kuartikan, suara yang membuat darahku seketika naik ke wajah, membuatnya terasa panas dan pasti memerah meski tidak ada cermin untuk memastikannya.
Itu bukan suara kesakitan—bukan seperti ketika seseorang terpeleset atau terjatuh. Ini adalah suara... sesuatu yang lain. Sesuatu yang meski aku wanita yang selalu menjauhi pergaulan bebas dan bisa dibilang gadis alim yang selalu pulang sebelum maghrib selama di kampus dulu, aku tetap paham apa yang terjadi di kamar Sinta. Di usiaku yang 22 tahun, dengan semua paparan informasi dan bisik-bisik di antara teman-teman kuliah dulu, aku sangat mengerti apa yang sedang terjadi di balik dinding itu.
“Ouwhhhhh ouwhhhh yah gitu lebih kuat lagi sayang…ahhhhhh!”
Bersambung
ns18.224.21.26da2