Zahra duduk di sudut ruang kecil yang diselimuti aroma kemenyan dan minyak kasturi. Cahaya lampu temaram dari lentera kecil di meja menciptakan bayang-bayang lembut di dinding kayu yang sudah tua. Ruangan itu sederhana, hanya ada tikar pandan, meja rendah dengan beberapa kitab tua, dan sebuah cermin kecil yang memantulkan wajahnya yang kini tersembunyi di balik cadar tipis. Ia mengenakan gamis putih panjang, lengan yang menjuntai menutupi pergelangan tangannya, dan jilbab syar’i yang membingkai wajahnya dengan rapi. Namun, di bawah semua itu, jantungan hatinya tak bisa berbohong. Ada getar yang tak asing, campuran antara rasa bersalah dan sesuatu yang lebih gelap, lebih dalam, yang ia tak berani namakan.
Pintu kayu berderit pelan. Habib Albar masuk, sorbannya sedikit miring, jubah putihnya longgar tapi tetap anggun. Wajahnya, dengan rahang tegas dan mata yang selalu tampak menembus jiwa, tersenyum lembut. Zahra menunduk, jari-jarinya mencengkeram ujung gamisnya. Ia merasakan napasnya memburu, tapi ia berusaha menenangkan diri dengan menggumamkan dzikir dalam hati.
“Zahra,” suara Habib Albar lembut, seperti aliran air di sungai yang tenang, namun ada kuasa di dalamnya. “Kau sudah siap untuk langkah berikutnya?”
Zahra mengangguk tanpa menatapnya. “Saya… saya ingin lebih dekat pada Allah, Habib. Saya ingin jiwa saya bersih.”
Habib Albar melangkah mendekat, sandalnya yang sederhana menimbulkan bunyi kecil di lantai kayu. Ia duduk di hadapan Zahra, cukup dekat hingga aroma minyak oud dari tubuhnya menyentuh hidungnya. “Kebersihan jiwa bukan hanya soal hati, Zahra. Tubuhmu adalah bait suci. Ia harus disucikan dengan penuh kesadaran. Dengan cinta. Dengan penyerahan.”
Zahra menelan ludah. Kata-kata itu terasa seperti doa, tapi juga seperti mantra yang menariknya ke dalam pusaran yang tak ia mengerti sepenuhnya. “Apa yang harus saya lakukan, Habib?” suaranya pelan, hampir berbisik, penuh keraguan namun juga harapan.
Habib Albar mengulurkan tangannya, jari-jarinya yang panjang dan ramping menyentuh punggung tangan Zahra. Sentuhan itu ringan, namun membuat kulitnya merinding. “Kau harus membuka dirimu. Lepaskan segala beban duniawi yang mengikatmu. Biarkan aku membimbingmu.”
Zahra menatap tangan itu, jari-jari yang kini merambat perlahan ke pergelangan tangannya. Ada sesuatu dalam sentuhan itu—hangat, penuh kuasa, namun juga lembut seperti belaian ibu. Ia merasa tubuhnya melemas, seolah semua ketegangan yang selama ini mengikat dadanya mulai mencair. “Tapi… bagaimana caranya, Habib? Saya takut… takut salah.”
Habib Albar tersenyum, matanya menyipit penuh pengertian. “Ketakutan adalah ujian. Allah tidak akan mengujimu dengan sesuatu yang tak bisa kau hadapi. Aku di sini, Zahra. Aku adalah perantara. Percayalah, ini adalah jalan menuju cahaya.”
Ia bangkit, mengulurkan tangan untuk mengajak Zahra berdiri. Zahra ragu sejenak, tapi akhirnya ia menerima tangan itu. Habib menuntunnya ke sudut ruangan, di mana sebuah sajadah hijau tua telah digelar. Di samping sajadah, ada sebuah mangkuk kecil berisi air mawar dan sehelai kain putih. “Kita akan memulai dengan penyucian,” kata Habib, suaranya kini lebih dalam, seperti sedang membaca ayat suci.
Zahra berdiri di atas sajadah, tubuhnya terasa ringan namun juga berat, seolah ditarik oleh dua dunia yang berbeda. Habib Albar mengambil mangkuk air mawar, mencelupkan jari-jarinya ke dalamnya, lalu mengusapkannya ke dahi Zahra. Air itu dingin, namun membuat kulitnya terasa hangat seketika. “Tutup matamu,” perintahnya lembut.
Zahra memejamkan mata, napasnya mulai tidak teratur. Ia mendengar suara Habib mengucapkan doa dalam bahasa Arab, nadanya ritmis, seperti nyanyian yang menenangkan namun juga membangkitkan sesuatu di dalam dirinya. Jari-jari Habib kini berpindah ke pipinya, mengusap perlahan, meninggalkan jejak air mawar yang harum. “Kau adalah ciptaan yang indah, Zahra. Tubuhmu adalah amanah. Ia harus diberikan kepada yang layak untuk menyucikannya.”
Zahra merasa jantungan hatinya semakin kencang. Ia ingin bertanya, ingin memahami, tapi kata-kata itu terasa terjebak di tenggorokannya. Jari-jari Habib kini turun ke lehernya, menyentuh kulit yang terbuka di antara jilbab dan gamisnya. Sentuhan itu seperti listrik, membuat bulu kuduknya berdiri. Ia tahu ini salah, tahu ini berbahaya, tapi ada bagian dalam dirinya yang merindukan lebih—merindukan untuk dipahami, untuk diselamatkan.
“Habib… apa ini benar?” suaranya gemetar, hampir tak terdengar.
Habib Albar berhenti sejenak, tangannya masih di leher Zahra. Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, hingga Zahra bisa merasakan napasnya yang hangat di telinganya. “Ini adalah ibadah, Zahra. Ini adalah cara kita mendekat pada-Nya. Tubuhmu, jiwamu, semuanya adalah persembahan. Aku hanya membimbingmu.”
Zahra membuka mata, menatap wajah Habib yang kini begitu dekat. Matanya penuh kuasa, namun juga ada kelembutan yang membuatnya ingin percaya. Ia merasa seperti terhipnotis, seperti boneka yang tali-talinya ditarik perlahan oleh tangan yang tak terlihat. “Saya… saya percaya pada Anda, Habib,” gumamnya, suaranya penuh penyerahan.
Habib tersenyum, lalu mengulurkan tangan untuk melepas jilbab Zahra. Kain itu jatuh perlahan ke sajadah, memperlihatkan rambutnya yang hitam panjang, sedikit bergelombang di ujungnya. Ia merasa telanjang, meski gamisnya masih menutupi tubuhnya. Habib mengambil kain putih dari samping sajadah, mencelupkannya ke air mawar, lalu mulai mengusapkannya ke lengan Zahra. Kain itu dingin, namun setiap usapan membuat kulitnya terasa terbakar.
“Tubuhmu harus suci,” kata Habib, suaranya kini lebih rendah, hampir seperti bisikan. Ia mengusap lengan Zahra dengan gerakan lambat, sengaja, seolah setiap sentuhan adalah bagian dari ritual. Zahra merasakan payudaranya membengkak di bawah gamis, putingnya mengeras karena sentuhan kain yang basah. Ia menahan napas, mencoba fokus pada dzikir di kepalanya, tapi sensasi itu terlalu kuat.
Habib bergerak lebih dekat, kini berdiri di belakangnya. Tangan-tangannya yang basah oleh air mawar kini merambat ke pinggang Zahra, menekan lembut, seolah mencari titik-titik yang membuatnya lemas. “Lepaskan bebanmu,” bisiknya, mulutnya begitu dekat dengan telinga Zahra hingga ia bisa merasakan hembusan napasnya. “Ini bukan dosa, Zahra. Ini adalah penyucian.”
Zahra merasa tubuhnya meleleh. Ia tahu ia harus menolak, harus berlari, tapi kakinya terasa terpaku di sajadah. Habib menarik ujung gamisnya perlahan, memperlihatkan paha Zahra yang putih dan lembut. Jembutnya yang hitam samar terlihat di bawah kain tipis yang masih menutupi bagian intimnya. Habib mengusap paha itu dengan kain basah, gerakannya lambat, penuh perhitungan, membuat Zahra menggigit bibirnya untuk menahan desahan.
“Habib… saya…” Zahra mencoba berbicara, tapi suaranya terputus oleh sensasi tangan Habib yang kini merambat lebih tinggi, menyentuh tepi vagina melalui kain tipis itu. Jari-jarinya bergerak dengan penuh kendali, tidak terburu-buru, seolah menari di atas kulitnya. Zahra merasakan kelembapan yang bukan dari air mawar, dan wajahnya memanas karena malu.
“Jangan takut,” bisik Habib, tangannya kini menelusuri pinggul Zahra, menarik kain itu lebih tinggi hingga memperlihatkan seluruh bagian bawah tubuhnya. Vaginanya yang basah berkilau di bawah cahaya lentera, dan Habib menghela napas panjang, seolah terkagum. “Kau adalah ciptaan yang sempurna. Biarkan aku membawamu lebih dekat pada-Nya.”
Zahra pasrah. Ia merasa seperti terjebak dalam mimpi, di mana batas antara benar dan salah menjadi kabur. Habib menuntunnya untuk berbaring di sajadah, tubuhnya kini telentang, kakinya sedikit terbuka. Ia merasa rentan, namun juga anehnya aman di bawah tatapan Habib. Pria itu melepas jubahnya, memperlihatkan tubuhnya yang ramping namun tegas. Penisnya, yang sudah mengeras, terlihat jelas di bawah kain sarung yang ia kenakan. Zahra menutup mata, mencoba fokus pada doa, tapi sensasi tubuhnya mengkhianatinya.
Habib berlutut di antara kaki Zahra, tangannya kembali mengusap paha dalamnya, kali ini tanpa kain sebagai penghalang. Jari-jarinya menelusuri bibir vagina Zahra, gerakannya lembut namun penuh maksud, membuatnya menggeliat pelan. “Ini adalah dzikir jasadi,” katanya, suaranya seperti nyanyian. “Setiap sentuhan adalah doa. Setiap getaran adalah puji syukur.”
Zahra merasakan jari Habib masuk ke dalam vaginanya, perlahan, menjelajahi dengan penuh perhatian. Ia menggigit bibirnya lebih keras, mencoba menahan erangan, tapi suara kecil lolos dari tenggorokannya. Habib tersenyum, lalu mencondongkan tubuhnya hingga wajahnya berada di atas payudara Zahra. Ia menarik gamisnya lebih tinggi, memperlihatkan payudara yang putih dengan puting yang sudah mengeras. Bibirnya menyentuh puting itu, menciumnya dengan lembut sebelum mengisapnya perlahan, lidahnya berputar-putar dengan gerakan yang membuat Zahra memejamkan mata lebih kuat.
“Habib… ini… apakah ini benar?” suaranya nyaris tak terdengar, penuh keraguan namun juga kenikmatan.
“Ini adalah jalanmu menuju Allah,” jawab Habib, suaranya penuh keyakinan. Ia menarik tubuhnya ke atas, kini wajahnya sejajar dengan wajah Zahra. Bibirnya menyentuh bibir Zahra, ciuman yang lembut namun penuh kuasa, seperti seseorang yang tahu ia memiliki kendali penuh. Zahra membalas ciuman itu, ragu-ragu pada awalnya, tapi kemudian dengan penuh penyerahan.
Habib menggeser tubuhnya, menempatkan penisnya di antara paha Zahra. Ia tidak langsung masuk, melainkan menggesekkan kepala penisnya ke bibir vagina yang sudah basah, gerakannya lambat, menggoda, membuat Zahra menggeliat dan menggenggam sajadah di bawahnya. “Serahkan dirimu,” bisik Habib, lalu perlahan mendorong penisnya masuk, inci demi inci, hingga ia merasakan kehangatan dan kepadatan tubuh Zahra.
Zahra menahan napas, tubuhnya menegang sejenak sebelum akhirnya melemas. Sensasi itu begitu kuat, begitu berbeda dari apa yang pernah ia rasakan bersama Arman. Gerakan Habib lambat namun dalam, setiap dorongan seperti disertai dengan doa yang tak terucap. Zahra merasakan vaginanya berkontraksi, menyesuaikan diri dengan ritme Habib, dan desahannya kini tak lagi bisa ditahan. “Tuhan… ampuni saya…” gumamnya, tapi kata-kata itu terputus oleh gelombang kenikmatan yang menjalari tubuhnya.
Habib mengubah posisi, menarik Zahra untuk duduk di pangkuannya, kaki Zahra mengangkang di atas paha pria itu. Penisnya masuk lebih dalam dalam posisi ini, dan Zahra merasakan setiap inci darinya menyentuh titik-titik sensitif di dalam vaginanya. Tangan Habib memegang pinggulnya, membimbingnya untuk bergerak naik-turun, gerakan yang lambat namun penuh ritme, seperti tarian suci. Payudaranya bergoyang di depan wajah Habib, dan ia kembali mencium putingnya, menggigitnya dengan lembut hingga Zahra mengerang keras.
“Zahra… kau adalah hamba yang sempurna,” bisik Habib, tangannya kini meremas pantat Zahra, menariknya lebih erat ke tubuhnya. Gerakan mereka semakin cepat, namun tetap terkontrol, seperti ritual yang telah direncanakan dengan sempurna. Zahra merasakan klimaks mendekat, tubuhnya gemetar, vaginanya berkontraksi kuat di sekitar penis Habib. Ia menutup mata, mencoba fokus pada dzikir, tapi kenikmatan itu terlalu kuat, terlalu nyata.
Saat orgasme menyerang, Zahra mengerang panjang, tubuhnya ambruk ke dada Habib. Ia merasakan kehangatan cairan Habib di dalam vaginanya, dan selama beberapa detik, dunia terasa hening. Hanya ada napas mereka yang saling bercampur, aroma kemenyan yang masih membumbung, dan rasa bersalah yang mulai merayap di hati Zahra.
Habib mencium keningnya, lalu membantunya berbaring kembali di sajadah. Ia menutupi tubuh Zahra dengan gamisnya yang sudah terlepas, lalu berbisik, “Kau telah melangkah lebih dekat pada-Nya. Jangan ragu, Zahra. Ini adalah jalanmu.”
Zahra hanya bisa mengangguk, matanya berkaca-kaca. Ia tidak tahu apakah ia merasa suci atau justru lebih kotor dari sebelumnya. Yang ia tahu, ia telah menyerahkan sesuatu yang tak bisa ia tarik kembali—dan di dalam hatinya, bayang-bayang Arman mulai memudar, digantikan oleh sosok Habib yang kini menjadi pusat dunianya.
Bersambung
***
https://karyakarsa.com/silvertounge
Telegram @sprachgewandt666
ns216.73.216.6da2