Zahra berdiri di depan pintu kayu berukir sederhana, jantungnya berdegup kencang, namun wajahnya tetap tenang, seperti permukaan air di pagi yang hening. Cahaya lampu temaram dari dalam ruangan menyelinap melalui celah-celah pintu, menciptakan garis-garis lembut di wajahnya yang terselubung hijab syar’i berwarna kelabu. Di tangannya, ia memegang tasbih kecil, butir-butirnya bergesekan pelan saat jari-jarinya bergerak, seolah mencari pegangan dalam doa. Malam ini bukan malam biasa. Habib Albar telah memanggilnya untuk “penyucian khusus,” sebuah ritual yang katanya akan membawa jiwanya lebih dekat kepada Allah, lebih dekat kepada kebenaran yang selama ini hanya ia rasakan dalam mimpi.
“Masuklah, Zahra,” suara lembut Habib Albar terdengar dari dalam, seperti angin yang membelai dedaunan, penuh wibawa namun mengundang. Zahra menarik napas dalam-dalam, tangannya menyentuh gagang pintu yang dingin. Ia mendorong pintu itu perlahan, dan aroma kemenyan serta minyak wangi melati menyambutnya, memenuhi indra penciumannya dengan kehangatan yang aneh, seolah menjanjikan sesuatu yang suci namun berbahaya.
Ruangan itu kecil, berdinding kayu dengan karpet merah tua yang terasa lembut di bawah kaki telanjangnya. Di sudut, sebuah lampu gantung kecil memancarkan cahaya kuning keemasan, menerangi wajah Habib Albar yang duduk di atas bantal besar di lantai. Sorban putihnya terlepas, memperlihatkan rambut hitamnya yang sedikit berombak, dan jubah panjangnya tampak longgar, memperlihatkan garis lehernya yang kuat. Di depannya, sebuah meja kecil dengan Al-Qur’an terbuka, beberapa botol minyak zaitun, dan semangkuk air yang memantulkan cahaya lampu seperti cermin.
“Zahra, duduklah,” kata Habib, matanya menatap lurus ke dalam mata Zahra, penuh intensitas namun lembut, seperti seorang guru yang tahu betul rahasia muridnya. “Malam ini, kita akan menempuh jalan yang lebih dalam. Jalan menuju Allah melalui tubuh dan jiwa.”
Zahra menunduk, wajahnya memanas. Ia menjatuhkan diri perlahan ke bantal di depan Habib, kakinya disilangkan dengan hati-hati agar hijabnya tetap menutupi auratnya. “Saya siap, Habib,” katanya pelan, suaranya nyaris bergetar, namun ada keyakinan di dalamnya, keyakinan yang telah ditanamkan oleh minggu-minggu penuh pesan, dzikir, dan mimpi yang membuatnya terbangun dengan jantungan. “Apa yang harus saya lakukan?”
Habib tersenyum tipis, ujung bibirnya melengkung dengan penuh rahasia. “Zahra, tubuhmu adalah amanah dari Allah. Tapi, seperti jiwa, ia juga bisa ternoda. Malam ini, kita akan membersihkannya. Kita akan menyerahkan tubuhmu kepada yang ditunjuk-Nya, agar menjadi ladang pahala.”
Zahra menelan ludah, tangannya mencengkeram tasbih lebih erat. “Saya… saya tidak mengerti sepenuhnya, Habib. Tapi saya percaya pada Anda. Anda adalah utusan-Nya, bukan?”
Habib mengangguk, tangannya meraih botol minyak zaitun di meja. Ia menuangkan sedikit ke telapak tangannya, aroma segar minyak itu bercampur dengan kemenyan, menciptakan suasana yang memabukkan. “Zahra, serahkan dirimu sepenuhnya. Lepaskan keraguan. Ini bukan tentang nafsu, ini tentang cinta kepada Allah.”
Zahra mengangguk pelan, meski di dalam dadanya ada badai kecil antara keyakinan dan keraguan. Ia menutup mata, mencoba fokus pada suara Habib yang mulai melantunkan ayat-ayat suci, suaranya dalam dan berirama, seperti ombak yang menghantam pantai perlahan. “Bismillahirrahmanirrahim…” Habib memulai, dan Zahra merasa tubuhnya melemas, seolah setiap kata itu melelehkan ketegangannya.
Habib bergerak mendekat, tangannya yang hangat menyentuh pundak Zahra. Jari-jarinya yang dilumuri minyak zaitun meluncur pelan di atas kain hijabnya, menelusuri garis lehernya yang tertutup. Zahra menahan napas, tubuhnya menegang sejenak, namun ia tidak menolak. “Tenang, Zahra,” bisik Habib, suaranya nyaris seperti mantra. “Ini adalah penyucian. Biarkan tubuhmu berbicara dengan ruhmu.”
Tangan Habib bergerak ke bawah, menyentuh lengan Zahra, lalu perlahan menyingkap hijabnya dari pundak. Kain kelabu itu meluncur ke bawah, memperlihatkan kulitnya yang pucat dan lembut, sedikit berkilau di bawah cahaya lampu. Zahra merasakan getaran di sekujur tubuhnya, campuran antara rasa takut dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Payudaranya yang tersembunyi di balik gamis tipis naik-turun seiring napasnya yang mulai tak beraturan.
“Habib…” Zahra berbisik, suaranya penuh keraguan namun juga penuh harap. “Apa ini benar-benar jalan menuju Allah?”
Habib tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menatapnya dengan mata yang dalam, seolah bisa melihat langsung ke dalam jiwanya. Tangannya kini meraih gamis Zahra, menyingkapnya perlahan hingga memperlihatkan perutnya yang rata dan pinggangnya yang ramping. Minyak zaitun di telapak tangan Habib terasa hangat saat ia mengusapkannya ke kulit Zahra, mulai dari perut hingga mendekati lekuk payudaranya yang masih terbungkus kain tipis. Zahra menggigit bibir, mencoba menahan desahan yang ingin keluar dari tenggorokannya.
“Tubuh ini suci, Zahra,” kata Habib, suaranya rendah, hampir seperti gumaman doa. “Tapi ia harus diserahkan kepada yang berhak, agar menjadi jembatan menuju-Nya.”
Zahra menutup mata, mencoba fokus pada ayat-ayat yang masih dilantunkan Habib di sela-sela bisikannya. Tapi sentuhan tangan Habib, yang kini meluncur ke bawah, ke arah pinggulnya, membuatnya sulit berkonsentrasi. Jari-jari Habib menelusuri garis pinggangnya, lalu menyelinap ke bawah kain gamis yang masih menutupi pahanya. Ia merasakan jembut halus di area kemaluannya, dan sentuhan itu membuat tubuh Zahra bergetar hebat. Vaginanya mulai terasa hangat, basah, meski ia berusaha menyangkal bahwa ini adalah nafsu.
“Habib… ini… apakah ini benar?” Zahra bertanya lagi, suaranya nyaris hilang di tengah napasnya yang memburu.
Habib berhenti sejenak, tangannya masih bertumpu di paha dalam Zahra. “Zahra, ini adalah dzikir jasadi. Tubuhmu sedang berdoa, menyatu dengan yang ditunjuk Allah. Lepaskan rasa bersalahmu. Ini adalah ibadah.”
Kata-kata itu seperti mantra yang mematahkan benteng terakhir Zahra. Ia mengangguk pelan, membiarkan tubuhnya rileks di bawah sentuhan Habib. Dengan gerakan yang penuh kendali, Habib menyingkap gamis Zahra sepenuhnya, memperlihatkan tubuh telanjangnya yang hanya diselimuti cahaya lampu dan aroma minyak zaitun. Payudaranya yang penuh dan putingnya yang mengeras terlihat jelas, dan Habib menatapnya dengan ekspresi yang bercampur antara kekaguman dan kepastian spiritual.
Habib menurunkan tubuhnya, wajahnya kini sejajar dengan perut Zahra. Ia mencium kulitnya dengan lembut, bibirnya menyusuri garis perut hingga mendekati pusar. Zahra mengerang pelan, tangannya mencengkeram karpet di bawahnya. Bibir Habib bergerak lebih ke bawah, menyentuh jembut halus di antara paha Zahra, lalu berhenti sejenak di bibir vaginanya yang sudah basah. Zahra menahan napas, tubuhnya menegang, namun ia tidak menolak. Ia merasa seperti berada dalam trans, di antara dunia nyata dan mimpi yang selama ini menghantuinya.
“Ya Allah…” Zahra berbisik, suaranya penuh campuran ekstase dan doa. “Ampuni hamba…”
Habib tidak berhenti. Lidahnya mulai menjelajahi bibir vagina Zahra, gerakannya lembut namun penuh tujuan, seolah setiap sentuhan adalah bagian dari ritual suci. Zahra menggeliat, pahanya membuka lebih lebar tanpa sadar, memberikan akses penuh kepada Habib. Rasa nikmat yang membuncah di tubuhnya membuatnya lupa pada Arman, lupa pada dunia luar, lupa pada segala keraguan yang pernah menghantuinya.
Setelah beberapa menit penuh foreplay yang intens, Habib bangkit, menatap Zahra dengan mata yang penuh kuasa. Ia melepaskan jubahnya, memperlihatkan tubuhnya yang ramping namun berotot, dan penisnya yang sudah tegang terlihat jelas di bawah cahaya lampu. Zahra menatapnya dengan campuran kagum dan takut, namun keyakinannya pada Habib membuatnya tetap pasrah. “Ini adalah jalanmu, Zahra,” kata Habib, suaranya dalam dan penuh wibawa. “Serahkan tubuhmu sepenuhnya.”
Zahra mengangguk, tubuhnya berbaring di atas karpet, kakinya terbuka lebar. Habib menempatkan dirinya di antara paha Zahra, penisnya menyentuh bibir vagina yang sudah basah. Ia masuk perlahan, memberikan waktu bagi Zahra untuk menyesuaikan diri dengan sensasi itu. Zahra mengerang, tangannya mencengkeram pundak Habib, kuku-kukunya meninggalkan bekas kecil di kulitnya. Gerakan Habib lambat namun dalam, setiap dorongan disertai dengan bisikan ayat-ayat suci yang membuat Zahra merasa seperti sedang melayang di antara dunia dan akhirat.
“Ya Allah… ya Rabbi…” Zahra berulang-ulang menyebut nama Tuhan, suaranya bercampur dengan desahan kenikmatan. Tubuhnya bergoyang seiring irama Habib, payudaranya bergetar setiap kali Habib mendorong lebih dalam. Puting payudaranya yang mengeras menjadi pusat perhatian Habib, yang kini membungkuk untuk mencium dan mengisapnya dengan lembut, membuat Zahra semakin tenggelam dalam gelombang ekstase.
Posisi mereka berubah. Habib mengangkat tubuh Zahra, memintanya untuk duduk di pangkuannya. Zahra mematuhi, kakinya melingkar di pinggang Habib, sementara penisnya kembali masuk ke dalam vaginanya dengan sudut yang lebih dalam. Zahra memeluk leher Habib, wajahnya terkubur di pundaknya, sementara tubuhnya bergerak naik-turun, mengikuti irama yang ditentukan oleh tangan Habib yang mencengkeram pantatnya. Setiap gerakan membuat Zahra merasa seperti sedang menari dalam doa, setiap sentuhan adalah bagian dari ibadah yang ia yakini.
“Zahra… ini adalah cinta yang suci,” bisik Habib di telinganya, suaranya penuh gairah namun tetap terkontrol. “Tubuhmu adalah milik Allah, dan aku hanyalah perantara.”
Zahra tidak menjawab, hanya mengerang lebih keras, tubuhnya mulai menegang saat gelombang orgasme mendekat. Habib mempercepat gerakannya, tangannya mencengkeram pantat Zahra lebih kuat, mendorongnya untuk mencapai puncak. Saat orgasme akhirnya datang, Zahra menjerit pelan, tubuhnya gemetar hebat, dan air matanya mengalir—bukan karena rasa bersalah, tetapi karena keyakinan bahwa ia telah menemukan jalan menuju Allah melalui tubuhnya.
Habib mencapai klimaks sesaat kemudian, tubuhnya menegang sebelum akhirnya rileks. Ia tetap memeluk Zahra, membiarkan napas mereka berdua menyatu dalam keheningan ruangan. Zahra terkulai di pelukannya, tubuhnya lemas namun penuh kedamaian yang aneh, seolah ia baru saja menyelesaikan sholat yang paling suci dalam hidupnya.
“Apakah… saya sudah suci sekarang, Habib?” tanya Zahra, suaranya lemah, hampir seperti anak kecil yang mencari pengakuan.
Habib mencium keningnya dengan lembut, tangannya membelai rambut Zahra yang basah oleh keringat. “Kau telah menyerahkan dirimu kepada Allah, Zahra. Ini baru permulaan. Masih banyak jalan yang harus kau tempuh.”
Zahra mengangguk, matanya terpejam. Di dalam hatinya, ia merasa telah menemukan tujuan yang lebih besar, meski di sudut kecil jiwanya, bayangan Arman masih berdiri, menatapnya dengan mata penuh luka. Tapi bayangan itu kini terasa jauh, seperti mimpi yang dulu pernah nyata, namun kini hanya kabut yang perlahan menghilang.
Malam itu, di ruangan kecil beraroma kemenyan dan minyak zaitun, Zahra merasa telah menyerahkan tubuh dan jiwanya kepada sesuatu yang lebih besar. Ia tidak tahu bahwa jalan yang ia pilih akan membawanya semakin jauh dari Arman, dari rumah kecil mereka, dan dari dirinya sendiri yang dulu.
Bersambung
https://sites.google.com/view/cerita-sprachgewandt/home?authuser=0
315Please respect copyright.PENANAbsCyFYPxtO