
(Forgive me for the chapter covers, awalnya nggak nyangka bakal posting di luar platform Wattpad...)
46Please respect copyright.PENANAGV8j5oBQvE
******
Chapter 1 :
Butterfly in the Dark
******
46Please respect copyright.PENANAAVWuH7n5F2
HARIN menghela napasnya dengan berat. Malam ini tubuhnya terasa lelah sekali; punggungnya terasa amat pegal akibat terlalu lama membaca di perpustakaan kampus. Menghabiskan waktu hingga malam hari di perpustakaan kampus demi menyelesaikan tugas ternyata adalah ide yang buruk. Saking lelahnya, rasa lapar akibat belum makan malam pun tidak lagi Harin rasakan, yang tersisa hanyalah rasa lelah.
Harin mengerang tatkala ia memijit leher bagian belakangnya seraya memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Lehernya terasa sakit juga; ia berasa seolah-olah sedang membawa beban seberat dua karung beras di punggung hingga ke bagian lehernya. Kakinya pun jadi lemah—rasanya enggan sekali dibawa berjalan jauh malam-malam begini—tetapi dia harus pulang. Dia ingin cepat-cepat sampai di apartemen, mandi, lalu langsung membanting tubuhnya ke kasur. Ah, itu terdengar sangat menggoda sebab seluruh tulangnya serasa remuk malam ini. Jalanan di lorong yang sedang ia lalui itu pun gelap, sepi, dan sialnya lampu jalan yang ada di depan apartemennya itu juga sudah rusak sejak satu minggu yang lalu.
Untungnya, hampir tidak pernah ada kejahatan di sekitar sana. Mudah-mudahan rekor itu bertahan sampai dengan hari ini, setidaknya, soalnya Harin betul-betul tidak ada tenaga lagi untuk berlari demi menghindari penjahat. Apartemennya ada di depan sana, sekitar dua puluh langkah lagi. Mengapa dua puluh langkah terasa seperti jauh sekali?
Ah, Harin lupa. Dia juga sedang ada masalah hari ini. Masalah yang membuat rasa lelahnya bertambah menjadi dua kali lipat.
Dengan berjalan seraya terus menghela napas lelah, Harin pun akhirnya hampir sampai di depan apartemennya. Ia sudah bisa melihat pagar putih apartemennya dari tempat ia berdiri sekarang. Apartemennya itu bukanlah jenis apartemen yang di daerah terasnya terdapat begitu banyak lampu. Lampunya seadanya, hanya menerangi hingga ke pagar. Di seberang apartemennya itu—dipisahkan oleh jalanan kompleks yang sedang Harin lalui—terdapat sebuah pohon yang tinggi dan di sebelah pohon itu berdirilah lampu jalan yang sedang rusak. Harin melihat ke arah pohon rimbun itu sejenak, out of habit. Mata Harin memang agak sayu karena sedang lelah, tetapi di dalam penglihatan mata lelahnya itu, ia mampu melihat bahwa ada sebuah siluet berwarna hitam yang berdiri di bawah pohon tersebut.
Harin agak memicingkan matanya; ia menajamkan penglihatannya. Dia ada firasat bahwa dia hanya salah lihat karena matanya sedang lelah, tetapi di sisi lain ia juga penasaran sebenarnya siluet itu sungguhan atau tidak. Namun, mungkin akan lebih bagus kalau itu tidak sungguhan, soalnya Harin tidak mau menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang tidak ia inginkan.
Namun, tak lama kemudian, siluet itu maju ke depan. Ke arah Harin.
Melangkah mendekat.
Harin pun terkejut, dia spontan berhenti melangkah dan semakin memperjelas pandangan matanya. Kali ini matanya terbuka penuh. Rasa lelahnya jadi agak hilang; siluet yang dia lihat itu sepertinya nyata. Siluet itu bergerak mendekatinya.
Hingga akhirnya, sosok itu pun keluar dari area gelap yang ada di bawah pohon itu. Ia terlihat seolah tengah keluar dari kegelapan malam. Perlahan-lahan tubuh sosok yang tinggi itu pun terlihat akibat terkena sinar lampu remang-remang dari balik pagar apartemen Harin. Sinar lampu itu sesungguhnya hanya berupa sedikit pias, tetapi berhasil membuat sosok yang tinggi itu terlihat walau samar. Sinar tersebut mampu mencetak bayangan tubuh sosok itu di aspal jalan kecil yang sedang Harin lewati, mengonfirmasi bahwa: benar, itu adalah manusia.
Namun, begitu Harin melihat bentuk tubuh orang itu dengan jelas, lalu mencium aroma yang khas dari sosok itu…serta style-nya yang terlihat familier, jantung Harin jadi seakan berhenti berdegup sejenak. Napasnya sontak tertahan. Setelah itu, degupan jantungnya mendadak berubah total; degupannya kini menjadi lebih intens.
46Please respect copyright.PENANAVz0YlvtFGa
Oh Tuhan.
Harin kenal sosok itu.
Tidak. Itu…jangan-jangan…
46Please respect copyright.PENANAwwYgnTidl9
“My Rin,” panggil sosok itu dengan suaranya yang dalam; suara khasnya yang terdengar berat. Suara yang amat Harin kenali. Suaranya seakan mengonfirmasi tentang siapa dirinya kepada Harin.
Harin benar. Dugaannya benar.
Tak ayal, Harin melihat sosok itu lagi dengan saksama. Tubuhnya yang tampak kekar dan tinggi itu mulai semakin maju dan akhirnya benar-benar terlihat oleh Harin. Cahaya lampu dari balik pagar itu kini telah menerangi wajah tampannya, garis rahangnya yang tajam, hidung mancungnya, hoop earrings di telinganya yang bertindik, serta tato di lehernya. Sosoknya yang tengah memakai leather jacket berwarna hitam dengan jeans yang juga berwarna hitam, rambut hitam kecoklatannya, semuanya kini terlihat jelas di mata Harin.
Ini adalah Jeon Jungkook.
46Please respect copyright.PENANAdfYyvJWmuM
Kekasihnya.
46Please respect copyright.PENANAZRhNYCtrsR
“…Jungkook?” Harin masih ingin memastikan, padahal sudah jelas-jelas bahwa itu memang adalah Jungkook. Pemuda itu berdiri di sana, berhadapan dengannya, dan menatapnya dengan intens.
Jeon Jungkook. Pemuda berwajah tampan dan bertubuh kekar yang kuliah di universitas yang sama dengan Harin, tetapi berbeda jurusan. Pemuda itu adalah seorang pembalap mobil yang andal; dia mahasiswa dari jurusan Bisnis. Berbeda dengan Harin. Harin merupakan seorang mahasiswi jurusan Pendidikan Matematika. Harin adalah mahasiswi andalan kampus; dia mahasiswi top yang terkenal rajin dan cerdas, tetapi dia bukan tipe-tipe gadis kutu buku yang biasanya berkacamata. Dia cantik. Cantik dan cerdas. Kulitnya putih, rambutnya panjang hingga sepunggung dan berwarna hitam kelam, seperti malam yang gelap.
Dengan panggilan dari Harin tersebut, Jungkook pun memiringkan kepalanya, tersenyum tipis, lalu mendekati Harin. Semakin pemuda itu melangkah mendekat, semakin jelas pula tercium aroma tubuhnya yang begitu wangi, segar, dan khas di indra penciuman Harin. Ketukan langkahnya di aspal itu terdengar begitu jelas, entah karena jalanan ini sedang sepi…atau karena Harin terlalu fokus kepadanya.
Tatkala pemuda itu sudah berada sangat dekat dengan Harin, dalam waktu sepersekian detik Harin merasa bahwa tiba-tiba saja tubuhnya dipeluk. Sebelah tangan pemuda itu meraih pinggang bagian belakang Harin, kemudian meraih tubuh Harin untuk mendekat ke dada bidangnya. Harin kini telah berada di dalam pelukan pemuda itu sepenuhnya. Pelukan itu terasa hangat dan begitu familier. Aroma tubuhnya menguar di sekitar Harin dan itu sangatlah memabukkan. Harin kemudian merasa bahwa kening, pipi, serta lehernya mulai dicium-cium kecil oleh bibir lembut milik pemuda itu. Napas pemuda itu terasa begitu hangat di wajah dan leher Harin, hampir membuat Harin merasa tak berdaya dan ingin keadaan itu terus berlanjut. Apalagi saat ini Harin sedang lelah minta ampun. Pelukan dan ciuman tersebut jelas mampu membuat orang yang lelah jadi terlena seketika. It makes you wanna surrender. Giving in.
Namun, selelah-lelahnya Harin, untungnya otaknya masih berfungsi. Logikanya masih berjalan. Meski rasa lelah dan degupan jantungnya itu tidak seirama dengan jalan pikirannya, ia tetap ingin memenangkan jalan pikirannya. Logika yang ia miliki.
Ya. Hari ini hubungannya dengan Jungkook sedang tidak baik-baik saja. Mereka sudah bertengkar sejak tadi siang.
Spontan Harin pun melepaskan pelukan itu. Dia kemudian mundur selangkah, lalu menatap Jungkook dengan tatapan kesal. Keningnya berkerut; alisnya hampir menyatu. “Apa yang kau lakukan di sini?! Pulang sana.”
Mata Jungkook sedikit melebar.
Setelah itu, pemuda itu menghela napas.
“Sayang, aku ingin bertemu denganmu,” jawab pemuda itu, ia terdengar sedikit frustrasi. “Sudah seharian ini kita tidak bertemu.”
“Aku tidak ingin bertemu dengan seorang pembohong. Mana mobilmu? Pulang sana. Aku sedang tak ingin melihatmu.” Harin mendengkus kesal. Gadis itu langsung bergerak ke samping, berencana untuk berjalan meninggalkan Jungkook di sana. Namun, naas, dengan cepat lengannya ditahan oleh Jungkook. Lengan Harin jadi berasa kecil jika dibandingkan dengan tangan kekar Jungkook.
“Mobilku sengaja kuparkir agak jauh dari sini supaya kau tak bisa melihatnya,” jawab Jungkook, kemudian pemuda itu mendekati Harin lagi agar mereka bisa kembali berhadapan. “Jika kau melihat mobilku, niscaya kau akan berlari demi menghindariku dan aku takkan bisa berbicara denganmu.”
“Kau pikir jika kau seperti ini, aku jadi ingin berbicara denganmu?! Tidak. Tetap tidak,” balas Harin. “Lepaskan tanganku.”
“Setidaknya dengan begini aku jadi punya kesempatan untuk berbicara denganmu. Dengar aku.” Genggaman tangan Jungkook pada lengan Harin terasa semakin mengerat; pemuda itu enggan melepaskan Harin begitu saja. “Sayang, aku ke sini karena aku tak mau kau terus marah padaku.”
“Kalau kau tak ingin aku marah padamu, seharusnya kau tidak berbohong padaku!!” teriak Harin pada akhirnya. Kekesalannya sejak tadi siang akhirnya tumpah semua—tidak, ini sebenarnya adalah kekesalan yang sudah ia pendam sejak lama—dan ia pun mengempaskan tangan Jungkook yang tengah menahannya itu dengan kuat. Sangat kuat. Ini karena ia tahu bahwa kekuatan Jungkook itu amatlah sulit untuk ia kalahkan. “Kau terus berbohong, terus saja membohongiku, dan kau berharap kalau aku tidak marah padamu?! Apa kau gila?!”
“Rin, aku berbohong padamu karena aku tak ingin kau marah padaku,” ujar Jungkook dengan frustrasi. Dia kembali menahan tangan Harin. Dia pun mulai mencoba untuk memegang kedua pipi Harin, tetapi kedua tangannya itu langsung diempaskan begitu saja oleh Harin.
“Bullshit, Jungkook,” jawab Harin. “Kau selalu berbohong, mulai dari hal kecil sampai hal besar. Alasannya sering kali seperti ini: agar aku tak marah padamu. Tidak masuk akal, Jungkook. Otakku tak bisa mencernanya sama sekali. Aku tak ingin mendengarmu lebih jauh. Pergilah. Pergi sana.”
“Sayang,” panggil Jungkook sekali lagi. Nada suaranya terdengar amat serius, begitu mengintimidasi. “aku berbohong padamu soal balap mobil hari ini karena aku tahu bahwa kau akan marah padaku jika aku bilang bahwa aku mengikutinya. Kau menyuruhku untuk beristirahat sejenak karena mobilku hampir bertabrakan dengan mobil Hyun di pertandingan yang sebelumnya. Namun, hari ini ada race penting, Sayang, dan senior menuntutku untuk ikut.”
“Berbohong tetaplah berbohong, Jungkook,” jawab Harin. “Kau bisa saja memberitahuku soal race penting itu dan memohon padaku, tetapi kau justru memilih untuk berbohong. Kau selalu memilih untuk membohongiku.” Mata Harin mulai memerah; dia hampir menangis. Dia sungguh tidak suka kalau dibohongi terus menerus seperti ini. Banyak sekali kebohongan yang Jungkook katakan kepadanya. Terakhir kali Jungkook pernah terlihat berduaan dengan seorang perempuan; mereka mengobrol hingga tertawa bersama. Namun, ketika Harin menanyainya, pemuda itu memilih untuk berkata bahwa dia dan perempuan itu hanya sedang mengerjakan tugas kuliah bersama. Dia memilih untuk berbohong, padahal jelas-jelas Harin melihat bahwa mereka berdua hanya sedang mengobrol dengan akrab, tidak ada tugas yang sedang dikerjakan. Seolah-olah Jungkook sengaja menutupinya. Sengaja membuat kebohongan yang sangat kentara itu.
Kebohongan demi kebohongan itu sukses membuat Harin jadi merasa tidak berharga. Tidak dihargai sama sekali. Tidak penting, sampai-sampai Jungkook memilih untuk membohonginya saja alih-alih jujur padanya. Jika ia penting bagi Jungkook, Jungkook takkan membohonginya. Jungkook pasti akan jujur padanya apa pun keadaannya. Namun, dia terus menerus dibohongi. Dia jelas-jelas sedang dipermainkan oleh Jungkook. Diremehkan. Dia tidak dihormati dan dihargai oleh kekasihnya sendiri. Kekasih yang sudah menjalin hubungan dengannya selama lima tahun lamanya.
“Rin.” Jungkook menghela napas samar. “I told you that I didn’t want you to be mad at me. I’m really sorry.”
“Pulanglah, Jungkook. Sungguh, pulanglah,” pinta Harin dengan jemu. Dia menyisir rambutnya ke belakang dengan frustrasi, lalu dia menundukkan pandangannya. Tak ingin melihat wajah Jungkook. “Tinggalkan aku sendiri. Kumohon.”
Kembali terdengar helaan napas berat Jungkook di depannya. Mereka berdua sama-sama diam, keadaan itu bertahan hingga sekitar empat detik lamanya. Udaranya terasa begitu berat, tekanannya sangat tinggi. Situasi itu nyaris membuat Harin jadi sesak napas.
“Baiklah,” jawab Jungkook pada akhirnya. Suara pemuda itu terdengar begitu dalam. “tetapi syaratnya, besok kita harus pergi ke kampus bersama-sama.”
Harin mengernyitkan dahi. Mengapa jadi ada syarat seperti ini?
Namun, terserahlah. Harin sedang bad mood. Dia tak ingin berpikir lama-lama. Dia hanya ingin Jungkook pergi dari hadapannya agar ia bisa menyendiri dan beristirahat di dalam apartemennya.
“Terserah. Sekarang pulanglah. Pergi dari sini. Aku mau istirahat,” ucap Harin dengan cepat, ia pun langsung berjalan meninggalkan area jalan kecil itu dengan langkah yang lebar, menyeberanginya hingga sampai tepat di depan pagar apartemennya. Setelah itu, dia membuka pagar tersebut, masuk dengan cepat, lalu mengunci pagar itu kembali dari dalam.
Harin sungguh tidak menginginkan ini. Rasanya dia jadi sangat emosional dan logikanya melawan ini semua. Tidak seharusnya dia membiarkan dirinya dibohongi terus menerus seperti ini, padahal dia tahu jelas bahwa dia sedang dibohongi dan dipermainkan. Dia membiarkan dirinya untuk bersikap bodoh hingga seluruh sel-sel di dalam tubuhnya seolah meronta padanya untuk berhenti menoleransi ini semua.
Namun, benar kata orang: hati memang selalu ingin diutamakan. Hati Harin selalu berhasil membujuk seluruh logikanya untuk menurut. Rasa cinta yang sudah dipupuk selama bertahun-tahun itu membuat hatinya jadi berperang melawan seluruh anggota tubuhnya dan anehnya hatinya berhasil menang.
Harin tahu jelas bahwa ia sedang dipermainkan, tetapi dia malah membiarkan dirinya untuk tetap tenggelam. Seolah berpura-pura buta dan tuli. Berpura-pura bodoh. Kadang Harin bertanya-tanya: apakah semua perempuan seperti ini? Soalnya, Harin selalu mengutamakan perasaannya dibandingkan logikanya; dia selalu mengutamakan apa yang hatinya rasakan walau otaknya sudah berkali-kali mengumpat padanya karena tidak kunjung melepaskan diri dari siklus yang tak pernah berakhir ini.
Harin pun naik ke lantai dua apartemen tersebut (apartemen itu hanya memiliki dua lantai dan tidak terlalu besar), lalu dia berhenti di depan sebuah pintu yang berada di tengah-tengah. Itu adalah apartemen kecil miliknya. Harin pun merogoh tasnya dan mencari kunci pintu apartemennya dengan terburu-buru. Dia ingin cepat-cepat masuk ke dalam apartemennya. Dia benar-benar muak dan kesal dengan semua yang telah terjadi, terlebih saat ini ia sedang merasa lelah.
Ketika sudah berhasil masuk ke dalam apartemennya, Harin lantas menutup pintu depan apartemen itu dengan lumayan kencang. Dia langsung pergi ke kamarnya, meletakkan tasnya di atas meja belajar, lalu mengambil handuknya yang tergantung di sebuah gantungan handuk yang terletak di depan kamar mandi.
Ia harus mendinginkan kepalanya. Setelah ini dia harus memakai sepasang baju tidur yang hangat, lalu tidur. Dia sungguh lelah hari ini. Urusan besok biarlah terjadi besok. Dia benar-benar butuh istirahat sekarang.
46Please respect copyright.PENANAGDknHIu1tC
******
46Please respect copyright.PENANA3WQwrGyaxg
“Hah...” Harin mengerang tatkala baru saja keluar dari kamar mandi. Rasanya lega sekali; hampir separuh beban di tubuhnya seakan terangkat. Tubuhnya jadi segar. Dia pun mengeringkan rambutnya dengan handuk, mengusap-usapnya dengan gerakan cepat, sebelum tiba-tiba ponselnya berdering.
Mata Harin melebar. Gadis itu kemudian mendekat ke arah meja belajarnya dan langsung merogoh tas kuliahnya tadi untuk mencari ponselnya. Tatkala ia berhasil membuka kunci pola ponselnya, dahinya tiba-tiba mengernyit. Ia melihat ada sebuah pesan dari tetangganya yang jarang sekali mengirimkan pesan kepadanya. Ini dari ibu-ibu yang ada di sebelah rumahnya.
Harin pun membuka pesan tersebut.
46Please respect copyright.PENANA21JWe49vKm
Bu Nam 08.02 P.M
Harin, apakah laki-laki yang menunggu di luar itu pacarmu?
—Read, 08.03 P.M
46Please respect copyright.PENANAMiWr3qQrg8
Mata Harin terbelalak. Hah? Di luar?
Sebentar.
Tidak mungkin, ‘kan?
46Please respect copyright.PENANAuE8Mu2TT8Q
Harin sontak langsung berlari ke ruang tamu dan membuka tirai jendela yang mengarah ke bagian depan gedung apartemennya. Jendela itu berada tepat di samping pintu. Jika kau melihat melalui jendela itu, niscaya kau akan bisa melihat ke bawah sana. Mulai dari halaman gedung apartemen hingga ke luar pagar apartemen.
Setelah itu, betapa terkejutnya Harin saat mendapati bahwa,
46Please respect copyright.PENANAjWdWvTT5e9
…Jungkook masih ada di sana.
46Please respect copyright.PENANARQAlN4iAQQ
Dia tidak pulang!
46Please respect copyright.PENANAPFHqCVFg99
Spontan Harin langsung masuk ke kamar lagi dan mulai mencari baju tidurnya dengan cepat. Dia menggerutu kesal seraya bertanya-tanya di dalam hati. Mengapa Jungkook tidak pulang? Kan tadi aku menyuruhnya untuk pulang! Apa yang dia lakukan, berlama-lama di depan sana?
Harin lalu memakai pakaiannya, menggantung handuknya kembali, dan menyisir rambutnya yang masih basah. Setelah selesai, dia pun mengambil kunci pagar, lalu keluar dari kamarnya dan berjalan menyusuri ruang tamu hingga akhirnya dia membuka pintu depan dan pergi ke luar.
Saat keluar dari apartemennya—seraya menutup pintu yang ada di belakangnya itu—Harin menatap ke luar pagar seraya menghela napas. Kali ini dia benar-benar melihat Jungkook ada di sana, masih berdiri di depan pagar apartemennya. Bedanya kali ini mobil sport berwarna hitam milik Jungkook itu sudah terparkir di sana. Jungkook duduk di atas bumper depan mobilnya; kepalanya sedikit tertunduk dan kedua tangannya bersilang di depan dada.
Harin pun turun dari lantai dua. Dia berjalan menyusuri halaman depan apartemennya dan saat sampai di dekat pagar, ia pun mulai membuka kunci pagar tersebut. Tanpa ia sadari, suara yang ia timbulkan saat membuka kunci pagar itu sukses membuat Jungkook menoleh. Pemuda itu lalu bangkit dari posisi duduknya dan berjalan mendekat ke pagar. Pagar itu sebenarnya sangat tertutup—tidak ada celah di antara besi-besi penyusunnya—jadi ia belum tahu itu Harin atau bukan.
Tatkala pagar itu berhasil dibuka, Harin bisa melihat Jungkook yang sudah berdiri tidak jauh di depannya; mata pemuda itu tampak sedikit melebar. Tatapan mata itu kemudian berubah menjadi tatapan yang sangat lembut tatkala ia mengetahui bahwa ternyata Harinlah yang membuka pagar. Harin pun meneguk ludahnya, lalu akhirnya tubuh gadis itu keluar sepenuhnya. Ia menutup pagar itu kembali sebelum akhirnya ia berjalan mendekati Jungkook. Pemuda itu juga mulai berjalan ke arahnya.
“Sayang,” sapa Jungkook.
Harin langsung mengernyitkan dahi. Dia mulai kesal lagi. “Kan aku sudah menyuruhmu untuk pulang. Apa yang kau lakukan di sini?”
“…tapi kau datang menemuiku,” jawab Jungkook, pemuda itu memiringkan kepalanya seraya tersenyum.
“Ibu Nam yang tinggal di sebelah memberitahuku bahwa ada seorang lelaki yang sedang menunggu di depan pagar,” jelas Harin. “Kau membuat mereka jadi bertanya-tanya, Jungkook! Pergilah sebelum orang lain merasa terganggu.”
“Orang-orang yang tinggal di sini seharusnya sudah mengenaliku, Sayang,” jawab Jungkook. “Aku sering datang ke sini; aku sering main ke apartemenmu, ‘kan? Itu sebabnya tetanggamu langsung menanyaimu, padahal ada perempuan lain di sini yang juga belum menikah.”
Harin menggaruk kepalanya, padahal kepalanya tidak terasa gatal sama sekali. Dia jadi pusing sendiri. “Jadi, mengapa kau menunggu di sini, Jungkook? Ada apa? Kan tadi aku sudah menyuruhmu untuk pulang…dan kau setuju.”
Alih-alih menjelaskan, Jungkook justru tersenyum miring.
Entah mengapa, Harin mendadak bergidik. Melihat senyuman miring Jungkook malam itu, di antara cahaya dari balik pagar dan sedikit bintang yang ada di atas langit, Harin terpaku di pijakannya. Lidahnya mendadak kelu. Dia benar-benar ingin tahu apa arti dari senyuman Jungkook itu sampai-sampai ia tak sadar bahwa Jeon Jungkook, kekasihnya itu, telah berjalan mendekat ke arahnya dengan langkah yang perlahan tapi pasti.
Saat posisinya sudah benar-benar dekat dengan Harin, Jungkook mulai mengulurkan jemarinya untuk mengusap kepala bagian belakang Harin dengan penuh kasih sayang. Senyum miringnya itu berubah menjadi senyuman yang lembut, tetapi agaknya penuh dengan berbagai rahasia. Matanya menatap Harin dengan begitu dalam; usapannya di kepala Harin juga terasa sangat…nyaman.
Beberapa saat kemudian, suara Jungkook pun kembali terdengar.
46Please respect copyright.PENANAtLhJAW4y8D
“If I’m a liar, then you shouldn’t believe a liar, Baby.”
46Please respect copyright.PENANAKTaNaD2UmQ
Itulah kalimat terakhir yang Harin dengar…sebelum akhirnya Jungkook mencium bibirnya dengan sensual. []
46Please respect copyright.PENANAiNUm9qQQ4k
46Please respect copyright.PENANAlewFLg4SXi
46Please respect copyright.PENANA9aX8U10g1g
46Please respect copyright.PENANAxvB9mWe57l
46Please respect copyright.PENANA9ogTcNRCYr
46Please respect copyright.PENANAiFyOOxHh5j
******
Note: You can read the non-fanfiction version of this story on GoodNovel or any app that connected to HopWriter.
46Please respect copyright.PENANAuXxrTrSiqr