Tapi alih-alih membalas dengan ejekan seperti biasanya, dia malah mengangkat bahu santai. “Yaudah… gue tanggung jawab.”
Gue sempat terdiam. “Eh?”
Beneran kah ini?
Sebelum aku bisa mencerna, Vania sudah melangkah ke belakang kursi meja belajarnya, lalu menepuk-nepuk sandaran kursi. “Duduk sini dulu.”
Aku melangkah mendekat, mataku menyipit curiga. “Ngapain?”
Vania terkekeh, lalu bersedekap. “Karena lo udah jadi kacung gue dengan baik selama ini, gue mau kasih hadiah. Sekalian, anggap aja ini… pelajaran tambahan.”
Aku menelan ludah. Bagian mana dari ini yang bercanda, dan bagian mana yang serius?
Tapi bahasa tubuh Vania yang sedikit lebih manja dari biasanya bikin aku nggak bisa berpikir jernih.
“Cepetan, bego!” desaknya, lalu menarik tanganku dan mendorongku duduk.
Jantungku berdebar nggak karuan. Keberuntungan macam apa lagi yang bakal gue dapet hari ini?
Sementara aku duduk dengan patuh, Vania mulai mengaduk-aduk rak mejanya, seolah lagi cari sesuatu.
Dan posisi badannya… sedikit nungging.
Anacondaku, yang dari tadi udah tegang, makin tersiksa melihat pemandangan indah di depanku—pantat bulat yang terbungkus celana pendek berbahan tipis, dengan garis celana dalam yang nyeplak jelas di permukaannya.
Waduh…
Bentuknya nggak yang jumbo montok kayak di video-video bokep genre bbw, tapi ini punya vania bulet, proporsional, dan sekel banget. Ramping, tapi tetap berisi. Setiap dia gerak, gundukan pantatnya geter-geter kayak kue bolu yang baru keluar dari oven. Ya ampun, Vania gitu loh!
Dalam hati, aku langsung bertanya-tanya: ini dia sengaja kasih pemandangan atau nggak sih?
Yang jelas, aku nggak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Mataku merekam setiap detailnya, dan dalam hati aku berdoa semoga barang yang dia cari nggak ketemu-ketemu. Jujur, pengen aku tampar tuh kue bolu buletnya Vania—bukan buat kurang ajar, tapi murni demi riset tekstur. Tapi aku juga masih pengen hidup. Jadi, ya, cukup kutatap dengan penuh pengabdian.
Tapi ya, Tuhan sepertinya nggak berbaik hati kepadaku hari ini.
“Oh… ketemu!” seru Vania tiba-tiba, membuatku langsung menelan ludah.
Dia mengangkat benda yang baru dia temukan. Aku menyipitkan mata, mencoba mengenali apa itu. Kayak gelang… warna pink… berbulu… ada rantainya yang menghubungkan kedua gelangnya…
Tunggu.
Fix, ini borgol mainan!
Aku pernah lihat benda sejenis di salah satu film bokep yang kutonton. Jadi… Vania punya beginian? Hah?!
Tunggu dulu… buat apa dia ambil itu?
Sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, Vania sudah bergerak cepat. Dia melangkah ke belakangku yang masih duduk bersandar, meraih kedua tanganku, dan sebelum aku bisa protes…
KLIK.
Tanganku terkunci di belakang sandaran kursi.
“Lah? Van? Ngapain gue yang diborgol?” tanyaku panik.
Vania melangkah ke depan, menatapku dengan senyum jahilnya yang khas. “Biar lu nggak banyak gerak…” katanya santai.
Aku masih mencoba mencerna situasi ketika dia jongkok di depanku, ekspresinya nggak berubah. Lalu dia melanjutkan, “Gue mau nyepongin kontol elu.”
Hah?
Jantungku hampir copot.
Anjir. Seriusan?!
Otakku langsung nge-lag. Aku udah pernah membayangkan skenario ini ribuan kali dalam pikiranku, tapi nggak pernah menyangka kalau itu bakal kejadian beneran.
Buset dah… kalau ini hadiah karena udah jadi kacungnya Vania, gue rela seumur hidup jadi budaknya!
Dengan santai, Vania merapikan rambutnya, menariknya ke belakang, lalu mengikatnya menjadi kuncir kuda. Persis seperti yang dilakukan kebanyakan pemeran cewek di film bokep kalau lagi mau nyepongin kontol.
Gue nggak tahu apakah ini nyata atau mimpi… tapi kalau ini mimpi, tolong jangan bangunin gue dulu.
Vania, yang masih bersimpuh di lantai, bergerak lebih dekat. Mata jahilnya menatapku lekat-lekat, seperti menikmati ekspresiku yang mulai panik.
Tanktop hitamnya yang ketat masih melekat sempurna di badannya, memperlihatkan sebagian besar kulit putih mulus di belahan dada, bahu, dan lehernya. Rambut panjangnya kini terikat rapi dalam ponytail, dan di atas kepalanya, bando kelinci pink pastel itu masih bertengger manis, memastikan nggak ada helaian rambut yang menutupi wajahnya yang putih berseri.
Gue menelan ludah.
Ini beneran Vania?
Entah gue yang selama ini buta atau gimana, tapi kenapa gue baru sadar kalau temen gue ini kelihatan makin cantik? Mukanya bersih banget, entah efek habis skincarean atau memang dari dulu gitu.
“Lu udah siap?” tanyanya, suaranya santai tapi ada nada menggoda di baliknya.
Gue cuma bisa mengangguk pelan. Masih kaget. Masih nggak percaya ini kejadian beneran.
Dan waktu tangannya menyentuh pinggiran celanaku, jantungku rasanya mau copot.
Biasanya, kalau adegan begini kejadian di mimpi, begitu celana gue ditarik, gue pasti langsung kebangun.
Tapi ini masih nyata.
Dan sekarang, Vania menggenggam mantap pinggiran celana sekaligus boxer dalamanku.
“Srett—!”
Satu tarikan kuat.
Tuing!
Anacondaku mencuat, berdiri tegak menatap langit-langit kamar kosnya Vania dengan penuh keyakinan.
Vania refleks mundur sedikit, matanya melirik ke bawah—lalu balik ke gue, ekspresinya… campur aduk. Antara kaget, geli, dan mungkin—mungkin aja—sedikit terpukau sama kontol gedeku?
“Eh…” Dia berkedip beberapa kali, lalu nyengir. “Gede juga ya…”
Gue nggak tahu harus bangga atau malu.
“Bersih nggak nih?” Vania mendadak menyipitkan mata, ekspresi curiganya naik dua level. “Kok baunya pekat banget?”
Waduh.
“B-bersih lah! Gue baru mandi tadi sore.” Jawab gue cepat, meski, uh… dalam hati, gue nggak seratus persen yakin apakah tadi bersihinnya udah maksimal atau masih ada yang ketinggalan.
Vania mendecak. “Tunggu bentar.”
Dia bangkit, berjalan ke kamar mandi sambil menggeleng pelan. “Gue bersihin dulu, daripada mulut gue kenapa-kenapa.”
Aku melongo.
Otakku masih loading keras, berusaha mencerna semuanya.
Anjir.
Gue dapet full service dari Vania…?!
Aku mencoba mengatur napas, tapi semakin berusaha tenang, semakin terasa absurd. Ini beneran kejadian?
Vania keluar dari kamar mandi beberapa menit kemudian, bawa ember sama handuk kecil yang udah dibasahi air hangat. Dia berjalan ke arahku dengan ekspresi masih jahil, tapi ada sesuatu di matanya yang aku nggak bisa tebak.
"Udah siap, bocah cupu?" katanya sambil berjongkok di depanku lagi.
Aku mengangguk sambil menelan ludah.
Aku duduk di atas kursi, tangan diborgol di sandaran kursi, tanpa bawahan dan dengan kontol yang ngaceng parah. Ini pertama kalinya ada cewek yang bakal nyepongin kontolku, bahkan repot-repot bersihin dulu.
Dan bukan sembarang cewek. Tapi temen gue sendiri.
Vania bersimpuh di depanku, wajahnya tetap tenang, percaya diri, kayak ini cuma hal remeh.
"Heh," dia mendecak pelan sambil mencelupkan kain kecil ke dalam ember berisi air hangat. "Tumben diem. Biasanya banyak bacot."
Gue menelan ludah, kata-kata udah kabur entah ke mana. Gue yang biasanya santai dan suka ngeledek, sekarang malah kayak bocah polos yang nggak tahu harus ngapain. Bukan cuma karena situasinya yang absurd, tapi juga karena tangannya, yang sekarang udah memeras kain itu dengan perlahan, lalu mengusapnya ke batang kontol.
Waktu kain basah pertama kali menyentuh batang kontol gue, refleks gue kaget. Bukan karena sakit, tapi lebih ke... aneh. Sensasinya anget. Terus… ngilu-ngilu merinding tapi enak.
"Geli, ya?" tanyanya dengan nada menggoda. Senyum liciknya kebuka setengah.
Gue melirik dia tajam. "Nggak."
Dia ketawa kecil, lalu—sialan—batang kontol gue yang besar dibalut penuh pakai handuk terus digerakin naik turun. Kayak sengaja. Ngocok tapi pelan.
"Yakin? Kok kaki lu nahan tegang gitu?"
Gue menghela napas panjang. Tangannya belum berhenti ngelap kontolku, tapi sekarang ngelapnya pindah di bagian pucuk kepala si Anaconda. Gerakannya tuh… telaten. Bukan cuma ngelap, tapi kayak niat bikin kinclong. Dipoles-poles kayak lagi bersihin barang antik.
"Ugghhh…” Gue ngeluh pelan. Sebenernya pengen stay cool. Tapi ini palkon gue diusap handuk aja udah bikin gue mau nyungsep ke lantai saking geli dan kagetnya.
“Baru begini aja udah ngejengking,” ledeknya santai. Handuknya dicelup lagi, diperas pelan. Dingin hangatnya nyisa di udara.
Begitu dia ngerasa si kepala naga udah cukup mengilap, tangan dia pelan-pelan turun. Gue tahan napas. Masih bisa nahan. Masih bisa jaim.
Tapi begitu nyentuh bola naga gue—
“Ungghhh…!” Gue nyaris bangun dari kursi, tapi tangan gue masih terborgol.
Vania cekikikan. “Lucu amat, kayak kucing kena air.”
Handuk yang tadi dilipet rapi sekarang dia buka lebar-lebar, lalu ngebungkus bola naga gue kayak ngebungkus tahu isi. Lembut. Dua-duanya langsung ditangkep bareng, digosok pelan kayak lagi bersihin kelereng raksasa.
Gue menggeliat pelan, nahan napas.
“Segini aja lu udah geli,” bisiknya sambil ngelirik ke atas, “belum juga gue sepong.”
Dia cuma nyengir. Gue? Muka panas, badan tegang, harga diri ngambang di udara.
“Nah… sekarang udah bersih,” ucap Vania pelan, terdengar puas dengan hasil kerjanya.
Di bawah cahaya lampu kamar kosnya, Anacondaku kini terlihat mengkilap, seperti baru dipoles. Vania menatapnya sejenak, lalu melirik ke arahku.
“Gue kasih tahu ya,” lanjutnya, nada suaranya tetap santai tapi kali ini kedengeran lebih serius, “sebagai cowok, lo tuh harus jaga kebersihan alat vital lo. Nggak ada yang tahu, mungkin aja suatu hari lo tiba-tiba dapet momen... entah itu HS, atau ada cewek yang tiba-tiba mau nyepong kontol lu, kayak yang bakal gue lakuin sekarang.”
Glek. Aku langsung menelan ludah. Tatapan jahil di matanya bikin jantungku berdetak lebih cepat.
Tanpa berkata-kata lagi, dia singkirkan handuk dan ember kecil ke samping, lalu kembali fokus sama Anacondaku yang masih denyut2
“Jadi ini ya…? kontol gede nggak guna, yang merkosa memek gue waktu itu?”
Dia nyentil pelan bagian pucuknya pakai jari telunjuk. “Tok!”
“Astaga—Van!” Gue hampir lompat dari kursi, spontan nahan napas.
Dia malah ngakak. Terus bergereak mendekat. Tangannya terulur, jemari lentiknya menyentuh, lalu menggenggam Anacondaku dengan hati-hati.
Jujur, tangannya terasa kecil... tapi sentuhannya lembut. Dan ketika seluruh genggamannya mengelilingi batangku, aku baru benar-benar sadar betapa kontras ukuran jemari kecilnya dengan kontolku yang sedang digenggamnya.
Vania mengangkat alis, matanya menatap takjub. “Kok bisa segede gini, sih… hemm?” gumamnya lirih.
Tangannya mulai bergerak perlahan, seolah masih mempelajari bentuknya. Aku cuma menelan ludah, menahan ekspresi jaim.
“Ng-nggak tau,” jawabku singkat. Sederhana. Bukan seperti jawabanku biasanya. Karena pikiranku sedang fokus sama apa yang bakal Vania lakukan pada Anacondaku yang masih berdiri tegak tanpa dosa.
Vania menarik napas pelan, wajahnya yang glowing mendekat, mengambil posisi sedikit di atas Anacondaku. Tanganya masih memegang batang kontolku lembut, tapi tegas, seolah tidak ingin membiarkan batang besar itu pergi ke mana-mana. Bibir mungilnya, yang rasanya masih kuingat manis banget sejak sesi kissing tadi, sekarang cuma tinggal beberapa senti dari ujung kepala Anacondaku
Dia majukan sedikit bibirnya, bentuknya jadi kayak paruh burung kecil yang mau nyosor… tapi ternyata nggak nyosor. Yang keluar justru setetes liur bening dari ujung bibirnya, jatuh mengalir membasahi si kepala naga mulai dari pucuk hingga batang. Tetesannya turun pelan, licin, dari atas ke bawah, kayak madu yang lagi dituang ke permen kontol.
Tangannya mulai naik-turun, sekarang udah bisa meluncur bebas karena si Anaconda udah dilapisi pelumas premium dari Vania. Gerakannya santai, nggak grasak-grusuk. Pelan, nikmatin setiap detiknya.
Srat… sret… srat… sret…
Buset. Rasanya beda jauh dibanding kalo gue yang main solo. Yang ini ada sentuhan nakal. Dan kelembutan kulit jemari lentiknya.
Gue cuma bisa tahan napas. Nahan desahan juga, karena trauma diledek Vania.
Belum sempat gue bangga karena masih kuat, dia tiba-tiba condongin badannya.
Dan entah kenapa, di antara segala pikiran random, yang kehirup duluan justru wangi rambutnya. Ada aroma manis dari shampoo atau kondisioner… atau bisa juga body mist seharga UMR, gue nggak tahu, tapi wangi pokoknya. Wangi yang bikin pengen peluk, pengen cium dan… entot?
Njirr… pikiran gue malah ke mana-mana. Padahal, di depan mata, Anacondaku udah bersiap menghadapi serangan pamungkas. Bukan lagi dari jari-jari maut Vania, tapi dari senjatanya yang lebih mematikan.
Bibir dan lidahnya.
Dia kecup pelan ujung kontol gue, bikin gue langsung gemeter. Gilaa… First kiss bibir gue dan first kiss kontol gue diborong Vania semua.
Dan pas lidahnya akhirnya nyetuh ujung kepala si Anaconda…
Sumpah.
Dunia kayak berhenti sedetik.
“Aaah… Van…” napas gue tertahan.
Dia cuma ngelirik ke gue bentar, senyum tipis khas Vania, yang ngeselin tapi juga ngangenin. Tangannya masih kerja ngocokin kontol pelan-pelan, santai… tapi lidahnya udah mulai turun tangan. Atau lebih tepatnya, turun lidah.
Rasanya?592Please respect copyright.PENANAaH2ccNLpMY
Geli.592Please respect copyright.PENANA73AJH0OjXA
Parah.592Please respect copyright.PENANAXw2JjUq1sj
Tapi nagih, kayak digelitikin di titik yang paling lo nggak kuat, tapi lo malah pengen terus lanjut.
Apalagi waktu lidahnya mulai muter-muter di kepala si Anaconda yang udah licin kebangetan...
“Uunnghhh…” Gue sampe ndesah kayak cewek anime. Geli banget sumpah.
Dan baru di situ gue sadar alasan tangan gue diborgol. Karena kalo nggak, tangan gue pasti udah refleks noyor kepalanya Vania saking nggak kuat sama gelinya. Apalagi buat gue yang rasainnya baru pertama kali.
Lidahnya terus main, ngajak si Anaconda punyaku tur keliling dunia —tur eklsklusif rasa surgawi. Yang paling bikin lutut lemes? Waktu lidah lembutnya jelajahin bagian bawah kepala jamur. Duh, asli. Itu bukan lagi geli banget, tapi geli banget-banget level max. Kepala gue sampe tengadah.
Tapi dia nggak berhenti. Lidahnya makin turun, pelan tapi pasti, kayak penjelajah. Dan akhirnya… sampai juga dia di dua bola naga gue.
Buset.
Dua bola itu dilahap nakal, kayak cemilan tengah malem.
Gue?
Gue cuma bisa pasrah. Rasanya tuh kayak lo lagi pasrah di roller coaster—udah nggak bisa turun, cuma bisa teriak dalam hati.
Bibirnya main-main di sana, nyolek-nyolek dengan cara yang nggak pernah kepikiran sebelumnya bisa... seenak itu. Gue baru sadar ternyata dua bola itu sensitif banget dan punya titik lemah tersembunyi yang sekarang lagi dikecup-kecup sama bibir nakalnya Vania.
Dikira bakal selesai di situ?
Gue juga pikir gitu. Tapi ternyata bibirnya cuma mampir sebentar, karena lidahnya naik lagi kayak kuas yang lagi ngelukis Anaconda gue dari bawah ke atas—halus, pelan, penuh niat.
Dan setiap sentuhan bikin kontol gue ngerasa makin naik... makin tegang... makin siap terbang.
Pas bibir mungilnya udah sampai puncak, Vania sempat diam sebentar. Lidahnya masuk ke dalam mulut, dan dari ekspresinya, gue liat ada sedikit kepanikan lucu.
Mukanya kayak lagi ngukur: “Ini muat nggak ya? Jangan-jangan... nggak muat.”
Tapi di balik panik itu, gue bisa liat ada rasa penasaran. Rasa ingin tahu yang nggak bisa dibendung. Dan bibir mungil itu mulai membuka perlahan, kayak gerbang rahasia yang siap nerima tamu VVIP.
Dan akhirnya, bibir mungil itu benar-benar terbuka…
Pelan… pelan banget… kayak slow motion di film-film laga.
Sampai akhirnya…
HAP.
Kontol besarku resmi dilahap untuk pertama kalinya.
Masuk ke mulutnya, dan langsung disambut sama lidah hangatnya yang udah standby kayak panitia lomba 17-an. Gue langsung refleks menegang.
Lidahnya muter, mulutnya sempit, hangat, basah, dan…
VAK!
Oh, sial.
Dia mulai vakum.
Kontol gue DIVAKUM, bro.
Kayak mulutnya berubah jadi mesin sedot debu super premium edisi terbatas.
Gue langsung kelabakan. Rasanya kayak mau kesedot jiwa raga dan seluruh data memori dari SD sampe sekarang.
“V-Van... aaah... w-wait...”
Gue ngeracau, tapi nggak ada satu pun bagian dari badan gue yang pengin dia berhenti. Kontradiktif banget. Otak pengin istirahat, tapi Kontol udah kayak, "GAS TERUS ICIBOS!"
Dia tetap fokus, matanya naik sedikit—ngelirik gue dengan ekspresi penuh dosa. Ada senyum kecil di ujung bibirnya, padahal mulutnya lagi nge-vakum kontol kayak nyedot boba di dasar gelas.592Please respect copyright.PENANAYrzs02vMkw
Suara slurp-nya bikin kepala gue makin kosong. Otak kiri udah shut down. Otak kanan sibuk loading dosa.
“HAEMFHH.. MMFFH!! MCHH.. SLURRPHH.. MMMHH.. SHH.. MFFHH!!”
Kontolku disedot. Tangannya masih bantu gerak naik-turun, nyatu sama gerakan mulutnya, dan… gue nggak ngerti gimana cara dia koordinasiin semua itu.
Ini udah bukan pelayanan, ini seni.
Seni hisap tingkat dewa.
“Uuuhh… s-sumpah… Van… gue… gue nggak kuat…”
Gue megap-megap. Keringet dingin. Badan gemetar kayak baru selesai lari dari kejaran satpam mal.
Tapi dia belum selesai. Bahkan makin niat. Dia malah isepin kontol makin dalam, makin mantap, kayak bilang: "Yang nyuruh berhenti siapa? Gua mah belum kenyang sama kontol lu."
Dan gue? Gue udah siap nyerahin hidup gue ke mulut mungil itu.
Sebenernya gue cukup heran. Heran mulut mungilnya Vania bisa dimasukin kontol gue yang segede itu. Meski yahh, nggak semuanya masuk… tapi tetep aja 3/4 bagian kontol gue bisa masuk mulut kecilnya Vania sudah kelihatan luar biasa.
Tapi ternyata gue salah…
Gue pikir ini udah level maksimal kemampuannya.
Ternyata belum.
Ternyata dia masih punya kartu as yang disimpen buat momen spesial.
Si Anaconda mulai dimasukinn lebih dalam… pelan tapi niat, kayak pemain sulap nelen pedang.
Dan pas kepala si Anaconda nyentuh tenggorokannya…
GLUK.
Buset. Gue langsung nge-freeze.
Dia ngelanjutin… nyumpelin seluruh kontol gue ke mulutnya…
Makin dalam… makin sempit…
Dan…
GLUK… GLUK…
Kepala Si Anaconda resmi nyampe tenggorokan.
Mentok.
Kontol gue yang sebesar itu dilahap seluruhnya sampai bibir cantiknya nempel sama bulu jembut gue.
Gue sampe nggak tahu lagi mau ngucap apa.
Rasanya kayak naik roller coaster yang beloknya 90 derajat tanpa pegangan.
Tapi bukan cuma sensasi deep-throat nya yang bikin gue nyaris KO. Yang bikin gue bener-bener hancur adalah… tatapan matanya.
Kepalanya gerak maju mundur nyepongin kontol gue dalem-dalem sambil matanya natap mata gue.
Bukan tatapan cewek nakal yang kayak ngajak lo berbuat dosa.
Bukan.
Ini lebih ke… tatapan polos.
Tatapan manja.
Tatapan kayak, "Aku ngelakuin ini buat kamu, jadi kamu harus seneng ya..."
Buset.
Mental gue kena.
Mulutnya sibuk nge-vakum, tenggorokannya udah jadi garasi darurat buat si kepala kontol, tapi ekspresi mukanya malah kayak anak SMA yang baru dapet nilai bagus.
Matanya berbinar. Bibirnya kadang mencuri napas di sela sepongannya yang dalem.
Dan semuanya…
Gue nggak kuat.
“V-Van… gue… aaah… gue nyerah… ouuhhhh…”
Gue bener-bener udah di titik di mana cowok normal pasti bakal search Google, nyari “cara daftar jadi suaminya Vania full-time, no interview.”
Gue ngegenggam pinggiran kursi, nahan diri buat nggak gemeter.
Tapi Vania masih lanjut, sepongannya teratur, lidahnya ikut main di dalamnya penuh dedikasi, bahkan bola naga gue diusap-usap sama tangan halusnya, bikin pertahanan makin hancur.
Kayak dia punya target pribadi buat “nguras” benih gue sampe tetes terakhir.
Gue udah berusaha nahan. Serius.
Tapi tetep aja, akhirnya…
Gue pun meledak.
Bukan cuma badan gue yang kejang, tapi harga diri juga ikut copot sedikit karena suara desahanku keluar aneh banget.
BOOM.
Gue udah nggak bisa apa-apa lagi.
Tubuh gue reflek melengkung dikit, tangan gue yang masih ngegenggam pinggiran kursi jadi gemeter, dan kepala otomatis nyandar ke belakang. Anacondaku udah nyerah total.
“Ahhhhh… Ughhh... Va—nia… gu—gue… mau keluar… ohhh… oouuuuhhh..!”
Vania yang udah kayak ngerti banget apa yang bakalan terjadi, langsung aja megangin kontol gue erat, terus mulutnya ngelahap, tapi cuma di bagian kepala kontol doang.
Crroooottt..!!!! Crooootttt!!! Croooooottttttt…!!!
Gue muncrat banyak banget. Kuat banget.
Vania kelihatan merem. Bibirnya menutup rapat di bagian palkon, nerima semua benih kehidupan gue di dalem mulut, tanpa ngasi celah sedikitpun buat netes keluar.
Gila... bahkan saat gue ejakulasi, gue dibuat makin terangsang ngelihat Vania yang nerima ledakan sperma gue di dalem mulutnya.
Setelah beberapa kali tembakan sperma bersamaan dengan ombak kenikmatan yang menjalar di otak, seketika itu juga, semua tenaga gue kayak terkuras habis.
Kaki gue lemes. Punggung nyender ke kursi, ngelipak kayak boneka habis dicabut baterainya.
Gue terkulai lemas di kursi, masih dengan tangan yang keborgol. Otak gue nge-lag, badan gue mati gaya, dan satu-satunya hal yang bisa gue lakukan cuma… ngeliatin Vania.
Bibirnya tertutup rapat, tapi udah lepas dari kontol gue. Dia duduk di lantai, tangannya nyender santai ke paha gue, dan wajahnya…
Buset.
Tatapannya penuh kemenangan, kayak abis menang lomba.
Bibirnya masih ketutup dan ada gerakan kecil di pipinya, kayak lagi… ngulum sesuatu.
Dan gue langsung mikir,
“Jangan bilang dia mau nelen sperma gue?”
Tapi nggak sempet mikir lebih jauh, dia udah naik, nunduk ke arah gue, dan—
MWAH!
Kecupan jahil mendarat di bibir gue.
Lembut, tapi juga nakal, kayak bilang: "Makasih udah kasi gue nyobain kontol lu yang nikmat itu…" (Tapi ngarang sih gue, kayaknya dalam hatinya nggak mikir gitu, hehehe.)
Tentunya gue sempet balas ciumannya.
Refleks.
Karena ya… itu Vania. Dan ciumannya manis. Dan gue udah pasrah.
Tapi…
Begitu mulut gue kebuka…
Dia nyelipin sesuatu.
Ada yang anget, agak kental, dan… nggak perlu dijelasin panjang lebar.
“HOEEEEEKKKK!!!”
Refleks kepala gue langsung mundur dan muntahin peju yang sekarang semuanya ada di mulut gue.
“HHOOEEEKKK…!! VAN!!! GILAAA LO YA?!”
Gue jijik banget ngerasain sperma gue sendiri. Kental, lengket, belum lagi aromanya yang pekat.
Dan si biang kerok itu?
Dia ngakak.
Bener-bener ngakak sampe badannya goyang-goyang, kepalanya nyender ke paha gue sambil ketawa tanpa dosa.
“Hahahahaha! Ih geli banget ekspresi lo! Kayak video dukun yang makan telur busuk ntuh. Hahaha…”
Dia masih ketawa sambil ngelepas kunciran kudanya, rambutnya jadi tergerai, tapi masih dengan bando pink pastel yang bertengger lucu.
Gue masih gelagapan, mulut setengah terbuka, berusaha ngilangin peju yang tadi sempet diselundupin ke dalam mulut gue. Mau ke kamar mandi nggak bisa, karena tangan gue masih keborgol di kursi.
“Gila lo…” gumam gue pelan.
Vania masih nyender santai ke paha gue, dia ngelirik ke gue sambil nyengir nakal.
“Cowok mah kebanyakan gitu. Pengen ceweknya ngisep lah, pengen ceweknya nelen peju lah… Tapi merekanya jijikan… giliran dibalikin, langsung HOEEEK.”
Gue ngedelik, masih kesel dikit, tapi nggak bisa nggak nyengir juga.
“Yaiyalah! Jijik banget, Van…”
Dia malah ketawa lebih kenceng. “Tuh, kan! Lo enak-enaknya iya, giliran kebagian ‘sisi lain’-nya malah jijik.”
Dia ngedeketin wajahnya ke gue, matanya melotot dramatis sambil gaya sok guru BK. “Gue mau ngajarin lo biar terbiasa jijik. Biar lo nggak jadi cowok yang mau enaknya doang. Pengen disepong, tapi giliran disuruh jilmek langsung nolak mentah-mentah. Cemen banget.”
Dia ngelus dagu gue pelan, ala-ala bos mafia.
“Sampe sini paham?”
Gue ngangguk pelan. Kayak anak TK abis disidang guru galak. Tapi entah kenapa… dalam hati gue ngerasa itu barusan bukan cuma omelan. Tapi semacam spoiler pelajaran sesi berikutnya.592Please respect copyright.PENANAwy7DZ4YC6c
592Please respect copyright.PENANAO3yw5o9fPu
...
Dan hari itu pun berakhir dengan gue yang terkapar puas, si Anaconda udah jinak, dan pikiran gue penuh tanda tanya sekaligus ekspektasi.
Vania emang luar biasa. Gila, gokil, ngajarin dengan metode yang... nggak ada di kurikulum mana pun.
Sekarang gue tinggal nunggu ‘undangan belajar’ selanjutnya dari Vania. Gue semangat banget buat upgrade skill—biar nanti bisa jadi cowok yang nggak cuma nikmatin, tapi bisa bikin cewek-cewek klepek-klepek juga. Kayak di film-film bokep yang sering gue tonton...
Gue bahkan udah punya wishlist. Mulai dari genre ntr, atau ngerasain sensasi ngegoda cewek yang udah punya pacar, sampe fantasi absurd kayak nyicipin ibu kos gue yang galak tapi seksi itu, atau mungkin perkaos penghuni kos lain, atau mbak-mbak karyawan minimarket—bikin mereka yang awalnya nolak-nolak, tapi ujung-ujungnya…
Ahh… Gue nyengir sendiri.
Gue pulang ke kos sambil senyum-senyum sendiri, duduk di depan kamar sambil ngebayangin kemungkinan-kemungkinan masa depan. Masa depan yang penuh "praktik lapangan."
“HAHAHAHAHA…”
Tanpa sadar gue ketawa sendiri, kayak penjahat di drama Korea.
Eh, belum habis juga gue nyengir, tiba-tiba ada suara cempreng yang langsung nyamber:592Please respect copyright.PENANAWydUUIZ56t
“Eh, Kak Gilang ketawa-ketawa sendirian lagi. Pasti mikir bokep, yaa! Ihhh... takut... ada Raja Bokep!”
Gue langsung nengok.
“Lala…”
Itu dia—si bocil SMA yang sering main ke sekitar kosan, lengkap dengan seragam, sebungkus cilok dan mulut yang nggak bisa diem. Dan ya… dia juga dalangnya kenapa seluruh isi kos, bahkan beberapa temen kampus gue, tau julukan memalukan itu.
“Hehh, bocil!” Gue reflek nyamber sandal dan ngelempar ke arahnya (nggak kena, santai), tapi dia udah lari sambil cekikikan puas.
“Yahh, awas ya Kak Gilaaang… nanti aku laporin ke Ibu kos! Nonton bokep lagi yaa…” suaranya makin ngegas sambil ngilang di depan gerbang.
Sial.
Gue udah usaha banget buat jaga image diantara para cewek penghuni kos di sini yang cakep-cakep, tapi mulut bocil itu bener-bener gabisa dilawan.
Tapi ya udahlah. Setiap raja butuh asal-usul.
Dan gue? Mungkin sekarang masih "Raja Bokep", tapi nanti…
Tunggu aja. Dunia belum liat versi terbaik gue.592Please respect copyright.PENANAe6l4MUOK6l
...