
Aku Fajri, usiaku saat itu menginjak 28 tahun. Kulitku berwarna sawo matang, tinggi sekitar 170 cm, dengan badan yang sedikit berisi. Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang proyek konstruksi. Seharusnya, di usiaku yang sekarang, aku sudah menikah. Namun, kesibukan kerja yang menyita waktu membuatku tak pernah benar-benar memikirkan soal pernikahan. Kisah yang kusampaikan ini terjadi dua tahun yang lalu, saat aku ditugaskan di Surabaya. Di sana, perusahaan menyediakan rumah kontrakan untuk para pegawai, dan aku mendapat rumah khusus untuk sendiri. Karena kesibukanku yang lebih banyak di lapangan daripada di kantor, aku tidak terlalu mengenal rekan-rekan di kantor. Kantorku hanya berisi enam orang, termasuk atasan. Dari enam orang itu, tiga perempuan dan tiga laki-laki, termasuk atasanku. Para perempuan kebanyakan tinggal dekat kawasan kantor, sedangkan laki-laki semuanya berasal dari luar daerah dan tinggal di mess yang disediakan. Pada suatu waktu, ada berkas penting yang salah alamat dan tak sengaja terkirim ke kantorku. Padahal sebelumnya aku sudah berpesan agar semua berkas dikirim langsung ke alamat rumah, karena aku malas bolak-balik ke kantor yang jaraknya lumayan jauh. Kantor memang menyediakan ruang kerja khusus untukku, tapi karena aku jarang di kantor, aku segera menelepon Jihan, sekretaris kantor, untuk memastikan keberadaan berkas itu.
Fajri : Han, ada berkas atas namaku yang masuk di kantor, nggak?
Jihan : Ada, Pak. Sudah saya taruh di ruang kerja Bapak.
Fajri : Oh, bisa nggak berkasnya diantar ke rumah?
Jihan : Maaf Pak, saya sedang tidak di kantor. Kemarin izin sama Pak Hanif karena ibu saya tiba-tiba sakit.
Fajri : Oh begitu, jadi siapa yang jaga kantor sekarang?
Jihan : Tinggal Bu Jizah, Pak. Yang lain ikut Pak Hanif rapat di Jakarta.
Fajri : Oke, terima kasih Han. Semoga ibu cepat sembuh ya.
Jihan : Terima kasih, Pak. Sama-sama.
Setelah menutup telepon dengan desahan panjang, aku bersiap menceritakan kisah-kisah selama aku bekerja di Surabaya. Ada kemungkinan nanti aku juga akan berbagi cerita saat bekerja di kota-kota lain, tapi untuk kali ini aku ingin memulai dari kisahku bersama Bu Jizah. Sedikit gambaran tentang Bu Jizah: dia adalah office manager di kantorku, berumur sekitar 33 tahun. Tubuhnya kecil dengan tinggi sekitar 160 cm, berkulit putih, dan sudah menikah. Ia memiliki seorang anak yang baru berusia satu tahun. Di kantor, dia selalu menggunakan pakaian syar’i, namun tanpa cadar. Dia adalah sosok pemalu dan jarang berinteraksi dengan siapa pun, baik denganku maupun rekan kerja lain. Dia lebih banyak diam, dan hanya berbicara apabila ada urusan kantor yang melibatkan dirinya. Namun, pada hari itu, pandanganku terhadap Bu Jizah berubah drastis, berbalik 180 derajat. Dengan rasa kesal yang membara, aku membalap motor melewati kawasan proyek, melaju meninggalkan kepenatan dan kebisingan dengan tujuan menuju kantor. Perjalanan itu setidaknya memakan waktu sekitar setengah jam. Bukan jarak yang membuatku gusar, tetapi lalu lintas macet yang menyiksa kesabaranku. Aku sebenarnya bisa meminta Bu Jizah mengirimkan berkas yang kubutuhkan, tapi aku tahu pasti dia takkan sudi. Suaminya selalu mengantarnya pulang pergi, dan memintanya melakukan hal tersebut jelas tak mungkin. Ketika sampai di kantor, kulihat pintu setengah tertutup. Jihan sudah mengabari bahwa hampir semua karyawan ikut bapak di luar, kecuali Bu Jizah. Aku masuk diam-diam, bertujuan langsung mengambil berkas dan pulang secepatnya, menghindari tatapan canggung dengan Bu Jizah yang bisa membuat atmosfer jadi tidak nyaman. Aku menaiki tangga kantor yang terdiri dari dua lantai; kantor di lantai atas ini adalah ruko yang perusahaan kami kontrak. Di tengah langkahku, aku menangkap sinar samar dari celah bawah tangga — sinar yang memantul dari kamar mandi tepat di bawahnya. Penasaran, aku menunduk dan mengintip. Karena ruangannya terbatas, aku mengangkat ponsel dan menempelkan kamera tepat di lubang ventilasi. Betapa terkejutnya aku melihat sosok wanita yang selama ini kukenal sebagai Bu Jizah — selalu sopan dan tertutup — kini dalam keadaan bugil, hanya menyisakan jilbab yang masih menutupi kepalanya. Dia jongkok, dengan gerakan berani, memainkan alat vitalnya di antara pahanya, sambil sibuk meremas payudara sebelah kiri. Ini sisi lain yang tak pernah ku duga dari Bu Jizah. Tanpa pikir panjang, kuputar kamera ke mode video. Selama hampir dua menit aku merekam setiap gerak-geriknya yang bebas dan liar itu. Hati terasa kacau, sekaligus penasaran yang makin menjadi-jadi. Ketika kuakhiri rekaman, aku bergegas masuk ke ruanganku, masih terngiang pemandangan tak terduga tadi. Bagaimana mungkin wanita yang dikenal alim dan tertutup bisa berubah seperti ini? Apa gerangan yang terjadi dalam rumah tangganya? Sebuah ide gelap perlahan muncul dalam benakku — sebuah rencana untuk memanfaatkan informasi ini. Inilah awal mimpi buruk bagi Bu Jizah, yang perlahan akan mencengkeramnya dalam jurang dosa dan pelecehan terhadap norma. Setelah lima menit di ruangan, terdengar suara pintu kamar mandi terbuka, pertanda Bu Jizah telah selesai dengan urusannya. Aku menunggu beberapa saat, memastikan semua sudah siap, lalu mengirim pesan kepadanya.
Fajri : Assalamu’alaikum, Bu. Ibu sedang di kantor, ya?
Jizah : Iya, Pak. Ada keperluan apa, Pak?
Mungkin terdengar suara keran yang cukup keras, sehingga Bu Jizah tidak menyadari aku sudah berada di kantor.
Fajri : Saya sudah tiba di kantor sejak sepuluh menit lalu, Bu.
Jizah : Maaf, Pak. Tadi saya merasa sakit perut, mungkin waktu saya di WC, Pak sudah masuk ya? 🙏
Hahaha… Ukhti ini lucu memang, sambil ketahuan masturbasi malah bisa mengelak.
Fajri : Sakit perut atau ada yang lain, Bu?
Jizah : Maksud Pak bagaimana, ya?
Tanpa melebar-lebar, aku langsung menuju inti pembicaraan; kuunggah video masturbasi yang tadi kurekam. Balasan darinya lama sekali kutunggu, sampai akhirnya sebuah pesan masuk yang membuat hatiku berdebar.
Jizah : HAPUS VIDEO ITU SEKARANG JUGA, ATAU AKU AKAN MELAPORKAN KAMU KE POLISI!!!
Dengan senyum penuh kepuasan, aku pikir, ternyata ukhti satu ini berani juga melawan.
Fajri : Silakan, Bu. Kalau ibu ingin, saya siap menghadapi penjara. Namun, jika saya sebar video ini, reputasi ibu akan hancur, bisa-bisa suami menceraikan, apalagi anak ibu masih kecil. Semua itu sekarang ada di tangan ibu.
Aku tercengang dengan keberanian pikiran Bu Jizah. Ia seolah tak paham posisi rawannya. Aku balas dengan ancaman yang lebih mengerikan. Aku tidak takut dipenjara. Paling lama satu tahun, aku bebas. Lagipula, aku punya koneksi kuat dengan pejabat daerah. Ini bukan ancaman kosong.
Jizah : Apa yang kamu inginkan sekarang? Kalau uang, aku bisa transfer saat ini juga!
Fajri : Tidak semua bisa dibeli dengan uang, Bu. Aku bisa mendapatkannya dengan mudah. Begini saja, daripada kita ribut lewat chat, datanglah ke ruanganku. Kita bicarakan ini secara langsung.
Aku mengakhiri percakapan dengan Bu Jizah, mengambil sebungkus rokok dari tas dan menyalakan satu batang. Saat menunggu dia, terdengar suara langkah kaki menyusuri tangga. Senyum kecil mengembang di wajahku, menandakan rencana pertama berjalan mulus. Tanpa basa-basi, Bu Jizah melangkah masuk ke ruanganku.
Fajri : Eh, Bu Jizah, kok nggak salam? Kenapa matanya sembap dan berkaca-kaca?
Memandang mata Bu Jizah yang sembab berlinang air mata, kusadari dia membawa beban berat. Ia tampak ragu melangkah ke sini, namun hasrat dan niatku sudah bulat, aku akan melanjutkan rencana yang telah kutanam.
Jizah : Diam! Jadi, apa maumu sekarang? (Sambil menunjuk wajahku dengan marah)
Aku membalas dengan senyum dingin, membuka laci meja, dan mengeluarkan selembar surat yang sudah kusiapkan jauh-jauh hari.
Fajri : Sederhana saja, Bu. Di kertas ini tertera semua permintaanku. Tanda tangani, dan aku akan menghapus video itu tanpa jejak.
Dengan gugup dia meraih kertas di atas meja. Matanya melebar melihat isi yang tertulis. Inilah bagian terakhir dari rencanaku, yang selama ini kusingkap perlahan: Dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan, saya, pihak kedua, menandatangani dokumen ini dan setuju dengan semua ketentuan yang ditetapkan oleh pihak pertama.
Nama : Jizah Fadilah (Pihak Kedua)
Umur : 38 Tahun
Alamat : Jl. Hj. Satu-Satunya
Pekerjaan : Office Manager
Dengan ini menyatakan tunduk dan patuh pada semua ketentuan pihak pertama.
Nama : Fajri Irman (Pihak Pertama)
Umur : 28 Tahun
Alamat : Jl. Hj. Dua-Duanya
Pekerjaan : Site Supervisor
Berikut adalah ketentuan yang harus dipatuhi sepenuhnya oleh pihak kedua tanpa keberatan apapun:
° Mematuhi segala perintah pihak bantahan.
° Menjadi budak pihak pertama sampai surat ini dicabut secara resmi.
Saya, pihak kedua, setuju dengan semua ketentuan di atas dan bersedia membayar denda sebesar 1,5 miliar apabila melanggar. Perjanjian ini bersifat mutlak dan saya siap menghadapi tuntutan hukum jika melanggarnya.
Hormat kami,
[Tanda kedua dan pihak pertama]
Jizah Fadilah Fajri Irman
(Pihak Kedua) (Pihak Pertama)
Fajri : Bagaimana, Bu? Setuju dengan perjanjian ini? Kalau iya, silakan tanda tangan. Pikirkan baik-baik apa yang akan terjadi jika ibu menolak.
Aku sengaja bermain dengan mentalnya. Ia terpaku menatapku kosong, diam membeku. Beberapa lama terdiam, akhirnya ia mulai bersuara.
Jizah : Tidak ada jalan lain? (Suaranya melemah, tanda menyerah total)
Fajri : Tidak ada, Bu. Kalau ibu mau, sesuai surat tadi, bayar denda 1,5 miliar. Tapi saya tak punya banyak waktu, Bu.
Jizah : Tak bisa dikurangi? Saya bisa cicil, tapi butuh waktu.
Fajri : Hahaha... terus menawar? Kalau tidak mau, ya sudah. (Sambil berpura-pura mengotak-atik ponsel, sambil melirik ke arah Bu Jizah)
Aku melihatnya menunduk lesu. Air mata mengalir pelan dari sudut matanya, membasahi pipi. Dalam hati jelas ia menyesali perbuatannya tadi.
Jizah : Baiklah, Pak… saya akan tanda tangan. (Suaranya serak dan terbata-bata. Aku merasa seperti mendapat angin segar di tengah terik matahari.)
Fajri : Hahaha… Kalau begini sejak awal, pasti lebih mudah. (Aku berdiri, mengambil tripod dan memasangnya mengarah ke arahnya.) Aku tak ingin ibu terlihat terpaksa dalam rekaman ini.
Jizah : Kenapa harus direkam? Saya sudah setuju tadi.
Fajri : Tanpa rekaman, surat ini takkan kuat kuasanya. Waktuku tak banyak untuk debat, Bu. Silakan ke WC, bersihkan muka, dan tampil wajar saat rekaman.
Dengan langkah berat, Bu Jizah menuju WC di sudut ruangan. Hatiku melonjak, semua rencana berjalan sempurna. Kini dia benar-benar dalam genggamanku, siap ku gunakan dan ku mainkan sesuka hati. Beberapa menit kemudian, dia keluar, wajahnya telah kembali seperti semula. Ku arahkan untuk duduk di meja yang sudah ku siapkan tripod di belakangnya.
Fajri : Baik, Bu. Bersiaplah. Dengan hitungan ketiga, tanda tangani kertas itu dengan ekspresi biasa, menghadap kamera. (Aku memberikan arahan lengkap agar pengambilan berjalan lancar tanpa perlu mengulang.)
Jizah : Baik, Pak.
Fajri : Oke, siap? 1... 2... 3... tanda tangan, Bu. (Wajahnya tanpa ekspresi terpaksa, malah terlihat natural.)
Satu take saja cukup. Tanpa kesalahan sedikit pun. Aku puas memeriksa tanda tangannya, memastikan materainya pas. Kini Bu Jizah resmi menjadi budakku, hari ini dan seterusnya.
Fajri : Baik, Bu. Karena ibu sudah tanda tangan, silakan otak-atik HP saya. Video ibu ada di galeri, silakan hapus sendiri. (Kusodorkan ponsel yang merekamnya masturbasi, pura-pura membiarkan itu satu-satunya salinan, padahal aku sudah amankan di flashdisk.)
Jizah : Baik, Pak. (Dia mengutak-atik ponsel dengan hati-hati. Setelah yakin, dia kembalikan ponsel.) Ini, Pak. Saya rasa sudah cukup.
Fajri : Perintah pertama, jawab dengan jujur, jangan pernah bohong. Ibu tahu konsekuensinya, kan?
Jizah : Baik, Pak. (Nada lemah, tunduk sepenuhnya. Ia tahu apa yang akan terjadi jika melawan.)
Fajri : Apa alasan ibu masturbasi tadi di kantor?
Jizah : Begini, Pak. Setelah melahirkan, saya jarang disentuh suami. Tadi saya sangat terangsang. Karena kantor sepi, saya menonton film porno dan terangsang hebat. Saya tahu ada CCTV di ruang, jadi saya pilih WC. (Aku tak percaya dia sejujur itu, sebab wanita biasanya enggan mengaku walau didesak.)
Fajri : (Tepuk tangan kecil) Bagus. Ibu mengerti perintah dan arti surat ini. Kenapa suami ibu enggan berhubungan?
Jizah : Dia merasa berdosa, Pak, karena luka sesar di perut saya. Itu sebabnya dia tak mau berhubungan setelah melihat bekas jahitannya.
Fajri : Sok suci suami kamu itu, Bu. Mungkin ada wanita lain. Coba saya lihat bekas jahit sesar itu. (Aku menguji seberapa jauh dia mau menuruti.)
Jizah : Haaah? (Terlihat tidak percaya, mencoba meyakinkan kembali)
Fajri : Iya, saya ingin lihat bekas jahitan itu. Kamu mau menolak, Bu?
Jizah : Tidak, Pak. Baik, Pak. (Dia berdiri dan dengan ragu mengangkat gamisnya perlahan. Karena gerakannya lambat, aku langsung membentaknya.)
Fajri : CEPAT ANGKAT! APAKAH KAMU PILIH MENOLAK, BU? APAKAH KAMU MASIH BELUM PAHAM ISI SURAT INI?
Gamis tersingkap cepat hingga separuh perut, memperlihatkan lekukan jelas di balik celana pendek hitam yang menempel, garis vagina terlihat tegas. Aku sesaat tertegun. Dia tampak gelisah, kakinya bergerak gelisah. Memang benar, bekas jahitan sesar terlihat jelas di perutnya.
Fajri : Bekas jahitan itu tidak terlalu mengganggu saat berhubungan, Bu. Itu cuma alasan suamimu tak mau. (Sambil mengelus bekas jahitan, membuatnya terkejut, tapi ia tak menolak. Mungkin ia sadar kalau menepisku berarti melawan perjanjian.) Turunkan gamismu, turun ke bawah, dan kunci pintunya. Paham, Bu?
Jizah : (Sambil menurunkan gamis) Baik, Pak.
Bu Jizah kembali ke ruanganku setelah memastikan pintu bawah terkunci rapat.
Fajri : Tolong ambilkan gelas di sudut sana, Bu. (Sambil menunjuk area penyimpanan perlengkapan makan)
Jizah : Baik, Pak. (Ia pergi dan mengambil gelas seperti yang kuperintahkan, lalu menyerahkannya kepadaku.) Ini, Pak.
Aku berdiri dan menerima gelas dari Bu Jizah. Tanpa aba-aba, kubuka resleting celana dan mengeluarkan alat kelaminku, yang sudah tegak berdiri dengan ukuran panjang hampir 19 cm, tebal dan berurat jelas, kebiasaan tak pernah memakai celana dalam di balik jeans membuatnya bebas keluar begitu saja. Bu Jizah mundur sedikit, keterkejutan jelas terlihat. Namun setelah itu, ia terpaku, tak bergerak, menatap dengan mata terbuka lebar. Aku melihatnya menelan ludah tanpa sadar, dan tersenyum kecil memecah keheningan.
Fajri : Tenang, Bu. Ini akan jadi milikmu nanti, sabar ya... hehehe. (Aku mulai memainkan alat vitalku di depan wajahnya.)
Jizah : Ehhh... hhmmm... (Ia terdiam dan tak mampu berkata-kata, ekspresinya lucu melihat alat kelamanku.)
Aku meletakkan gelas di bawah kepala alat kelaminku, lalu mulai mengencinginya ke dalam gelas tersebut. Warna kuning air seni memenuhi wadah itu. Bu Jizah hanya terpaku melihat kelakuanku. Ketika selesai, gelas hampir penuh, ku letakkan kembali di atas meja. Aku duduk kembali, sedangkan Bu Jizah tampak masih terheran-heran dengan tingkah laku yang baru saja kulakukan.
Fajri : Ini Bu, kurasa kamu haus setelah kusuruh-suruh tadi. (Kusodorkan gelas berisi urin ke hadapannya.)
Dia masih diam terpaku, matanya bergantian menatap antara gelas dan aku. Aku mengangkat alis, seolah memberi persetujuan pada pertanyaannya tanpa kata. Perlahan ia maju mengambil gelas itu, masih tak percaya mendapat perlakuan begitu hina. Tapi ini baru permulaan; banyak hal tak senonoh lain yang akan ku lakukan padanya. Saat menggenggam gelas, ekspresinya tampak menahan mual, jelas sekali jijik dan trauma tergambar di wajahnya.
Fajri : Apa lagi yang ditunggu, Bu? Minumlah. Kurang baik apa? Aku coba lagi jika mau. Apa ibu menolak? (Sambil menunjuk kertas di meja) Anggap saja ini air suci untuk merayakan menjadi budakku, Bu.
Jizah : Baik, Pak. Akan saya lakukan. (Saat hendak menyentuh mulut, tubuhnya mengejang, hampir muntah.) Maaf, Pak, saya coba lagi. Glek... glek... uekk... ueek... (Wajahnya jelas dipenuhi rasa mual.)
Bu Jizah menenggak air kencing itu habis. Aku tak percaya wanita sealim dia mau melakukan ini. Alat kelaminku kembali berdiri tegak, terangsang oleh pemandangan tak masuk akal: seorang wanita berhijab syar’i meneguk urin dari tuannya.
Fajri : Bagaimana, Ibu Jizah, rasanya? Enak? Atau mau tambah lagi?
Jizah : Sangat enak, Pak. Tidak perlu lagi. Dahaga saya hilang sudah, terima kasih, Pak. (Dia menurunkan gelas perlahan ke atas meja dengan sopan.)
Fajri : Hahaha… beginilah budakku yang taat, sungguh tahu berterima kasih pada tuannya. Jadi, sepertinya aku tidak perlu lagi memberi pelajaran padamu, Bu.
Dengan santai, aku mengambil sebungkus rokok yang tergeletak di atas meja kerjaku dan mengulurkannya ke arah Bu Jizah.
Fajri : Bu, sebagai budakku, kamu harus mau mencoba merokok juga. (Kubawa batang rokok itu ke bibirnya dengan penuh maksud.)
Jizah : Baik, Pak. Saya akan coba, meski saya belum pernah merokok sebelumnya. (Dia mengambil rokok itu dengan tangan gemetar, menjepitnya di bibir, wajahnya menunjukkan keraguan.)
Fajri : Coba saja, hirup asapnya. (Ku tarik korek api dari saku, ku nyalakan ujung rokok itu yang masih di antara bibirnya.) Tarik napas se-dalam mungkin, Bu.
Jizah : Hukkk...hukkk...maaf, Pak, saya sedikit batuk. (Tapi dia dengan gigih terus menghisap rokok itu, berusaha keras menguasai langkah pertama tersebut.)
Fajri : Begini caranya. Hisap asapnya, tahan napasmu agak lama sebelum kamu embuskan pelan-pelan. Baru setelah itu, kamu bisa merasakan kelezatan sesungguhnya.
Jizah : Baik, Pak.
Melihat transformasi itu, aku merasakan gelora yang tak terlukiskan. Wanita yang tadi masih berselimut pakaian syar’i kini perlahan berubah menjadi sosok yang penuh hasrat di hadapanku. Setelah beberapa saat berjuang dengan rokok itu, batuknya menghilang, dan tubuhnya mulai menerima tiap hembusan asap yang masuk ke dalam paru-parunya.
Fajri : Hahaha… Bagaimana rasanya, Bu? Tak kalah nikmat, kan, rokok itu?
Jizah : Ya, Pak, sangat enak. (Dia terus menghisap dengan gerakan yang masih kaku, tapi jika diperhatikan lebih seksama, sudah seperti perempuan penggoda yang menyamar di balik hijab syar’i.)
Setelah sebatang rokok itu habis ia hisap, aku memberi perintah padanya untuk membuka gamis yang membungkus tubuhnya, namun jilbab harus tetap melekat erat di kepala.
Fajri : Baik, sekarang buka baju kamu, Bu. Tapi jilbab tetap harus tetap menutupi kepala. Jangan lupa, pakaian dalam juga harus dilepas.
Kali ini, tak ada perlawanan sedikit pun dari Bu Jizah. Ia menurut dengan patuh, bak ternak yang dikendalikan pemiliknya. Dia tahu betul konsekuensi jika berani membangkang. Perlahan, satu per satu lapisan pakaiannya terlepas, menyisakan hanya jilbab yang masih melilit kepala dan sedikit area lehernya yang terekspos.
Bersambung…
ns3.144.250.2da2