"Hah Lu jadian sama si Raka?" Mata Luna terbelalak tak percaya.
"He embh." Karin mengangguk, mengiyakan pertanyaan dari Luna barusan.
"Hati-hati loh, Raka itu terkenal agak gimana gitu kalo urusan sama cewek." Karin mengubah posisi duduknya, apa yang diucapkan oleh Luna barusan menggelitik rasa penasarannya.
"Gimana apanya nih?" Selidik Karin.
"Hmmm... Lu tau anak kelas 11 IPA yang dua bulan lalu meninggal bunuh diri?"
"Santi ?"
"Iya, Santi, cewek cantik yang sepanjang semester jadi rebutan banyak cowok karena cantiknya overdosis."
"Trus apa hubungannya dengan Raka?" Karin semakin penasaran dengan arah pembicaraan Luna.
"Denger-denger, Santi itu bunuh diri karena malu."
"Malu kenapa?"
"Hamil di luar nikah, dan diduga yang menghamilinya adalah Raka." Ucap Luna datar, ia tak mau membuat Karin menjadi shock akibat cerita ini.
"Ah itu mah cuma gosip aja kali. Lagipula kalo memang bener Santi bunuh diri karena hamil dan itu yang melakukan adalah Raka kenapa nggak ada Polisi yang menyelidiki hal ini ? Adem ayem aja tuh." Komentar Karin tak percaya.
"Yaelah Rinnn, Lu tau sendiri siapa bokapnya Raka. Bupati cuy! Mana ada Polisi yang berani nyentuh anak Bupati ?"
"Terserah Lu deh, Gue nggak percaya sama cerita Lu tadi !"
"Nah kan ngambek, Gue nggak minta Lu buat percaya dengan cerita Gue barusan Rin, Gue cuma minta Lu buat lebih hati-hati sama Raka."
"Iya makasih. " Karin mengalihkan pandangannya ke luar jendela kamarnya, ada keraguan yang menyeruak di dalam dadanya.
608Please respect copyright.PENANAfR5ghc6NQn
***
608Please respect copyright.PENANAKLPLvBNZJG
"Kamu kenapa ?" Tanya Herman saat melihat istrinya Marcella melamun melihat lalu lalang kendaraan bermotor yang berjalan beriringan dengan mobil yang mereka kendarai.
"Karin Mas, Aku kok makin sulit ngertiin kemauan anak itu." Jawab Marcella tak bersemangat.
"Sabar, semua butuh waktu, Karin butuh waktu untuk bisa menerimaku." Ucap Herman tenang.
"Aku tau, tapi Aku merasa sekarang Karin sudah berubah, Aku nyaris tidak bisa mengenalnya lagi."
"Apa maksudmu ?"
"Dia tak hanya membencimu Mas, tapi juga membenciku."
"Kita berdua harus bisa lebih sabar menghadapi Karin Mah, Aku yakin setelah nanti usianya bertambah, setelah dia menginjak bangku kuliah, berangsur dia akan bisa menerima kenyataan ini. Menerimaku sebagai Ayahnya, Aku yakin kita bisa Mah." Herman menggenggam jemari Marcella, memberi dukungan atas kegundahan yang tengah dirasakan oleh istrinya yang cantik itu.
"Trus rencananya Karin akan kuliah di mana? Jadi ke Australia?" Tanya Herman.
"Entahlah Mas, dulu sih iya, sekarang Aku belum tau lagi kemauannya."
"Kita harus support dia untuk meraih cita-citanya Mah, kalau dia berhasil dan sukses jadi orang kita berdua juga yang akan bangga."
"Hmmm, andaikan saja dia tau kalo Kamu sebaik ini Mas..."
"Suatu saat dia akan mengerti Mah, tenang saja." Kata Herman sambil tersenyum ringan.
608Please respect copyright.PENANAsr3yaisL0g
***
608Please respect copyright.PENANAx5091U3E4i
3 HARI KEMUDIAN
TOK..
TOK..
TOK..
Raka mengetuk pintu rumah Karin setelah sebelumnya dia memastikan kerapian penampilannya. Raka tidak mau meninggalkan kesan buruk saat kencan pertamanya dengan Karin.
"Iya ? Mau cari siapa?"
"Karinnya ada Om?"
"Ada, temannya ?"
"Oh iya Om, kenalin, Saya Raka, teman dekatnya Karin." Raka mengulurkan tangannya, disambut hangat oleh Herman. Papa tiri Karin itu tersenyum sambil terus mengamati penampilan Raka, insting sebagai seorang Ayah berlaku saat ini.
"Ok, silahkan duduk dulu, Saya panggilkan Karin."
"Baik Om, terima kasih."
Raka beranjak duduk di atas sofa ruang tamu, sementara Herman menuju kamar Karin di lantai dua. Baru menginjak lima anak tangga, Herman dikejutkan oleh kehadiran Karin yang baru keluar dari dalam kamarnya. Penampilan putri tirinya sore itu sangat berbeda, meskipun hanya memakai kaos putih dan celana jeans warna cokelat, Karin terlihat sangat cantik. Terlihat sangat dewasa, darah Herman berdesir kencang detik itu.
"Temanmu sudah datang."
"Sudah tau." Jawab Karin singkat, sebisa mungkin dia ingin mempercepat interaksinya bersama Papa tirinya.
"Kau mau pergi kemana ?"
"Bukan urusanmu !" Sikap ketus Karin semakin menjadi.
"Karin, tunggu dulu. Aku harus tau Kau mau pergi kemana karena Ibumu sedang tidak ada, Aku bertugas untuk mengawasimu." Herman menahan pundak Karin dengan tangannya agar tidak berlalu begitu saja.
"Aku sudah bilang, ini bukan urusanmu ! " Karin semakin memberontak.
"Dengar ! Aku tidak akan mengijinkanmu pergi kalau Aku tidak tau kemana tujuanmu."
"Brengsek !" Umpat Karin kehilangan kesabaran.
"Silahkan Kau mengumpatku, tapi itu tidak akan mengubah keputusanku." Kata Herman tegas, seperti tak ada pilihan lain dan tak ingin terlihat oleh Raka karena terlibat keributan dengan Papa tirinya, akhirnya Karin menyerah.
"Mau nonton bioskop." Kata Karin singkat.
"Ok, Kau boleh pergi tapi ingat, jam malammu masih berlaku."
"Hssshhhh ! Iya ! Bawel banget !" Karin melepaskan tangan Herman dari pundaknya dan melangkah turun menuju ruang tamu, kali ini Herman tidak menghalangi putri tirinya itu, dia hanya mengikuti langkah Karin dari belakang.
"Yuk !" Karin mengajak Raka untuk segera pergi, sikap Karin tersebut sedikit membuat Raka kikuk apalagi Herman juga sudah berada di ruang tamu.
"Om, kami pamit, mau pergi nonton." Ucap Raka, berpamitan pada Herman.
"Iya silahkan, ingat jam sembilan malam Kau harus sudah mengantarkan Karin pulang." Kata Herman tegas.
"Tapi Om, filmnya baru mulai jam delapan."
"Tidak ada tapi-tapian, jam 9 pas Kau harus sudah berada di sini." Karin langsung melotot, menunjukkan rasa tidak senangnya pada sosok Herman.
"Ba..Baik Om...Siap."
Karin buru-buru menggandeng tangan Raka untuk segera keluar dari rumah, berada di situ terlalu lama membuatnya semakin jengah. Tak berselang lama sebuah city car berhenti tepat di depan rumah, Marcella muncul dari dalam mobil dengan membawa beberapa tas hasil belanjanya dari mall siang tadi.
"Sore Tante." Sapa Raka.
"Sore, mau kemana kalian?"
"Mau pergi nonton bioskop Tante."
"Oh, ya udah, hati-hati di jalan ya, dan inget, jangan pulang malam-malam. Karin, hp jangan dimatikan ya." Ucap Marcella memberi wejangan pada dua remaja yang tengah dimabuk cinta itu.
"Iya Tante, kami pamit dulu Tante." Raka mencium punggung tangan Marcella sebelum mengajak Karin masuk ke dalam mobilnya.
"Kok tegang gitu Mas wajahnya?" Tanya Marcella pada Herman sesaat setelah mobil Raka beranjak pergi.
"Nggak apa-apa Mah, Aku cuma khawatir aja."
"Khawatir kenapa?" Tanya Marcella heran.
"Anak itu."
"Tenang Mas, dia keliatan seperti anak baik-baik kok, sopan lagi."
"Hmmm, semoga aja gitu Mah. Tapi Kamu tadi udah ngingetin mereka untuk pulang jam 9 malam kan?"
"Iya Mas, Kamu ini kalo kayak gini jadi mirip satpam deh, heheehehe." Goda Marcella saat menyaksikan keseriusan Herman.
"Satpam? Punya tongkat pemukul dong?" Sahut Herman.
"Iya, tongkatnya suka nakal." Marcella meremas manja pangkal paha suaminya itu.
"Yuk, mumpung Karin keluar rumah." Tak mau menunggu lama, Herman segera membopong tubuh Marcella ke dalam rumah. Suara tawa keduanya terdengar penuh kebahagiaan.
***
"Kok berhenti di sini?" Tanya Karin saat Raka menghentikan mobilnya di utara stadion kota, jauh dari mall, tempat dimana mereka akan menonton bioskop. Raka tersenyum, pemuda tampan itu menatap lekat mata Karin yang duduk di sebelahnya.
"Kamu kenapa?" Karin tampak kebingungan dengan sikap Raka.
"Kamu cantik sekali Karin hari ini, jauh lebih cantik dari hari-hari biasanya." Ucap Raka sambil mengusap bahu Karin, tindakan yang membuat Karin semakin bingung dan risih.
"Kamu kenapa sih?" Tanya sekali lagi, sikap Raka membuatnya merasa tidak nyaman.
Raka masih saja tersenyum, kali ini sambil kedua matanya mengamati lekuk tubuh Karin, bukan seperti tatapan seorang pria pada kekasihnya,tapi menyerupai tatapan seekor serigala yang siap menerkam mangsanya mentah-mentah.
"Karin..." Raka semakin merapatkan tubuhnya pada Karin, bibirnya mendekati wajah Karin.
PLAK !!!
"Apa-apaan ini ! Jangan kurang ajar ya Kamu !" Sebuah tamparan keras mendarat telak pada pipi Raka. Karin buru-buru melepas sabuk pengaman dari tubuhnya, gadis cantik itu ingin segera pergi dari dalam mobil.
"Brengsek !" Tanpa diduga, Raka mencengkram bagian belakang leher Karin, kasar dan keras, Karin mencoba memberontak tapi usahanya kalah besar dengan tenaga Raka.
"Lepasin! Tolong!! Tolong! Hemmmmpphhhff!!" Teriakan Karin tertahan, kali ini telapak tangan Raka sudah menutup rapat mulut gadis cantik itu.
"Diam ! Atau Aku bertindak lebih kasar lagi !" Ancam Raka serius.
"Raka, Kamu kenapa? Apa salahku?" Ucap Karin setelah tangan Raka menyingkir dari mulutnya, gadis cantik itu terisak, bukan hanya karena tindakan kasar Raka pada tubuhnya,tapi juga karena perubahan sikap pria yang dia cintai begitu menyakiti perasaannya.
"Salahmu karena Kamu begitu cantik." Jawab Raka sambil tersenyum tipis, telunjuknya menyusuri leher jenjang Karin, tatapan matanya berubah menjadi binal.
"Raka, please, biarin Aku pergi." Isak Karin, airmatanya mulai menetes. Perasaan takut menyeruak. Suasana sepi di sekitar stadion semakin membuat Karin ketakutan, dia yakin jikapun dia berteriak sekencang mungkin meminta tolong seperti tadi pasti tidak ada yang akan mendengarnya.
"Kamu jangan takut sayang, Aku tidak akan menyakitimu kalo Kamu mau menuruti kemauanku." Raka melepas sabuk pengamannya, tubuhnya kini bisa leluasa bergerak.
"Raka, please jangan seperti ini. Aku mohon Raka, biarkan Aku pergi." Karin terus memohon agar dibiarkan pergi dan kembali pulang, tapi Raka bergeming, kini tangannya justru mulai menggeranyangi tubuh Karin, menyentuh daerah sensitif gadis cantik itu.
"Mmmmpphhff!!!" Karin berusaha sekuat tenaga menutup rapat bibirnya saat bibir Raka berusaha menciuminya.
"Raka ! Please stop! Mmmmppffhhh!!!" Karin kembali berontak, kedua tangannya berusaha menjauhkan tubuh Raka yang semakin mendekat. Raka tak tinggal diam usahanya semakin keras untuk terus mendekap tubuh Karin.
PRAAAKK!!!!
BYAAARRRR!!!
Kaca samping mobil Raka pecah berserakan karena pukulan benda keras dari luar. Belum sempat Raka melihat apa yang terjadi, pintu mobilnya sudah terbuka paksa dari luar, tubuhnya kemudian diseret kasar keluar dari mobil. Karin semakin shock, dia buru-buru melepas sabuk pengamannya dan langsung keluar dari dalam mobil.
BUUUGGHHHTT !!!
BUUUGGHHTT!!!
"Bajingan !"
Herman melayangkan pukulan bertubi-tubi ke arah wajah dan tubuh Raka, pemuda itu mencoba untuk melawan atau sekedar menangkis pukulan itu tapi usahanya sia-sia. Tubuh dan tenaga Ayah tiri Karin tersebut jauh lebih besar, pukulannya terus menghantam tubuh dan wajah Raka tanpa bisa dielakkan.
"Tolong ! Tolong ! "
Karin berteriak histeris saat menyaksikan Ayah tirinya bergumul, beradu pukul dengan Raka. Beberapa orang yang kebetulan melintas di sekitar stadion mulai mendekati sumber kegaduhan.
"Bangsat ! Arrgghhttt !"
Herman seperti kesetanan, pria itu terus menghujamkan pukulan demi pukulan ke arah tubuh Raka. Sementara Raka sebisa mungkin terus mengelak sambil sesekali melakukan perlawanan kecil. Suasana kacau langsung tercipta, beberapa orang yang melihat kejadian tersebut berusaha melerai dan memisahkan Herman dengan Raka. Butuh waktu dan tenaga untuk meredam amarah Ayah tiri Karin tersebut.
"Woi ! Sudah ! Berhenti ! Berhenti !" Teriak salah satu orang yang memisahkan perkelahian antara Herman dan Raka.
"Lepasin ! Lepasin ! Bangsat !!!" Teriak Herman sambil terus berusaha kembali meraih tubuh Raka dari hadangan orang-orang tersebut.
"Sudah Pak ! Sudah ! Sabar! "
Kata salah satu orang tersebut, mencoba meredam emosi Herman. Di sudut lain, tak jauh dari tempat kejadian Karin hanya bisa menangis, gadis cantik itu masih sangat shock dengan kejadian saat ini. Beberapa orang lain tampak menenangkannya. Tak lama berselang mobil patroli polisi mendekat, raungan sirinennya memekakkan telinga, makin banyak orang yang berkerumun di tempat kejadian, mencoba mencari tau keributan yang tengah terjadi.
"Ada apa ini ?"
Kata salah satu polisi setelah orang-orang berhasil memisahkan perkelahian antara herman dengan Raka. Tampak wajah Raka babak belur, darah mengalir deras dari bibir dan hidungnya sementara Herman tak mendapat luka yang berarti, hanya goresan kecil di pipi kanannya.
"Bajingan ini mencoba memperkosa anakku !" Kata Herman masih dalam keadaan emosi, beberapa orang tampak terkejut mendengar penuturan Herman, tatapan menghakimi langsung mengarah pada sosok Raka yang sudah babak belur.
"Anak Bapak mana ?" Tanya polisi itu lagi, Herman langsung menunjuk sosok Karin yang masih menangis sesegukan di sudut lain. Polisi yang lain langsung mendekati Raka, mencoba mengamankannya agar tidak terjadi amuk massa yang lebih hebat.
"Bapak sekarang sabar dulu, Kita bisa selesaikan masalah ini di kantor. Mohon buat yang lain bubar ya, masalah ini akan kami tangani sebaik mungkin." Kata Polisi tersebut.
Kerumunan semakin menyemut, beberapa orang membantu Polisi mengamankan Raka dan membawanya masuk ke dalam mobil patroli. Sementara Herman mendekati Karin.
"Kamu tidak apa-apa Karin?" Tanya Herman, melihat Karin menangis tersedu sedu seperti itu membuat hatinya hancur berantakan. Karin menatap wajah Herman, airmatanya masih menetes, beberapa detik kemudian gadis cantik itu menghamburkan pelukan pada tubuh Herman. Tangisnya semakin pecah, beberapa orang yang menyaksikannya juga ikut terharu.
"Sudah, sudah. Kau aman sekarang, Papa ada di sini sekarang." Ucap Herman.
608Please respect copyright.PENANAOEBNTIrtON
*BERSAMBUNG*
608Please respect copyright.PENANAYXaaZVjd9e