
Kabut tipis perlahan menari di lereng Gunung Pangrango, seolah membalut malam dalam sunyi yang penuh misteri dan magis. Api unggun menyala redup di tengah lingkaran tenda, cahayanya memantul lembut pada wajah Dina, perempuan berusia 27 tahun yang duduk anggun di atas tikar anyaman. Ia adalah seorang guru ASN di salah satu SMA di Kota Bandung, dengan kulitnya yang putih mulus bagaikan porselen yang berkilau diterpa sinar rembulan. Rambut hitam sebahunya, sedikit bergelombang, membingkai wajahnya yang lembut sekaligus menggoda. Kacamata tipis berbingkai emas bertengger di hidungnya, memberikan sentuhan kecerdasan yang berpadu apik dengan aura sensualnya. Blus katun putih yang membalut tubuhnya agak ketat, jelas menonjolkan lekuk payudara yang pas di genggaman pria dewasa, sementara putingnya yang mengeras samar terlihat melalui helaian kain tipis itu. Celana kain longgar membungkus pinggulnya, namun tetap tidak mampu menyembunyikan lekukan tubuhnya yang memikat. Mengelilinginya, enam pria dengan tatapan penuh gairah duduk mengitari api unggun. Benvolio yang berusia 30 tahun, Berdy dan Bernard yang sama-sama 27 tahun, Bernardo 26 tahun, Bertie 28 tahun, dan Berto 28 tahun—mereka semua adalah sahabat lama Dina dari masa kuliah, masing-masing membawa sejuta kenangan tawa, godaan, dan ketegangan yang tak pernah selesai. Benvolio, kakak tingkat dengan senyum nakal dan mata penuh arti, duduk paling dekat dengannya. Berdy, berpenampilan atletis dan sorot mata penuh percaya diri, menatap Dina dengan nafsu membara. Bernard yang biasanya pendiam kini menatap dengan intensitas yang sanggup membuat bulu kuduk Dina berdiri. Bernardo, yang paling muda, menampilkan aura polos namun matanya menyala dengan hasrat tersembunyi. Bertie dan Berto, dengan sikap santai namun penuh perhitungan, menambah panas suasana malam itu. Dina tahu malam ini bukan sekadar acara berkemah biasa. Ia telah membohongi Beck, suaminya, mengatakan bahwa ini adalah kegiatan sekolah. Pagi tadi, ia mencium pipinya dengan senyuman manis yang menyembunyikan denyut jantung liar di dadanya. Kini, di tengah keheningan hutan, ia merasakan kebebasan yang terlarang. Teh hangat dalam cangkir-cangkir yang dulu dihidangkan kini telah dingin, dan tawa mereka mulai berubah menjadi bisikan penuh arti. Udara malam yang dingin menyentuh kulitnya, tapi panas dalam tubuhnya membara, disulut oleh tatapan keenam pria yang menelusuri setiap lekuk tubuhnya dengan penuh nafsu.
Benvolio memecah sunyi malam dengan suara dalam dan sedikit serak, seperti desiran angin di antara pepohonan. "Ci, kamu masih ingat malam saat di rooftop kampus? Kita bicara sampai fajar, dan kamu... kamu membuat semua orang tidak bisa tidur," kata Benvolio dengan mata berkilat penuh kenangan dan nafsu. Dina tersenyum, pipinya merona merah, bibirnya yang berkilau dalam cahaya api menyahut, "Kamu yang membuat malam itu hidup, Ben." Suaranya lembut namun penuh godaan.
Berdy, yang duduk di sisi kanan Dina, berani menggeser tubuhnya lebih dekat. Jari-jarinya menyentuh lengan Dina dengan hangat, meninggalkan jejak hangat di kulitnya. "Kamu nggak berubah, Ci. Tetap bisa membuat jantung berhenti berdetak sejenak," bisiknya rendah hampir seperti berbisik. Sentuhannya ringan, tapi cukup untuk membuat napas Dina tersendat. Dina mengalihkan pandangannya, bertemu mata Berdy, dan seketika dunia terasa hanya milik mereka. Ia membiarkan tangan Berdy tetap di sana, tak mengusirnya.
Bernard, duduk di seberang, berbicara dengan keberanian yang tidak biasa. "Beck tahu kamu di sini, Ci? Atau ini rahasia kita?" ejekannya bercampur rasa ingin tahu. Dina menggeleng pelan, jari-jarinya bermain dengan ujung blus, perlahan menarik kain itu hingga memperlihatkan bahunya yang mulus. "Ada hal yang dia tak perlu tahu," jawabnya, suaranya seperti angin malam yang penuh misteri.
Api unggun mulai meredup, namun panas antara mereka semakin memuncak. Bernardo, dengan wajah memerah karena gairah, berlutut di samping Dina. Tangan gemetarnya menyentuh rambut hitam yang lembut, jari-jarinya tersangkut di gelombang halus itu. "Kamu... kamu membuat kami semua di sini gila, Ci," katanya dengan kejujuran mentah. Dina menatapnya, kemudian melempar pandang ke arah lain; Bertie tersenyum tipis, Berto mengigit bibir bawah, dan Benvolio matanya berkata, malam ini milik kita.623Please respect copyright.PENANA9TYWMSouzs
Bersambung…
ns216.73.216.51da2