
Ghadah baru kembali ke kantor setelah menikmati masa cuti selama beberapa hari yang digunakannya untuk melangsungkan pernikahan. Kini, sudah hampir satu minggu ia resmi menyandang status sebagai istri dari seorang pria tampan bernama Brantley, yang bekerja sebagai anggota kepolisian. Mengenakan seragam coklat khas guru dan kerudung senada yang tertata rapi, Ghadah melangkah masuk ke ruang kerja SMA Dirgantara dengan wajah yang masih memancarkan kebahagiaan. Begitu ia menapakkan kaki, para rekan kerja segera menyapa dengan ramah dan ekspresi penuh kehangatan.
Bu Rahimah, salah seorang guru senior yang terkenal ceplas-ceplos, menyambut dengan nada menggoda, "Wah, ada pengantin baru nih. Ehem... kelihatan bahagia banget ya, sampai-sampai aku yakin pasti semalam panas, nih?"
Ghadah langsung tersipu malu, pipinya memerah, namun senyuman manis tak mampu ia tahan. "Ibu ini, bisa saja bercanda seperti itu. Jangan ngomong yang aneh-aneh, deh... Aku jadi malu," jawabnya sambil menundukkan kepala.
Dengan tatapan waspada, Ghadah perlahan menoleh ke sekeliling. Ia memastikan tidak ada mata-mata tersembunyi, terutama dari kalangan guru pria yang selama ini kerap mencari kesempatan untuk menarik perhatiannya. Berita bahwa Ghadah telah menikah ternyata menjadi laksana pukulan berat bagi salah seorang guru pria yang sejak lama menyimpan rasa dalam hati padanya.
Dengan tawa ringan, Bu Rahimah berujar, "Hehehe... tak perlu malu, Mbak Ghadah. Dulu saya juga pernah mengalami masa-masa seperti ini, kok. Jadi kalau kamu butuh cerita atau sekadar curhat, jangan ragu menghubungi saya. Kalau perlu, saya bisa kasih tips tentang posisi-posisi yang... ya, enak banget, hehe," katanya dengan nada jenaka tapi lugas. Meskipun usianya sudah tidak muda lagi, semangat dan jiwa muda Bu Rahimah selalu membuatnya berbeda dari guru-guru lain di sekolah.
Mata Ghadah melebar, kebingungan campur malu. "Astaga, ibu ini ngomong apa sih? Posisi apa? Striker atau kiper, ya? Aneh banget aku justru mengerti maksudnya, tapi lebih sungkan buat membahasnya," pikir Ghadah dalam hati.
Baginya, topik-topik yang berkaitan dengan ranjang adalah hal yang terlalu vulgar untuk dibahas, bahkan dengan sesama wanita. Rasa tidak nyaman itu tak bisa disembunyikannya. Namun sebelum Ghadah sempat menjawab, rekan kerjanya yang lain tiba-tiba datang membawa kabar segar.
Bu Ghaliyatul, dengan ekspresi penuh antusiasme, bertanya, "Eh, kalian sudah dengar belum? Hari ini kepala sekolah yang baru akan resmi datang, lho!"
Bu Rahimah menjawab tanpa semangat, "Terus, kenapa? Informasi kedatangan kepala sekolah baru itu sudah kami dapat seminggu yang lalu dari pihak yayasan."
Dengan nada menggoda, Bu Ghaliyatul berkata, "Aku cuma penasaran, kepala sekolah baru itu ganteng nggak sih? Badannya tegap dan keren atau tidak?" Sambil berkata demikian, ia memegangi pipinya yang tiba-tiba memerah, tampak seolah sedang berkhayal.
Sementara itu, dalam hati Bu Rahimah bergumam, "Huh, yang dipikirkan cuma soal itu saja. Sudah jelas perawan tua,". Namun ia memilih untuk tidak mengomentari lebih jauh. Memang Bu Ghaliyatul sedang sibuk mencari pasangan hidup mengingat usianya yang sudah memasuki kepala tiga.
Sebenarnya, sulit memang mengharapkan sesuatu yang realistis ketika fakta berkata lain. Tipe ideal Bu Ghaliyatul terlalu menuntut soal fisik, menginginkan pria muda dengan tubuh berotot seperti pegulat UFC, yang tentu saja bukan tipe yang mudah dijumpai begitu saja. Sementara guru-guru lain sudah mulai meninggalkan ruang guru satu per satu, memilih fokus pada aktivitas mereka masing-masing, Ghadah berjalan pelan menuju mejanya. Tak lama sesudah itu, bel sekolah berbunyi, mengingatkan bahwa upacara bendera akan segera dimulai pada hari Senin pagi yang cerah ini. Para siswa dan siswi berbaris rapi di lapangan upacara sekolah. Saat itulah, sosok kepala sekolah baru diperkenalkan kepada seluruh civitas akademika. Baik siswa maupun guru menyambut dengan antusias yang bercampur rasa penasaran. Mereka berharap kepala sekolah yang baru akan membawa perubahan positif, menjadi sosok yang bijaksana dan tidak terlalu galak. Namun, saat masing-masing memasuki area upacara, mata Bu Ghaliyatul terbelalak dan bibirnya mengerut kecewa melihat sosok pria paruh baya yang berdiri di hadapan mereka sebagai kepala sekolah baru. Rambutnya mulai botak di bagian depan, uban mulai nampak di bagian belakang, kumisnya lebat dan perutnya buncit. Wajahnya jauh dari kata tampan. Hal ini bertolak belakang dengan harapan Bu Ghaliyatul yang dulu membayangkan sosok yang jauh lebih muda dan segar. Sementara itu, Ghadah menahan tawanya, tidak kuasa melihat ekspresi kecewa teman sekerjanya tersebut. Anehnya, wajah pria itu terasa familiar di benak Ghadah, namun ia tidak dapat mengingat dari mana ia mengenal sosok itu. Kepala sekolah baru itu memperkenalkan dirinya dengan suara penuh rasa syukur, memperkenalkan namanya sebagai Brandon. Pria dengan perut buncit tersebut mulai menyampaikan pidato singkat, berterima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk bergabung di sekolah ini dan berjanji akan bekerja sekuat tenaga demi kemajuan sekolah. Pidato itu terdengar membosankan bagi sebagian besar siswa yang sudah mulai kehilangan perhatian. Setelah upacara selesai, siswa kembali ke kelas masing-masing, dan para guru kembali ke ruang kerja. Di ruang guru, kepala sekolah kembali memberikan pengarahan tertulis mengenai aturan-aturan baru dan kebijakan yang akan dijalankan selama masa kepemimpinannya. Semua guru dan staf mendengarkan dengan seksama. Namun, sesaat kemudian, mata kepala sekolah seakan terpaku pada Ghadah. Pandangan mereka bertemu dan berlangsung cukup lama, sampai membuat Ghadah merasa salah tingkah. Ia menoleh ke kanan dan kiri, berharap tidak ada yang memperhatikan kegugupannya.
Ghadah berbisik dalam hati, "Duh, itu pak kepala sekolah ngeliatin siapa, sih? Kok kayaknya aku yang jadi sasaran?"
Matanya yang tajam dan ekspresi tenang dengan suara berat memberikan aura yang memerintah sekaligus menggugah rasa hormat. Sesuatu yang layak untuk seorang pemimpin. Setelah pengarahan berakhir, Pak Brandon berjalan perlahan menuju meja kerja Ghadah, tanpa lepas pandangannya dari wanita itu. Menyadari kedatangan sang kepala sekolah, Ghadah segera berpura-pura sibuk, menulis di lembar kosong dengan tanda tangan asal-asalan demi menghindar dari tatapan yang membuatnya malu.
Dalam hati, Ghadah berdoa, "Waduh, pak kepala sekolah malah dateng ke sini lagi. Aku harus ngapain biar gak kena teguran?"
Pak Brandon menyapa dengan ramah, "Hai Ghadah, ya? Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Bagaimana kabarmu sekarang?" Suaranya lembut, membuat Ghadah kaget dan sedikit bingung.
Refleks, Ghadah mengangkat kepalanya, berpikir bahwa Pak Brandon mengenal namanya karena melihat name tag yang biasa dipakainya. Namun baru saja ia menyadari bahwa tadi pagi ia lupa memakaikan name tag tersebut.
Ghadah menjawab dengan nada canggung, "Baik, Pak. Maaf, apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Saya kurang ingat." Senyum kecilnya mencoba menutupi rasa tidak enak.
Pak Brandon tertawa ringan, membuat rasa penasaran Ghadah makin mendalam. "Ghadah, kamu tidak ingat aku? Aku adalah ayah dari Hayah, temanmu waktu SD dulu."
Mata Ghadah membelalak. Ia menatap wajah Pak Brandon perlahan, mengingat-ingat. Ya, benar. Wajah itu sangat familiar — dia adalah ayah dari sahabat pertamanya. Dengan cepat, Ghadah bangkit berdiri, membungkuk hormat, dan berkata, "Astaga! Iya, Pak! Maaf, saya pangling sekali melihat Bapak. Sudah lama sekali, ya. Bagaimana kabar keluarga?" Ia menangkupkan kedua tangan di depan sebagai tanda hormat dan kegembiraan.
Tak heran kalau Ghadah merasa pangling. Dulu, mulai dari TK hingga SD, ia sering bermain di rumah Hayah karena orang tuanya sibuk bekerja. Pak Brandon, ayah Hayah, kerap mengajak mereka berdua jalan-jalan dan selalu menyayangi Ghadah seperti putrinya sendiri. Bahkan nilai mereka saat sekolah dulu sering beriringan — ketika Hayah mendapat nilai A, Ghadah juga demikian; saat Hayah mendapat B, Ghadah juga ikut dapat B. Pak Brandon tidak pernah membedakan perlakuan terhadap mereka. Ghadah masih ingat betapa sering ia digendong oleh Pak Brandon, tak jarang sambil cium pipi dengan penuh kasih sayang yang membuat Hayah menangis karena cemburu. Sebaliknya, saat Hayah digendong dan dicium, Ghadah yang merengek dan menangis. Kenangan itu kini membuat Ghadah malu sendiri bila teringat. Di masa itu, Pak Brandon memiliki penampilan yang sangat berbeda dari sekarang — tubuhnya tegap, gagah, kekar, dan maskulin. Perutnya bahkan membentuk sixpack yang jadi bahan lelucon manis antara Ghadah dan Hayah, mereka sering menyebutnya "duren" karena bentuk perutnya mirip durian yang dibelah.
Pak Brandon terkekeh, menjawab dengan lembut, "Keluarga kami baik-baik saja. Hayah sudah menikah dan memiliki seorang anak. Tapi dia tinggal bersama suaminya di Balikpapan."
Ghadah lantas bertanya dengan suara agak lembut, "Kalau ibu bagaimana, Pak?" Ia tidak bisa menyembunyikan kedekatannya dengan keluarga sahabat masa kecilnya itu. Wajah Pak Brandon berubah sendu seketika.
Pak Brandon menjawab lirih, "Ibu masih di rumah, tapi sayangnya kini kondisinya memburuk akibat stroke. Dia sudah tidak bisa berbuat banyak lagi."
Ghadah berbisik lembut, "Astaghfirullah." Ia mengelus dadanya, merasakan kesedihan yang mendalam. Kenangannya melayang pada Bu Ghina, ibu Hayah, yang dulu kerap mandikan, masakkan, dan merawatnya seperti anak sendiri. Kebaikan Bu Ghina selalu membekas di hati Ghadah.
Pak Brandon melanjutkan, "Kini Ibu kebanyakan di rumah sendirian. Kadang aku meminta tolong tetangga sekitar untuk menjaganya saat aku harus bekerja."
Ghadah mengangguk pelan, menatap lantai berubin putih bergaris-garis, wajahnya penuh kesedihan. Ingatannya melayang jauh ke masa lalu, betapa dekatnya ia dengan Bu Ghina, yang sejak dulu ia anggap seperti ibu kandung sendiri.
Pak Brandon berkata dengan lembut, "Ibu pasti sangat senang kalau kamu bisa menjenguknya. Dulu, ibu sangat menyayangi kamu." Ghadah mengangkat wajahnya, matanya berkaca-kaca.
Ghadah menyadari kebenaran kalimat itu. Ia rindu Bu Ghina, sosok yang dulu jauh lebih dekat padanya dibandingkan ibu kandungnya sendiri.
Ghadah tersenyum kecil, "Boleh, Pak. Nanti saya akan mencari waktu yang tepat."
Pak Brandon menawarkan, "Bagaimana kalau sore nanti? Setelah kamu pulang kerja?"
Ghadah teringat kewajibannya, "Ah, sayangnya sore nanti saya tidak bisa, Pak. Saya belum izin dengan suami saya, dan sudah membuat janji dengannya."
Pak Brandon terlihat sedikit terkejut, "Oh, jadi kamu sudah menikah. Maaf, saya tidak tahu." Ghadah hanya mampu tersenyum dan mengangguk menanggapi.
Di sebelah meja Ghadah, Bu Ulya melempar celetukan nakal, "Pengantin baru, Pak. Hehehe..." yang membuat pipi Ghadah bersemu merah karena malu.
Tanpa disadari, ada yang menguping pembicaraan mereka. Ghadah melirik tajam ke arah Bu Ulya, wanita yang sering membuat gosip kecil di kantor. Ia kemudian menundukkan kepala, kedua tangan dirapatkan di bawah seolah tengah disuruh diam. Ghadah merasa sungkan membahas kehidupan pernikahannya yang masih sangat baru di hadapan Pak Brandon.
Pak Brandon mengangguk pelan, "Oh, pengantin baru ya. Baiklah, kamu izin dulu dengan suamimu. Jangan lupa kabari saya, ya," ucapnya dengan hangat.
Ghadah tersenyum dan membungkuk hormat. Tak lama kemudian, bel tanda pelajaran pertama berbunyi. Ia mulai menata buku-buku di mejanya yang akan dibawa ke kelas. Di saat itu Bu Ulya kembali mendekat dengan nada penuh sindiran.
Dengan nada menggoda, Bu Ulya berbisik, "Aduduh... baru hari pertama sudah menunjukkan koalisi dengan kepala sekolah. Ehem... ehem..."
Ghadah melirik sekilas tanpa membalas, fokus pada persiapan buku-bukunya. "Dia ayah sahabat saya waktu SD dulu, Bu," jawabnya singkat.
Ghadah sebenarnya tidak membenci rekan kerjanya tersebut, tapi karena Bu Ulya terlalu sering iri dan suka menggosip, Ghadah memilih untuk tidak meladeni. Ia harus segera mengajar, jadi tidak ada waktu lagi untuk berbincang. Saat berjalan menuju kelas dan menaiki tangga, tiba-tiba seseorang memanggil namanya.
"Ghadah," suara itu memanggil. Ghadah menoleh dan melihat seorang pria gagah dengan seragam coklat mendekat.
Ia mundur selangkah, wajahnya tiba-tiba tegang. Pria itu bertanya, "Kamu sudah berangkat?"
Pria itu bernama Brendan, satu-satunya guru lelaki yang paling gigih mendekati Ghadah dibandingkan guru lain. Berita pernikahannya telah menghancurkan hati Brendan. Percakapan terakhir mereka berlangsung melalui telepon, malam sebelum hari pernikahan Ghadah. Saat itu mereka berdebat panjang, di mana Brendan merasa Ghadah memberikan harapan palsu, sementara Ghadah memutuskan menerima lamaran pria lain. Hingga kini, tatapan Brendan masih dipenuhi cinta, meski ia berusaha berdamai dengan kenyataan pahit.
Ghadah hanya diam dan mengangguk, menundukkan kepala. Brendan berkata pelan, "Selamat atas pernikahanmu. Maaf aku tidak bisa hadir di acara pernikahanmu," meski itu setengah kebohongan.
Sebenarnya Brendan memang tidak bisa datang, lebih tepatnya tidak sanggup melihat wanita yang dicintainya berdiri di pelaminan bersama pria lain.
Ghadah menjawab singkat, "Iya, gak apa-apa," karena ia sendiri tidak tahu harus menjawab apa, merasa semakin terpojok oleh situasi itu.
Sebenarnya, dalam lubuk hatinya, Ghadah menyimpan perasaan terhadap Brendan. Ia bukan tipe wanita yang mudah membuka hati pada siapa pun. Tiga tahun saling mengenal bukan waktu yang singkat. Namun, karena sikap Brendan yang lamban dan cenderung menggantungkan harapan, Ghadah pun memilih menerima lamaran pria lain yang lebih dulu mengajukan.
Ghadah pun pamit dengan cepat, "Kalau begitu aku permisi dulu, ada jam pelajaran yang harus aku isi," berusaha menghindar dari interaksi yang membuat hatinya bergejolak.
Brendan hanya menatap punggung Ghadah yang menjauh dan menghilang dari pandangannya. Ia termenung, menyadari kesalahannya karena tidak bergerak cepat. Ghadah adalah wanita cantik yang diminati banyak pria. Dia tak mungkin menunggu seorang lelaki yang belum pernah menyatakan perasaan secara resmi, bahkan tidak pernah mengajaknya berpacaran pun. Hari kerja berakhir, dan Ghadah mengendarai motor matic kesayangannya pulang ke rumah. Saat memasuki teras rumah, ia membuka kaca helm Bogo-nya, menghirup udara segar.
Ghadah menyapa dengan lembut, "Assalamualaikum," dan langsung disambut hangat oleh suaminya yang sedang menikmati hari libur lebih panjang.
Brantley membalas salam, "Waalaikumusalam." Dengan penuh hormat, Ghadah mencium punggung tangan suaminya sebagai tanda kasih sayang.
Ketika menikah, Brantley sudah menyiapkan rumah terpisah agar mereka bisa hidup mandiri tanpa tergantung pada orang tua, sebuah prinsip yang diyakininya sebagai kunci rumah tangga yang harmonis.
Brantley bertanya dengan senyum geli, "Gimana hari pertama kamu masuk kerja lagi? Ada yang godain nggak?"
Ghadah duduk santai di sofa ruang tamu, tepat di samping suaminya, dan memejamkan kepala di pundak Brantley.
Ghadah menjawab sambil tersenyum, "Biasa aja, Mas. Ibu-ibu di kantor pada kepo semua. Ada yang malah mau kasih tau posisi-posisi yang enak banget," jawabnya, membuat Brantley tertawa geli.
Brantley menggoda, menaik-turunkan alis, "Kalau begitu sudah tau dong. Mau coba dipraktikkan?"
Ghadah tersipu dan memukul lengan suaminya dengan kesal sambil berkata, "Mas, ihh...!!!"
Brantley kembali menggoda, "Hehehe... kalau yang itu gimana?"
Ghadah bertanya balik, "Yang itu maksudnya apa?"
Brantley menjawab serius, "Mantan pacarmu itu."
Ghadah tersentak dan bertanya, "Siapa?"
Brantley berkata, kini dengan nada serius, "Si Brendan."
Wajah Ghadah berubah serius, "Dia bukan mantan pacarku. Dia cuma teman biasa."
Brantley mengejar, "Tapi dia suka sama kamu, kan?"
Ghadah mencebikkan bibirnya kesal, "Ih, Mas Brantley. Jangan terus-terusan bahas itu dong." Meskipun kesal, wajahnya justru terlihat menggemaskan.
Brantley mengangguk, "Iya-iya, maaf. Mukamu menggemaskan kalau lagi cemberut begitu." Ia mencoba mencium bibir Ghadah, tapi sang istri yang masih kesal cepat-cepat menghindar, sehingga hanya ujung bibirnya yang sempat tersentuh.
Brantley tak mau kalah. Ia menarik rahang Ghadah hingga menghadap ke arahnya dan langsung menyalurkan ciuman dengan penuh kasih. Pada awalnya, Ghadah hanya diam, bibirnya mengatup rapat tanpa membalas. Tetapi seiring waktu, ia mulai pasrah dan membalas ciuman suaminya dengan lembut. Suara desahan lembut terdengar di antara mereka, "Mmmhhh… sssppp… mmmhhh…". Setelah beberapa saat, Ghadah mendorong dada Brantley sedikit agar ciuman terlepas. Ia kemudian mengusap bibirnya dengan punggung tangan, masih belum terbiasa merasakan sentuhan bibir orang lain, bahkan suaminya. Ia memang benar-benar awam soal hal semacam ini sebelum menikah. Malam pertama mereka pun penuh perjuangan karena Ghadah mudah panik. Bahkan sebelum masuk, ia sudah berteriak heboh. Namun, ciuman Brantley cukup efektif; kini Ghadah tidak marah lagi dan wajahnya berubah merah karena malu.
Ghadah menepis malu dan berkata, "Eh, Mas, aku mau cerita sesuatu." Ia menarik badannya duduk tegak, menciptakan sedikit jarak di antara mereka.
Brantley membalas dengan penuh perhatian, "Cerita apa, sayang?"
Ghadah mulai bercerita, "Tadi kepala sekolah baru datang, dan kamu tahu siapa dia? Ternyata Pak Brandon, ayahnya Hayah, sahabat masa kecilku."
Brantley mengangguk, mengingat cerita yang pernah diceritakan Ghadah tentang Hayah. "Jadi, Hayah sudah menikah dan ikut suaminya tinggal di luar kota, aku lupa kota mana tadi ceritanya. Di rumah Pak Brandon sekarang tinggal berdua dengan istrinya. Kasihan istrinya terkena stroke. Dulu, Bu Ghina—istrinya—yang merawatmu waktu kecil."
Brantley mendengarkan dengan seksama, lalu bertanya, "Terus bagaimana?" menyambung pembicaraan.
Ghadah menatap suaminya dengan penuh kecemasan, "Emm... besok, boleh nggak aku mampir ke rumah Pak Brandon setelah pulang kerja? Aku ingin menjenguk Bu Ghina. Aku juga kangen dengannya. Pasti Bu Ghina kesepian karena anaknya jauh."
Brantley terdiam sejenak, memikirkan permintaan istrinya. Ghadah pun menebar senyum manis khasnya untuk merayu agar permohonannya dikabulkan.
Brantley akhirnya berkata, "Ya sudah, tapi jangan pulang malam-malam, ya. Besok aku juga harus berangkat kerja pagi-pagi."
Ghadah tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Ia segera memeluk Brantley, yang menerima pelukan itu hangat. "Makasih, Mas," ucapnya dengan penuh rasa terima kasih.
Brantley meminta dengan manja, "Sekarang cium lagi, dong," sambil memonyongkan bibir. Namun, Ghadah menolak dengan geli.
Ghadah berkata malu-malu, "Jangan sekarang, Mas. Aku baru pulang, belum mandi, masih bau acem. Mungkin malam saja ya, nanti aku kasih yang lebih," ucapnya sambil tersipu.
Brantley mengalah, "Hmm... ya sudah deh kalau begitu." Saat Ghadah hendak bangkit dari duduk, Brantley sempat mencubit pelan payudara kirinya, yang langsung ditepis Ghadah secara refleks. Namun setelah itu, Ghadah tersenyum, teringat bahwa yang menyentuhnya hanyalah suaminya, bukan pria lain.
Ghadah menyahut, "Nanti malam, ya Mas," sambil memberi sentuhan lembut di ujung hidung Brantley.
Bersambung…
ns13.59.173.30da2