71Please respect copyright.PENANAoxXH0e0Pur
Ding!
Suara notifikasi WA itu memecah kesunyian kamar nomor 12. Layar ponsel Ririn menyala, memancarkan cahaya biru lembut di ruangan yang temaram. Sebuah nama muncul: Rio. Pesannya singkat: "Rin, lagi di mana?"
Ririn menyipitkan matanya yang indah, senyum kecil mengembang di bibirnya yang merah alami. Rio... Pikirannya langsung melayang jauh, bukan untuk membalas pesan, tapi ke suatu malam yang baru saja berlalu. Malam di suite hotel mewah, di mana dunia seolah hanya milik berdua. Dia meletakkan ponselnya di atas bantal, membiarkan pertanyaan Rio menggantung. Ada urusan yang lebih mendesak: mandi dan mengusir lapar yang mulai menggerogoti.
Di balik tirai shower kamar mandi pribadinya (salah satu keistimewaan kamar no. 12), Ririn berdiri di bawah siraman air hangat. Mata terpejam rapat. Uap membumbung tinggi, membentuk siluet tubuhnya yang ramping namun berlekuk sempurna di balik kaca buram. Air mengalir deras membasahi rambut hitam panjangnya yang seperti sutra, menuruni leher jenjang, bahu yang mulus, hingga lekuk pinggang yang dramatis dan pinggul yang menggoda.
Dan di balik kelopak matanya yang terpejam itu, bukan tetesan air yang ia rasakan, tapi sentuhan Rio. Bayangannya jelas. Sentuhan jari-jari Rio yang hangat dan tegas menyusuri tulang punggungnya, membuat bulu kuduknya berdiri. Nafasnya sendiri menjadi berat, meniru desahan Rio di telinganya malam itu. Ia membayangkan kembali kehangatan tubuh Rio yang menempel erat di punggungnya, bibirnya yang menjelajah dari pundak hingga ke lekuk leher, menimbulkan getaran liar yang mengalir sampai ke ujung jari kakinya. Kelembutan yang diselingi gairah yang menggebu. Bayangan Rio menelusuri lekuk tubuhnya dengan penuh penghayatan, seperti mengukir kembali kenangan di atas kulitnya yang basah. Ada tawa ringan yang berubah menjadi erangan senang, gerakan perlahan yang berubah menjadi ritme liar namun penuh keselarasan. Dalam imajinasinya, mereka adalah dua penari dalam balutan uap dan rintik air, menciptakan simfoni nafas yang tersengal dan sentuhan yang membakar, namun selalu dibungkus oleh kelembutan dan rasa saling memiliki. Itu bukan sekadar nafsu, tapi perayaan akan kedekatan, gairah yang eksotis namun penuh kehangatan.
Belaian itu terasa begitu nyata dalam kulit yang meremang.Cahaya lampu kamar hotel yang redup menimbulkan kilau kulit mereka yang di balut minyak cendana yang mengairahkan.Suara alunan musik Kamasutera yang menenangkan namun menghentak setiap gerakan mereka berdua.Lidah Rio bermain di leher jenjang Ririn.Desah nafas berat namun mengandung hangat membara keluar dari bibir tipis nan merah jambu."Shhh..Rioo...uuhhh...." lirihnya sambil mencengkram rambut pemuda berusia 25 tahun itu.Rio seorang eksekutif muda yang begitu berbeda.
Ririn duduk di pangkuannya.Yoni Lingga saling bertautan dan suara-suara misterius itu membuat mereka semakin hanyut dalam hentakan tabla hindustan yang semakin menggelora.Rio melumat setiap inci tubuh Ririn.menghisap seluruh bagian hingga gerbang surgawi semu yang selalu di kejar para pria sebesar telapak tangan.Desahan Ririn,menyatu dengan hujaman lingga yang menghentak..
"Uuuhhhgg..Riooo..Terus sayaang....aakhh..."Ririn tercekat dengan mata terbelalak ke atas langit-langit.Ubun-ubunnya bergetar hebat seakan ada sesuatu yang akan meledak.memancarkan nektar emas bunga lotus .
Remasan jemari pemuda itu memijit dan memutar dua buah semangka kenyal yang mengencang.Tangan gadis itu hanya meremas bantal dan sprei.
"Kita akhiri sayaang...[ bisik Rio] seiring hentakan musik yang memuncak.Kedua tubuh sejoli itu mengejang hebat sebelum akhirnya Rio terkapar di atas perut Ririn.Usapan lembut tangan gadis itu membelai tulang punggung pemuda itu.deru nafas masih terdengar dari keduanya.Kejutan listrik mengalir bertukar.
Air shower terus mengalir, menyamarkan sensasi panas yang tiba-tiba merambat di kulit Ririn, membuat jantungnya berdegup kencang seperti drum perang kecil di dalam dadanya. Sebuah senyum puas, sedikit nakal, dan sangat memabukkan, mengembang di bibirnya saat ia akhirnya membuka mata, kembali ke realitas kamar mandi yang beruap.
Setelah mandi, Ririn tampil segar bak bunga yang baru disirami. Rambutnya diikat tinggi dengan karet rambut sederhana, membiarkan beberapa helai basah menempel di leher dan pelipisnya. Untuk keluar mencari makan malam, ia memilih sesuatu yang simpel tapi pasti bikin orang terpana: Tank top ketat warna peach yang dengan sempurna menopang dan menonjolkan lekuk dada serta bahunya yang mulus. Bagian bawahnya adalah celana pendek denim robek alami yang pas di pinggulnya, memperpanjang ilusi kakinya yang jenjang. Tidak ada riasan wajah, kecuali lipbalm bening yang membuat bibirnya mengkilap. Kesederhanaan itu justru semakin menonjolkan kecantikan alamiahnya yang memesona – wajah oriental dengan mata sipit yang tajam namun berbinar, hidung mancung, dan kulit sehalus porselen.
Saat ia melangkah keluar dari kamarnya, kunci berderak, dan langsung dihadang oleh pemandangan yang sudah sangat biasa: Om Suryo. Sang pemilik kos paruh baya, botak berkilat, yang lagi-lagi "kebetulan" sedang menyapu koridor depan kamar no. 12. Sapu di tangannya berhenti total saat mata bulatnya menangkap sosok Ririn. Mulutnya sedikit terbuka, sapu nyaris lepas dari genggamannya. Dia seperti patung yang baru saja tersetrum.
"Mo... malam, Rin," ucap Om Suryo, suaranya serak, matanya tak berkedip, melesat dari ujung rambut Ririn yang basah hingga ke ujung jari kakinya yang telanjang dalam sandal jepit. "D...dari mandi ya? Segar... bener." Dia mencoba tersenyum, tapi hasilnya lebih mirip kedutan wajah yang kaget.
Ririn menahan tawa. Situasi ini selalu lucu, meski sedikit menggelikan. "Iya, Om. Mau cari makan bentar ke mini market," jawabnya dengan suara lembut namun jelas, sambil berjalan melewati Om Suryo yang masih terpaku. Ia bisa merasakan pandangan panas itu mengikuti setiap langkahnya, bahkan sampai ia membelok ke tangga. Dasar Om Suryo, pikirnya dalam hati sambil sedikit menggeleng, seperti anak kecil ketemu hantu cantik. Kekonyolannya itu selalu berhasil membuat Ririn tersenyum sendiri.
Mini Market "Sejahtera" yang hanya berjarak lima menit jalan kaki memang tak pernah sepi, apalagi jam segini. Tapi malam ini, kehadiran Ririn dalam tank top peach dan celana pendeknya menciptakan gelombang kecil kekacauan komedi alami.
71Please respect copyright.PENANAxcT9qQEvef
Kasir yang Kelabakan: Si Mas Kasir muda, biasanya cekatan, tiba-tiba jadi kikuk. Saat Ririn meletakkan mi instan dan air mineral di konter, tangannya gemetar. Dia salah memasukkan harga, harus menghapus, lalu salah tekan lagi. Mukanya memerah seperti tomat saat Ririn menyodorkan uang dan senyumnya yang polos. "Maaf, Mbak... eh, sist... eh," gagapnya, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
71Please respect copyright.PENANANcjvX0Lb9S
Pria Minum Pocari yang Tumpah: Seorang bapak-bapak yang sedang asyik minum Pocari Sweat di dekat rak minuman, matanya melotot saat Ririn membungkuk mengambil minuman dari rak terbawah. Botol Pocari-nya miring tanpa sadar, dan crot! Air mineral rasa melon tumpah membasahi sepatunya sendiri. "Duh!" keluhnya kencang, lebih karena malu daripada kesal, sambil melompat-lompat kecil. Ririn hanya menoleh sebentar, memberi senyum simpati kecil yang malah membuat si Bapak tambah bingung.
71Please respect copyright.PENANA4TsFWWWsGq
Anak Kecil Nabrak Rak Display: Seorang anak kecil, mungkin usia 5 tahun, yang sedang ditarik-tarik ibunya, terpesona melihat Ririn. Ia berbalik dan berjalan mundur sambil terus menatap, hingga breek! Pantatnya menyenggol rak display kerupuk kecil. Beberapa bungkus kerupuk berhamburan ke lantai. Si Ibu langsung berteriak, "nino! Liat jalan dong!" sambil buru-buru memunguti kerupuk, mukanya merah padam. Ririn memalingkan muka, bahunya sedikit bergetar menahan tawa.
Ririn menyelesaikan pembayarannya (setelah tiga kali koreksi harga dari Mas Kasir yang masih grogi) dan keluar dari mini market dengan beberapa kantong plastik kecil. Suasana di dalam perlahan kembali normal, meninggalkan kenangan akan kekonyolan yang baru saja terjadi. Pria... pikir Ririn sambil tersenyum geli, melangkah kembali ke arah kosan.
Udara malam terasa lebih sejuk saat Ririn mendekati rumah kos Om Suryo. Ternyata, penghuni lain baru saja berdatangan. Dito dan Andi, dua pemuda sekampung Om Suryo yang menempati satu-satunya kamar di lantai dua, baru saja turun dari motor butut mereka. Mereka melambaikan tangan.
"Diiit....Aduh....eehmm..." Bisik Andi, matanya sekilas menatap penampilan Ririn tapi cepat dialihkan ke plastik belanjaan.
Kedua pemuda itu hanya memandang Ririn yang melintas.Parfum itu meninggalkan jejak di hidung dua pemuda itu yang terpejam.Tak terasa jari Andi mengusap pipi Dito.
"Kampret ..Lo Ndi...Tangan lo bau terasi.Phih.' Dito terkejut.Andi pun langsung mengusap jari-jarinya ke jaket lusuhnya."lha..hilan tu wangi...terkontaminasi pipi lo yang kaya parutan kelapa."
Beberpa penghuni wanita lainnya yang kebetulan berpapasan,memandang langkah Ririn yang masuk ke lorong.Beberapa tersenyum menyapa,yang lain hanya menatap penuh tanda tanya.
"Dari luar Mba.." Ada yang menyapa sambil membetulkan handuk yang menutupi rambutnya.
"Iya, beli makan bentar," jawab Ririn ramah, sambil mencari kunci kamarnya. Ia melemparkan pandangan sekilas ke deretan kamar di lantai bawah yang khusus putri. Sepuluh pintu, semua tertutup. Dan di ujung, ada kamarnya sendiri: No. 12. Kamar yang sebenarnya bukan bagian dari kamar kos biasa. Kamar "spesial" itu milik Om Suryo dan Tante Wulan, sang pemilik kos, tapi entah mengapa ditempati oleh Ririn. Sebuah keistimewaan yang kadang membuatnya penasaran, tapi juga nyaman karena punya kamar mandi dalam.
Saat jari Ririn menyentuh gagang pintu kamar no. 12, ia merasakan lagi tatapan dari balik jendela ruang tamu. Om Suryo. Pasti. Dia tidak perlu menengok untuk tahu. Sebuah helaan napas kecil keluar. Malam ini masih panjang. Pesan Rio masih menunggu di ponselnya. Dan perut masih keroncongan. Ia memasukkan kunci, memutar gagangnya, dan menghilang di balik pintu kamar spesialnya, meninggalkan bayangan Om Suryo yang masih terpaku di balik jendela, dan suasana kosan yang mulai ramai oleh suara Dito dan Andi di lantai dua.
Om Suryo terus memperhatikan gadis itu dari balik tirai jendela.Hingga tertutup.ia menghela nafas seakan kehilangan momen penting."Yaah..Tamat deh.."
"Tamat apa Pi?' Suara Tante Wulan terdengar dari arah belakang,yang sejak tadi melihat suaminya itu tak bergeming dari kursi sambil salah satu tangannya merogoh ke dalam kolor yang nampak pudar warnanya.
'E..ehh...anu..mi....anunya...?"
"Anunya cicak..Pi perhatikan cicak berkelahi di atas kamar kos anak-anak.Salah satu kalah.Padahal seru...."
"Owh..gitu...pasti seru banget sampai tanganmu pengen cabut sendiri pedang milikmu ya Pi?" Balas Tante Wulan sambil mencubit tangan om Suryo.Pria itu terpekik kesakitan.
dito dan Andi langsung kepo saat mereka sudah di dalam kamar.
"Gilaaa Dit...Ternyata gadis itu penghuni kamar no 12.Kamar keramatnya Om Suryo." Ucap andi sambil membuka celananya dan menggantinya dengan celana boxer.
"Iya..Ndi..Bisa aja Om Suryo memanjakan mata kita.Huuh..wanginya itu lho Ndi.Gue sampe kedutan.Moga kali ini penghuni kamar itu betah ya.Jadi kita ada hiburan kalau lagi gabut."
" Eh..Tahu ga Dit.Tadi gue liat Tante Wulan merhatiin lo terus dari ruang depan.Emang lo punya urusan?"
" Ga tuh..tapi gue heran juga.Setiap berpapasan Si Tante kaya mau nelen gue.."
Andi tersenyum."Wah ..berabe ni.Bu banteng itu ngincer lo kayaknya.." andi menyebut Tante Wulan Bu Banteng karena tubuhnya yang padat dengan pinggul gemoy.
Kedua pemuda itu terus berbincang sambil membayangkan gadis penghuni baru kamar 12.
Bersambung....
ns216.73.216.197da2