Aku sebenarnya iri dengan kehidupan adikku itu. Mereka punya keluarga yang utuh, penuh kasih sayang. Herman dan Lia adalah bukti cinta mereka, selalu ceria dan penuh semangat, meski kadang bertengkar seperti anak-anak pada umumnya.
Secara materi, mereka juga lebih dari cukup. Herman adalah seorang kontraktor yang cukup sukses, dan Lasmini, selain menjadi ibu rumah tangga yang hebat, juga mengelola sebuah toko kue kecil yang laris manis di kota ini. Rumah mereka selalu dipenuhi aroma kue yang baru dipanggang, dan tawa anak-anak yang berlarian.
Sementara aku… aku hanya seorang janda yang tinggal menumpang di rumah adikku, berusaha mencari makna dalam hari-hari yang terasa hampa.
Tak terasa, kandungan Lasmini semakin besar. Kini, di bulan keenam kehamilannya, dia terlihat semakin berisi, tapi wajahnya tetap bersinar dengan kebahagiaan. Aku sering memperhatikannya dari kejauhan, bagaimana dia dengan lembut mengusap perutnya sambil tersenyum pada Herman, atau saat dia menggendong Lia dengan penuh kasih.
Aku ingin seperti dia memiliki keluarga, memiliki tujuan. Tapi hidupku terasa seperti puzzle yang tak pernah lengkap.
Suatu sore, mendekati bulan keenam kehamilan Lasmini, dia datang ke rumah sebelah, tempatku tinggal. Aku sedang duduk di ruang penghubung, membaca buku tua yang sudah kusam, ketika dia mengetuk pintu dan masuk dengan senyum lebar.
“Mbak, aku bawa sesuatu buat kamu,”
katanya sambil menenteng sekeranjang kecil berisi kue-kue favoritku. Aroma vanilla dan cokelat langsung memenuhi ruangan.
“Wah, Las, kamu nggak perlu repot-repot, lho,”
kataku, sedikit tersipu. Aku selalu merasa canggung menerima kebaikan mereka, seolah aku tak pantas mendapatkannya.
“Repot apaan, Mbak. Aku sengaja bikin ini buat kita nikmati bareng,” jawabnya sambil meletakkan keranjang di meja kecil di depanku.
Dia duduk di sampingku, gerakannya sedikit canggung karena perutnya yang semakin besar.
“Lagian, aku kangen ngobrol sama Mbak. Kayaknya kita jarang banget quality time berdua.”Aku tersenyum kecil.
“Iya, maaf. Aku… cuma lagi banyak pikiran belakangan ini.”Lasmini memandangku dengan mata penuh pengertian.
“Mbak, aku tahu hidup nggak selalu mudah buat Mbak. Tapi kamu nggak sendiri, lho. Kami semua di sini buat kamu. Herman, Lia, Herman, aku… kami keluarga.”Kata-katanya menghangatkan hatiku, tapi di saat yang sama, aku merasa air mata mulai menggenang.
“Aku tahu, Las. Cuma… kadang aku ngerasa aku cuma beban di sini. Kalian udah punya kehidupan yang sempurna, aku nggak mau ganggu.”Lasmini memegang tanganku erat.
“Mbak, jangan pernah bilang gitu. Kamu bukan beban. Kamu bagian dari hidup kami. Herman dan Lia senang banget punya Tante yang selalu cerita tentang petualangan seru. Herman juga bilang dia ngerasa tenang karena ada kamu di sini, bantu jagain anak-anak. Dan aku… aku nggak bisa bayangin hidup tanpa Mbak di dekatku.”Aku menunduk, tak sanggup menahan air mata.
“Las, kamu beruntung banget. Punya suami yang baik, anak-anak yang lucu, dan sekarang bakal punya satu lagi. Aku… aku cuma ngerasa nggak punya apa-apa dibHermanngkan kamu.”Dia memelukku, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku membiarkan diriku menangis di pelukannya.
“Mbak, hidup nggak selalu tentang apa yang kelihatan dari luar. Aku juga punya ketakutan, punya hari-hari ketika aku ngerasa nggak cukup baik. Tapi kita kan keluarga. Kita hadapi semuanya bareng-bareng.
”Malam itu, setelah Lasmini pulang ke rumahnya, aku duduk di beranda, menatap bulan yang masih penuh. Angin malam membelai wajahku, membawa aroma bunga melati dari taman. Aku memikirkan kata-kata Lasmini. Mungkin dia benar. Mungkin aku bukan beban. Mungkin, meski hidupku tak sempurna, aku masih punya keluarga yang mencintaiku. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, aku merasa ada sedikit harapan di hatiku.Hingga mendekati kandungannya yang ke enam bulan, Lasmini sengaja datang ke rumah sebelah dimana aku tinggal.
Aku sedang asyik menyulam di ruang penghubung, tempat favoritku untuk menenangkan pikiran. Kain putih di tanganku perlahan membentuk pola bunga-bunga kecil, hasil sulaman yang sebenarnya tak begitu rapi, tapi setidaknya mengalihkan pikiranku dari kesepian yang terus menggerogoti.
Cahaya sore menyelinap melalui jendela, menciptakan bayang-bayang lembut di lantai kayu. Tiba-tiba, Lasmini masuk dengan langkah pelan, wajahnya yang biasanya cerah kini terlihat muram, seolah menyimpan beban berat.
“Ada apa, Las, tumben kamu nongkrong di sini?”
ujarku sambil melanjutkan sulamanku, berusaha terdengar santai meski hatiku sudah mulai gelisah. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatku waspada.
“Aku ada yang pengen dibicarakan sama Mbak,”
ujarnya pelan, hampir seperti bisikan. Aku menghentikan jarumku, menatapnya. Wajah Lasmini yang biasanya penuh senyum kini dipenuhi keraguan, matanya menunduk, menghindari pandanganku. Aku meletakkan kain sulaman di pangkuanku, tiba-tiba merasa jjantungan
“Pengen ngomong apa?” tanyaku, ikut serius. Jantungku mulai berdetak lebih kencang, seolah sudah menduga ada kabar buruk.
Lasmini terdiam sejenak, tangannya meremas ujung bajunya.
“Tapi Mbak janji nggak akan marah, ya?” pintanya dengan nada yang hampir memohon.
Aku terdiam, pikiranku langsung berlari ke arah terburuk. Apa dia akan menyuruhku keluar dari rumah ini? Tapi kenapa? Bukankah dia dan Herman yang memintaku tinggal di sini setelah aku kehilangan segalanya? Atau… ada sesuatu yang lebih buruk? Aku menelan ludah, berusaha menenangkan diri.
“Baik, aku janji,” ujarku, memutuskan untuk tidak lagi menerka-nerka.
Biar dia yang mengatakannya.Lasmini menghela napas dalam-dalam, seolah mengumpulkan keberanian.
“Begini, Mbak. Sejak aku mengandung Lia dulu, dokter kandungan menyarankan agar aku tidak melakukan hubungan seks dengan Mas Herman. Mbak tahu, kan, aku pernah keguguran. Kandunganku lemah, kata dokter. Jadi, sejak itu, aku dianjurkan untuk menjaga diri selama kehamilan.” Dia berhenti, matanya menatap lantai, seolah malu melanjutkan.
Aku mengangguk pelan. Aku memang tahu soal kegugurannya. Aku masih ingat hari itu, ketika aku menjenguknya di rumah mengan
Wajahnya pucat, matanya sembab, tapi dia tetap berusaha tersenyum demi Herman yang saat itu masih balita. Aku ingin menghiburnya, tapi kata-kata terasa kosong di tenggorokanku.
“Lantas, apa yang mau kamu bicarakan denganku?”
tanyaku, bingung. Apa hubungannya semua ini denganku? Pikiranku mulai dipenuhi tanda tanya.Lasmini menunduk lagi, suaranya semakin pelan.
“Waktu mengandung Lia, Mas Herman masih bisa bertahan. Tapi sekarang… dia sering uring-uringan, Mbak. Pulangnya juga larut malam.”
Dia berhenti lagi, seolah kata-katanya terlalu berat untuk diucapkan. Aku teringat beberapa minggu terakhir, bagaimana Herman yang biasanya pulang tepat waktu kini sering baru sampai rumah setelah jam sembilan. Wajahnya selalu tampak lelah, tapi ada sesuatu di matanya kemarahan, atau mungkin frustrasi yang sulit kujelaskan.
“Kalau soal uring-uringannya, aku masih bisa memahami, Mbak. Tapi pulang larut itu… aku khawatir. Setiap aku tanya, dia malah marah. Aku takut, Mbak, takut Mas Herman main perempuan di luar,” ucap Lasmini, suaranya bergetar.
Matanya mulai berkaca-kaca, dan aku merasa dadaku sesak. Aku tahu betapa Lasmini mencintai Herman. Mereka adalah pasangan yang selalu kujadikan cermin kebahagiaan, sesuatu yang kini hanya bisa kuingat dari masa laluku.
“Lantas, apa yang mau kamu lakukan?” tanyaku, berusaha memahami ke mana arah pembicaraan ini. Hatiku mulai dipenuhi kecemasan yang tak bisa kujelaskan.
Lasmini terdiam lama, seolah berjuang dengan dirinya sendiri.
“Entahlah, Mbak. Aku cuma nggak ingin Mas Herman jatuh ke pelukan perempuan lain, apalagi yang nggak bersih,” katanya, suaranya hampir pecah. Dia memandangku, dan aku bisa melihat ketakutan di matanya ketakutan akan kehilangan keluarga yang telah dia bangun dengan susah payah.
“Sebenarnya aku berat mengutarakan ini. Aku takut Mbak salah paham,”
lanjutnya, nadanya penuh keraguan. Aku mengerutkan kening, semakin bingung.
“Kenapa aku salah paham?” tanyaku, suaraku mulai tegang. Ada firasat buruk yang mulai menggelayuti.
Lasmini memandangku sejenak, matanya penuh dengan campuran rasa takut dan harapan.
“Sebab… aku ingin Mbak… menggantikanku selama aku hamil,”
ucapnya pelan, tapi setiap kata terasa seperti petir di telingaku. Aku terperanjat, tubuhku membeku. Dunia seolah berhenti berputar.
Cek juga disini
https://victie.com/novels/gairah_di_balik_luka
Untuk akses Lebih cepat
( jangan Lupa Follow )
ns216.73.216.143da2