
Di bibir pria kurus berkulit gelap, sebungkus kecil rokok kretek tergantung tanpa suara, sementara ia menerjang kabut pagi yang pekat dengan sepeda motor matik tuanya. Di sisi kiri dan kanan motor, tergantung dua buah galon isi ulang yang siap diantarnya ke rumah-rumah yang jauh dan tersembunyi di balik kabut lembang. Jalanan yang lengang bukan berarti ia bisa melaju kencang; kabut tebal menyelimuti pandangan, udara dingin menusuk dari setiap pori, membuatnya harus ekstra hati-hati. Kedinginan seperti itu sudah menjadi santapan pagi yang biasa bagi Fahreza, pria 35 tahun yang setiap hari mengarungi perjalanan panjang itu sebagai pengantar galon isi ulang di kios milik Pak Khasani, seorang juragan tua yang mengelola kios di pelosok Lembang, sebuah desa kecil di pinggiran kota Bandung. Karena jauh dari pemukiman ramai, tak ada kios lain yang menyediakan galon isi ulang, menjadikan kios Pak Khasani satu-satunya pilihan bagi warga sekitar.
Fahreza sudah lima tahun menghabiskan hari-harinya di kios Pak Khasani, mengambil dan mengantarkan galon isi ulang dari rumah ke rumah, mengelola proses pengisian ulang dari awal hingga akhir. Gajinya tak seberapa, hanya cukup untuk menutupi kebutuhan dasarnya, tapi makan dan uang rokoknya sudah termasuk dalam tanggungan bos tua itu. Setelah menembus kabut selama hampir 15 menit, motor Fahreza berhenti di depan sebuah rumah bercat kuning gading dengan pagar besi setinggi hampir dua meter yang membatasi halaman kecilnya. Di sana, seorang pria paruh baya yang mengenakan sarung duduk tenang, matanya tertuju pada sangkar burung yang menggantung di bawah tiang kayu halaman rumah itu.
“Pak, punten,” sapa Fahreza dengan suara lembut sambil mengintip lewat celah pagar rumah itu. Pria paruh baya itu sudah mengenal suara tersebut, langsung menoleh dan mengarahkan pandangannya ke sumber suara yang familiar.
“Bawa masuk sini aja, Fahreza. Pagar gak dikunci kok,” jawab pria itu singkat sambil melangkah masuk ke halaman rumah.
“Mah, si Fahreza datang bawa galon, ada uangnya gakanya pria itu kepada istrinya sambil mengulurkan tangan menantikan bayaran.
“Ambil aja uangnya di saku kulkas, Pa,” jawab istrinya santai, tetap sibuk memotong sayuran yang hendak dimasaknya pagi itu.
Pria paruh baya itu melangkah keluar dengan selembar uang Rp 20.000 di tangan, mendekati Fahreza yang sudah berdiri di halaman bersama dua galon berukuran besar. Ia menyerahkan uang itu dengan ringan.
“Hatur nuhun, Pak,” ucap Fahreza, tangannya cekatan meraih uang itu.
“Fahreza, bantu angkat satu galon ke dapur ya,” pria itu minta sambil menyunggingkan senyum nakal.
“Siap, Pak. Sekalian saya pasang galonnya juga, ya?” balas Fahreza penuh semangat.
“Ah, gak perlu, saya yang pasang nanti aja,” jawab pria itu mengelak.
Dengan sigap, Fahreza mengangkat salah satu galon dan memikulnya di pundaknya, mengikuti pria itu masuk ke dalam rumah.
“Letakkan di sini saja, Fahreza,” si pria menunjuk ke lantai kecil di samping lemari es.
“Oke, Pak,” jawab Fahreza.
“Terima kasih, Fahreza, maaf merepotkan ya hehehe… Kamu sudah makan pagi belum? Kalau mau, sarapan di sini dulu, Ibu kan lagi masak capcay,” ajak istrinya ramah sambil berdiri mengambil wajan dan mulai memasak.
Fahreza hanya melirik sekilas, lalu tersenyum kikuk menerima tawaran itu. Sudah berkali-kali ia berjumpa dengan perempuan itu, namun aura dan pesonanya tak pernah gagal membuat jantung Fahreza berdegup lebih kencang. Jihan, istri Pak Subaweh yang berusia 41 tahun, memiliki wajah memikat dengan rona eksotis khas perempuan desa—kulitnya halus, mengkilap, rambut lurus panjang terurai hingga punggungnya. Tubuh montoknya memukau: berisi, tebal, namun tetap kencang dan padat. Dengan tinggi badan 172 cm dan berat sekitar 68 kg, postur tubuhnya begitu memesona bagi laki-laki yang memandangnya. Bibir yang tebal, kenyal, dan menggoda, buah dada bulat seukuran kelapa, dan yang paling mencuri perhatian adalah lekukan pantatnya yang besar, kencang, dan simetris. Pagi itu, tubuh membara milik Bu Jihan hanya diselimuti sebuah daster tipis ketat tanpa lengan, yang membuat setiap lekukannya mudah terlihat. Ketika Bu Jihan berdiri membelakangi Fahreza di depan kompor, ia membayangkan bagaimana kenikmatan menyentuh lekuk tubuh mulus itu—betapa hangat dan menggoda bila batang perkasa hitam legamnya itu menyelinap ke sela-sela pantat indah wanita itu, sambil tangannya merayapi tonjolan dadanya dari belakang. Meski hanya sekilas tatapan, sosok buas Bu Jihan terus menghantui pikiran Fahreza sepanjang pagi.
Bu Jihan sehari-hari mengelola warung sembako kecil yang mereka miliki tepat di seberang rumah mereka. Sementara Pak Subaweh, sang suami yang kini berumur 55 tahun, bekerja sebagai sopir bus antar kota. Mereka dikaruniai dua anak—seorang putra berumur 14 tahun dan seorang putri berumur 15 tahun. Keluarga ini adalah pelanggan setia kios tempat Fahreza bekerja; sudah sejak satu tahun terakhir mereka rutin isi ulang galon, sehingga interaksi Fahreza dengan mereka memang sudah terjalin erat.
“Santai aja dulu, Fahreza. Masih pagi, kok buru-buru amat?” sahut Pak Subaweh santai.
“Ah, gapapa, Bu hehehe… Kebetulan tadi saya sudah kebagian bungkus di kios dari juragan, jadi mau langsung balik dan ambil galon pesanan lagi,” jawab Fahreza sambil menundukkan kepala, malu menyadari alat vitalnya yang tak bisa ia kontrol gara-gara pemandangan menggairahkan itu.
“Ini pisang goreng buat kamu, Fahreza,” balas Bu Jihan ramah.
“Kalau mau, bawa aja pisang gorengnya ya, Fahreza. Tadi pagi saya sama Ibu beli kebanyakan, sayang kalau kebuang,” ujar Pak Subaweh sambil meraih plastik bening dari lemari dapur.
“Waduh, makasih banyak, Pak, Bu,” sahut Fahreza sambil tersenyum malu.
“Sama-sama, Fahreza,” balas Bu Jihan sambil terus mengaduk sayuran capcay di wajan. Gerakan tangannya membuat lekuk tubuh montoknya bergoyang lembut, termasuk pantat besar nan menggoda serta buah dadanya yang mengguncang halus. Tak sadar, mata Fahreza kembali melirik, dan kali ini alat kelaminnya yang besar dan berurat di balik celana berontak, berdenyut-denyut ingin merasakan kenikmatan tubuh panas milik Bu Jihan itu.
Fahreza menghela napas lega, berpikir betapa beruntungnya dia memakai dua lapis celana — celana pendek dan celana panjang — yang cukup tebal untuk menutupi tonjolan liar dari alat kelaminnya yang kini berdenyut tak terkendali. Udara dingin Lembang yang menusuk tulang membuat perlengkapan itu wajib dipakainya, terutama saat harus berhadapan dengan angin kencang di perjalanan. Setelah mengucapkan salam perpisahan, ia menerima plastik berisi pisang goreng pemberian Pak Subaweh dan bergegas kembali ke kios. Sepanjang perjalanan, bayangan tubuh montok dan sensual Bu Jihan terus menghantui pikirannya, membuat denyut hasrat yang panas di dadanya tak pernah reda. Pagi-pagi buta seperti ini memang sudah menjadi anugerah tersendiri bagi Fahreza—dihidangkan pemandangan indah dan menggoda dari sosok idaman perempuannya. Tubuh semok seperti milik Bu Jihan selalu menjadi dambaan paling dalam hatinya. Tapi sayang, meski usianya kini menapak dewasa, Fahreza masih tetap melajang, terbelenggu oleh keadaan hidupnya yang masih serba kekurangan. Bahkan tidur pun masih numpang di sebuah kamar kecil reyot yang ada di kios milik majikannya.
Gelora syahwat yang sejak tadi semakin menggelora tanpa kendali memaksa Fahreza menepi ke WC umum yang terletak persis di samping warung kecil pinggir jalan. Dengan tangan kanannya yang gemetar, ia mulai mengusap-usap batangnya yang sudah tegang, sementara tangan kirinya menggenggam erat sehelai celana dalam berwarna merah marun. Celana dalam itu ia dekatkan ke hidungnya, dihisap dan dijilat perlahan dengan penuh nafsu, membayangkan kembali lekuk semok dan lembut dari pantat istri Pak Subaweh yang selalu menghantui pikirannya.
"Haahhhhh... manis dan menggoda, pantat semokmu itu, Jihan, benar-benar bikin aku gila," bisik Fahreza dengan napas berat, matanya terpejam menikmati fantasi tak bertepi.
Tak seorang pun mengira, di balik sosok Fahreza yang selama ini dikenal ramah, santun, dan sedikit kikuk, tersimpan hasrat seksual yang begitu liar dan membara. Saat nafsu sudah tak terbendung, ia tak mampu menahan diri. Diam-diam, sebelum meninggalkan rumah Pak Subaweh, Fahreza nekat mencuri sehelai celana dalam yang bergelantungan di jemuran halaman rumah itu. Ia yakin celana dalam itu milik Bu Jihan, bukan anak perempuannya yang masih remaja. Tali celana dalam itu tipis dan menggoda, serupa dengan yang dipakai para bintang film dewasa, dan ukurannya pas dengan bentuk pantat semok yang selalu ia bayangkan.
"Aromamu terlalu harum, membuatku semakin tergila-gila," gumamnya sambil menelan ludah dan kembali menjilat celana dalam itu dengan penuh nafsu.
Selama lebih dari sepuluh menit, ia terus mengocok batangnya yang sudah membengkak penuh gairah. Akhirnya, dengan erangan nikmat, ia memuntahkan hampir setengah gelas air mani ke celana dalam milik Bu Jihan.
"Croot... croot... crooooot... ah, kenikmatan memek istrimu tak tertandingi, Subawehhh," desis Fahreza dengan suara serak, matanya terus terpejam membayangkan wanita itu.
Setelahnya, ia dengan hati-hati menyisipkan celana dalam itu ke dalam saku jaketnya, berniat untuk mengembalikannya secara diam-diam kelak. Ia sudah merencanakan akan kembali ke rumah Pak Subaweh dan berpura-pura ketinggalan sesuatu, agar bisa menyerahkan kembali barang curiannya tanpa diketahui.
Bersambung…
ns216.73.216.51da2