TENG291Please respect copyright.PENANAp2gaqU3mj3
291Please respect copyright.PENANAUBsV6gwfws
TENG291Please respect copyright.PENANAtdfasWzcC3
291Please respect copyright.PENANAcUaz6AYPrc
TENG
Dentang lonceng tua nan berdebu kala jarum jam menunjuk angka 12.291Please respect copyright.PENANAGexZPKltTO
291Please respect copyright.PENANAuknd5J4BIm
Tahun baru tiba. Meja emas di antara dua orang yang satu berambut putih dan yang lain kisaran umur kepala 4 menjadi saksi bisu dibacakannya pronostica, petuah Sir Zein yang setiap tahunnya diberikan kepada pemimpin pulau kecil, Na’s Adras.
Sebuah pulau bahkan tidak ada yang tahu bentuknya kenampakan dari atas. Tanah subur yang menjadi kehidupan orang orang menyapa menyebut tempat tinggal mereka adalah Na's Island.
Empat mutiara mengelilinginya.
Mata air sukma di sebelah utara menjadi cermin masa emas.
Hutan rimba dengan pohon berbaris nan menari di selatan kunci kesuburan dan menjadi arti sejuk.
Pegunungan praja di timur menjulang tinggi nan gagah menantang mentari pagi ufuk.
Bukit hijau dandelion impian ber permadani rumput karana menjadi pintu terbenam surya.
Elemen elemen terlukiskan di pigura perak yang dipajang berjejer di tembok ruangan ini.
“Ariane. Jangan biarkan dia menikah. Keturunannya, akan membunuhmu” setelah diam cukup lama, kalimat itulah yang diucapkan Sir Zein.
Adras berfikir dalam diamnya. Jika Ariane putri semata wayangnya tidak punya buah kasih, siapa yang akan mewarisi Na’s Island ini waktu dirinya sudah tua nanti?
Akan tetapi, ego Adras merasukinya karena takut mati. Hatinya berkata tak tega apabila tidak bisa melihat masa keemasan Na’s Island di generasinya.
Na's Adras bukanlah raja. Para penduduk di Pulau memilihnya menjadi orang yang dianggap paling. Kepiawaiannya memecahkan masalah hingga kepandaiannya yang mencetuskan sistem demokrasi pulau menghasilkan otonomi yang menjadi peraturan bagi daerah otonom.
Selama kurang lebih 20 tahun, Na's Island selalu dalam kebahagiaan sampai sampai banyak orang yang mengkhawatirkan akan datang bagai besar atau langit mendung yang iri pada kedamaian pulau cantik ini.
***
Di depan cermin bersudut kanan mutiara bintang berbentuk bulan, seorang gadis cantik berkuku jari manis merah muda tengah menyisir rambut panjang gelapnya. Kulit putih bersihnya dan wajah merona merah muda kontras dengan warna kulit ayahnya yang sawo matang. Mungkin anak perempuan ini lebih memiliki kemiripan dengan ibundanya yang kini tenang di atas sana.
“Na’s Ariane, Na’s Adras ingin menemuimu” suara lembut pelayan terdengar dari balik pintu. Gadis yang dipanggil Ariane itu menghentikan kegiatannya di meja rias dan beranjak untuk membukakan pintu kamarnya.
“Ada apa, Ayah?” tanya Ariane selepas membuka pintu berwarna putih itu.
“Kemasi barang barang mu. Mulai nanti malam, kau tidur dekat dengan bintang di langit” jawab Adras tak meninggalkan kesan wibawanya.
“Dimanakah itu, Ayah?” cicit Ariane takut merasa ada yang tidak beres.
“Menara” singkat Adras memberi kode tersirat pada Ariane untuk bergegas.
***
Ariane yang kini genap berusia 17 Tahun tak berani melawan hanya sekedar bertanya mengapa. Disinilah dirinya sekarang. Berdiri memandang langit malam yang enggan menghadirkan bintang.
“Na’s Ariane, saya membawa bunga terompet jingga yang engkau minta” suara bariton membuyarkan lamunan Ariane.
“Masuklah, Alex,” si empu yang dipanggil namanya langsung membuka pintu kamar menara Ariane.
“Ini Na’s Ariane” Alex memberikan bunga yang dibawanya ke Ariane dengan berjongkok.
“Kau tahu kenapa aku selalu meminta dibawakan bunga terompet jingga?”terima Ariane memandang layu bunga ditangannya.
“Tidak Na’s Ariane” jawab Alex sekenanya masih dalam posisi berjongkok dihadapan Ariane.
“Jangan formal padaku, Alex. Kau adalah temanku” bibir Ariane berdecak sebal dengan tingkah pengawal menara yang seumuran dengannya ini.
“Maafkan aku...A..ria..ne” Alex ragu terpatah ucapannya seraya berdiri dan memposisikan tubuhnya disamping Ariane.
“Jangan sering mengucap maaf. Dunia ini kejam” Ariane berbalik arah menghadap laki laki disebelahnya ini.
“Kau cantik malam ini, Ariane” Alex balas memandang Ariane lekat.291Please respect copyright.PENANAWb0piR9zY6
291Please respect copyright.PENANAKOyylmJTgo
Jarak mereka semakin dekat. Raut muka Ariane merona merah seperti apel. Deru nafas Alex menerpa wajah Ariane.
Keduanya menutup mata, seperti bulan yang kini tertutup awan. Malam itu adalah saksi yang mengundang petir untuk menyambar memberitakan bahwa ini buruk.
***
“Kenapa sudah 2 minggu ini perutku membuncit? Padahal aku tidak napsu makan” Ariane bertanya pada pantulan dirinya di cermin besar kamarnya.
“Apa benar kata Alex kalau ayah mengurungku di menara agar aku terus melajang? Tapi yang telah aku lakukan..” lirih Ariane berfikir keras meratapi nasibnya terpotong oleh pintu kamarnya yang terketuk.
“Na’s Ariane, Na’s Adras ingin menemuimu” mendengarnya, Ariane panik dan berjalan kesana kemari.
“Masuklah, pintu tidak aku kunci” teriak Ariane seraya memposisikan tubuhnya di ranjang dengan berbalut selimut.
“Ariane, apa kau sakit?” sesaat setelah Adras masuk, dirinya langsung menghampiri Ariane yang terbaring dan mengarahkan tangannya di dahi putrinya ini untuk memeriksa suhu badannya.
“Aku tidak apa apa, Ayah” sangkal lembuh Ariane manatap ayahnya sambil tersenyum.
“Aku khawatir padamu. Aku akan pergi ke utara selama 7 bulan di otonom Bradia” raut mimik cemas terarah dari Adras ke anak satu satunya ini.
“Aku akan baik baik saja, Ayah” kembali Ariane mengukir senyum manisnya meyakinkan.
“Bila kau butuh apa apa, katakan pada Sir Aura” dengan menggenggam tangan mungil Ariane, Adras sebenarnya tidak tega meninggalkan putrinya.
Hanya anggukan yang dibalas Ariane bahwa dirinya nanti akan mengomukasikan segalanya pada Sir Aura perawat pribadinya sekaligus ibu dari Alex.
***
7 BULAN KEMUDIAN
“Sir Aura, aku mohon rahasiakan hal ini..” ucap pasrah Ariane yang wajahnya pucat pasi seraya terbaring lemah menahan rasa sakit.
“Saya sangat bodoh Na’s Ariane, tidak mengetahuinya dari awal. Harusnya nona tidak berjuang sendirian. Saya siap jika setelah ini penggal adalah hukuman pantas untuk saya.”
Ariane memang menyembunyikan bahwa dirinya berbadan dua. Hanya Alex yang sesekali datang untuk memberikan bunga terompet jingga. Rahasia menjadi milik mereka berdua sampai masa kelahiran tiba.
Malam ini.
Dengan terbaring lemah dalam menara yang tak terlihat indah, Ariane pasrah akan keadaan.291Please respect copyright.PENANAqOAHHiviOu
291Please respect copyright.PENANAmPYfCvFxuK
Dia merasa hal ini takdir. Walau ia tidak tahu ditujukan pada siapa.
“Selamatkan luke dan lucas” selepasnya, Ariane tidak sadarkan diri. Terpaksa Sir Aura menyayat rahim Ariane dan mengangkat bayi mungil yang kembar.
Tangisan dua bayi itu bersahutan. Untunglah mereka di menara, dengan cepat Sir Aura memotong tali pusar dua bayi laki laki itu dan memandikannya.
Diukir nama Luke di bahu kanan bayi yang keluar pertama dan Lucas di bahu kiri bayi satunya. Seraya menitikan air mata, Sir Aura membasuh wajah cantik Ariane tiga kali untuk menghormatinya yang sudah menyelesaikan urusannya di dunia yang fana ini.
“Na’s Ariane, Na’s Adras baru saja memasuki gerbang” suara yang dikenal Sir Aura menuntunnya untuk membuka pintu.
“Ibu kenapa menangis? Dimana Ariane?” Alex panik dan bergegas menerobos masuk hingga sampai di samping tempat tidur Ariane.
“Kau sebut nona siapa!? Tanpa Na’s? Bisa bisa nya kau menerobos masuk kamar gadis, anak durhaka!” Sir Aura marah terhadap sikap lancang putranya.
“Ariane...hanya tidur, kan?! Dia..dia..tidak mungkin..” Alex terduduk lesu dilantai.291Please respect copyright.PENANAE3e1UODZRD
291Please respect copyright.PENANARfEb5vionQ
Si bayi kembar kembali menangis.
“Luke... Lucas...” panggil Alex kepada si mungil yang menangis. Alex pun tak kuasa menahan tangis.
“Dari mana kau tahu nama mereka?!” ibu Alex semakin kacau benar benar tidak tahu apa yang sedang terjadi di sini.
“Aku yang memberi nama mereka ketika Ariane bilang laki laki kembar” lirih Alex menjelaskan.
“Apa katamu?!” Sir Aura mendaratkan tamparannya di pipi anaknya.
“Jadi kau... Luke dan Lucas...?” suara tergagap akibat tangis Sir Aura yang semakin menjadi. Dirinya benar benar hancur.
“Maaf ibu, saya pasti bertanggung jawab” Alex berlutut dan meyakinkan ucapannya barusan.
Terdengar langkah kaki menaiki tangga menara.
“Cepat bawa mereka” ibu Alex menunjuk dua bayi yang dibedong kain sutera.
Tak pikir panjang Alex menggendong bayi bertudung kuning terlebih dahulu dan keluar menara lewat jendela. Sir Aura tak tinggal diam menyembunyikan bayi dengan tudung hijau di balik peti duduk berselimutkan selendang.
“Na’s Ariane, Na’s Adras ingin menemuimu” dari balik pintu terdengar suara. Hal itu tak diindahkan Sir Aura.
Di sisi lain, Adras curiga. Dirinya memerintahkan untuk mendobrak pintu di depannya ini.
BRAK!
“Apa yang terjadi di sini?!” murka Adras selepas pintu berhasil terbuka dan menampakan Sir Aura tengah menata selimut tempat Ariane tertidur untuk selama lamanya. Adras langsung menghampiri putri yang dirindukannya.
“Hukum saya, Na’s Adras” seketika itu, Sir Aura berlutut.
“Jelaskan! Sejelas jelasnya!!” tegas Adras memerintah.
“Hukum saya, Na’s Adras” Sir Aura menunduk dan bercakap lirih.
“Kau!...” kalimat Adras terpotong oleh suara tangisan bayi. Dicarinya asal suara itu dan menemukan hal tidak terduga di sana.
“Hukum saya, Na’s Adras” berkali kali berucap, hanya kalimat yang sama dari mulut Sir Aura.
Pandangan Adras hanya fokus pada satu hal. Digendongnya bayi bertudung hijau itu dan di bawanya keluar dari menara tanpa mengucap sepatah kata pun.
Langkah demi langkah serasa berat bagi Adras. Kini matanya menatap lurus ke depan mengarah pada jurang bukit belakang rumahnya. Kakinya terhenti di ujung tanah. Dilihatnya lagi bayi kecil di dekapan. Sudut bibir Adras terangkat membuat lengkungan indah yang sama dengan si bayi yang kini tengah tersenyum.
291Please respect copyright.PENANARYgB5l3QdH
291Please respect copyright.PENANAfcw6Knzp9l
291Please respect copyright.PENANAbf2LK2RlJq
291Please respect copyright.PENANAOCbGUwH8LC
291Please respect copyright.PENANABRbVZRqgFE
291Please respect copyright.PENANAe4WvEB35PB
291Please respect copyright.PENANA4fXDKlbJnZ
291Please respect copyright.PENANAWfdwgTDkDR
291Please respect copyright.PENANA86NBFrzD43
291Please respect copyright.PENANAozsiwLeLnc
291Please respect copyright.PENANANg2euScIAf
291Please respect copyright.PENANANWKzYHSkgU
291Please respect copyright.PENANAR7K9UGapgo
291Please respect copyright.PENANA1NUOnGMl4J
291Please respect copyright.PENANA4xgKx7Yf1I
291Please respect copyright.PENANAgfxqWhWRDp
291Please respect copyright.PENANANYMkHoVNVs
291Please respect copyright.PENANAG2j52U1KYx
291Please respect copyright.PENANAjiZidrpaGp
291Please respect copyright.PENANAn7M0eaL0Vm
291Please respect copyright.PENANAlNxuMgPtZM
291Please respect copyright.PENANA4AFqXACivy
291Please respect copyright.PENANAkx3fJGQajO
291Please respect copyright.PENANALBtQT7luIS
291Please respect copyright.PENANAPyMzVwmBYs
291Please respect copyright.PENANA0EfGaVt4V6
291Please respect copyright.PENANAk2Ptl3u2SR
291Please respect copyright.PENANAyO0GxJRE29
291Please respect copyright.PENANAdEcFJoeZMX
291Please respect copyright.PENANANJrNo3qiaR
291Please respect copyright.PENANApB7aeksmPP
291Please respect copyright.PENANAShLYy4T5Kp
291Please respect copyright.PENANAWQwi6wzec5
291Please respect copyright.PENANAuB06HELG0T
291Please respect copyright.PENANA4acQwWxW13
291Please respect copyright.PENANADRPx1B3m4K
291Please respect copyright.PENANA9QdhLkcuoG
291Please respect copyright.PENANANAshd5eRmE
291Please respect copyright.PENANAv1TIziJpms
291Please respect copyright.PENANAL2EZYrZTYD
291Please respect copyright.PENANAPG6VWSfW1t
291Please respect copyright.PENANAM7k7vL6xWV
291Please respect copyright.PENANAQC1ZTrnhcj
291Please respect copyright.PENANAyU0rVJngrn
291Please respect copyright.PENANA4mxo2fCQtL
291Please respect copyright.PENANAU2Pu62yZFN
291Please respect copyright.PENANADXExKCDymV
291Please respect copyright.PENANAz5ErXsYSRE
291Please respect copyright.PENANAfzbX1BDIdQ
291Please respect copyright.PENANA0Ax83c6LVd
291Please respect copyright.PENANAQ75Exep3BA
291Please respect copyright.PENANAJrzd8uXoJJ
291Please respect copyright.PENANAD3IzELJYDG
291Please respect copyright.PENANAxGJTF4hb9x
291Please respect copyright.PENANA2CwFzca7hF
291Please respect copyright.PENANAUXFvQP7lKp
291Please respect copyright.PENANApFsBri2711
291Please respect copyright.PENANA4WePG40rWv
291Please respect copyright.PENANAydLHAFSkxf
291Please respect copyright.PENANAPMcu17srDT
291Please respect copyright.PENANANoeOWYcyat
291Please respect copyright.PENANArhls6DlQC2
291Please respect copyright.PENANAqCHAAnVGtW
291Please respect copyright.PENANArNRW2HE4qi
291Please respect copyright.PENANAESXur17D8B
291Please respect copyright.PENANABnA8Q3Roks
291Please respect copyright.PENANASb1j8svgXL
291Please respect copyright.PENANAjhomfmOYrW
291Please respect copyright.PENANAoDEqGRnDQ4
291Please respect copyright.PENANAbzxx9klkBM
291Please respect copyright.PENANA8G1pv0nPPC
291Please respect copyright.PENANAcVKEaX1fiE
291Please respect copyright.PENANAsNhHKyMynD
291Please respect copyright.PENANA6MGaaigNjg
291Please respect copyright.PENANAp88d6D1ISl
291Please respect copyright.PENANAPtukVwQ7I7
291Please respect copyright.PENANANilVeoBKun
291Please respect copyright.PENANAQ7z0B95kL6
“Jika kau nanti membunuhku, itu sudah takdirku.”
ns3.141.28.197da2