
Part #4
Hujan turun perlahan saat Reza duduk di depan laptop, membuka artikel demi artikel. Ia membaca tentang pernikahan beda agama di Indonesia, fatwa ulama, dan kisah orang-orang yang pernah ada di posisi mereka. Tapi semakin banyak ia baca, semakin kacau hatinya. Di balik semua tulisan itu, satu kenyataan terus mengintainya:
“Cinta mereka butuh lebih dari sekadar keberanian.”
Di sisi lain, Yuni duduk di dalam gereja kosong. Ia tidak lagi menangis seperti sebelumnya. Sekarang, ia tenang. Tapi bukan karena ia menyerah, melainkan karena ia mulai sadar: tidak semua hal harus dimenangkan dengan perlawanan. Beberapa harus dihadapi dengan kebijaksanaan.
Beberapa hari kemudian, mereka bertemu di taman kampus. Tidak banyak bicara, hanya duduk berdua di bangku yang mulai basah oleh gerimis.
“Aku ngobrol sama ustaz di masjid dekat rumah,” kata Reza pelan. “Dia bilang, nikah beda agama itu bukan haram mutlak buat laki-laki... tapi penuh resiko. Bukan cuma soal aturan, tapi soal kehidupan setelahnya. Anak, ibadah, keluarga besar…”
Yuni mengangguk. “Aku juga ngobrol sama Pastor Andi. Beliau bilang cinta yang sejati itu tidak harus selalu dimiliki. Kadang cinta itu hadir untuk menunjukkan siapa kita sebenarnya... dan siapa yang kita pilih untuk jadi.”
Reza menunduk. Hujan menetes dari rambutnya.
“Aku gak mau nyakitin kamu, Yun. Tapi aku juga gak mau membohongi diri sendiri. Makin ke sini, aku makin sadar… aku gak bisa mengajak kamu ikut keyakinanku, dan aku juga gak bisa ikut kamu.”
Yuni menatapnya. Mata mereka bertemu—bukan dengan marah, bukan juga dengan kecewa, tapi dengan rasa pahit yang mereka bagi bersama.
“Aku tahu,” kata Yuni pelan. “Mungkin ini saatnya kita jujur. Bukan soal kita gak cinta… tapi soal kita gak punya jalan yang sama.”
Malam itu, Reza menulis sesuatu di buku catatannya:
“Mencintaimu tidak salah. Tapi mempertahankanmu bisa jadi mengkhianati apa yang aku yakini. Dan kamu juga akan mengkhianati dirimu jika memaksakan diri demi aku. Kita bukan kalah. Kita sedang dewasa.”
Akhir Chapter 4
Reza dan Yuni memutuskan untuk berhenti berjalan bersama—bukan karena cinta mereka salah, tapi karena mereka memilih setia pada jalan yang mereka yakini, meski harus berjalan terpisah. Terkadang, cinta sejati bukan soal memiliki, tapi soal merelakan dengan hormat.
ns18.227.89.169da2