
Part #1
Reza berdiri di beranda rumah, menatap jalan kosong di depan. Pikirannya berkecamuk. Sudah seminggu sejak terakhir ia bertemu Yuni. Setelah pertemuan mereka di taman itu, semuanya menjadi hening. Tak ada pesan, tak ada kabar. Tapi rasa itu tak pernah benar-benar pergi.
Pagi itu, ibunya memanggil. Dengan suara yang pelan tapi tegas, beliau berkata, “Za, ibu dengar kamu dekat dengan perempuan non-muslim. Itu betul?”
Reza terdiam. Ia tahu cepat atau lambat hal ini akan sampai ke keluarganya.
“Iya, Bu... Namanya Yuni. Dia baik, sopan, dan dia sangat menghargai agama kita.”
Ibunya menatapnya dengan mata yang sendu. “Nak... agama bukan hanya untuk dihargai. Tapi untuk dihidupi. Bagaimana kamu akan memimpin keluarga nanti kalau keyakinan kalian berbeda? Shalat bareng tidak, anak nanti bingung ikut siapa…”
Kalimat itu menghujam keras di dada Reza. Bukan karena ia tak mengerti, tapi karena ia pun memikirkan hal yang sama—dan tak punya jawaban.
Di sisi lain, Yuni berdiri di altar gereja kosong, menyalakan lilin dan berdoa dalam hati. Ia pun mengalami hal serupa. Ayahnya, yang konservatif, bahkan menyuruhnya berhenti bertemu Reza.
“Kamu pikir hidup dengan beda iman itu sederhana, Yuni?” tanya sang ayah keras. “Cinta itu bisa pudar, tapi iman—itu yang kamu pertanggungjawabkan selamanya.”
Yuni menangis malam itu, bukan karena merasa bersalah, tapi karena merasa terjepit antara cinta dan keluarga.
Seminggu kemudian, Reza dan Yuni akhirnya bertemu di sebuah warung kopi kecil yang pernah jadi tempat kenangan mereka.
“Aku mau jujur, Za…” Yuni menatap mata Reza penuh ragu. “Aku capek. Aku sayang kamu, tapi aku mulai sadar… mungkin kita saling mencintai, tapi tidak bisa bersama.”
Reza diam, lalu menggenggam tangan Yuni di atas meja. “Aku juga capek, Yun. Tapi aku gak pernah menyesal mencintaimu. Kamu bawa aku ke banyak pertanyaan, dan aku jadi lebih paham tentang diriku sendiri.”
Air mata mengalir di pipi Yuni. “Apa kita harus berhenti?”
Reza menarik napas panjang. “Mungkin bukan berhenti… tapi berjarak. Bukan karena kita tak cinta, tapi karena kita terlalu menghargai apa yang kita yakini.”
636Please respect copyright.PENANAPiQCofMPiE
Akhir Chapter 1
Reza dan Yuni belum mengucapkan kata perpisahan, tapi diam-diam mereka tahu: tidak semua cinta harus dimiliki. Kadang, cinta terbesar adalah yang berani merelakan—demi keyakinan, demi keluarga, dan demi damai di hati.
ns3.144.145.38da2