
Namaku Arif. Usia 32 tahun, bukan usia yang terlalu muda tapi juga belum terlalu tua. Lima tahun yang lalu, aku mengikat janji suci dengan Fahrani, wanita yang telah mengisi hatiku sejak pertama kali bertemu di sebuah seminar kedinasan. Usianya saat ini adalah 29 tahun. Wajahnya cantik dan kesehariannya dia selalu mengenakan hijab saat keluar rumah. Kini, kebahagiaan kami semakin lengkap dengan kehadiran putri kecil kami, Amaliyah, yang baru berusia 3 tahun.
Setiap pagi, aku terbangun dengan pemandangan yang sama—langit-langit kamar yang sudah familiar, dengkuran halus Fahrani di sebelahku, dan terkadang suara celotehan Amaliyah dari kamarnya. Ada rutinitas yang tidak pernah berubah: bangun pagi, shalat subuh, menyiapkan diri untuk berangkat kerja, mencium kening istri dan anak sebelum melangkah keluar pintu.
Pekerjaanku sebagai Pegawai Negeri Sipil di sebuah instansi pemerintah memberikan kestabilan yang cukup untuk menghidupi keluarga kecilku. Kantor tempatku bekerja adalah bangunan dua lantai dengan cat putih yang mulai menguning. Mejaku berada di sudut ruangan, dekat jendela yang menghadap ke halaman belakang kantor dengan pohon mangga tua yang rindang.
"Pak Arif, ada laporan yang harus ditandatangani," sapa Budi, rekan kerjaku yang lebih muda, hampir setiap hari.
Begitulah, hari-hariku dipenuhi dengan tumpukan berkas, rapat koordinasi, dan sesekali perjalanan dinas keluar kota. Tidak ada yang istimewa, tapi aku menikmatinya. Ada kepuasan tersendiri ketika bisa berkontribusi untuk negara, meski dari balik meja sebagai PNS.
Sore hari, ketika jam kantor usai, aku selalu merasa seperti anak sekolah yang baru dibebaskan dari kelasnya. Dengan motor matic yang sudah kugunakan selama 3 tahun, aku menyusuri jalan-jalan yang sama, melewati pasar tradisional yang selalu ramai, warung kopi langganan para pensiunan, dan taman kota yang mulai dipadati anak-anak bermain.
"Assalamualaikum, Ayah pulang!" teriakku seperti ritual wajib setiap membuka pintu rumah.
"Waalaikumsalam, Ayaaaaaah!" Amaliyah langsung berlari dari ruang tengah, dengan langkah kecilnya yang terburu-buru, lalu melompat ke pelukanku. Anak perempuanku ini memiliki mata yang sama dengan ibunya—bulat dan berbinar, dengan bulu mata yang lentik. Rambutnya yang hitam legam selalu diikat dua oleh Fahrani, membuatnya terlihat semakin menggemaskan.
"Liya udah mandi ya?" tanyaku sambil mengangkatnya tinggi-tinggi, membuatnya tertawa terbahak-bahak.
"Sudah, Yah!" jawabnya dengan logat khas anak-anak yang masih cadel.
Fahrani muncul dari dapur, dengan celemek yang masih terikat di pinggangnya. Wajahnya yang lelah tetap terlihat cantik di mataku. Lima tahun pernikahan tidak mengurangi kekagumanku padanya—wanita yang rela meninggalkan karirnya sebagai pegawai kantoran di sebuah perusahaan swasta untuk fokus mengurus rumah dan anak kami.
"Jam segini udah pulang, Mas?" sapanya sambil tersenyum.
“Iya tadi ada kerjaan di luar kantor jadi kelar itu gak balik lagi ke kantor langsung pulang.”
"Mau makan dulu atau mandi?"
Pertanyaan yang sama setiap hari, tapi tidak pernah membuatku bosan.
"Mandi dulu deh, gerah," jawabku sambil menurunkan Amaliyah yang langsung berlari kembali ke mainannya.
Malam-malam kami biasanya dihabiskan dengan menonton televisi bersama di ruang keluarga. Amaliyah duduk di antara aku dan Fahrani, sesekali tertawa melihat kartun kesukaannya atau tertidur sebelum acara selesai. Pada momen seperti itu, aku sering diam-diam memperhatikan wajah anak dan istriku, merasa bersyukur atas kebahagiaan sederhana yang kumiliki.
Kami memang tidak punya rumah mewah—hanya rumah tipe 36 yang kami cicil dengan bantuan KPR. Mobil pun belum punya, tapi motor sudah cukup untuk mobilitas kami sekeluarga. Fahrani terkadang mengeluh ingin membeli perabotan baru atau merenovasi dapur, tapi kami selalu sepakat untuk menabung lebih dulu.
"Mas, tetangga sebelah baru beli mobil baru," kata Fahrani suatu malam, ketika Amaliyah sudah tertidur.
"Iya, lihat tadi pagi. Bagus mobilnya," jawabku santai.
"Kapan ya kita bisa punya juga?" tanyanya tanpa nada menuntut, lebih ke arah penasaran.
Aku merangkul bahunya, "Sabar ya, Rin. Insya Allah nanti kalau sudah ada rezekinya. Tapi menurutku, kita sudah cukup bahagia kok dengan apa yang kita miliki sekarang."
Fahrani tersenyum dan menyandarkan kepalanya di bahuku. "Iya, Mas. Aku cuma bertanya, bukan mengeluh. Aku bersyukur kok dengan hidup kita."
Memang benar, hidup kami sederhana tapi bahagia. Tidak pernah ada pertengkaran besar di rumah tangga kami. Kalaupun ada perbedaan pendapat, kami selalu mencari jalan tengah. Prinsip kami sederhana: komunikasi adalah kunci. Kami berdua sama-sama tumbuh di keluarga yang harmonis, sehingga tahu bagaimana menjaga keharmonisan rumah tangga.
Akhir pekan selalu menjadi waktu yang paling kutunggu. Setelah lima hari bekerja keras, akhirnya aku bisa menghabiskan waktu berkualitas bersama Fahrani, istriku, dan Amaliyah, putri kecil kami yang berusia lima tahun. Kami tidak perlu pergi ke tempat mewah atau menghabiskan banyak uang untuk bersenang-senang. Kebahagiaan kami sederhana—bermain bersama di rumah atau sesekali jalan-jalan ke taman kota atau ke mall.
"Ayah, hari ini kita ke taman, yuk!" seru Amaliyah pagi itu sambil melompat-lompat di depan kamar kami.
Aku tersenyum melihat semangatnya. "Iya, sayang. Tapi sarapan dulu, ya. Nanti kita bawa bekal buatan Bunda."
Fahrani, yang sedang menyiapkan roti lapis dan buah-buahan di dapur, menambahkan, "Kita juga bisa bawa bola dan main kejar-kejaran di lapangan."
"Yeyyy! Aku mau main ayunan juga!" Amaliyah berteriak gembira.
Sesampainya di taman, udara segar dan sinar matahari yang hangat langsung menyambut kami. Amaliyah berlari ke ayunan, sementara aku dan Fahrani duduk di atas tikar sambil menikmati bekal yang dibawa. Tak lama, putri kecilku kembali menghampiri dengan wajah penuh harap.
"Ayah, gendong!" pinta Amaliyah sambil mengangkat kedua tangannya.
Aku mengangkatnya dengan mudah dan mendudukkannya di pundakku. "Nah, sekarang Amal bisa lihat semua dari atas sini!"
"Waaah, tinggi banget!" teriaknya sambil tertawa riang. "Aku bisa lihat burung-burung di pohon itu!"
Fahrani segera mengambil ponselnya dan mengabadikan momen itu. "Senangnya punya anak kecil yang selalu bikin hari-hari kita cerah," katanya sambil tersenyum.
Aku mengangguk. "Iya, dia sumber kebahagiaan kita."
Namun tidak semua akhir pekan menyenangkan bagiku, ada waktu-waktu di mana akhir pekan terasa berat yaitu kunjungan ke rumah mertua. Bukan karena aku tidak menyayangi mereka, tapi karena kehadiran Ridwan, adik iparku. Dia selalu saja berulah yang membuat masalah.
Semua karena kebiasaan buruk dia yang hobi mabuk-mabukan. Dan ketika sudah mabuk, sikapnya benar-benar tak terkendali.
"Si Ridwannya ada gak ya, males banget kalau ada dia." bisikku suatu kali pada Fahrani saat kami bersiap untuk berkunjung.
"Aku gak tahu, Sayang. Tapi Ayah dan Ibu sudah menunggu. Lagipula, dia gak selamanya mabuk kan," jawabnya mencoba menenangkan.
Aku menghela napas karena kenyataannya hampir sering kali saat ke sana, kami mendapati Ridwan bersama teman-temannya minum di teras samping rumah. Kalau dia sudah mabuk berat dia suka teriak-teriak, kalau ditegur dia akan mengamuk memecahkan barang, atau membanting meja bahkan menghantam kaca jendela. Ayah dan ibu mertua sudah tak sanggup menegurnya karena dia tidak perduli dan cenderung melawan.
Tapi ada yang lebih parah dia suka bawa cewek ke rumah. Entah itu pacarnya, temannya atau wanita panggilan. Dia dengan santai memasukan mereka ke kamar dan sudah tentu di dalam kamar itu dia akan menyetubuhi cewek-cewek itu. Terdengar dari erangan dan jeritan mereka saat sudah berada di dalam kamar. Itu aku alami saat sempat tinggal serumah dengan mertua di awal pernikahan.
Mertuaku tentu saja menegur dia tapi Ridwan tidak perduli dan lama kelamaan kedua mertuaku memilih untuk tidak lagi menegur dia. Karena hanya akan membuat Ridwan ngamuk berteriak-teriak membuat keributan dan mengundang tetangga pada datang menonton ulah Ridwan yang bikin malu keluarga saja.
Akhir pekan itu seharusnya menjadi kunjungan biasa ke rumah mertua tapi kali ini menjadi agak berbeda. Ridwan, adik ipar bermasalah itu kabarnya sedang pergi keluar kota dari kemarin, jadi aku dan Fahrani memutuskan untuk menginap atas permintaan mertua yang merindukan cucu semata wayang mereka.
"Liya sudah lama nggak tidur di sini," bujuk Ibu mertua sambil mengelus kepala Amaliyah.
Fahrani memandangku dengan mata memohon. "Yuk, kita menginap saja. Lagian Ridwan nggak ada."
Aku menghela napas. "Baiklah, tapi besok pagi kita harus pulang awal."
Malam itu berjalan lancar. Amaliyah tertidur di kamar neneknya, sementara Fahrani kelelahan dan terlelap lebih awal di kamar tamu. Jam menunjukan pukul 12 malam saat aku masih sibuk dengan time line twitter yang rame masalah ijazah palsu. Seru-seruan melihat adu argumen dan saling serang antar yang kontra. Hingga aku merasa haus dan memutuskan mengambil air mineral di dapur.
Saat melewati ruang keluarga, indra penglihatanku menangkap sesuatu yang membuat mataku terbelalak.
Di sofa, seorang gadis tak aku kenal tergeletak dalam keadaan tidak sadar dan serunya lagi gadis itu tidak mengenakan sehelai benangpun alias bugil. Ridwan - yang katanya pergi - ternyata terkapar di lantai dengan kondisi yang sama dengan perempuan itu. Dia telanjang. Bau alkohol menyengat memenuhi ruangan.
ns18.223.121.54da2