Ayah mertuaku, orang yang paling tegas di keluarga, hanya bisa menghela napas panjang setiap kali Ridwan mengamuk. Tak ada yang berani melawan. Fahrani, kakaknya sendiri, sering menangis diam-diam di kamar, tapi air matanya tak pernah cukup untuk mengubah adiknya.
Dan sekarang… dia akan menikahi dengan gadis cantik berhijab syar’i. Gadis itu berusia 27 tahun seumuran dengan Ridwan yang juag berusian 27 tahun. Wajahnya bersih seperti kertas putih, yang matanya jernih tanpa noda, yang senyumnya tulus tanpa kepalsuan. Apakah ini cinta? Ataukah ini namanya jodoh? Hatiku bertanya-tanya, tercengang.
Ataukah Khalisa punya semacam sihir yang bisa menjinakkan Ridwan? Mungkin semacam kekuatan gaib yang tak terlihat, yang mampu menundukkan singa liar itu menjadi domba penurut?
Atau… yang paling masuk akal jangan-jangan gadis cantik itu tidak tahu siapa Ridwan sebenarnya?
Pikiranku melayang jauh, terjebak dalam pusaran skenario terburuk yang mungkin terjadi. Aku membayangkan Khalisa yang polos, dengan senyum tulusnya, mungkin hanya melihat Ridwan sebagai pria tampan yang berpakaian rapi hari ini—tanpa pernah menyadari seperti apa lelaki tampan ini sesungguhnya..
Apakah dia tahu tentang Ridwan seorang pemabuk yang akrab dengan botol-botol minuman keras yang membuat dia jadi petantang-petentang dan berteriak-terian di tengah malam yang memecah keheningan. Atau apa dia tahu tentang Ridwan yang sering membawa gadis-gadis cantik yang datang dengan pipi memerah masuk ke kamar di rumah mertuaku dengan malu-malu dan pergi dengan senyum puas.
Aku menatap Ridwan yang berdiri gagah di ruang tamu, mengenakan kemeja putih yang rapi dengan jas hitam yang membuatnya terlihat seperti pria sempurna dari sinetron. Rambutnya yang biasanya acak-acakan kini tertata rapi, wajahnya bersih dari bau alkohol, dan senyumnya—ya, senyumnya—masih sama menggoda seperti dulu.
Dia berbicara dengan sopan, menunduk hormat kepada calon mertuanya, dan bahkan tersenyum manis kepada Khalisa seperti pria yang siap menjalani hidup baru.
Apakah ini hanya topeng? Ataukah Khalisa benar-benar memiliki sesuatu yang bisa mengubah Ridwan?
Aku mencoba mengusir pikiran burukku, tapi pertanyaan itu terus mengganggu: Apakah Khalisa tahu dengan siapa dia akan menjalani hidup berumah tangga? Apakah dia sadar bahwa di balik pria yang berdiri di hadapannya sekarang, ada bayangan seorang pemabuk yang bisa meledak kapan saja?
Dan yang lebih aneh—kenapa aku peduli?
Aku mencoba menertawakan diriku sendiri. Apa urusanku dengan semua ini?
Tapi semakin aku berusaha mengabaikannya, semakin dalam pertanyaan itu menggerogoti pikiran.
Apakah ini karena aku merasa bertanggung jawab sebagai kakak ipar? Atau...
Atau karena aku cemburu?
Jujur saja, Ridwan selalu mudah mendapatkan wanita. Dengan wajah tampannya, dia bisa membuat perempuan-perempuan muda jatuh cinta hanya dengan satu senyuman. Betapa beruntungnya Ridwan, setelah hidup poya-poya, mabuk dan main perempuan cantik sesukanya berakhir dengan mendapatkan wanita cantik yang akan membimbingnya menjadi penghuni surga.
Tapi... apakah Khalisa benar-benar akan menjadi akhir dari petualangan Ridwan?
Ataukah ini hanya awal dari tragedi lain? Aku menatap Khalisa lagi, melihat senyum lembutnya, matanya yang berbinar penuh harapan. Aku menjadi sangat kasihan kalau gadis selembut itu akan jadi korban dari lelaki pemabuk seperti Ridwan.
Tapi siapa aku? Hanya seorang penonton yang tidak punya hak untuk ikut campur.
***
Tak terasa sudah sebulan berlalu sejak Ridwan resmi menjadi suami Khalisa. Mereka tinggal di rumah mertuaku, di kamar yang dulu sering menjadi saksi bisu petualangan Ridwan dengan perempuan-perempuan lain. Sudah tak terhitung berapa wanita yang telah berzinah dengan Ridwan di kamar itu. Ironis, bukan? Kamar yang dulu dipenuhi desahan nafsu dan bau alkohol, kini dihiasi dengan foto pernikahan dan aroma wangi tubuh Khalisa.
Setiap kali aku dan Fahrani berkunjung ke rumah mertua, selalu ada perasaan aneh yang menggerogoti dadaku. Aku melihat mereka—Ridwan yang dulu pemabuk, kini duduk manis di samping istrinya, berbicara dengan nada lembut, seolah-olah dia adalah suami sempurna. Khalisa, dengan senyum polosnya, selalu berada di sisinya, memandang Ridwan dengan mata penuh kekaguman.
Dan aku? Anehnya aku sangat cemburu melihat itu. Lebih menyakitkan lagi ketika suatu hari, tanpa sengaja, pandanganku bertemu dengan Khalisa. Wanita cantik itu dengan cepat membuang muka, seolah aku adalah lelaki mesum yang pantas dihindari. Matanya yang jernih tiba-tiba berubah dingin, dan senyumnya lenyap seketika.
"Apa salahku?" batinku kesal karena Khalisa menghindar bertemu pandangan mata denganku.
Sejak saat itu, Khalisa selalu menghindariku. Setiap kali aku mencoba menyapa, dia hanya mengangguk cepat lalu pergi, seolah aku lelaki mesum mata keranjang yang harus dijauhi, sedang suaminya adalah lelaki alim yang menjaga pandangannya dari lawan jenis. Sungguh menyebalkan!
Aku ingin berteriak padanya, "Kamu tahu tidak, wanita sok suci bahwa suamimu dulu suka membawa perempuan ke kamar ini? Berzinah dan bikin para perempuan ini menjerit-jerit nikmat. Kamu tahu tidak bahwa dia pernah mabuk sampai tak sadarkan diri di ruang rumah ini dalam keadaan bugil? Kamu pikir dia suci? Dia lebih kotor dari yang kamu bayangkan!"
Tapi tentu saja aku tidak mungkin bicara seperti itu. Apa alasannya juga buat aku sampai harus membuka aib adik iparku itu. Aku harus menerima kenyataan bahwa Khalisa jelas sudah terpesona oleh Ridwan. Dia melihat suaminya sebagai pria yang baik, pria yang memberi dia kebahagiaan. Aku juga bukan orang suci, malah aku pernah mencicipi dengan nikmat gadis teman Ridwan di rumah mertuaku.
Tapi tetap saja aku sebagai lelaki diam-diam kesal melihat ketidakadilan ini. Ridwan, si brengsek yang dulu hidup dalam kemaksiatan, kini dapat istri cantik dan alim, sementara aku harus menerima pandangan hina dari Khalisa seolah aku lelaki mesum dari sikap dia setiap bertemu aku.
"Dasar dunia tidak adil," gerutuku dalam hati.
Tapi di balik semua kejengkelan ini, ada pertanyaan yang terus menghantuiku:
Benarkah Ridwan sudah berubah?
Ataukah ini hanya sandiwara sementara sebelum dia kembali ke kebiasaan lamanya?
Dan Khalisa—apakah suatu hari nanti dia akan menangis dalam diam, ketika menyadari siapa sebenarnya suaminya? Atau… Atau jangan-jangan aku yang salah?
Mungkin Ridwan memang benar-benar berubah karena cinta Khalisa. Mungkin aku hanya iri karena dia mendapatkan kebahagiaan setelah sepuasnya menikmati dosa-dosa.
Tapi entah kenapa, setiap kali melihat Khalisa menghindariku, rasanya ingin aku mengguncang bahunya dan membuka matanya.
"Kamu tidak tahu siapa suamimu sebenarnya, wanita sok alim!"
Tapi sekali lagi, aku hanya bisa memendam semuanya. Karena di mata keluarga, Ridwan sekarang sudah berubah menjadi lelaki yang baik.
Dan aku?
Aku hanya orang luar yang menyimpan rahasia gelap tentang masa lalu Ridwan termasuk rahasia gelap diriku sendiri yang diam-diam pernah menikmati gadis yang dibawa Ridwan ke rumah mertua.
Aku sadar bahwa aku hanya seorang penonton yang tidak diharapkan ada dalam kehidupan Khalisa.
Meskipun Ridwan dikenal sebagai pemabuk berat, satu hal yang tidak bisa dipungkiri: dia bukanlah pengangguran. Justru sebaliknya, dia adalah seorang ahli desain grafis di sebuah perusahaan ternama di Ibukota. Kemampuannya dalam mengolah visual dan kreativitasnya yang liar membuat karirnya cukup mentereng. Penghasilannya pun terbilang lumayan—cukup untuk membiayai gaya hidupnya yang urakan sekaligus memenuhi kebutuhan rumah tangganya sekarang.
Dan sejak menikah, perubahan pada dirinya benar-benar mengejutkan.
Aku mengamatinya dari jauh, seperti seorang ilmuwan yang mempelajari spesimen langka. Ridwan yang dulu bisa ditemui mabuk saat pulang larut malam, kini pulang tepat waktu. Bau alkohol yang dulu selalu melekat pada tubuhnya telah digantikan oleh wewangian parfum. Bahkan, matanya yang dulu selalu merah dan sayu kini terlihat lebih jernih.
Aku dan Fahrani sering membahas perubahan drastis ini saat berdua.
"Kamu lihat kan, Ridwan sekarang?" tanya Fahrani suatu sore sambil menyiapkan teh hangat. Matanya berbinar, campuran antara rasa lega dan bangga.
Aku mengangguk pelan. "Iya, aku perhatikan. Sepertinya dia benar-benar berubah."
"Entah apa yang dilakukan Khalisa padanya," gumam Fahrani sambil tersenyum kecil. "Dulu kita sudah mencoba segala cara untuk membuat dia berhenti mengkonsumsi minuman keras, tapi selalu gagal. Sekarang... lihatlah dia."
Aku menarik napas dalam. Memang benar. Selama ini keluarga sudah mencoba berbagai pendekatan—dari nasihat baik-baik sampai ancaman—tapi tidak ada yang berhasil. Namun kini, hanya dalam waktu sebulan pernikahan, Ridwan berubah total.
Apakah kekuatan cinta Khalisa begitu besar?
Atau mungkin ada sesuatu yang lain?
"Menurutmu," tanyaku penasaran, "apa Ridwan benar-benar berubah untuk selamanya? Atau ini hanya sementara?"
Fahrani menghela napas. "Aku tidak tahu. Tapi yang jelas, ini adalah Ridwan paling baik yang pernah aku lihat dalam lima tahun terakhir."
ns3.138.141.138da2