Suasana sarapan di ruang makan terasa menegangkan tentu saja bagiku. Aku sempat melirik sofa ruang tamu dengan perasaan cemas. Tapi sudah tak ada siapa-siapa di sana.
"Ayo, Nak Ridwan, sarapan!" Ibu mertuaku menyodorkan piring nasi goreng.
Aku duduk di antara Fahrani dan Amaliyah yang sedang asyik dengan telur mata sapinya.
"Ridwan pulang semalam," Ayah mertuaku tiba-tiba berbicara sambil mengunyah. "Ketiduran di ruang tamu seperti orang tidak waras."
Garpu di tanganku bergetar. "Oh... dia sendiri?" tanyaku mencoba bersikap biasa tapi malah mengajukan pertanyaan konyol.
"Sendiri? Memangnya harus berdua?" Fahrani menyelutuk.
Keringat dingin mengalir di punggung. Rasa khawatir terus ada dalam hatiku. Apakah gadis itu mengadu pada Ridwan dan Ridwan mengamuk berteriak-teriak ceweknya telah aku sentuh?
"Ayah bangunkan dia jam lima tadi suruh pindah ke kamar," lanjut Ayah mertua. "Ada temennya juga soalnya."
Aku menghela napas dalam hati. Fahrani tiba-tiba menatapku. Aku pura-pura sibuk dengan nasi goreng yang tiba-tiba terasa seperti pasir di mulut.
"Kita pulang saja siang ini, ya?" bisikku pada Fahrani saat kami kembali ke kamar.
"Lho? Katanya mau menemani Ayah Ibu sampai sore?" dia memandangku heran. "Kamu dari tadi aneh sekali. Ada apa sebenarnya?"
Aku tidak bisa menjawab. Di luar jendela, burung-burung berkicau riang, seolah mengejek kekacauan yang kuperbuat.
"Aku... cuma tidak enak badan, kangen rumah aja." akhirnya aku berbohong lagi.
***
Hari berganti, minggu berlalu tak terasa sudah sebulan kejadian di ruang tamu rumah mertuaku lewat. Awalnya, setiap dering telepon membuat jantungku berdegup kencang, setiap pesan masuk membuat telapak tanganku berkeringat dingin. Tapi kini, perlahan-lahan, aku mulai bernapas lega. Karena semua yang aku cemaskan tidak terjadi sampai sejauh ini.
"Sepertinya cewek itu tidak bercerita pada Ridwan," bisikku pada cermin di kamar mandi suatu pagi, mencoba meyakinkan diri sendiri. Wajahku yang dalam sebulan ini selalu pucat pasi kini sudah kembali berwarna.
Fahrani menyentuh bahuku dari belakang, membuatku hampir menjerit kaget. "papah lagi ngomong apa sendirian di sini?"
"Ah, tidak... cuma latihan presentasi untuk meeting nanti," kataku cepat, memberi senyum palsu.
Fahrani mengangguk, tapi matanya masih penuh pertanyaan. Sejak kejadian itu, aku merasa ada jarak antara kami. Dia lebih sering diam, lebih sering mengamati.
Di kantor, aku mencoba fokus pada pekerjaan. Rekan-rekan kantor tidak menyadari perubahan pada diriku. Hanya Pak Handoko, atasan yang sudah seperti ayah sendiri, yang suatu hari menepuk bahuku dan bertanya, "Kamu baik-baik saja? Akhir-akhir ini sering melamun."
"Hanya sedikit kurang tidur, Pak," jawabku sambil mengatur napas.
Sementara itu, hubungan dengan keluarga mertua tetap berjalan normal.
***
Tak terasa sudah lima bulan kejadian itu lewat dan hari ini kami akan pergi ke rumah mertua. Rasa was-was sudah hilang sama sekali dari diriku. Apalagi kali ini kami ke rumah mertua dalam rangka bersiap untuk pergi ke acara lamaran. Yah lamaran. Karena Ridwan adik iparku yang bengal itu akan melamar kekasihnya yang entah sejak kapan mereka pacaran. Dan yang akan dilamar tentu saja bukan gadis yang bisa dengan bebas aku setubuhi malam itu. Sama sekali bukan. Gadis yang aku dapati telanjang tengah malam itu di rumah mertuaku itu masih seperti misteri bagiku sampai hari ini.
Malam itu, langit tampak begitu bersahabat. Gugusan bintang-bintang berkelap-kelip seperti permata yang dihamparkan di atas kain hitam, sementara bulan sabit menggantung dengan anggun, seakan tersenyum menyaksikan kebahagiaan yang akan terjadi. Cuaca cerah tanpa awan, seolah alam semesta turut merestui acara penting yang akan kami hadiri—lamaran adik iparku, Ridwan.
Aku dan Fahrani, istriku, serta Amaliyah anakku telah bersiap sejak sore. Fahrani terlihat begitu bersemangat, matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang akan pergi ke pesta. Ridwan adalah adik satu-satunya, dan malam ini adalah momen yang telah lama dinantikan keluarga. Dari rumah mertua, kami berangkat bersama rombongan keluarga besar naik beberapa mobil milik kerabat yang punya mobil. Aku dan istriku berserta anakku Amaliyah naik mobil Om Burhan adik dari ibunya Fahrani. Sementara Ridwan semobil dengan kedua mertuaku bersama kakak dari ibu nya Fahrani, om Bahri. Suasana di dalam mobil yang aku tumpangi begitu hidup, dipenuhi canda tawa dan cerita-cerita nostalgia tentang Ridwan kecil yang kini telah tumbuh menjadi pria siap menikah.
Rumah calon mempelai wanita tidak terlalu jauh dari rumah mertuaku. Begitu tiba, pandanganku langsung tertarik pada rumah sederhana nan apik di depan kami. Halamannya luas, dihiasi lampu-lampu temaram yang berkelap-kelip laksana kunang-kunang menari di kegelapan. Beberapa lentera kertas warna-warni tergantung di pohon mangga yang rindang, menambah nuansa kegembiraan.
Saat melangkah masuk, aroma melati yang semerbak langsung menyergap indra penciumanku. Bunga-bunga itu seolah menjadi penyambut alami, menghadirkan ketenangan yang perlahan mengikis kegelisahan di dada. Suara gemericik air dari kolam kecil di teras rumah menambah kesan damai, seakan mengisyaratkan bahwa malam ini adalah awal dari sesuatu yang indah.
Dan kemudian, di balik kerumunan keluarga yang saling bersalam-salaman, mataku menangkap sosoknya untuk pertama kali.
Gadis itu bernama Khalisa. Dia berdiri dengan penuh wibawa di tengah ruangan, mengenakan hijab syari yang rapi berwarna pastel, menambah kesan lembut pada aura yang dipancarkannya. Wajahnya—oh, wajahnya—cantik tanpa perlu banyak riasan. Tentu saja jauh lebih cantik dari gadis-gadis yang pernah dia bawa ke rumah termasuk yang sempat aku cicipi juga. Tentu saja karena wanita ini terlihat begitu alim dan suci. Dia juga tidak berdadan menor. Hanya sentuhan tipis bedak dan lipstik warna peach yang membuat cahaya alaminya semakin memancar. Kulitnya bersih, seperti porselen yang diterpa sinar bulan, dan senyumnya… senyumnya begitu tulus, seolah mampu mencairkan segala kebekuan di dunia.
Tapi yang paling mencuri perhatianku adalah matanya. Sepasang mata Khalisa begitu jernih, seperti embun di dedaunan pada pagi hari—jernih, bening, dan memancarkan ketenangan yang anehnya justru membuat jantungku berdegup kencang. Setiap kali diajak bicara, ia menunduk dengan sopan, menunjukkan penghormatan yang dalam. Suaranya lembut namun tegas, seperti aliran sungai kecil yang tenang tapi pasti.
Khalisa dengan hijab syarinya terlihat begitu lembut dan alim, dengan anggun dia menghindari sentuhah saat bersalaman dengan lawan jenis. Dia hanya mengangguk halus dan meletakkan tangan di dadanya, sebuah gestur yang penuh makna dan kesopanan.
"Seperti bidadari yang turun dari langit," gumamku dalam hati.
Khalisa bukan sekadar cantik. Ia adalah perpaduan sempurna antara kecantikan fisik dan ketenangan jiwa. Setiap gerak-geriknya memancarkan kebaikan, setiap ucapannya terdengar seperti doa. Aku bisa memahami mengapa Ridwan begitu terpesona padanya. Saat mataku bertemu pandang dengan matanya seperti ada kilauan yang mempersona di sana. Aku begitu terpukau hanya dengan menatap matanya. Meski hanya sekilas saja.
Tapi kemudian, pandanganku beralih ke Ridwan adik iparku yang, jika tak ada aral melintang, akan segera menjadi suami gadis cantik itu. Aku berdiri terpaku, hampir tak percaya dengan realitas yang terbentang di depan mata. Ridwan, adik iparku yang selama ini kukenal sebagai lelaki bermasalah. Pria yang begitu akrab dengan botol minuman keras dan mabuk-mabukan. Aku masih ingat betul bagaimana dia sering terlihat limbung di warung-warung pinggir jalan kompleks tempat tinggal mertuaku, wajahnya memerah oleh alkohol, mata sayu yang kosong, dan mulut yang tak segan mengeluarkan kata-kata kotor ketika mabuknya dia sudah mencapai puncaknya. Bau alkohol seakan telah menjadi parfumnya, dan keributan adalah musik pengiring hidupnya.
Tapi Ridwan memang tampan—itu tak bisa dipungkiri. Sorot matanya tajam bak elang, senyumnya menggoda, dan karismanya mampu membuat perempuan-perempuan muda terpesona. Dan itu, sayangnya, sudah cukup untuk membuat banyak gadis tergoda, jatuh ke pelukannya, hanya untuk kemudian terluka.
Aku masih ingat betul malam-malam ketika dia membawa perempuan-perempuan berbeda ke rumah, mengajak mereka masuk ke kamarnya tanpa peduli pada pandangan keluarga. Suara tertawa nakal, gemerisik kasur, dan desahan-desahan yang sengaja dibuat keras seolah menjadi tamparan bagi moral keluarga. Jika ada yang berani menegur, gelas-gelas akan berterbangan, sumpah serapah menggelegar memecah keheningan malam, dan ancaman-ancaman yang membuat semua memilih untuk menghindar saja. Termasuk aku yang malah pernah mencicipi gadis yang dibawa oleh Ridwan ke rumah mertua. Sebuah dosa yang nikmat yang sempat membuat aku was-was sekian minggu.
ns18.191.255.7da2