Bab. 3 Apakah Dia memang tidak ingat aku
775Please respect copyright.PENANAmlrIBCxz5G
Meski kenangan menyakitkan itu menderaku aku mencoba bersabar karena aku butuh pekerjaan ini. Apalagi setelah Pak Arfi menjelaskan tentang apa saja yang bisa aku dapat kalau mau jadi sopir pribadi di keluaga mereka. Gajinya jauh lebih baik daripada mengangkut penumpang angkot yang semakin jarang.
Aku tidak menyangka wanita yang baru kemarin aku ingat lagi karena kerumitan hidup yang aku alami malah ada di hadapanku sebagai calon majikanku. Apakah dia akan menerima aku sebagai sopir pribadi mereka. Padahal aku sangat berharap.
"Jadi gimana, Mas Yosef bersedia jadi sopir kami?" tanya Pak Arfi.
Aku mengangguk. "Saya bersedia, Pak."
“Oh iya mas Yosef tinggal di mana?”
Aku menyebutkan alamatku dan aku bilang aku hanya tinggal di kos-kosan.
“Kamu sudah berkeluarga?”
“Iya sudah tapi saya tinggal sendiri sekarang karena saya sudah cerai dengan istri.” Kataku terus terang.
“Wah kalau kamu tidak keberatan bisa tinggal di sini. Ada kamar di belakang buat sopir. Sopir kami sebelumnya tinggal juga di sini. Lebih bagus sih biar bisa stanby setiap dibutuhkan.”
“Oh kalau bapak mengizinkan saya tinggal di sini saya sangat bersyukur.”
Bu Manda—atau Amanda—hanya tersenyum tipis, lalu masuk ke dalam rumah tanpa sepatah kata pun.
Pak Arfi mengangkat tangannya, memanggil salah satu pembantunya. "Mbok Narti, antar Mas Yosef ini ke kamar sopir!"
"Baik, Pak," jawab Mbok Narti, seorang wanita paruh baya dengan keramahan di wajahnya.
Aku mengikuti Mbok Narti melewati lorong samping rumah menuju sebuah bangunan kecil yang terpisah dari rumah utama. Begitu pintu terbuka, aku menemukan sebuah kamar yang lumayan baik.
Kamar ini jauh lebih baik daripada kos-kosan kumuh yang selama ini menjadi tempatku bergantung.
Tempat tidur bersih dengan kasur tebal, lemari pakaian yang cukup bagus dan sebuah meja kecil. Bandingkan dengan kos-kosanku yang lantainya lembap, dan kasur yang sudah berubah bentuk karena terlalu tua.
"Ini benar untukku?" tanyaku tak percaya.
Mbok Narti tersenyum. "Iya, Mas. Kamar sopir memang disediakan khusus. Nanti di sini Mas makan tiga kali sehari bisa di dapur belakang. Kalau ada cucian, tinggal taruh di keranjang, nanti saya yang urus."
Aku mengangguk pelan, mencoba menelan rasa haru yang tiba-tiba menyesak di kerongkongan. Ini berarti aku tidak perlu lagi memikirkan uang kos yang selalu bikin kepala pusing setiap akhir bulan. Tidak perlu lagi makan mi instan bertahan tiga hari karena uang habis.
Tapi di balik rasa syukur, ada sesuatu yang mengganjal. Majikanku adalah Amanda wanita yang dulu pernah menghinaku dengan kata-katanya yang pedas. Apakah dia akan menerima kehadiranku. Jangan sampai dia meminta suaminya untuk membatalkan keputusannya menerima aku sebagai sopir di rumah ini.
Tapi kekhawatiranku ternyata tidak terjadi. Setidaknya sampai saat ini. Minggu pertama aku jalani dengan profesional. Aku bersikap seolah tidak mengenal bu Manda. Karena sepertinya bu Manda juga tidak mengenalku lagi. Mungkin dia benar-benar enggan mengingat orang yang tidak penting baginya seperti aku ini.
Di rumah besar dan mewah keluarga Pak Arfi ini tinggal Pak Arfi dan istrinya Ibu Manda serta anak mereka yang baru berusia 4 tahun bernama Hafidz. Selain itu ada mbok Narti ART berusia 53 tahun. Terus Pak Simon satpam rumah dan Pak Alex tukang kebun. Mereka semua tinggal di rumah besar ini dan aku mulai menjadi bagian dari itu.
Tugasku hanya mengantar bu Manda dan anaknya Hafidz. Karena Pak Arfi dia bawa mobil sendiri ke kantornya yang megah di pusat kota. Mobil mereka ada tiga. Sedan Marcedes Hitam yang akan aku pakai untuk keperluan menganta bu Manda dan anaknya kemana mereka mau. Sementara Pak Arfi pakai sedan BMW seri terbaru. Mobil satunya lagi sebuah mobil Rubicon juga sering dipakai oleh Pak Arfi.
Tiap pagi aku mengantar Hafidz ke PAUD elite yang biayanya mungkin setara dengan penghasilanku narik angkot selama setahun. Siangnya aku jemput anak itu untuk pulang ke rumah.
Sementara sore hari terkadang aku mengantar Bu Manda ke mal-mal ternama untuk belanja. Aku menungguinya sambil memarkir mobil di basement. Tapi setiap kali melihatnya yang selalu terlihat anggun dan cantik dengan, tas branded di bahunya, senyum manisnya pada suaminya—kenangan pahit SMA selalu muncul.
"Kamu pikir kamu siapa? Kamu punya apa? Sepatu aja mereknya KW, berani-beraninya nembak aku!"
Suaranya dulu seperti pisau. Sekarang, pisau itu kembali menusuk setiap kali aku melihatnya hidup dalam kemewahan, sementara aku... hanya menjadi sopirnya. Tekadku untuk menjadi kaya raya dan akan aku tunjukan pada Amanda malah hanya jadi tekad kosong yang menemukan kenyataan pahit.
***
Setiap pagi aku sudah berada di garasi pukul 6.30 pagi, memeriksa kondisi mobil dan memanaskan mesinnya sebelum mengantar Hafidz ke PAUD.
"Bang Yosef, siap-siap bentar lagi Hafidz ke PAUD!"
Suara Mbok Narti memanggilku dari dalam. Aku segera masuk ke rumah melalui pintu belakang, di mana aroma kopi dan sarapan segar menyambutku.
"Pagi, Bang Yosef," sapa Pak Alex tukang kebun rumah ini yang juga menuju ke dapur untuk sarapan.
"Pagi, Pak. Cuaca cerah ya hari ini?" balasku sambil menuju ruang makan di dapur untuk kami sopir, satpam tukang kebun dan ART.
Sementara di ruang makan keluarga ada Pak Arfi bu Manda dan anak mereka Hafidz.
Di sana, Hafidz kecil sedang duduk di kursi tingginya, wajahnya berantakan bubur.
"Ayo, Nak, cepat habiskan. Nanti telat pergi ke PAUDnya," bujuk Bu Manda yang berdiri di sampingnya dengan gaun rumah bermereknya.
"Nggak mau! Aku mau es krim!" rengek Hafidz sambil melempar sendok.
"Sudah, Hafidz. Nanti Mama belikan es krim sepulang sekolah, ya? Pagi gini gak baik minum es krim. Nanti sakit."
Aku selesai sarapan dan kembali ke Garasi mengambil mobil dan menjalankannya menuju ke depan teras rumah. Aku turun dan menantikan Hafidz di teras.
Manda berjalan bersama Hafidz menuju ke teras. "Oh, Bang Yosef sudah datang. Hafidz, ayo siap-siap."
Suaranya tiba-tiba formal, tanpa senyum. Aku membuka pintu belakan mobil mempersilahkan bos kecil itu masuk. Dalam perjalanan di dalam mobil, Hafidz yang duduk di car seat belakang mulai cerewet.
"Bang Yosef, aku kemarin lihat dinosaurus di TV! Gede banget!"
Aku tersenyum melihat semangatnya di kaca spion. "Wah, memangnya makan apa sampai gede begitu?"
"Makan sayur sama... sama..." Hafidz mengernyitkan dahi. "Makan anak-anak nakal!"
Aku tertawa. "Kalau gitu Hafidz harus jadi anak yang baik dan tidak nakal biar nggak dimakan dinosaurus."
"Aku gak takut sama dinosaurus!" Sahut Hafidz
Sesampainya di PAUD, seorang guru langsung menyambut.
"Hafidz Arfiandra! Kamu hari ini pakai sepatu baru ya?"
"Iya! Papa beliin dari Singapura!" jawab Hafidz bangga sebelum berlari masuk.
Aku menghela napas. Sepatu yang harganya mungkin setengah gajiku.
Kembali ke rumah, aku mampir ke dapur tempat Mbok Narti sedang sibuk.
"Bang Yosef, ini ada kopi dan pisang goreng sisa tadi pagi," ujarnya sambil menyodorkan piring.
"Wah, terima kasih, Mbok."
Pak Simon satpam rumah ini masuk mungkin dia belum sarapan. Kalau seperti itu biasanya Pak Alex yang akan gantikan sementara jaga pos satpam di depan. "Wah lagi ngopi, Bang Yosef? Boleh gabung."
"Oh silahkan pak." Sahut aku sambil menggeser badan memberi tempat.
Dia duduk di sampingku, mengusap keringat di dahi. "Panas banget hari ini.”
“Iya Pak.”
Pak Simon meneguk kopinya lagi, lalu tiba-tiba menurunkan suara. "Ngomong-ngomong gimana rasanya kerja sama Pak Arfi?”
Aku menggeleng. "Puji Tuhan sangat menyenangkan di banding jadi sopir angkot."
Pak Simon mengambil pisang goreang dan memakannya dengan lahap.
"Pak Arfi itu bos besar perusahaan ekspor-impor PT Bumi Makmur Sejahtera," mulainya dengan nada rendah. "Perusahaannya punya gudang di Tanjung Priok dan mitra bisnis sampai ke Eropa dan Timur Tengah."
Aku mengangguk pelan. "Wah hebat juga."
Jadi teringat bahwa aku dulu zaman SMA aku pernah naksir istri Pak Arfi dan bahkan sempat menyatakan cinta tapi ditolak mentah-mentah karena aku miskin.
775Please respect copyright.PENANAbIVMNvQWCc
Bersambung775Please respect copyright.PENANARa2LWxO94i