Bab 2. Masa lalu yang hadir kembali.
1135Please respect copyright.PENANAnLWbLigFeD
Aku juga mendengar lelaki pilihan mertuaku itu orangnya cukup berduit. Dia seorang duda. Pekerjaannya sebagai kepala gudang sebuah perusahan.
Aku duduk di sudut kos-kosan yang lembab ini, menatap tembok yang catnya sudah mengelupas. Di luar, hujan turun lagi—seperti nasibku yang tak pernah cerah. Aku merenung dan mulai berpikir semua kesialan dalam hidupku selalu berujung pada satu hal yaitu masalah ekonomi. Atau lebih tepatnya, masalah uang. Aku orang yang bernasib tidak beruntung karena selalu hidup dalam kekurangan.
Aku memejamkan mata, dan tiba-tiba bayangan masa SMA-ku muncul begitu jelas. Aku teringat suatu momen yang begitu menyakitkan yang membuat aku trauma.
"Aku suka sama kamu, Amanda."
Kalimat itu keluar dari mulutku dengan gemetar. Waktu itu, di samping sekolah saat pulang, aku memberanikan diri mengungkapkan perasaanku pada Amanda. Gadis itulah yang membuat aku mengenal namanya jatuh cinta. Dia gadis cantik seangkatan tapi beda kelas yang selalu membuat jantungku berdetak kencang setiap kali berpapasan. Dan membuat aku makin terbuai rasa kasmaran saat melihat dia tersenyum. Tapi senyum manis itu tiba-tiba berubah menjadi cibir sinis.
"Hah? Kamu serius? Coba deh ngaca dulu. Kamu pikir kamu siapa? Kamu punya apa? Sepatu aja mereknya kw udah butut lagi, tasmu udah belel, motor pun nggak punya. Berani-beraninya nembak aku!"
Tawanya nyaring, seperti belati yang menancap di dadaku. Beberapa teman yang lewat ikut tertawa. Aku berdiri di sana, merasa seperti sampah yang diinjak-injak.
Aku pulang dari sekolah dengan rasa malu dan marah yang sulit untuk aku kendalikan. Aku hanya bisa menghibur diri dengan berpikir bahwa nasib manusia bisa berubah. "Aku harus jadi orang kaya," aku bersumpah pada diriku sendiri. "Aku akan membuktikan pada mereka semua yang menghina dan mentertawakan aku bahwa kelak aku akan jadi orang yang jauh lebih kaya dari mereka!"
Tapi hidup ternyata tak semudah tekad dan angan-angan.
Aku lulus SMA dengan nilai pas-pasan. Kuliah? Itu hanya mimpi. Ayahku—seorang buruh bangunan—hampir pingsan ketika melihat biaya uang pangkal untuk kuliah.
"Maafkan Bapak, Nak," katanya sambil menunduk.
Aku mulai kerja serabutan: jadi kuli bangunan, pelayan warung, apa saja asal dapat uang di saat teman-teman sebaya menjalani masa-masa kuliah mereka. Hingga aku di ajak oleh Yadi seorang teman yang jadi sopir angkot. Dia keponakan dari juragan angkot. Aku diajari buat nyetir angkot hingga bisa dan akhirnya aku menjalani profesi sebagai sopir angkot hingga kini dengan narek mobil angkot milik pamannya Yadi.
Lalu aku kenal Norma. Dia berbeda, tidak seperti Amanda. Norma mau menerima aku apa adanya. Kalau tidak ada Norma mungkin aku betah melajang karena aku trauma mendekati wanita. Tapi Norma berbeda dia bisa mencairkan kebekuan dalam hatiku.
"Yang penting kamu jujur dan mau bekerja keras," katanya saat pertama kali aku mengajaknya jalan pakai angkot butut yang aku tarik setiap hari.
Aku menikah dengan Norma dan dikaruniai seorang anak bernama Raka. Aku pikir akhirnya aku bahagia dan menerima kenyataan hidup secara sederhana. Aku melupakan dendamku kepada kemiskinan. Aku menghadapi realita hidup dengan apa adanya.
Tapi ternyata cinta dan kehidupan tanpa uang seperti sayur tanpa garam—hambar dan mudah basi.
"Aku lelah, Yo."
Kalimat itu Norma ucapkan setahun yang lalu, tepat di hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-5.
"Setiap hari kita hidup pas-pasan. Raka sudah makin besar. Dia butuh sekolah yang bagus, butuh baju baru, aku juga butuh..."
Dia tidak melanjutkan. Tapi aku tahu maksudnya.
Mertuaku yang sedari awal kurang menyukai aku mulai meracuni pikiran Norma. "Dia cuma supir angkot, Norma. Kamu mau susah terus?"
Dan Norma perlahan berubah.
Kini setelah lewat dua minggu putusan cerai itu aku datang ke pengadilan mengambil salinan putusan cerai dengan tangan gemetar. Setelah salinan putusan itu aku terima aku harus ke catatan sipil untuk mengambil akta cerai.
Aku kembali teringat tekadku dulu saat di tolak cewek bernama Amanda. Aku dengan penuh emosi bertekad akan berjuang untuk menjadi orang kaya. Agar orang tidak seenaknya menghina aku. Tapi sekarang, di usia yang hampir 31 tahun ini, aku malah semakin terpuruk.
Hanya sekedar menghidupi kebutuhan dasar sehari-hari saja sangat sulit. Angkot makin susah bersaing untuk mendapatkan penumpang dengan jenis tranportasi lain.
Terkadang aku bertanya pada langit: "Apa salahku? Apa dosaku?"
Aku hanya ingin dicintai. Aku hanya ingin dihargai. Aku sudah berusaha untuk mencari rezeki. Untuk menghidupi keluarga kecilku.
Tapi di dunia ini, cinta dan harga diri ternyata punya tarif dan aku tak mampu membayarnya.
Teleponku berdering saat aku di jalan saat membawa hanya tiga penumpang saja dalam angkotku.
"Yosef, besok jangan lupa bayar kontrakan. Sudah telat seminggu," suara pemilik kos.
Lengkaplah sudah kesulitan yang aku hadapi. Aku menghela napas. Di luar, hujan semakin deras.
***
Aku duduk termenung di bangku warung kopi pinggir jalan, menatap asap rokok yang meliuk-liuk sebelum akhirnya lenyap di udara. Pikiranku penuh dengan beban hidup yang semakin berat—tagihan kos yang belum lunas, biaya perbaikan angkot yang menumpuk, dan kenangan akan Norma serta Raka yang terus menghantuiku. Seolah seluruh kesulitan terus memburuku.
Tiba-tiba, dering telepon memecah kesunyian. Aku melihat layar nama Yadi. Namanya langsung membuat dadaku sedikit lebih ringan. Dia satu-satunya teman yang tetap setia sejak SMA, orang yang mengajariku menyetir angkot ketika aku putus asa mencari pekerjaan.
"Halo, Yo. Ada tawaran jadi sopir pribadi orang kaya, lo mau gak?" suara Yadi terdengar bersemangat.
Aku terkejut sekaligus gembira mendengar tawaran Yadi. "Wah, boleh juga. Tapi gajinya berapa?"
"Lumayanlah, dibanding narik angkot yang makin sepi penumpang," jawab teman dekatku itu dengan meyakinkan.
Tanpa pikir panjang, aku menerima. "Oke, aku mau kalau gitu. Semoga diterima."
"Kalau gitu besok aku antar lo ke rumah orangnya," kata Yadi sebelum menutup telepon.
***
Keesokan harinya, aku bersiap rapi—memakai kemeja terbaik yang kupunya, sepatu hitam yang sudah kupoles semalaman, dan harapan baru di hati. Yadi menjemputku dengan motornya, dan kami meluncur ke sebuah perumahan elite di pinggir kota.
Rumah itu megah—pagar tinggi, taman yang tertata rapi, dan beberapa mobil mewah terparkir di garasi. Jantungku berdegup kencang semoga aku diterima bekerja dengan gaji yang lumayan. Sebab menjadi sopir angkot sudah tidak bisa diharapkan lagi penghasilannya. Yadi memencet bel di pintu pagar. Seorang satpam menanyakan keperluan kami dari balik pagar yang masih tertutup dan Yadi menjelaskan kepada satpam yang kemudian pergi ke dalam. Tak berapa lama dia kembali dan membuka pintu pagar dan mempersilahkan kami masuk. Dia mengantar kami sampai ke teras rumah, dan sepasang suami-istri keluar menyambut. Sang suami—seorang pria berkacamata dengan senyum ramah—memperkenalkan diri sebagai Pak Arfi. Lalu, mataku tertuju pada istrinya.
"Ini istriku Bu Manda," kata pak Arfi memperkenalkan istrinya.
Aku sangat kaget ketika melihat wajah istri dari Pak Arfi. Ini sebuah kebetulan yang tak pernah aku bayangkan. Tapi aku yakin aku tidak salajh lihat. Bu Manda istri Pak Arfi itu adalah Amanda, teman SMA-ku dulu. Wajahnya masih sama, meski sudah bertahun-tahun. Bahkan meski kini ia berhijab lebar dan terlihat lebih anggun tetap saja aku yakin dia adalah Amanda. Matanya yang tajam, senyumnya yang manis yang keluar dari bibirnya yang dulu sempat menghina aku dengan sangat menyakitkan, semuanya masih melekat di ingatanku. Baru beberapa hari ini aku mengingat kembali tentang dia, kini dia ada di depanku.
Tapi yang membuatku terkejut—dia bersikap seolah tidak mengenaliku.
"Mungkin dia benar-benar lupa," batinku. Atau mungkin dia hanya pura-pura tidak kenal karena aku orang rendahan yang tak pantas untuk diingat.
1135Please respect copyright.PENANA7TsxE6E3EF
Bersambung1135Please respect copyright.PENANAXN8eLPJxxo