Bab. 1 Perceraian
Hari ini, hujan turun begitu deras. Butir-butir air menghantam atap seng kos-kosanku yang reyot, menciptakan suara berisik yang seakan menertawakan nasibku. Di tanganku, selembar kertas dari Pengadilan terasa berat seberat langit yang mungkin akan runtuh menimpaku. Surat pemberitahuan putusan cerai.
Tulisan itu membekas di mataku, tajam seperti pisau yang bagaikan baru saja ku tusuk ke dadaku sendiri. Aku menarik napas dalam, mencoba menahan sesak di dada, tapi bayangan Norma istriku dan Raka anakku satu-satunya terus muncul. Wajah mereka, tawa mereka, semua kenangan yang sekarang harus kubuang begitu saja.
Di dalam surat itu ada tertulis satu kalimat yang bunyinya kalau dalam 14 hari tidak mengajukan keberatan, maka putusan ini akan berkekuatan hukum tetap. Aku tertawa dalam hati karena aku tidak keberatan sama sekali.
Aku memejamkan mata. "Aku memang sudah tidak punya apa-apa lagi untuk diperjuangkan," bisikku, suaraku parau, seperti orang yang sudah menyerah sebelum perang dimulai.
Tiba-tiba, pintu kamar kosku diketuk. Suara Bang Bonar, teman sekosanku yang tukang ojek, memecah kesepian.
"Yo, lu masih hidup nggak di dalam? Ayo, kita makan bakso! Jangan merenung terus!"
Aku menghela napas. "Aku nggak lapar, Bro."
"Ah, dasar! Udah, jangan baper. Kehidupan harus jalan terus!"
Rupanya teman kos itu tahu bahwa aku baru saja dapat surat dari pengadilan. Ucapannya terasa benar. Tapi bagiku, kehidupan ini seperti roda angkot yang kukemudikan—berputar di tempat, tanpa tujuan, tanpa arti.
Aku menatap kertas itu lagi surat putusan cerai dari Pengadilan itu.
***
Malam ini, gelap. Sangat gelap. Aku berbaring di kasur kos-kosan yang sudah reyot ini, menatap langit-langit yang penuh noda air hujan. Aku melihat jam di ponselku ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 2 pagi, tapi mataku masih terbuka lebar. Seperti ada duri di pelupuk mata yang membuatku tak bisa menutupnya.
Pikiranku melayang ke masa lalu—masa ketika aku masih tinggal di rumah mertua bersama istriku, ketika Norma dan anakku satu-satunya Raka. Norma saat itu masih tersenyum untukku, ketika aku masih mendengar panggilan Papa dari Raka anakku dengan suara riang.
"Aku sayang kamu, Yo."
Suara Norma itu masih jelas di telingaku. Malam itu, kami duduk di teras rumah mertuaku yang sederhana. Angin malam berhembus pelan, membawa wangi melati yang ditanam ibu mertuaku di pekarangan. Norma memeluk lenganku, kepalanya bersandar di bahuku. Rasa capek seharian mengendarai angkot untuk mencari penumpang terasa hilang karena kebersamaan aku dan Norma.
"Aku juga. Aku akan bekerja keras buat kamu dan Raka," janjiku waktu itu, penuh keyakinan.
Aku ingat betul bagaimana Norma tersenyum, matanya berbinar seperti bintang di langit malam. "Aku percaya, Yo. Kita pasti bisa."
Tapi semua berubah. Perlahan, seperti air yang mengikis batu.
Semua karena masalah ekonomi. Aku yang hanya sopir angkot dan hidup numpang di rumah mertua membuat mertuaku makin lama bosan. Mertua perempuan yang pada dasarnya memang tidak menyukai aku yang miskin ini, menjadi makin tidak menyenangi aku. Kemudian hal itu memunculkan sindiran-sindiran halus yang berubah menjadi komentar-komentar pedas yang dilontarkan setiap kali aku pulang membawa uang receh hasil mengemudi angkot seharian.
"Kamu kapan bisa mandiri Yosef? Setidaknya berusaha ngontrak rumah bukan malah betah numpang terus di rumah mertuamu ini!" Ujar bu Magda mertua perempuanku itu. Matanya menyipit penuh cibiran.
Aku mencoba bersabar. "Saya sudah berusaha, bu. Tapi masih harus nabung lagi biar cukup."
"Kamu gak bisa terus-terusan numpang apa gak malu kamu!" Ucapnya dengan sinis.
Aku hanya bisa diam. Apa yang bisa kukatakan? Penghasilanku sebagai sopir angkot mana cukup buat ngontrak rumah. Kalau semisal aku bawa anak dan istriku ke rumah ibuku mana bisa. Di sana ada adik perempuanku dan suaminya gak ada lagi tempat buat aku dan keluarga kecilku di rumah ibuku itu. Tapi aku sudah mencoba sekuat tenaga mengumpulkan uang. Untuk sekedar makan dan membeli kebutuhan sehari-hari sebenarnya cukup. Tapi karena dasarnya mertuaku tidak suka dengan kehadiranku di rumah mereka maka semua yang menyangkut aku membuat dia marah-marah saja.
Tapi yang paling menyakitkan bukanlah omelan ibu mertua. Melainkan ketika Norma, yang dulu selalu membelaku di hadapan ibunya, perlahan berubah. Dia mulai diam saat aku dihina. Dia mulai menghindar saat aku pulang dengan baju bau keringat.
Dan akhirnya, suatu malam, dia mengucapkan kata-kata yang merobek hatiku.
"Aku lelah, Yo. Aku ingin hidup lebih baik." Ucapnya dengan pelan tapi terasa bagai deraan ombak.
Air matanya mengalir, tapi kali ini, tak ada pelukan yang bisa menenangkan. Tak ada lagi "Kita pasti bisa".
Aku sangat kecewa mengingat semua itu dan lebih kecewa lagi karena diam-diam mertuaku ini berusaha memisahkan aku dengan anaknya. Bahkan dengan teganya dia menghadirkan lelaki lain untuk mendekati Norma. Ini benar-benar sudah keterlaluan. Sejak itu kami mulai sering ribut dan buntutnya aku menemukan lelaki itu ada di rumah mertuaku suatu siang saat aku menyempatkan diri pulang untuk mengantar mainan yang aku janji bakal aku kasih ke Raka anakku.
Lelaki itu rupanya sudah bebas datang ke rumah. Jangan-jangan mereka malah sudah tidur bersama di siang bolong saat aku bekerja keras mencari nafkah dengan menarik angkot. Kami bertengkar hebat karena itu. Parahnya aku malah diusir oleh mertuaku. Akupun memutuskan untuk pergi dan tinggal di kos-kosan sejak saat itu hingga kini. Kemudian gugatan cerai itu datang dan hasilnya kami diputuskan untuk cerai oleh Pengadilan. Aku kembali mengambil surat pemberitahuan putusan cerai itu dan menatapnya lama, lalu menatap foto Raka di dompetku yang sudah usang.
"Maafkan Papa, Nak."
Di luar, hujan mulai turun lagi. Seakan langit ikut menangis untukku.
***
Esok paginya aku memutuskan untuk menyetir angkot seperti biasa hari ini. Mungkin dengan terus bergerak, dengan terus bekerja, aku bisa melupakan sejenak pedih yang menggerogoti dadaku. Mesin angkotku yang sudah tua merintih saat kuhidupkan, seolah protes ingin beristirahat. Tapi tidak untukku. Aku harus terus berjalan.
Di tengah rute biasa, seorang penumpang wanita paruh baya naik. Wajahnya teduh, matanya berkerut oleh garis-garis senyum yang tampak tulus.
"Mas, ke Terminal ya," ujarnya sambil naik ke dalam angkit yang kukendarai.
"Iya, Bu," jawabku singkat, mencoba menyembunyikan suara serak yang mungkin masih tersisa dari semalam.
Kami melaju dalam hening beberapa saat, hanya diisi oleh deru mesin dan gemerisik ban di aspal basah. Hanya dia penumpang yang aku dapat saat ini. Tiba-tiba, suaranya memecah kesunyian.
"Kok wajah Mas kelihatan sedih? Ada masalah?"
Tanganku sedikit bergetar di kemudi. Aku terkejut. Sudah sebegitu jelaskah luka ini terpancar dari wajahku?
"Ah, nggak, Bu. Cuma kecapekan aja," kubalas sambil memaksakan senyum tipis di kaca spion.
Wanita itu mengeluarkan suara kecil, seperti tahu aku berbohong. "Jangan bohong, Mas. Saya ini bisa baca perasaan orang," katanya, dan kali ini kulihat senyum lemahnya di kaca spion. "Saya dulu juga pernah merasakan pahitnya hidup. Ditinggal suami, anak-anak memilih ikut dia, tinggal sendirian di usia senja."
Tanganku semakin erat menggenggam kemudi.
"Tapi percayalah, Mas," lanjutnya dengan suara yang tiba-tiba begitu hangat, "badai pasti berlalu. Air mata punya waktunya sendiri untuk berhenti."
Aku menarik napas dalam. Tiba-tiba, ada sesuatu yang longgar di dadaku. Seperti ikatan yang sedikit terlepas.
"Terima kasih, Bu," ucapku pelan, suaraku hampir tertelan deru mesin.
Dia hanya mengangguk, lalu menatap keluar jendela. Tapi kehadirannya yang singkat ini meninggalkan sesuatu - sebuah pengingat bahwa mungkin, hanya mungkin, aku tidak benar-benar sendirian.
Angkotku terus melaju, membelah jalanan yang penuh debu. Aku tidak tahu apakah badai dalam hidupku akan segera berlalu. Tapi yang aku tahu kini aku seorang duda yang berpenghasilan pas-pasan.
Dua minggu telah berlalu sejak surat putusan cerai itu aku terima. Aku tidak mengajukan keberatan. Tidak ada perlawanan, tidak ada protes. Aku memilih untuk melepaskan semuanya—Norma, Raka, dan semua kenangan yang dulu pernah membuatku merasa hidup ini berarti. Apalagi selama proses sidang perceraian yang tak pernah aku hadiri aku mendengar dari beberapa tetangga yang kebetulan bertemu bahwa lelaki itu makin sering datang ke rumah sejak aku pergi. Bahkan terkadang menginap dengan izin dari bu Magda. Aku makin hancur mendengar itu dan membuat aku tak punya semangat lagi untuk mempertahankan rumah tanggaku.
1365Please respect copyright.PENANA6AhqhifcbM
bersambung
1365Please respect copyright.PENANAoiWEAs8Rod