Bab 4. Kembali berharap pada wanita yang pernah menghinaku
685Please respect copyright.PENANAZfSN8FAaCx
"Tapi yang bikin dia spesial," lanjut Pak Simon matanya berbinar, "dia itu muslim taat tapi sangat toleran. Lihat saja staff di sini. Pak Alex, tukang kebun beragama Kristen, Mbok Narti, asisten rumah tangga juga kristen kayak saya.”
“Wah kebetulan aku juga kristen.’ Sahutku.
"Pernah suatu hari," cerita Pak Alex, "ada tamu bisnis dari Arab yang protes karena tahu satpam dan sopirnya non-muslim. Tau jawaban Pak Arfi apa?"
Aku menggeleng penasaran.
"Dia bilang, 'Di mata Allah, yang penting adalah kejujuran dan kerja keras, bukan agamanya.' Tamu itu langsung diam."
"Tapi jangan salah," Pak Simon melanjutkan sambil mengerutkan kening, "di balik toleransinya, dia sangat disiplin loh. Pernah suatu kali Pak Alex lupa memangkas pagar tanaman, langsung dipanggil ke ruang kerjanya."
Aku meneguk kopi yang mulai dingin. "Marah besar?"
"Tidak," jawabnya. "Dia hanya bilang, 'Alex, di perusahaan saya, yang namanya standar itu harus sama untuk semua orang. Mau muslim atau non-muslim, pekerjaan harus sempurna.'"
Aku hanya mengangguk-angguk mendengar ceritanya.
"Oke bang Yos aku mau lanjut jaga pos!" Pak Simon langsung berdiri.
***
Suatu sore, saat aku menungguinya di mobil sambil mendengarkan radio, tiba-tiba pintu belakang terbuka. Bu Manda masuk dengan beberapa kantong belanja.
"Mas Yosef… asalnya dari mana ya?" tanyanya tiba-tiba.
Aku menahan napas. Dia bertanya seolah aku orang asing.
"Saya asal sini, Bu," jawabku singkat.
Sebenarnya sih aku masih ada darah batak tapi aku lahir dan besar di kota Jakarta ini. Tapi jika ditanya orang aku bilangnya orang Jakarta saja. Karena aku malas menjelaskan panjang lebar.
Matanya berkedip, seperti ada sesuatu yang terlintas. Tapi kemudian dia hanya tersenyum. "Kamu sekolahnya di SMA 1003 ya?"
Jantungku berdegup kencang. Dia sepertinya mulai ingat aku.
"Eh, iya, Bu. Kok tahu?"
Diam sejenak. Lalu, suaranya turun menjadi bisikan.
"Kamu… Yosef, kan?"
Aku menatapnya lewat kaca spion, bertemu dengan matanya yang indah yang dulu begitu aku kagumi. "Iya, Bu. Akhirnya Ibu ingat juga."
Dia menarik napas dalam, seperti orang yang melepas beban. "Jadi kamu juga ingat siapa aku.”
“Iya bu tapi saya takut jangan-jangan ibu lupa!”
“Aku minta maaf kalau pura-pura tidak mengenal kamu. Soalnya aku khawatir kamu gak diterima kerja kalau dia tahu kalau kamu teman SMA aku. Dia itu kadang aneh sifatnya."
Aku tidak mengerti maksudnya tapi tak urung aku menjawab juga. "Gapapa, Bu. Yang penting saya sudah diterima."
Tapi kemudian dia melanjutkan dengan suara bergetar:
"Dan… aku minta maaf untuk yang dulu. Aku ingat sekali saat aku menolak kamu dengan kasar. Aku tidak seharusnya kayak gitu."
Aku diam. Ini pengakuan yang tidak kuduga.
“Kamu ingat Denis kan?”
“Eh iya. Jagoan basket itu ya bu.” Sahut aku.
"Waktu itu… sebenarnya aku baru saja ditolak oleh Denis. Aku sebagai cewek malu sekali. Aku udah nekad nembak duluan eh di tolak. Terus abis itu tiba-tiba kamu datang menyatakan perasaan ke aku… dan tentu saja aku yang lagi gak mood melampiaskan sakit hatiku pada kamu."
Oh jadi seperti itu alasannya. Aku bisa mengerti.
"Aku ingin menjelaskan ke kamu setelah itu, tapi aku terlalu gengsi," lanjutnya. "Sekarang, melihatmu bekerja di sini… aku merasa bersalah."
Aku tersenyum pahit. "Gak apa-apa bu. Lagian itu sudah lama, Bu. Waktu kita masih sama-sama remaja. Pikiran masih suka labil."
"Tapi tolong… di depan suamiku, kita tetap harus berpura-pura tidak pernah kenal sebelumnya, ya? Aku khawatir kalau dia tahu bisa-bisa kamu gak akan lanjut jadi sopir aku." pintanya khawatir.
"Oke, Bu. Tenang saja," jawabku.
Agak aneh juga sikap Pak Arfi sama istrinya ini menurut aku. Tapi memang sifat orang kadang berbeda.
***
Sejak pengakuan Amanda di mobil itu, sesuatu perlahan berubah. Dia yang sebelumnya lebih banyak diam dan kalau bicara hanya hal yang penting saja. Sekarang setiap kali aku mengantarnya sendirian—entah ke acara arisan, salon, atau sekadar jalan-jalan—dia selalu menyempatkan diri ngobrol. Kadang tentang cuaca, kadang tentang kenangan SMA, bahkan sesekali tentang kehidupan rumah tangganya yang ternyata tidak sempurna seperti yang kukira.
Tapi di rumah dia seolah menjaga jarak. Di hadapan Pak Arfi, Amanda bersikap layaknya seorang majikan terhadap sopirnya. Bahkan nyaris tidak pernah menatapku langsung. Jika pun harus bicara, suaranya datar, formal. "Jangan lupa jemput Hafidz jam 11, ya." Lalu pergi begitu saja.
Aku mulai paham. Kenapa dia bersikap seperti itu. Mungkin suaminya membatasi dia dalam berhubungan dengan lawan jenis.
Tapi aku melihat Amanda seperti eorang dengan dua kepribadian. Di luar rumah, saat hanya kami berdua di mobil, Amanda adalah teman lama yang ramah, bahkan terkadang terlihat rapuh.
Di dalam rumah, dia berubah menjadi nyonya rumah sempurna yang menjaga jarak dengan sopirnya.
Suatu hari, saat mengantarnya ke salon langganannya, Amanda tiba-tiba membuka topik yang tidak terduga.
"Arfi marah besar tadi pagi. Aku cuma bilang mau ikut reuni teman SMA, dia langsung meledak. Bilang aku gak perlu ikut reuni segala. Hanya jadi ladang ghibah dan pamer keberhasilan. Pasti membahas mantan atau orang yang pernah ditaksir dan menaksir kita saat sekolah bla bla bla. Emang dia gak suka banget aku ketemu teman-teman SMA aku atau teman-teman kuliah aku juga. Kadang aku jadi iri sama kamu Yo. Kamu aku lihat bisa hidup lebih santai tanpa terikat."
Aku mengangguk pelan. "Kalau Bu Manda pikir hidup bu Manda tidak menyenangkan, coba dengar dulu ceritaku."
Matanya berbinar penuh rasa ingin tahu di kaca spion. "Ceritakan padaku, Yo."
Aku menarik napas dalam. "Aku baru bercerai tiga bulan lalu, Bu."
"Cerai? Astaga… Aku turut prihatin mendengarnya."
"Iya. Istriku, mengajukan cerai karena aku tak mampu memberi nafkah yang layak." Suaraku pecah saat mengingat surat pemberitahuan putusan cerai itu dan saat aku mengambil akta cerai di Pengadilan.. "Aku cuma sopir angkot, Bu. Penghasilanku pas-pasan. Setiap hari pulang bau bensin dan keringat. Istriku bilang dia lelah hidup seperti itu."
Manda terdiam.
"Yang paling menyakitkan," lanjutku, suara bergetar, "aku harus pisah dengan anakku, Raka. Dia baru empat tahun, Bu. Sekarang dia tinggal dengan mantan istriku itu dan mertuaku yang selalu merendahkanku."
Aku melihat dari kaca spion—Manda mengusap matanya yang mulai berkaca-kala.
"Aku... aku tidak tahu kamu mengalami semua itu," bisiknya.
"Hidupku jauh lebih menyedihkan dari yang Bu Manda alami kan." kataku sambil memarkir mobil sebentar di pinggir jalan karena tanganku gemetar. "Bahkan sebelum cerai saja aku tinggal di kos-kosan murah. Atapnya bocor kalau hujan. Kadang aku cuma makan nasi sama kecap karena uang habis untuk bayar kontrakan."
"Aku benar-benar prihatin dengan nasib kamu, Yo. Apa yang aku alami gak seberapa dengan penderitaan kamu."
685Please respect copyright.PENANARquS3EysFr
"Kita sama-sama terjebak, Bu," ujarku sambil menatap jalanan yang basah. "Bu Manda terjebak dalam kemewahan yang menjerat. Aku terjebak dalam kemiskinan yang menghancurkan. Tapi setidaknya bu Manda masih punya Arfi suami ibu meski kadang mengekang ibu dan ibu masih punya Hafidz anak ibu. Aku? Aku bahkan tidak boleh menjenguk anakku sendiri."
Manda mengeluarkan tisu dari tasnya dan menyekot matanya. "Aku selalu mengeluh tentang Arfi yang posesif, tapi aku lupa bahwa setidaknya aku masih punya segalanya secara materi. Kamu... kamu harus bertahan sendirian."
685Please respect copyright.PENANAuFeDZJqqVQ
"Aku bersumpah waktu SMA akan jadi orang sukses," kataku tertawa getir. "Tapi lihat aku sekarang. Jadi sopir teman SMA yang dulu aku taksir hehehehe."
Manda menatapku lama. "Yo, aku janji akan membantumu. Aku akan bicara pada Arfi untuk menaikkan gajimu. Kamu tidak pantas hidup seperti ini."
Aku menggeleng. "Tidak perlu, Bu. Aku tidak mau dikasihani."
"Ini bukan kasihan," bantunya. "Ini adalah bentuk sedekah aku buat teman lama. Gapapa kan.”
Aku hanya diam saja dan fokus mengendarai mobil.
***
Keakrabanku dengan Amanda di luar rumah saat mengantar dia ke mana saja membuat aku mulai merasa senang. Bahkan ada semacam perasaan jatuh cinta lagi. Melihat wajah cantiknya, mendengar suaranya, mendengar tawanya. Aku diam-diam mulai berharap bahwa aku bisa mendekati Amanda bahkan aku mau walau hanya sekedar jadi selingkuhannya.
685Please respect copyright.PENANAbzabc0TC89
Bersambung
ns216.73.216.8da2