Saat kami berkunjung ke rumah mertua aku mengamati Ridwan dari balik jendela. Dia sedang duduk di teras, laptop terbuka di pangkuannya, sibuk mengerjakan proyek desain. Khalisa datang membawakan segelas jus, dan Ridwan tersenyum—senyum tulus yang jarang kulihat darinya.
Pemandangan yang tidak pernah kubayangkan bisa terjadi.
Tapi di balik kekagumanku pada perubahan Ridwan, ada pertanyaan yang terus mengusik, berapa lama ini akan bertahan?
Apakah suatu hari nanti aku akan melihatnya kembali dengan botol minuman di tangan? Ataukah Khalisa memang benar-benar bisa menjadi penyelamatnya?
Dan yang paling membuatku penasaran. Bagaimana caranya Khalisa melakukan semua ini?
Apakah dengan kesabarannya? Dengan doa-doa malamnya? Atau dengan cara lain yang tidak kita ketahui?
Satu hal yang pasti: perubahan Ridwan adalah keajaiban kecil dalam keluarga kami.
Tapi seperti kata pepatah, laut yang tenang belum tentu tidak berbahaya.
Kita lihat saja kelanjutannya.
***
Suatu sore yang gerah, aku berkunjung ke rumah mertua seperti biasa. Suasana rumah tampak lengang - hanya terdengar suara televisi dari ruang keluarga dan aroma gulai yang menggoda dari dapur. Tanpa sengaja, saat melewati lorong sempit menuju dapur, aku berpapasan dengan Khalisa.
Dia sedang membawa tumpukan piring bersih yang masih basah. Begitu melihatku, matanya yang biasanya jernih tiba-tiba menjadi dingin. Dengan cepat dia menunduk, memalingkan wajahnya, dan berjalan lebih cepat seolah aku adalah hantu yang tak pantas dilihat. Bahkan sapaan sederhana pun tak kudapatkan.
Sikapnya menusuk. Aku berdiri terpaku sejenak di lorong itu, mendengar langkahnya yang tergesa menghilang di ujung koridor. Rasanya ingin aku mengejarnya, mengguncang bahunya dan bertanya: "Apa salahku padamu, Khalisa?" Tapi aku hanya mengepalkan tangan di saku celana, menggigit bibir, dan melanjutkan langkah dengan perasaan kesal yang membara.
Dan yang paling menyakitkan - sikap dinginnya ini hanya untukku.
Aku memperhatikan bagaimana Khalisa tetap ramah pada yang lain. Pada teman-teman pria dari Ridwan, dia ramah dan bersahabat. Pada mertuanya, dia sopan santun. Bahkan pada tetangga yang baru dikenalnya pun dia mau tersenyum. Hanya padaku, dia bersikap seolah aku adalah najis yang harus dihindari.
Malam itu, saat pulang ke rumah, Fahrani bertanya: "Kamu kenapa? Dari tadi diam saja."
"Ah, tidak ada. Hanya lelah saja," jawabku sambil memaksakan senyum.
Aku memilih untuk tidak bercerita. Apa gunanya? Jika kusampaikan pada Fahrani, dia mungkin hanya akan tertawa dan mengatakan aku terlalu sensitif. Atau lebih buruk - dia akan menceritakan pada Ridwan, dan akan membuat suasana semakin tidak nyaman.
Tapi diam-diam, pertanyaan ini terus menghantuiku:
Mengapa Khalisa seperti membenciku?
Apakah Ridwan telah menceritakan hal-hal buruk tentangku padanya? Ataukah dia memang sejak awal tidak suka dengan keberadaanku? Atau... jangan-jangan dia bisa merasakan kecemburuan tersembunyi yang selama ini kupendam? Atau cara aku menatapnya yang penuh kekaguman saat pertama kali membuat dia ilfill dan menganggap aku pria beristri yang mata keranjang dan tidak menjaga pandangan. Apa tatapanku seperti tatapan pria mesum yang seolah menelanjangi dia.
Entah mengapa, sikap Khalisa yang dingin ini justru membuatku semakin penasaran tentangnya. Aku mulai memperhatikan setiap gerak-geriknya diam-diam. Cara dia berjalan, cara dia tersenyum pada orang lain, cara dia menghindariku dengan sempurna.
Seperti permainan kucing dan tikus yang aneh.
Dan aku? Aku hanya bisa memendam segala rasa kesal ini sendiri, sambil berharap suatu saat nanti Khalisa akan berubah sikap. Atau setidaknya, dia bisa bersikap biasa saja padaku dan ramah tentunya. Tapi untuk sekarang, kami tetap terikat dalam sikap diam yang menyakitkan - sebuah permainan psikologis tanpa kata-kata di mana dia dengan sempurna berpura-pura seolah aku tidak ada, dan aku dengan gagah berusaha menunjukkan ketidakpedulian yang sama sekali tidak meyakinkan.
Padahal di dalam hati...
Aku sangat peduli. Bahkan lebih dari sekedar peduli.
Setiap kali dia dengan sengaja menghindari pandanganku, justru membuatku semakin penasaran. Setiap kali dia berpura-pura tidak mendengar sapaan ringanku, hasrat untuk menarik lengannya dan memaksanya melihatku justru semakin menggebu.
Aku mulai menyukainya dengan cara yang seharusnya tidak boleh. Di saat-saat sunyi ketika sendirian, pikiranku membayangkan bagaimana senyum manisnya yang selalu disembunyikan dariku. Aku mengkhayalkan bagaimana suara lembutnya yang hanya diperdengarkan untuk Ridwan mungkin akan terdengar jika suatu saat dia berbicara padaku.
Dan yang paling kusembunyikan - dalam kegelapan malam, saat istriku sudah terlelap, imajinasiku membawaku lebih jauh. Aku membayangkan bagaimana tubuh Khalisa yang selalu tersembunyi rapat di balik hijab syar'i mungkin terlihat tanpa sehelai benangpun. Bagaimana kulitnya yang halus mungkin berkilau diterpa cahaya lampu kamar tersentuh oleh aku. Bagaimana wajah polosnya yang selalu menunduk mungkin berkerut dalam kenikmatan saat sedang kusetubuhi dengan penuh nafsu.
"Gila! Apa yang kupikirkan ini?"
Aku menggeleng-geleng kepala keras, mencoba mengusir bayangan-bayangan ngeres yang sama sekali tidak pantas. Tapi seperti setan kecil, pikiran-pikiran itu selalu kembali, lebih kuat dari sebelumnya. Apakah aku bisa menicicipi tubuh suci Khalisa seperti aku bisa mencicipi tubuh teman Ridwan malam itu.
Ini salahmu, Khalisa. Jika saja kau tidak bersikap begitu dingin. Jika saja kau mau sekadar menatapku seperti manusia biasa. Jika saja kau tidak membuat dirimu begitu terlarang dan justru karena itu semakin menarik...
Aku menatap cermin di kamar mandi, memandangi wajah sendiri yang mulai terlihat letih oleh pertempuran batin ini.
"Kau sudah punya istri yang cantik dan baik," bisikku pada bayangan di cermin. "Fahrani mencintaimu. Lupakan saja Khalisa dan khayalan bodohmu."
Tapi hati kecilku membisikkan balik: "Tapi mengapa yang terlarang selalu terlihat paling indah?"
Malam itu, saat berbaring di samping istriku yang sedang terlelap, aku memandang langit-langit kamar dengan perasaan bersalah yang dalam. Aku tahu ini salah. Aku tahu ini tidak akan pernah terjadi.
Tapi kenapa semakin kucoba melupakan, justru semakin kuat bayangannya menghantuiku?
Dan yang paling ironis - mungkin Khalisa bahkan tidak menyadari kekacauan yang ditimbulkan sikap dinginnya pada diriku.
***
Saat aku memikirkan sikap menghindar dari Khalisa yang makin terang-terangan diperlihatkan padaku, tiba-tiba muncul sebuah pikiran jahat di kepalaku. Aku teringat sesuatu yang bisa membuat hubungan Khalisa dan Ridwan hancur lebur. Aku ingat betul saat awal-awal pernikahanku dengan Fahrani, kami pernah tinggal selama setahun di rumah mertua. Suatu saat Ridwan pulang larut malam dengan perempuan yang berbusana minim, tangannya melingkar di pinggang si perempuan seolah mengklaim kepemilikan. Ayah mertuaku, yang kebetulan belum tidur tidak bisa menahan amarah.
"Ridwan! Kau pikir ini rumah tempat maksiat?!" teriaknya, suaranya menggema di seluruh rumah.
Apa yang terjadi selanjutnya adalah pertunjukan kemarahan yang mengerikan. Ridwan mengamuk seperti banteng terluka. Meja ruang tamu yang antik terbalik dengan suara menggelegar ketika dibantingnya. Gelas-gelas berterbangan, pecahan kaca berserakan di lantai.
"Jangan larang-larang aku. Atau aku bakar rumah ini!" raung Ridwan sambil melontarkan sumpah serapah yang membuat semua terdiam.
Dan diam-diam, dengan ponsel di tangan, aku merekam semuanya. Entah kenapa malam itu aku berpikir untuk merekam amukan adik iparku itu. Rekaman itu masih ada. Disimpan rapi di folder tersembunyi di laptopku, diberi nama file yang tidak mencurigakan. Sebuah dokumen hitam putih tentang masa lalu Ridwan yang gelap.
Sekarang, melihat Khalisa yang begitu bangga pada suaminya, yang memandang Ridwan seolah dia adalah pria sempurna, sebuah ide jahat muncul di kepalaku.
Bagaimana jika aku mengirim potongan video itu padanya?
Bayangkan ekspresinya saat melihat wajah asli suaminya. Saat menyaksikan bagaimana Ridwan yang sekarang selalu bersikap manis ternyata bisa berubah menjadi monster. Bagaimana Ridwan setelah mengamuk masuk ke kamar sambil memeluk wanita berbusana sexy.
Aku yakin video itu bisa menghancurkan ilusi indahnya dalam sekejap.
Tapi… Ketika aku hendak memindahkan file itu ke ponsel Jari-jariku menggantung di atas keyboard, ragu. Ini bukan main-main. Jika aku melakukan ini. Aku tidak hanya akan merusak pernikahan mereka tapi juga hubunganku dengan seluruh keluarga bisa hancur, Fahrani mungkin tidak akan pernah memaafkanku dan yang paling penting - apakah aku siap menjadi orang jahat dalam cerita ini?
Tapi di sisi lain, bukankah Khalisa berhak tahu kebenaran? Atau lebih tepatnya - bukankah dia pantas melihat siapa sebenarnya pria yang dia panggil suami?
Atau.....934Please respect copyright.PENANA2eR4dk21AH