Bab. 5 Perbuatan nekad yang penuh resiko
Setiap pagi ketika aku menyalakan mesin mobil, jantungku sudah berdegup lebih kencang. Bukan karena takut terlambat, tapi karena sebentar lagi aku akan melihatnya. Amanda wanita yang pertama kali membuat aku jatuh cinta.
"Pagi, Mas Yosef," sapanya suatu pagi saat mendekati mobil membawa wangi parfum mahal yang semerbak.
"P-Pagi, Bu Manda," jawabku sambil membuka pintu mobil, berusaha menahan getar di suaraku.
Dia tidak masuk ke kursi belakang, yang aku buka.
"Aku duduk depan saja ya. Bosan di belakang terus."
Aku menelan ludah. "Tapi—"
"Suamiku sedang di Singapura seminggu ini. Jadi gapapa," bisiknya sambil tersenyum, matanya berbinar seperti dahulu kala.
Sepanjang jalan ke mal, Amanda bercerita tentang banyak hal. Betapa dia bosan dengan acara pengajian ibu-ibu sosialita. Juga arisan Istri-itri dari rekan bisnis suaminya. Hanya kegiatan itu yang diizinkan oleh Pak Arfi suaminya. Untuk Amanda ikuti.
Padahal dia lebih suka bebas bertemu dengan teman-temannya waktu SMA dulu atau teman saat kuliah. Tapi itu tidak dibolehkan oleh Arfi suaminya. Dia juga tidak berani diam-diam melanggar larangan suaminya itu. Karena zaman medsos seperti ini bisa saja postingan teman-temannya saat bertemu sampai ke Arfi dan itu bisa membuat suaminya marah besar.
Di lampu merah, mataku tak sengaja menatapnya. Dia masih cantik. Bahkan lebih cantik dari yang dulu. Karena kini dia lebih matang dan dewasa membuat dia terlihat anggun.
Hari sudah larut. Aku berbaring di kamar yang masih menjadi bagian dari rumah keluarga Pak Arfi. Aku menatap langit-langit kamar. Pikiran tentang Amanda tak bisa kulupakan—senyumnya, tawanya, caranya sesekali menyentuh lenganku saat bercanda di mobil. Penampilannya yang anggun dan bodinya yang indah saat mengenakan gamis dan hijabnya. Pakaian muslimah tertutup itu tidak bisa menyembunyikan keindahan tubuh Amanda yang semakin matang di usianya saat ini.
Aku makin menyukainya dan aku harap dia juga merasakan hal yang sama. Hari demi hari membuat aku makin yakin bahwa Amanda juga memiliki rasa padaku.
Aku mengambil ponsel. Jam menunjukkan pukul 23.47. Aku ingat Pak Arfi sedang di luar negeri untuk urusan bisnis. Jadi Amanda sendirian di kamar tidurnya yang mewah itu. Ini kesempatanku untuk merayunya. Apalagi malam ini aku sedang horny-hornynya membayangkan kecantikan Amanda yang setiap hari aku lihat. Terus wangi tubuhnya yang membius hidungku. Aku lihat WA-nya sedang online. Dengan nekad aku mengetik sebuah pesan.
"Malam Manda. Belum tidur ya?"
Pesan itu kukirim ke nomor Amanda, dengan jari-jari yang gemetar. Tak lama, kemudian pesanku tercentang biru tanda sudah dibaca.
Tapi tidak ada balasan.
Aku mencoba lagi.
"Aku susah tidur. Boleh curhat?"
Beberapa detik berlalu... lalu muncul tanda typing....
"Ada apa, Yo? Ini sudah larut." Akhirnya dia membalas.
Jantungku berdegup kencang. Aku mulai mengetik dengan nafsu yang tak terbendung.
"Manda maafkan aku ya! Aku mau jujur ke kamu. Sampai saat ini aku masih suka sama kamu, Manda. Dari dulu sampai sekarang."
Ada jeda lama. Aku bisa membayangkan wajahnya yang mungkin terkejut, atau mungkin senang karena aku berani menyatakan itu saat ini dan dia mungkin menunggu juga keberanianku itu. Aku deg-degan menantikan seperti apa jawabannya.
"Yo, kamu tahu ini tidak benar. Aku sudah bersuami. Jangan kayak gitu ya Yo!" Balas Amanda.
Aku agak kecewa membaca balasan chatnya itu. Tapi aku sudah terlalu jauh. Nafsu butaku mengalahkan akal sehat.
"Tapi bukan berarti bahwa kita tidak boleh dekat kan? Aku harap kamu juga suka sama aku. Aku yakin. Aku lihat caramu ngeliat aku. Kamu juga merasakan sesuatu."
Tidak ada balasan. Tapi aku malah makin bernafsu menunggu balasan Amanda. Tak terasa kontolku makin mengeras.
Aku semakin nekad. Tanpa berpikir panjang, aku membuka celanaku. Aku mengklik ikon kamera, mengarahkannya ke bawah, dan mengambil foto kontolku yang sudah tegang karena membayangkan Amanda. Snap.
Akihirnya foto kontolku iru terkirim. Centang biru berarti dia sudah melihat foto itu. Kembali dadaku berdebar menanti reaksinya.
Baca kelanjutan ceritanya sampai tamat di victie https://victie.com/novels/balada_sopir_dan_majikan
Sekian saat aku tunggu tapi tidak ada respons. Aku makin deg-degan. Aku yakin Amanda akan terkesan melihat kontol perkasa aku. Aku makin lupa diri.
Aku menunggu. Lima menit. Sepuluh menit. Tidak ada balasan.
Mungkin dia terangsang? Mungkin dia malu?
Aku mencoba meneleponnya.
Astaga nomornya sudah tidak bisa dihubungi lagi. Dia memblokirku.
Aku melempar ponsel ke kasur, tubuhku berkeringat dingin.
Apa yang baru saja aku lakukan? Aku baru saja menghancurkan segalanya. Setelah foto itu terkirim dan Amanda memblokir WAku barulah aku sadar. Aku bisa kehilangan pekerjaanku, kehilangan hubunganku dengan Amanda, bahkan harga diriku sendiri.
Sampai malam ini aku masih sopirnya. Tapi besok? Aku mungkin akan diusir seperti sampah.
Dan yang paling memalukan aku mengalami nasib buruk ini karena kebodohanku. Aku yang sudah dilanda birahi mengirim foto alat kelaminku ke majikanku.
Aku menutup wajah dengan bantal, berharap ini hanya mimpi buruk.
Tapi ini nyata. Dan besok, aku harus menghadapi konsekuensinya.
Tidurku terasa terpotong-potong oleh mimpi buruk. Aku terbangun berkali-kali, setiap kali dengan keringat dingin membasahi pakaian yang aku kenakan. Meski dilanda kecemasan akhirnya aku bisa tidur juga. Tapi ketika akhirnya terlelap, suara ketukan di pintu kamar menyentak kesadaranku.
"Mas Yo, sudah jam setengah tujuh! Cepet bangun!"
Suara Mbok Narti dari balik pintu membuat jantungku langsung berdegup kencang. Mataku terbuka lebar, dan dalam sekejap, semua memori memalukan semalam menghantamku seperti truk sampah.
Foto kontol yang aku kirim itu kembali terbayang meski aku sudah menghapusnya dari ponselku. Terus panggilan yang diblokir. Semua menjadi pertanda kehancuranku. Aku sudah menghancurkan segalanya.
Aku menggosok wajahku dengan kedua tangan, mencoba menenangkan diri. "Iya, Mbok. Aku sudah bangun," jawabku dengan suara serak. Aku segera ke kamar mandi sekedar cuci muka.
Setelah itu aku pergi ke dapur. Di dapur, Mbok Narti sudah menyiapkan nasi hangat dengan telur dadar dan sambal. Biasanya aroma ini membuatku menjadi nafsu makan, tapi pagi ini nafsu makanku hilang.
"Kamu kenapa, Mas? Mukanya pucat sekali," tanya Mbok Narti sambil menuangkan kopi panas.
"Cuma kurang tidur saja, Mbok," jawabku, memaksakan senyum tipis.
Dari ruang depan, tiba-tiba terdengar suara Amanda yang melengking:
"Mbok Narti! Mas Yo sudah bangun belum? Hafidz sudah siap berangkat ke PAUD!"
Suaranya tajam, tapi tidak ada nada kemarahan khusus yang kudengar—hanya nada kesal biasa seperti ketika dia sedang terburu-buru. Dia menyebut namaku dengan nada biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa.
Apakah mungkin dia masih menahan diri pagi ini tapi ada waktunya dia akan memberi hukuman padaku. Atau lmungkin juga dia menanti suaminya pulang untuk bersama dengan dia memvonis aku dengan pemecatan. Tapi bisa saja dia memanfaatkan kesempatan setidaknya sampai aku selesai mengantar Hafidz dia akan memvonis aku dengan hukuman yang tegas.
513Please respect copyright.PENANAQ60Bm9CqOC
Bersambung513Please respect copyright.PENANAGttgG98kcG
513Please respect copyright.PENANAjyuw92WpTv