![](https://static.penana.com/images/chapter/1436599/EW_93121234_1...957605376_n.jpg)
Ceritasex.site Selesai sekolah Sabtu itu langsung dilanjutkan rapat pengurus OSIS. Rapat itu dilakukan sebagai persiapan sekaligus pembentukan panitia kecil pemilihan OSIS yang baru. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pemilihan dimaksudkan sebagai regenerasi dan anak-anak kelas 3 sudah tidak boleh lagi dipilih jadi pengurus, kecuali beberapa orang pengurus inti yang bakalan “naik pangkat” jadi penasihat.
Usai rapat, aku bergegas mau langsung pulang, soalnya sorenya ada acara rutin bulanan: pulang ke rumah orang tua di kampung. Belum sempat aku keluar dari pintu ruangan rapat, suara nyaring cewek memanggilku. “Didik .. “ aku menoleh, ternyata Farah yang langsung melambai supaya aku mendekat. “Dik, jangan pulang dulu. Ada sesuatu yang pengin aku omongin sama kamu,” kata Farah setelah aku mendekat. “Tapi Rah, sore ini aku mau ke kampung. Bisa nggak dapet bis kalau kesorean,” jawabku. “Cuman sebentar kok Dik.
Kamu tunggu dulu ya, aku beresin ini dulu,” Farah agak memaksaku sambil membenahi catatan-catatan rapat. Akhirnya aku duduk kembali. “Dik, kamu pacaran sama Mela ya?” tanya Farah setelah ruangan sepi, tinggal kami berdua. Aku baru mengerti, Farah sengaja melama-lamakan membenahi catatan rapat supaya ada kesempatan ngomong berdua denganku. “Emangnya, kenapa sih?” aku balik bertanya. “Enggak ada apa-apa sih .. “ Farah berhenti sejenak. “Emmm, pingin nanya aja.”
“Enggak kok, aku nggak pacaran sama Mela,” jawabku datar. “Ah, masa. Temen-temen banyak yang tahu kok, kalau kamu suka jalan bareng sama Mela, sering ke rumah Mela,” kata Farah lagi. “Jalan bareng kan nggak berarti pacaran tho,” bantahku. “Paling juga pakai alasan kuno ‘Cuma temenan’,” Farah berkata sambil mencibir, sehingga wajahnya kelihatan lucu, yang membuatku ketawa. “Cowok di mana-mana sama aja, banyak bo’ongnya.” “Ya terserah kamu sih kalau kamu nganggep aku bohong.
Yang jelas, aku bilang bahwa aku nggak pacaran sama Mela.” Aku sama sekali tidak bohong pada Farah, karena aku sama Mela memang sudah punya komitmen untuk ‘tidak ada hubungan lebih. Maksudnya, hubunganku dengan Mela hanya sekedar untuk kesenangan dan kepuasan, tanpa janji atau ikatan di kemudian hari. Hal itu yang kujelaskan seperlunya pada Farah, tentunya tanpa menyinggung soal ‘seks’ yang jadi menu utama hubunganku dengan Mela. Aku dan Farahpun berpisah di gerbang sekolah.
Farah sudah ditunggu sopirnya, sedang aku langsung menuju halte. Sebelum berpisah, aku sempat berjanji untuk main ke rumah Farah lain waktu. Diam-diam aku merasa geli. Masak malam minggu itu jalan-jalan sama Farah harus ditemani kakaknya, dan diantar sopir lagi. Jangankan untuk ML, sekedar menciumpun rasanya hampir mustahil. Sebenarnya aku agak ogah-ogahan jalan-jalan model begitu, tapi rasanya tidak mungkin juga untuk membatalkan begitu saja. Rupanya aturan orang tua Farah yang ketat itu, bakalan membuat hubunganku dengan Farah jadi sekedar roman-romanan saja. Praktis acara pada saat itu hanya jalan-jalan ke Mall dan makan di ‘food court’. Di tengah rasa bete itu aku coba menghibur diri dengan mencuri-curi pandang pada Mbak Mira, baik pada saat makan ataupun jalan. Mbak Mira, adalah kakak sulung Farah yang kuliah di salah satu perguruan tinggi terkenal di kota ‘Y’.
Dia pulang setiap 2 minggu atau sebulan sekali. Sama sepertiku, hanya beda level. Kalau Mbak Mira kuliah di ibukota propinsi dan mudik ke kotamadya, sedang aku sekolah di kotamadya mudiknya ke kota kecamatan. Wajah Mbak Mira sendiri hanya masuk kategori lumayan. Agak jauh dibandingkan Farah. Kuperhatikan wajah Mbak Mira mirip ayahnya sedang Farah mirip ibunya. Hanya Mbak Mira ini lumayan tinggi, tidak seperti Farah yang pendek, meski sama-sama agak gemuk. Kuperhatikan daya tarik seksual Mbak Mira ada pada toketnya.
Lumayan gede dan kelihatan menantang kalau dilihat dari samping,beritaseks.com sehingga rasa-rasanya ingin tanganku menyusup ke balik T-Shirtnya yang longgar itu. Aku jadi ingat Mela. Ah, seandainya aku tidak ke rumah Farah, pasti aku sudah melayang bareng Mela. Saat Farah ke toilet, Mbak Mira mendekatiku. “Heh, awas kamu jangan macem-macem sama Farah!” katanya tiba-tiba sambil memandang tajam padaku. “Maksud Mbak, apa?” aku bertanya tidak mengerti. “Farah itu anak lugu, tapi kamu jangan sekali-kali manfaatin keluguan dia!” katanya lagi. “Ini ada apa sih Mbak?” aku makin bingung. “Alah, pura-pura.
Dari wajahmu itu kelihatan kalau kamu dari tadi bete,” aku hanya diam sambil merasa heran karena apa yang dikatakan Mbak Mira itu betul. “Kamu bete, karena malem ini kamu nggak bisa ngapa-ngapain sama Farah, ya kan?” aku hanya tersenyum, Mbak Mira yang tadinya tutur katanya halus dan ramah berubah seperti itu. “Eh, malah senyam-senyum,” hardiknya sambil melotot. “Memang nggak boleh senyum. Abisnya Mbak Mira ini lucu,” kataku. “Lucu kepalamu,” Mbak Mira sewot. “Ya luculah.
Kukira Mbak Mira ini lembut kayak Farah, ternyata galak juga!” Aku tersenyum menggodanya. “Ih, senyam-senyum melulu Senyummu itu senyum mesum tahu, kayak matamu itu juga mata mesum!” Mbak Mira makin naik, wajahnya sedikit memerah. “Mbak cakep deh kalau marah-marah,” makin Mbak Mira marah, makin menjadi pula aku menggodanya. “Denger ya, aku nggak lagi bercanda. Kalau kamu berani macem-macem sama adikku, aku bisa bunuh kamu!” kali ini Mbak Mira nampak benar-benar marah. Akhirnya kusudahi juga menggodanya melihat Mbak Mira seperti itu, apalagi pengunjung mall yang lain kadang-kadang menoleh pada kami.
Kuceritakan sedikit tentang hubunganku dengan Farah selama ini, sampai pada acara ‘apel’ pada saat itu. “Kalau soal pengin ngapa-ngapain, yah, itu sih awalnya memang ada. Tapi, sekarang udah lenyap. Farah sepertinya bukan cewek yang tepat untuk diajak ngapa-ngapain, dia mah penginnya roman-romanan aja,” kataku mengakhiri penjelasanku. “Kamu ini ngomongnya terlalu terus-terang ya?” Nada Mbak Mira sudah mulai normal kembali. “Ya buat apa ngomong mbulet. Bagiku sih lebih baik begitu,” kataku lagi. “Tapi .. kenapa tadi sama aku kamu beraninya lirak-lirik aja. Nggak berani terus-terang mandang langsung?” Aku berpikir sejenak mencerna maksud pertanyaan Mbak Mira itu.
Akhirnya aku mengerti, rupanya Mbak Mira tahu kalau aku diam-diam sering memperhatikan dia. “Yah .. masak jalan sama adiknya, Mbak-nya mau diembat juga,” kataku sambil garuk-garuk kepala. Setelah itu Farah muncul dan dilanjutkan acara belanja di dept. store di mall itu. Selama menemani kakak beradik itu, aku mulai sering mendekati Mbak Mira jika kulihat Farah sibuk memilih-milih pakaian. Aku mulai lancar menggoda Mbak Mira. Hampir jam 10 malam kami baru keluar dari mall. Lumayan pegal-pegal kaki ini menemani dua cewek jalan-jalan dan belanja. Sebelum keluar dari mall Mbak Mira sempat memberiku sobekan kertas, tentu saja tanpa sepengetahuan Farah. “Baca di rumah,” bisiknya. Aku lega melihat Mbak Mira datang ke counter bus PATAS AC seperti yang diberitahukannya lewat sobekan kertas. Kulirik arloji menunjukkan jam setengah 9, berarti Mbak Mira terlambat setengah jam. “Sori terlambat.
Mesti ngrayu Papa-Mama dulu, sebelum dikasih balik pagi-pagi,” Mbak Mira langsung ngerocos sambil meletakkan hand-bag-nya di kursi di sampingku yang kebetulan kosong. Sementara aku tak berkedip memandanginya. Mbak Mira nampak sangat feminin dalam kulot hitam, blouse warna krem, dan kaos yang juga berwarna hitam. Tahu aku pandangi, Mbak Mira memencet hidungku sambil ngomel-ngomel kecil,dan kami pun tertawa. Hanya sekitar sepuluh menit kami menunggu, sebelum bus berangkat. Dalam perjalanan di bus, aku tak tahan melihat Mbak Mira yang merem sambil bersandar.
Tanganku pun mulai mengelu-elus tangannya. Mbak Mira membuka mata, kemudian bangun dari sandarannya dan mendekatkan kepalanya padaku. “Gimana, Mbaknya mau di-embat juga?” ledeknya sambil berbisik. “Kan lain jurusan,” aku membela diri. “Adik-nya jurusan roman-romanan, Mbak-nya jurusan … “ Aku tidak melanjutkan kata-kataku, tangan Mbak Mira sudah lebih dulu memencet hidungku. Selebihnya kami lebih banyak diam sambil tiduran selama perjalanan. Yang disebut kamar kos oleh Mbak Mira ternyata sebuah paviliun.
Paviliun yang ditinggali Mbak Mira kecil tapi nampak lux, didukung lingkungannya yang juga perumahan mewah. “Kok bengong, ayo masuk,” Mbak Mira mencubit lenganku. “Peraturan di sini cuman satu, dilarang mengganggu tetangga. Jadi, cuek adalah cara paling baik.” Aku langsung merebahkan tubuhku di karpet ruang depan, sementara setelah meletakkan hand-bag-nya di dekat kakiku, Mbak Mira langsung menuju kulkas yang sepertinya terus on. “Nih, minum dulu, habis itu mandi,” kata Mbak Mira sambil menuangkan air dingin ke dalam gelas. “Kan tadi udah mandi Mbak,” kataku. “Ih, jorok. Males aku deket-deket orang jorok,” Mbak Mira tampak cemberut. “Kalau gitu, aku duluan mandi,” katanya sambil menyambar hand-bag dan menuju kamar.
Aku lihat Mbak Mira tidak masuk kamar, tapi hanya membuka pintu dan memasukkan hand-bag-nya. Setelah itu dia berjalan ke belakang ke arah kamar mandi. “Mbak,” Mbak Mira berhenti dan menoleh mendengar panggilanku. “Aku mau mandi, tapi bareng ya?” “Ih, maunya .. “ Mbak Mira menjawab sambil tersenyum. Melihat itu aku langsung bangkit dan berlari ke arah Mbak Mira. Langsung kupeluk dia dari belakang tepat di depan pintu kamar mandi. Kusibakkan rambutnya, kuciumi leher belakangnya, sambil tangan kiriku mengusap-usap pinggulnya yang masih terbungkus kulot. Terdengar desahan Mbak Mira, sebelum dia memutar badan menghadapku. Kedua tangannya dilingkarkan ke leherku. “Katanya mau mandi?” setelah berkata itu, lagi-lagi hidungku jadi sasaran, dipencet dan ditariknya sehingga terasa agak panas. Setelah itu diangkatnya kaosku, dilepaskannya sehingga aku bertelanjang dada.
Kemudian tangannya langsung membuka kancing dan retsluiting jeans-ku. Lumayan cekatan Mbak Mira melakukannya, sepertinya sudah terbiasa. Seterusnya aku sendiri yang melakukannya sampai aku sempurna telanjang bulat di depan Mbak Mira. “Ih, nakal,” kata Mbak Mira sambil menyentil rudalku yang terayun-ayun akibat baru tegang separo. “Sakit Mbak,” aku meringis. “Biarin,” kata Mbak Mira yang diteruskan dengan melepas blouse-nya kemudian kaos hitamnya, sehingga bagian atas tinggal BH warna hitam yang masih dipakainya.
Aku tak berkedip memandangi sepasang toket Mbak Mira yang masih tertutup BH, dan Mbak Mira tidak melanjutkan melepas pakainnya semua sambil tersenyum menggoda padaku. Birahi benar-benar sudah tak bisa kutahan. Langsung kuraih dan naikkan BH-nya, sehingga sepasang toket-nya yang besar itu terlepas. “Ih, pelan-pelan. Kalau BH-ku rusak, emangnya kamu mau ganti,” lagi-lagi hidungku jadi sasaran. Agen BandarQ Tapi aku sudah tidak peduli. Ceritasex.site
Sambil memeluknya mulutku langsung mengulum tokenya yang sebelah kanan. Mbak Mira tidak berhenti mendesah sambil tangannya mengusap-usap rambutku. Aku makin bersemangat saja, mulutku makin rajin menggarap toketnya sebelah kanan dan kiri bergantian. Kukulum, kumainkan dengan lidah dan kadang kugigit kecil. Akibat seranganku yang makin intens itu Mbak Mira mulai menjerit-jerit kecil di sela-sela desahannya. Beberapa menit kulakukan aksi yang sangat dinikmati Mbak Mira itu,beritaseks.com sebelum akhirnya dia mendorong kepalaku agar terlepas dari toketnya.
Mbak Mira kemudian melepas BH, kulot dan CD-nya yang juga berwarna hitam. Sementara bibirnya nampak setengah terbuka sambil mendesi lirih dan matanya sudah mulai sayu, pertanda sudah horny berat. Belum sempat mataku menikmati tubuhnya yang sudah telanjang bulat, tangan kananya sudah menggenggam rudalku. Kemudian Mbak Mira berjalan mundur masuk kamar mandi sementara rudalku ditariknya. Aku meringis menahan rasa sakit, sekaligus pengin tertawa melihat kelakuan Mbak Mira itu. Mbak Mira langsung menutup pintu kamar mandi setelah kami sampai di dalam, yang diteruskan dengan menghidupkan shower. Diteruskannya dengan menarik dan memelukku tepat di bawah siraman air dari shower.
Dan … “mmmmhhhh ….” bibirnya sudah menyerbu bibirku dan melumatnya. Kuimbangi dengan aksi serupa. Seterusnya, siraman air shower mengguyur kepala, bibir bertemu bibir, lidah saling mengait, tubuh bagian depan menempel ketat dan sesekali saling menggesek, kedua tangan mengusap-usap bagian belakang tubuh pasangan, “Aaaaaahhh,” nikmat luar biasa. Tak ingat berapa lama kami melakukan aksi seperti itu, kami melanjutkannya dalam posisi duduk, tak ingat persis siapa yang mulai. Aku duduk bersandar pada dinding kamar mandi, kali ku luruskan, sementar Mbak Mira duduk di atas pahaku, lututnya menyentuh lantai kamar mandi.
Kemudian kurasakan Mbak Mira melepaskan bibirnya dari bibirku, pelahan menyusur ke bawah. Berhenti di leherku, lidahnya beraksi menjilati leherku, berpMira-pMira. Setelah itu, dilanjutkan ke bawah lagi, berhenti di dadaku. Sebelah kanan-kiri, tengah jadi sasaran lidah dan bibirnya. Kemudian turun lagi ke bawah, ke perut, berhenti di pusar. Tangannya menggenggam rudalku, didorong sedikit ke samping dengan lembut, sementara lidahnya terus mempermainkan pusarku. Puas di situ, turun lagi, dan bijiku sekarang yang jadi sasaran. Sementara lidahnya beraksi di sana, tangan kanannya mengusap-usap kepala rudalku dengan lembut. Aku sampai berkelojotan sambil mengerang-erang menikmati aksi Mbak Mira yang seperti itu. Pelahan-lahan bibirnya merayap naik menyusuri batang rudalku, dan berhenti di bagian kepala, sementara tangannya ganti menggenggam bagian batang.
Kepala rudalku dikulumnya, dijilati, berpMira dan berputar-putar, sehingga tak satu bagianpun yang terlewat. Beberapa saat kemudian, kutekan kepala Mbak Mira ke bawah, sehingga bagian batangku pun masuk 2/3 ke mulutnya. Digerakkannya kepalanya naik turun pelahan-lahan, berkali-kali. Kadang-kadang aksinya berhenti sejenak di bagian kepala, dijilati lagi, kemudian diteruskan naik turun lagi. Pertahananku nyaris jebol, tapi aku belum mau terjadi saat itu. Kutahan kepalanya, kuangkat pelan, tapi Mbak Mira seperti melawan. Hal itu terjadi beberapa kali, sampai akhirnya aku berhasil mengangkat kepalanya dan melepas rudalku dari mulutnya. Kuangkat kepala Mbak Mira, sementara matanya terpejam. Kudekatkan, dan kukulum lembut bibirnya.
Pelan-pelan kurebahkan Mbak Mira yang masih memejamkan mata sambil mendesis itu ke lantai kamar mandi. Kutindih sambil mulutku melahap kedua toketnya, sementara tanganku meremasnya bergantian. Erangannya, desahannya, jeritan-jeritan kecilnya bersahut-sahutan di tengah gemericik siraman air shower. Kuturunkan lagi mulutku, berhenti di gundukan yang ditumbuhi bulu lebat, namun tercukur dan tertata rapi.
Beberapa kali kugigit pelan bulu-bulu itu, sehingga pemiliknya menggelinjang ke kanan kiri. Kemudian kupisahkan kedua pahanya yang putih,besar dan empuk itu. Kubuka lebar-lebar. Kudaratkan bibirku di bibir vaginanya, kukecup pelan. Kujulurkan lidahku, kutusuk-tusukan pelan ke daging menonjol di antar belahan vagina Mbak Mira. Pantat Mbak Mira mulai bergoyang-goyang pelahan, sementara tangannya menjambak atau lebih tepatnya meremas rambutku, karena jambakannya lembut dan tidak menyakitkan. Kumasukkan jari tengahku ku lubang vaginanya, ku keluar masukkan dengan pelan.
Desisan Mbak Mira makin panjang, dan sempat ku lirik matanya masih terpejam. Kupercepat gerakan jariku di dalam lubang vaginanya, tapi tangannya langsung meraih tanganku yang sedang beraksi itu dan menahannya. Kupelankan lagi, dan Mbak melepas tangannya dari tanganku. Setiap kupercepat lagi, tangan Mbak Mira meraih tanganku lagi, sehingga akhirnya aku mengerti dia hanya mau jariku bergerak pelahan di dalam vaginanya. Beberapa menit kemudian, kurasakan Mbak Mira mengangkat kepalaku menjauhkan dari vaginanya.
Mbak Mira membuka mata dan memberi isyarat padaku agar duduk bersandar di dinding kamar mandi. Seterusnya merayap ke atasku, mengangkang tepat di depanku. Tangannya meraih rudalku, diarahkan dan dimasukkan ke dalam lubang vaginanya. “Oooooooooooohh ,” Mbak Mira melenguh panjang dan matanya kembali terpejam saat rudalku masuk seluruhnya ke dalam vaginanya. Mbak Mira mulai bergerak naik-turun pelahan sambil sesekali pinggulnya membuat gerakan memutar.
Aku tidak sabar menghadapi aksi Mbak Mira yang menurutku terlalu pelahan itu, mulai kusodok-sodokkan rudalku dari bawah dengan cukup cepat. Mbak Mira menghentikan gerakannya, tangannya menekan dadaku cukup kuat sambil kepala menggeleng, seperti melarangku melakukan aksi sodok itu. Hal itu terjadi beberapa kali, yang sebenarnya membuatku agak kecewa, sampai akhirnya Mbak Mira membuka matanya, tangannya mengusap kedua mataku seperti menyuruhkan memejamkan mata. Aku menurut dan memejamkan mataku.
Setelah beberapa saat aku memejamkan mata, aku mulai bisa memperhatikan dengan telingaku apa yang dari tadi tidak kuperhatikan, aku mulai bisa merasakan apa yang dari tadi tidak kurasakan. Desahan dan erangan Mbak Mira ternyata sangat teratur dan serasi dengan gerakan pantatnya,sehingga suara dari mulutnya, suara alat kelamin kami yang menyatu dan suara siraman air shower seperti sebuah harmoni yang begitu Mira. Dalam keterpejaman mata itu, aku seperti melayang-layang dan sekelilingku terasa begitu Mira, seperti nama waMela yang sedang menyatu denganku.
Kenikmatan yang kurasakan pun terasa lain, bukan kenikmatan luar biasa yang menhentak-hentak, tapi kenikmatan yang sedikit-sedikit, seperti mengalir pelahan di seluruh syarafku, dan mengendap sampai ke ulu hatiku. Beberapa menit kemudian gerakan Mbak Mira berhenti pas saat rudalku amblas seluruhnya. Ada sekitar 5 detik dia diam saja dalam posisi seperti itu. Kemudian kedua tangannya meraih kedua tanganku sambil melontarkan kepalanya ke belakang. Kubuka mataku, kupegang kuat-kuat kedua telapak tangannya dan kutahan agar Mbak Mira tidak jatuh ke belakang.
Setelah itu pantatnya membuat gerakan ke kanan-kiri dan terasa menekan-nekan rudal dan pantatku. “Aaa .. aaaaaa … aaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhh,” desahan dan jeritan kecil Mbak Mira itu disertai kepala dan tubuhnya yang bergerak ke depan. Mbak Mira menjatuhkan diri padaku seperti menubruk, tangannya memeluk tubukku, sedang kepalanya bersandar di bahu kiriku. Ku balas memeluknya dan kubelai-belai Mbak Mira yang baru saja menikmati orgasmenya. Sebuah cara orgasme yang eksotik dan artistik. Setelah puas meresapi kenikmatan yang baru diraihnya, Mbak Mira mengangkat kepala dan membuka matanya.
Dia tersenyum yang diteruskan mencium bibirku dengan lembut. Belum sempat aku membalas ciumannya, Mbak Mira sudah bangkit dan bergeser ke samping. Segera kubimbing dia agar rebahan dan telentang di lantai kamar mandi. Mbak Mira mengikuti kemauanku sambil terus menatapku dengan senyum yang tidak pernah lepas dari bibirnya. Kemudian kuarahkan rudalku yang rasanya seperti empot-empotkan ke lubang vaginanya, kumasukkan seluruhnya.
Setelah amblas semuanya Mbak Mira memelekku sambil berbisik pelan. “Jangan di dalam ya sayang, aku belum minum obat,” aku mengangguk pelan mengerti maksudnya. Setelah itu mulai kugoyang-goyang pantatku pelan-pelan sambil kupejamkan mata. Aku ingin merasakan kembali kenikmatan yang sedikit-sedikit tapi meresap sampai ke ulu hati seperti sebelumnya. Tapi aku gagal, meski beberapa lama mencoba. Akhirnya aku membuat gerakan seperti biasa, seperti yang biasa kulakukan pada tante Ani atau Mela. Bergerak maju mundur dari pelan dan makin lama makin cepat.
“Aaaah… Hoooohh,” aku hampir pada puncak, dan Mbak Mira cukup cekatan. Didorongnya tubuhku sehingga rudalku terlepas dari vaginanya. Rupanya dia tahu tidak mampu mengontrol diriku dan lupa pada pesannya. Seterusnya tangannya meraih rudalku sambil setengah bangun. Dikocok-kocoknya dengan gengaman yang cukup kuat, seterusnya aku bergeser ke depan sehingga rudalku tepat berada di atas perut Mbak Mira. “Aaaaaaaah … aaaaaaahhh … crottt… crotttt ..,” beberapa kali spermaku muncrat membasahi dada dan perut Mbak Mira.
Aku merebahku tubuhku yang terasa lemas di samping Mbak Mira, sambil memandanginya yang asyik mengusap meratakan spermaku di tubuhnya. “Hampir lupa ya?” lagi-lagi hidungku jadi sasarannya waktu Mbak Mira mengucapkan kata-kata itu. Selama di bus dalam perjalanan pulang aku memejamkan mata sambil mengingat-ingat pengalaman yang baru saja ku dapat dari Mbak Mira. Saat di kamar mandi, dan saat mengulangi sekali lagi di kamarnya. Seorang waMela dengan gaya bersetubuh yang begitu lembut dan penuh perasaan. “Kalau sekedar mengejar kepuasan nafsu, itu gampang.
Tapi aku mau lebih. Aku mau kepuasan nafsuku selaras dengan kepuasan yang terasa di jiwaku.” Kepuasan yang terasa di jiwa, itulah hal yang kudapat dari Mbak Mira dan hanya dari Mbak Mira, karena kelak setelah gonta-ganti pasangan, tetap saja belum pernah kudapatkan kenikmatan seperti yang kudapatkan dari Mbak Mira. Kepuasan dan kenikmatan yang masih terasa dalam jangka waktu yang cukup lama meskipun persetubuhan berakhir. “Ingat ya, jangan pernah sekali-kali kamu lakukan sama Farah. Kalau sampai kamu lakukan, aku tidak akan pernah memaafkan kamu!” Aku terbangun, rupanya dalam tidurku aku bermimpi Mbak Mira memperingatkanku tentang Farah, adiknya. Dan bus pun sudah mulai masuk terminal. Selengkapnya ada di ceritasex.site situs cerita sex terlengkap!
ns 172.70.126.95da2