
******
Chapter 2 :
Crimson Red
******
62Please respect copyright.PENANAxJKmxz84lH
BEGITU sampai di dalam apartemennya, Mei langsung meletakkan tasnya di atas meja yang ada di dalam kamarnya, lalu pergi mandi. Jujur saja, sejak ia berjalan pulang dari café langganannya tadi, ia terus saja memikirkan Akashi beserta kedua mata berwarna merah menyala milik pria itu. Ia jadi teringat dengan karakter-karakter vampir atau drakula yang ada di film-film. Mereka biasanya digambarkan memiliki mata yang berwarna merah, memakai pakaian-pakaian mewah, dan terlihat seperti bangsawan. Kebanyakan dari mereka juga terlihat memiliki fisik yang sangat menawan serta etika yang sangat baik meskipun mungkin itu adalah salah satu cara untuk memikat mangsanya.
Tatkala Mei sudah berendam di bathtub pun, Mei masih memikirkan Akashi.
Ternyata, orang seperti Akashi itu ada di dunia ini. Bukan hanya di dunia fiksi.
Ketika sudah keluar dari kamar mandi, Mei langsung memakai pakaiannya. Mei tak bisa berhenti memikirkan betapa mengejutkannya pertemuannya dengan seseorang seperti Akashi sampai-sampai dahi Mei terus berkerut saat sedang mengeringkan rambutnya. Bagaimana mungkin ketika menciptakan manusia, Tuhan melewatkan Akashi saat membagikan porsi ‘kekurangan’? Agak tidak masuk akal, soalnya selama Mei hidup, Mei selalu mendengar kata-kata seperti: ‘Tidak ada manusia yang sempurna’.
Akan tetapi, Akashi memang terlihat seagung itu. Mata merahnya, rambut merahnya…semuanya unik, tetapi benar-benar pas untuknya. Vibe yang dia berikan memang se-noble itu. Majestic. He looks like a royalty member or something.
Akhirnya, Mei pun membanting tubuhnya ke kasur; dia berbaring telentang. Kedua tangannya ia rentangkan dan matanya menatap lampu kamarnya tanpa berpaling. Meskipun begitu, sebenarnya dia tidak benar-benar sedang melihat lampu itu. Otaknya tengah memikirkan hal lain.
Akashi.
62Please respect copyright.PENANA09QecBhZFy
Siapa nama lengkapnya tadi?
Oh. Akashi Roan Kaiser.
62Please respect copyright.PENANAAs15C3LcTP
Mei jadi penasaran. Kaiser? Sepertinya, Mei pernah dengar.
Apa suatu hari nanti Mei bisa bertemu lagi dengan Akashi? Atau pertemuan mereka tadi adalah pertemuan yang pertama dan terakhir kalinya?
Entahlah.
Tatkala sibuk memikirkan tentang pertemuan serta percakapannya tadi dengan Akashi, tiba-tiba ponsel Mei berbunyi. Mei tersentak, gadis itu mulai bangkit dan berjalan ke meja tempat ia meletakkan tasnya tadi. Ponsel itu masih tersimpan di dalam tasnya.
Di atas meja Mei itu, ada beberapa buku dan sebuah laptop. Di sana juga ada sebuah lampu karena Mei akan menggunakan meja itu kalau dia lembur malam-malam. Mei tak mau menggunakan lampu kamar karena baginya lampu kamar itu terlalu terang kalau untuk bekerja di malam hari.
Setelah membuka ritsleting tasnya, Mei langsung merogoh isi tas itu dan menemukan ponselnya di dalam sana. Ponsel itu berdering dan juga bergetar. Mei lantas mengambil ponsel itu, lalu melihat ke layarnya karena dia ingin tahu siapa yang meneleponnya.
Oh. Ternyata Kou.
Mei pun menerima panggilan telepon dari sahabatnya itu.
“Kou.”
“Ah, Mei,” panggil Kou dari seberang sana. “Kau sudah pulang, ya?”
“Iya,” jawab Mei. Matanya agak melebar ketika menjawab pertanyaan dari Kou. “Ada apa, Kou?”
“Ke minimarket, yuk!” ajak Kou. “Sambil jalan-jalan malam, cari angin.”
Mei menghela napas. Gadis itu tersenyum karena ia tahu bahwa Kou pasti sudah on the way ke rumahnya. Rumah Kou tidak jauh dari sini dan mereka sudah berteman lama. Kalau mau ke minimarket, Kou memang harus melewati apartemen Mei terlebih dahulu.
“Baiklah. Aku keluar sekarang. Kau sudah di jalan, ya?” tanya Mei. Yah, daripada dia terus mengendap di dalam kamarnya sambil memikirkan Akashi, lebih baik dia cari angin ke luar bersama Kou. Ikut Kou ke minimarket. Mei sekalian mau beli es krim saja, deh.
“Yoi,” jawab Kou. “Aku baru saja sampai di depan gedung apartemenmu, nih.”
“Oke,” jawab Mei. Gadis itu sedang mencari jaketnya. Seraya memakai jaket itu, ia pun menjawab, “Tunggu, ya.”
“Okeee,” jawab Kou, lalu panggilan telepon itu diputuskan oleh Kou. Mei lantas berjalan dengan cepat ke arah rak sepatu yang ada di dekat pintu depan, mengambil sepasang selopnya yang berwarna krem, memasang selop itu, lalu membuka pintu depan unit apartemennya. Setelah mengunci pintu itu kembali, ia pun berlari menuruni tangga untuk menuju ke bawah, berhubung unit apartemennya ada di lantai dua.
Ketika sudah sampai di bawah, ia pun bertemu dengan Kou yang sudah menunggu di sana seraya tersenyum padanya. Malam ini, Kou memakai sebuah jaket berwarna biru dengan motif garis-garis lebar berwarna putih. Berhubung rambut Kou berwarna coklat, malam itu warnanya jadi kelihatan agak gelap karena minimnya cahaya, padahal sudah dibantu dengan lampu dari jalan. Apartemen Mei berdiri di sebelah kiri jalan yang lumayan besar. Namun, jalan itu bukanlah jenis jalan besar yang selalu ramai. Jalan itu lumayan sepi, terutama kalau malam-malam begini. Jika kau melewati jalan besar tersebut, lurus terus…hingga kau bertemu dengan sebuah jembatan besar—yang menghubungkan sisi kanan dan sisi kiri jalan itu—maka di sisi kirinya kau akan melihat apartemen Mei. Apartemen Mei berdiri tepat di sisi kiri jalan dekat jembatan itu, tetapi bagian depan apartemen itu tidak menghadap ke arah jalan. Dari jalan besar itu, kau hanya bisa melihat apartemen Mei dari bagian samping kanannya.
Biasanya, di jembatan itu tergantung sebuah billboard besar yang kadang-kadang isinya adalah iklan rokok, fashion, atau semacam itu. Namun, kali ini billboard besar itu kosong. Sedang tidak ada yang memasang iklan di sana.
“Ayo,” ajak Kou dan Mei lantas mengangguk. Mereka pun mulai berjalan berdampingan.
“Hei, kau baik-baik saja?” tanya Kou ketika mereka sudah berjalan bersama sekitar lima langkah. Mei lalu menoleh kepadanya.
“Hm?” deham Mei, seakan ingin Kou mengulangi pertanyaannya.
“Umm…” Kou agak menunduk, lalu menggaruk tengkuknya. Akhirnya, di antara cahaya dari lampu jalan malam itu, mata berwarna hazel milik Kou mulai menatap Mei dengan penuh keingintahuan.
“Maksudku…Haruki,” ujar Kou kemudian. “Apa kau masih sedih karenanya?”
Mata Mei melebar.
“Oh.” Mei memasukkan kedua tangannya ke saku jaketnya, lalu kembali menghadap ke depan. “Ya…begitulah. Rasa sakit di hatiku sudah agak baikan, tetapi aku masih membencinya.”
Kou pun mengangguk. “Baguslah. Jangan habiskan waktumu untuk menangisi pria berengsek sepertinya.”
Mei mendengkus. “Aku tidak menangis.”
Mata Kou melebar saat ia menatap Mei. “Masa? Tidak sedikit pun?”
“Aku tidak sepertimu yang gampang menangis cuma gara-gara ada T-Rex yang mati di Jurassic Park, Kou,” ujar Mei dengan ekspresi datarnya.
“Oi! Sejak kapan aku gampang menangis?! Jangan bawa-bawa T-Rex itu!” protes Kou, pria itu menyatukan kedua alisnya.
“Aku sakit hati pada Haruki, tetapi sekarang aku lebih ingin membakar pantatnya,” ujar Mei dengan ekspresi datar.
Kou menganga; dia menggeleng tak habis pikir. Mengapa tiba-tiba Mei membicarakan soal pantat? “Mulutmu semakin hari semakin pedas saja. Kau yakin kau tidak pernah mem-bully seseorang dengan mulut sadismu itu?”
Mei menyipitkan matanya. “Kalau pantatnya terbakar, dia takkan bisa memakai celana selama beberapa waktu. Aku tak akan melihat wajahnya untuk sementara. Oh, tetapi…aku harus menyiram celananya dengan bensin terlebih dahulu sebelum membakar celananya. Kalau celananya dibakar sekalian, mungkin alat kelaminnya juga akan terbakar. Itu ide yang bagus. Sosisnya pasti kecil, jadi itu tak berguna. Masa depannya tetap akan suram meskipun sosisnya tidak mutung. Oh, mungkin aku juga akan mengiris kedua telurnya—”
“STOP!! STOP STOP STOP!!” teriak Kou. Mata Kou membulat sempurna; di pelipis Kou langsung muncul keringat dingin. “JANGAN BAKAR SOSIS YANG BELUM PERNAH KAU LIHAT!”
“Tsk.” Mei mengalihkan pandangannya.
“Barusan kau berdecak, ‘kan? Kau berdecak, ‘kan??!” teriak Kou dengan mata yang melebar sempurna. Gila, dia sudah sering memikirkan ini, tetapi dia tetap tak percaya. Bisa-bisanya dia bersahabat dengan gadis seperti Mei. Mei bisa membicarakan sesuatu yang serius dan kejam dengan tanpa ekspresi di wajahnya.
Melihat Mei yang akhirnya diam, Kou pun menghela napas. Gila, gawat sekali kalau Mei sudah marah. Mulutnya jahat sekali. Dia terlalu sassy, terlalu straightforward. Sadisnya minta ampun.
Tiba-tiba Kou teringat sesuatu.
“Oh ya,” ucap Kou, membuat Mei jadi menoleh kepadanya. Kou tampak memperhatikan Mei dengan mata yang membulat karena penasaran. “Kapan kau mau main ke rumahku? Ibuku terus-terusan bertanya kapan kau akan datang. Sudah lama tak melihatmu, katanya.”
Mata Mei melebar.
Oh, iya. Itu sudah agak lama.
“Begitu, ya,” ujar Mei. “Baiklah. Nanti aku akan datang ke rumahmu kalau aku senggang.”
Setelah mendengar jawaban dari Mei, Kou pun tersenyum lega. “Oke, deh. Jangan lupa datang, ya. Aku bingung harus memberikan alasan apa lagi pada Ibu.”
Mei tersenyum simpul. Seingat Mei, terakhir kali dia bermain ke rumah Kou adalah sekitar satu bulan yang lalu. Yah…mengingat mereka sudah berteman sejak lama dan kemarin-kemarin Mei memang sering bermain ke rumah Kou, wajar saja ibunya Kou jadi mencarinya seperti ini.
“Oke,” jawab Mei, ia mengangguk karena ingin menenangkan Kou. Kou pun tertawa kecil.
Mereka terdiam selama beberapa detik. Hanya suara langkah kaki mereka yang menemani mereka saat itu. Mei melihat ke bawah; pikirannya mulai ke mana-mana lagi. Sementara itu, Kou tetap menatap ke depan dan sesekali pria itu bersiul. Dia menyiulkan lagu favoritnya.
“Kou,” panggil Mei tiba-tiba. Panggilan itu sukses membuat Kou berhenti bersiul dan langsung menoleh ke arah Mei.
“Hm?” jawab Kou. Pria itu mengangkat kedua alisnya, menunggu apa yang akan Mei katakan, tetapi gadis itu tak kunjung berbicara.
“Ada apa?” tanya Kou sekali lagi.
Mei masih menunduk. Dahi Mei berkerut; ia terlihat berpikir sejenak. Ia ingin bertanya pada Kou, tetapi dia agak ragu.
Kou menunggu Mei selama beberapa detik. Hingga akhirnya, Mei pun mulai mendongak untuk menatap Kou yang lebih tinggi darinya.
“Apakah kau percaya dengan keberadaan manusia yang…sempurna?” tanya Mei. Mata birunya tampak sedikit melebar ketika menanyakan itu.
Kou kontan menyatukan alisnya. “Eh?”
Ah, Kou pasti bingung dengan pertanyaannya.
Tentu saja.
Mei akhirnya mengalihkan pandangannya dari Kou. Dia kini melihat ke depan, menghela napas, lalu menggeleng. “Tidak. Tidak apa-apa, Kou.”
Namun, di luar ekspektasi Mei, beberapa detik kemudian Kou tiba-tiba membuka suara.
“Kalau kau tanya pendapatku, sebenarnya aku tidak percaya, sih,” jawab Kou, sukses membuat Mei melebarkan matanya dan langsung menoleh kepada pria itu lagi. “Kalau memang di bagian luarnya dia terlihat sempurna, paling tidak dia pasti memiliki satu kelemahan atau kecacatan. Hal yang paling mungkin terjadi adalah: dia menyembunyikan kelemahan itu.”
Mei mendengarkan pendapat Kou dengan saksama. Begitu Kou selesai berbicara, Mei lantas mengalihkan pandangannya, sedikit menunduk, lalu mengangguk.
“Iya, ya,” jawab Mei pelan.
“Memangnya ada apa?” tanya Kou dengan alis yang menyatu.
Mei kontan membulatkan matanya. Dia lalu menatap Kou dan menjawab, “Ah—tidak. Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin tahu pendapatmu.”
Sejujurnya, dia ragu untuk menceritakan soal Akashi kepada Kou. Agak malu juga karena dia tak bisa berhenti memikirkan Akashi, apalagi pada dasarnya Akashi itu orang asing. Orang asing, kan, memang biasa lalu-lalang di dalam kehidupan kita.
Alhasil, walaupun Kou mengernyitkan dahinya—karena heran dan agak curiga—dia pun hanya mengedikkan bahu. Yah, sudahlah. Mungkin memang tidak terjadi apa-apa.
Tak lama kemudian, mereka pun sampai di depan minimarket yang mereka tuju. Keduanya lantas masuk ke minimarket itu dan mulai berbelanja. Mei, yang memang cuma mau menemani Kou sekaligus mencari angin, hanya membeli es krim dan satu snack coklat untuk menemaninya mengobrol bersama Kou malam itu.
62Please respect copyright.PENANA5YgYnPvHkl
******
62Please respect copyright.PENANADxaxSuwVla
Jam alarm milik Mei berdering. Bunyinya sangat kencang di telinga Mei, sangat memekakkan, sampai-sampai Mei spontan menggeliat di kasurnya dan mengerang. Dia langsung mengerutkan dahi, menghadap ke kanan dan ke kiri, lalu perlahan-lahan mengulurkan tangannya untuk mematikan jam alarm yang ia letakkan di atas nakasnya itu.
“Ugh…” keluh Mei. Sumpah, dia masih malas bangun. Tubuhnya masih pengin lengket di kasur, menempel di sana hingga siang. Kasurnya terasa nyaman sekali. Matanya masih mengantuk.
Ah, kerja lagi, deh. Sial. Malas sekali rasanya.
Kalau bisa, Mei mau tidur saja sampai siang. Akan tetapi, nanti Mei tidak punya uang kalau tidak pergi kerja. Ini weekend kapan datangnya, sih?
Andaikan Mei bisa dapat uang tanpa harus bekerja.
Menjadi istri seorang miliarder, misalnya. Atau istri seorang pangeran. Namun, mengingat omongan Mei yang hampir selalu sadis, daripada menarik perhatian seorang pangeran atau miliarder yang lurus-lurus saja, mungkin Mei akan lebih menarik perhatian seorang leader mafia atau gangster.
Nah, kan. Gara-gara malas bangun, Mei jadi banyak berkhayal.
Mendengkus kesal, Mei lantas berdecak dan bangkit. Ia duduk di kasurnya sejenak dengan mata yang setengah terpejam—mengumpulkan nyawa, mungkin—lalu beberapa saat kemudian, dia menggaruk kepalanya dan akhirnya kakinya turun ke lantai. Berdiri dan mulai berjalan dengan lesu ke kamar mandi. Dia mengeluh soal bangun pagi, tetapi akhirnya tetap bangun juga. Tetap kerja juga. Soalnya, kalau dia tidak kerja, nanti dia tidak bisa membeli es krim. Tidak bisa jajan. Tidak bisa membayar apartemennya. Tidak bisa makan.
Hah. Menyebalkan sekali.
Setelah mandi dan bersiap-siap, Mei pun sarapan sejenak. Ia hanya memanggang roti yang setelahnya ia berikan olesan selai kacang, lalu menyiapkan segelas susu hangat. Gadis itu memakan sarapannya seraya memainkan ponsel, lalu setelah makan, ia pun meletakkan piring dan gelas kotornya di wastafel. Setelah mencuci piring dan gelas kotor itu sejenak, ia pun akhirnya siap untuk berangkat kerja.
Tatkala baru saja mengambil sepatu kerjanya dari dalam rak sepatu, tiba-tiba ponsel Mei berbunyi. Mei lantas merogoh tasnya, lalu mengambil ponsel itu dan melihat bahwa yang meneleponnya adalah ibunya. Mei mengangkat panggilan telepon itu dan menempelkan ponselnya di telinganya, menahan ponsel itu dengan bahunya.
“Ya, Bu,” jawab Mei sambil memakai sepatu. Ketika Mei sudah memasang sepatunya dan baru saja mau membuka pintu depan, ibunya pun menjawab, “Oh, Mei! Sudah bangun, Nak?”
“Sudah, Bu,” jawab Mei seraya keluar dari unit apartemennya. Gadis itu kini sedang mengunci pintu. “Aku baru saja mau berangkat kerja.”
“Kau sudah sarapan, ‘kan? Jangan lupa sarapan, Nak,” kata ibunya. “Makan dulu sebelum bekerja. Jangan sampai sakit.”
Mei tersenyum. Berhubung ibunya Mei tinggal jauh dari Mei, wanita paruh baya itu rajin menelepon hanya untuk menanyakan apakah Mei sudah makan atau belum.
“Sudah, Bu. Tadi aku sudah makan,” jawab Mei seraya menuruni tangga apartemennya. Ketika sudah sampai di bawah, Mei kembali berbicara, “Ibu sudah makan?”
“Sudah. Tadi Ibu makan nasi dan sup,” ujar ibunya. “Mei, sudah dulu, ya, Nak. Ada tetangga yang memanggil Ibu. Nanti Ibu telepon lagi, ya. Nanti siang jangan lupa makan!”
Mei pun mengangguk meski ia tahu bahwa ibunya takkan bisa melihatnya. “Baiklah, Bu. Aku pergi kerja dulu.”
“Hati-hati, Sayang,” pesan ibunya dari seberang sana.
“Iya, Bu. Aku tutup, ya.”
“Iya.”
Setelah mendengar jawaban terakhir dari ibunya, Mei pun menutup panggilan telepon itu. Gadis itu meletakkan ponselnya kembali ke dalam tasnya seraya tersenyum. Mei sangat bersyukur bisa memiliki seorang ibu yang sangat menyayanginya meskipun ia tak lagi memiliki ayah. Ayah Mei sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu.
Pagi ini, pikiran soal Akashi tak begitu hinggap lagi di kepala Mei. Well, setidaknya belum benar-benar hinggap. Mei sejak tadi hanya fokus bersiap-siap untuk berangkat kerja. Jadi, ingatan soal Akashi belum begitu mampir di otaknya. Ada lewat sekilas, sih, tetapi karena dia tak ingin terlambat, dia pun akhirnya menggeleng (mengusir pikiran itu) dan memilih untuk fokus bersiap-siap.
Urusan memikirkan Akashi itu nanti saja, deh. Lagi pula, aneh sekali kalau dia terus-terusan memikirkan orang asing.
Mei mulai berjalan…hingga akhirnya ia sampai di depan Kantor Pelayanan Publik tempat ia bekerja. Benar, jarak dari rumahnya ke kantor tidak begitu jauh. Jadi, biasanya ia hanya menempuhnya dengan berjalan kaki.
62Please respect copyright.PENANA0bMNbvmDhs
******
62Please respect copyright.PENANAdRqjhzjcZH
Akashi memperhatikan Mei dengan mata yang sedikit menyipit dari dalam mobilnya. Ia duduk di kursi penumpang, bersandar di sana seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Jendela mobil mewah berwarna hitam itu terbuka; mobil itu terparkir jauh di seberang Kantor Pelayanan Publik, tetapi Akashi masih bisa melihat area kantor itu dengan jelas.
Pria itu hari ini memakai sebuah jas panjang berwarna coklat muda. Jas itu panjangnya seperti mantel, tetapi ia hanya menyampirkannya di tubuhnya (hanya digunakan sebagai outer, lengannya tidak terpasang). Di dalam jas itu, ia memakai sebuah vest yang berwarna senada dengan jasnya. Dasinya berwarna coklat tua dan kemejanya berwarna putih. Lengan kemeja itu ia lipat hingga hampir separuh, menampilkan lengan kekarnya yang terlihat berurat. Ada sebuah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Kedua mata Akashi masih fokus melihat ke samping. Melihat dari balik jendela mobil yang ada di samping kanan tubuhnya. Ia tengah memperhatikan sesuatu dari jauh.
Sebuah senyum simpul terbit di wajahnya tatkala ia melihat Mei mulai muncul di depan Kantor Pelayanan Publik itu dan langsung masuk ke sana.
“Boss, mengapa Anda ingin mampir ke sini?” tanya sopir mobil itu yang sebenarnya adalah salah satu anak buahnya Akashi. “Apakah ada sesuatu yang harus kami ketahui?”
Tanpa mengalihkan pandangan matanya dari Mei, dengan masih tersenyum simpul, Akashi pun menjawab, “Tidak. Aku hanya ingin memastikan.”
Anak buahnya Akashi—yang hari ini kebagian tugas menjadi sopir itu—kontan mengerutkan dahinya. Alisnya menyatu. “Memastikan apa, Boss?”
Senyuman Akashi tampak semakin merekah, tetapi masih terlihat penuh dengan rahasia. Di pagi yang cerah ini, wajahnya terlihat begitu tampan dan segar. Dia adalah seorang pria matang yang produktif. Rambut berwarna merahnya disisir ke belakang dan menggunakan pomade, tetapi ada beberapa helai rambutnya yang terjatuh ke dahi dan membentuk koma. Kedua matanya memiliki bentuk seperti siren eyes, membuatnya terlihat tajam, sensual, dan penuh dengan misteri,
Suara Akashi pun kembali terdengar. “Wanita…biasanya akan membuat pertahanan jika dia memiliki suatu kecurigaan. They’ll run…or lie.”
Anak buahnya Akashi masih mendengarkan.
Senyuman Akashi kini berubah. Perlahan senyuman simpulnya itu mulai berganti menjadi senyuman miring. Pria itu pun melanjutkan, “…tetapi dia tidak berbohong padaku.”
Kini, anak buahnya Akashi jadi semakin mengernyitkan dahi. Ia sedikit melihat ke arah Akashi melalui bahunya dan berkata, “…Wanita? Siapa, Boss?”
Akashi mengalihkan pandangannya dari Kantor Pelayanan Publik itu. Kini, ia tidak melihat ke jendela mobilnya lagi; kepalanya beralih menghadap lurus ke depan. Si sopir lantas melihat Akashi melalui kaca spion dalam mobil; dia melihat Akashi yang sudah kembali menghadap ke depan sepenuhnya. Dia juga melihat senyuman miring yang tiba-tiba menghiasi wajah tampan pemimpin mereka itu.
Namun, sepertinya pertanyaannya tadi belum bakal dijawab oleh boss-nya itu.
Akashi justru berkata:
“Ayo berangkat. Aku ada meeting hari ini.”
Akhirnya, tanpa mengatakan apa pun, si sopir—anak buahnya Akashi itu—lantas mengangguk (kepalanya menoleh sedikit kepada Akashi, lalu dia menunduk hormat) dan berkata, “Baik, Boss.”
Mobil hitam itu pun mulai berjalan dengan pelan, meninggalkan Kantor Pelayanan Publik itu.
62Please respect copyright.PENANA2DrZlqJ8s9
******
62Please respect copyright.PENANAEig2jSRp9U
Mei menikmati vanilla milkshake yang ia pesan seraya duduk di spot favoritnya, yaitu di ujung ruangan dan di dekat jendela café. Berhubung dia memang pengunjung setia di café itu—karena sangat menyukai vanilla milkshake buatan mereka—dia pun jadi merasa ada yang kurang apabila dia tidak berkunjung ke café itu minimal tiga hari sekali.
Duduk di sini sekarang sudah tidak terasa ‘biasa’ lagi sejak ia bertemu dengan Akashi kemarin. Biasanya, ia selalu duduk sendirian di sini. Kalau misalnya spot ini sudah keburu terisi, dia akan mencari spot nyaman lainnya di mana dia bisa duduk sendirian dengan tenang. Namun, sekarang…di spot ini dia jadi terus mengingat keberadaan Akashi yang kemarin duduk di seberangnya. Cara Akashi menyapanya dengan sebutan ‘my lady’, pergerakan tubuh Akashi yang begitu gentle seperti bangsawan, wajah Akashi yang tampan, pakaiannya yang elegan... Dia seperti seorang noble dari abad ke-18. Caranya menghormati perempuan, caranya berbicara, tata kramanya, semuanya berhasil membuat Mei terkesan. Mei kira di zaman yang sudah gila ini pria seperti itu sudah punah. Ternyata belum.
Apakah suatu hari nanti ia bisa bertemu lagi dengan Akashi?
Ketika pikiran itu melintas di otaknya, Mei kontan tersentak dan menggeleng. Oh, Tuhan. Ada-ada saja. Mei harus banyak-banyak minum air putih, sepertinya. Akashi itu orang asing, apalagi kemarin Akashi hanya kebetulan ingin minum kopi dan mungkin pria itu hanya berhenti di café terdekat secara random. Lagi pula, sebenarnya café ini terlalu sederhana untuk orang seperti Akashi.
Mei bersandar di kursinya. Ia lantas merogoh ponselnya yang ia letakkan di dalam saku blazernya. Tatkala sudah mendapatkan ponsel itu, Mei pun membuka kuncinya dan berencana untuk meminum vanilla milkshake-nya seraya melihat video-video di media sosial.
Mei tersenyum ketika melihat video-video kucing imut yang lewat di beranda media sosialnya. Setelah satu menit berlalu, tangan kanan Mei mulai meraih cup vanilla milkshake-nya, lalu mengantarkan cup itu ke mulutnya. Namun, sebelum Mei sempat meminum vanilla milkshake itu, tiba-tiba ada sebuah suara yang memecah fokusnya.
62Please respect copyright.PENANAl0jonOJ6mP
“Mei.”
62Please respect copyright.PENANA8RV8gzuAbS
Alis Mei sedikit terangkat. Entah mengapa Mei seperti…kenal dengan suara itu.
Seperti suara yang sudah Mei tandai.
Mei pun berhenti menatap ponselnya. Kepalanya perlahan terangkat ke atas…hingga ia mendongak. Tak ayal, kini kedua matanya sukses melihat ke atas, ke arah seseorang yang rupanya tengah berdiri di depannya.
…dan tepat setelah itu, kedua mata Mei kontan melebar. Tiba-tiba jantungnya seolah berhenti berdetak.
…karena orang yang berdiri di sana adalah:
62Please respect copyright.PENANAmSmsdcsrj8
Akashi.
62Please respect copyright.PENANAAZgoiGhAV7
Akashi Roan Kaiser.
62Please respect copyright.PENANA4yTsf4u5nQ
Pria itu betul-betul berdiri di hadapan Mei; dia tersenyum dengan sangat manis kepada Mei seraya sedikit memiringkan kepala. Hari ini, pria itu…memakai jasberwarna coklat muda. Demi dunia dan segala isinya, pria itu terlihat begitu tampan. Begitu seksi. Begitu menggoda.
Tanpa Mei sadari, sebenarnya seisi café itu juga sedang takjub karena melihat sosok Akashi. Namun, Mei terlalu kaget untuk menyadari semua itu. Dia kaget sekaligus…heran.
“Akashi…?” Mei mulai mengerutkan dahinya.
“Uh-hm,” deham Akashi. Pria itu pun memberi salam kepada Mei dengan anggukan singkat. “Halo, Mei. Kita bertemu lagi, ya.”
“Ah… Halo, Akashi,”sapa Mei balik. “Apakah kau mau minum kopi lagi?”
Oh, ayolah, Mei. Ya jelas dia mau minum kopi! Buat apa dia datang ke café kalau bukan mau minum kopi?!!
Mei merutuki dirinya sendiri di dalam hati. Dia mengutuk otaknya yang mendadak jadi sangat bodoh. Apa dia mulai gugup lagi, seperti kemarin?
Namun…sekarang Akashi ada di depannya. Dia bertemu lagi dengan Akashi. Akashi ternyata datang ke café ini lagi…
Diam-diam, jantung Mei mulai berulah. Degupannya mulai kencang. Entah mengapa, ada rasa senang yang hinggap di hatinya.
Meskipun pertanyaan Mei terdengar bodoh, ternyata respons dari Akashi tidak memperparah kegugupan Mei sama sekali. Akashi hanya mengangguk dan tertawa kecil. “Iya. Kebetulan lewat sini. May I sit here?”
Mata Mei agak melebar. “Oh—ya. Silakan, kalau kau tidak keberatan duduk denganku.”
Akashi sedikit menunduk kepada Mei sebagai bentuk respect, lalu dia mengangkat kepalanya lagi dan tersenyum dengan lembut kepada Mei. “Terima kasih, Mei.”
“Sama-sama, Akashi.” Mei mengangguk dan tersenyum.
Akashi pun mulai beranjak duduk di hadapannya. Pria itu menarik kursi yang berseberangan dengan kursi Mei, lalu duduk di sana. Ketika Akashi sudah duduk di hadapan Mei, aroma tubuh pria itu menguar semakin jelas di sekeliling Mei. Aroma tubuh Akashi sangatlah harum, segar, dan maskulin. Itu adalah jenis parfum yang akan membuatmu berpikir seperti, ‘Aku akan mengekori pria mana pun yang mengenakan parfum ini di jalan.’
Wanginya bisa membuatmu jatuh cinta. Wanginya itu seperti…campuran dari bergamot, neroli, green tangerine…dan ada juga wangi…rosemary? Ada campuran wangi daun nilam juga, sepertinya. Semua wangi itu…kalau dicampur ternyata jadi sesegar ini. Wangi yang sangat maskulin. It also smells very expensive. Sesuai dengan Akashi.
Tepat setelah Akashi duduk di seberang Mei, segelas kopi pesanan Akashi pun datang ke meja mereka. Sang waitress yang mengantarkan pesanan Akashi itu sempat tercengang sebentar, matanya tanpa sadar menatap Akashi tanpa berkedip. Ia diam selama beberapa detik karena terlalu takjub melihat betapa tampannya pelanggan yang sedang ia layani itu, lalu akhirnya ia tersadar kembali ketika Akashi tersenyum padanya dan mengucapkan, “Terima kasih.”
“Ah—ya—maaf, Tuan. Silakan menikmati.” Waitress itu lantas menunduk hormat pada Akashi dengan pipi yang memerah karena malu, lalu langsung menjauh dari meja mereka dengan terburu-buru.
Mei melihat Akashi mulai menghadap ke depan—ke arah Mei—kembali. Pria itu memajukan tubuhnya dan menumpukan kedua sikunya di meja. Setelah itu, ia menyatukan jemari tangannya.
Seraya tersenyum simpul, Akashi pun mulai membuka pembicaraan.
“Aku mulai tertarik pada café ini,” ujar Akashi. Pria itu mulai menoleh ke kiri…lalu ke sekeliling ruangan yang masih bisa ia jangkau dengan kedua matanya. Setelah itu, pandangan matanya kembali tertuju pada Mei. Setelah bertatapan kembali dengan Mei, Akashi pun tersenyum lagi.
Mei berkedip. Sedari tadi, ia terus memperhatikan Akashi; kedua matanya seolah enggan meninggalkan sosok semegah Akashi.
“Ah…begitu, ya.” Mei akhirnya bersuara. Gadis itu mengangguk perlahan, kedua matanya masih memperhatikan sosok Akashi. Namun, tiba-tiba dahi Mei berkerut.
Mei lantas memiringkan kepalanya, lalu bertanya, “Memangnyaapa yang membuatmu tertarik? Tidakkah café ini terlihat biasa saja untuk orang sepertimu?”
Akashi sedikit menunduk, lalu pria itu tertawa kecil. Goddammit, tawa kecilnya itu membuatnya terlihat seratus persen lebih menakjubkan. Dia tampak seperti pangeran berkuda putih atau seorang bidadara yang baru saja turun dari langit! Tak tahukah dia bahwa tawa kecilnya itu sangat atraktif? Seakan ada background bunga-bunga yang mekar di belakang tubuhnya ketika ia tertawa. Seakan ada sayap-sayap malaikat yang membentang di belakang tubuhnya. Dia terlihat memabukkan. Membuat candu. Menawan. Seksi.
Tepat setelah tawa kecilnya itu, Akashi pun kembali menatap Mei dan tersenyum. Pria itu mulai membuka tautan jemarinya dan meraih pegangan gelas kopinya.
Tubuh Akashi mulai bersandar ke kursi. Sejak tadi, ia duduk dengan kaki yang bersilang sehingga ketika ia bersandar, sosoknya terlihat semakin elegan dan berwibawa. Akashi mulai mendekatkan gelas kopi itu ke bibirnya. Namun, sebelum meminum kopi itu, Akashi menyempatkan dirinya untuk menjawab Mei.
“Kata-katamu membuatku terdengar seperti orang yang sangat arogan, Mei. Aku tertarik karena kopinya enak,” jawab Akashi, matanya melihat lurus ke arah Mei. Kedua kelopak matanya terlihat sedikit turun. Tatapan mata tajamnya itu terpusat pada Mei. Begitu sarat arti, tetapi tetap sulit untuk diartikan. Ada sebuah kilat yang penuh dengan rahasia di kedua mata berwarna merahnya. Ia seperti menatap langsung ke jiwa Mei, memerangkap Mei menggunakan tatapan matanya.
Momen itu terasa begitu mendebarkan…dan menggairahkan.
“Selain itu, pemandangannya…” Akashi masih menatap Mei dengan tatapan yang sama, lalu pria itu mulai tersenyum miring. “…juga bagus.” []
62Please respect copyright.PENANAgvGUBNqGRy